Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
The Unseen Hand: Prolog
0
Suka
6
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

The Unseen Hand: Prolog

Bagian 1: Bisikan Kenangan

Clara adalah seorang gadis yang tahun ini menginjak usia delapan belas tahun. Ia adalah putri tunggal dari pemilik peternakan ayam Sahabat, sebuah peternakan terkenal yang terletak di sudut kota X. Peternakan itu bukan hanya sumber penghasilan bagi keluarganya, melainkan juga saksi bisu masa kecilnya. Ayahnya adalah sosok yang hangat dan penuh canda. Ia sering kali mengajaknya ke kandang ayam di sore hari dan bercerita tentang betapa berharganya setiap makhluk hidup. Sementara ibunya, seorang guru yang sabar dan penyayang. Ibunya selalu menyediakan bahu untuk Clara bersandar. Namun, di balik kehangatan keluarga itu, Clara merasa tidak pernah bisa sepenuhnya bahagia. Selama delapan belas tahun hidupnya, ia selalu dihantui oleh mimpi yang sama. Sebuah mimpi buruk yang tak pernah pudar.

Sejak ia masih sangat kecil, mimpi itu datang menghantuinya. Setiap malam, saat ia menutup mata, ia dibawa ke sebuah ruangan hampa yang sangat besar. Ruangan itu dipenuhi cahaya kebiruan lembut, dengan sebuah mesin raksasa bercahaya di tengahnya. Mesin itu tampak hidup, berdetak seolah-olah adalah jantung dari seluruh alam semesta. Di sekeliling mesin, sosok-sosok berjubah putih berdiri khusyuk, tangan mereka bergerak di atas panel-panel rumit. Yang paling menakutkan, dalam mimpi itu, Clara merasa dirinya adalah salah satu dari mereka, namun ia selalu berada di kejauhan dan hanya mengamati. Sebuah sensasi akrab yang tak dapat dijelaskan, namun selalu disusul oleh perasaan jatuh yang mendalam dan kegelapan, seolah ia terenggut dari tempat asalnya.

Orang tuanya sudah mencoba segala cara. Mereka membawanya ke dokter, yang mengatakan itu hanya mimpi biasa. Ibunya mencoba membacakan dongeng sebelum tidur, berharap itu bisa menggantikan mimpi buruknya. Namun, semua sia-sia. Ketakutan itu terus ada. Mimpi-mimpi itu, dengan sosok berjubah putih yang menatapnya dengan kosong, terasa seperti malaikat pencabut nyawa yang siap mengambilnya kapan saja.

Bersamaan dengan ulang tahunnya, Clara harus meninggalkan rumah untuk melanjutkan studi di Kota X. Ia resmi menjadi mahasiswi baru di salah satu universitas bergengsi di negaranya. Clara menatap kamar yang sudah menemaninya belasan tahun: meja belajar yang penuh stiker, tumpukan buku di rak, dan jendela yang menghadap ke taman belakang. Semua itu tak akan ia temui selama beberapa tahun ke depan.

“Sudah siap berangkat, kan, Ra?” tanya ibunya.

Clara menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. "Mau tidak mau harus siap, kan, Bu?”

Ibu Clara hanya tersenyum tipis. Ia tidak menyangka anak tunggalnya tumbuh begitu cepat. "Jangan lupa telepon Ibu setiap hari, ya," bisiknya sambil memeluk Clara erat. Suara ayah Clara memecah keheningan. "Sudah-sudah, jangan malah sedih. Kalau sudah siap, ayo segera berangkat."

Perjalanan dua jam menuju Kota X mereka tempuh dengan mobil. Jalanan masih dipenuhi pepohonan rimbun yang perlahan berganti menjadi gedung-gedung tinggi. Clara merasa hatinya berat. Setiap gedung yang ia lewati seperti menelan kenangan masa kecilnya. Di mobil, ayahnya sesekali melempar lelucon garing sambil menyetir. Ibu Clara duduk di sampingnya, mengeluarkan bekal yang mereka bawa.

“Mau apel nggak, Nak?” tawar Ibu.

“Nggak ah, Bu. Masih kenyang,” jawab Clara, pandangannya terus tertuju ke luar jendela.

“Kamu sedih harus meninggalkan rumah?” tanya ibunya lembut.

Clara mengangguk, suaranya pelan. “Iyalah. Clara kan nggak pernah hidup sendiri. Bagaimana kalau Ibu tidak ada di samping Clara saat Clara mimpi buruk?”

“Clara bisa kok telepon Ibu kapan saja. Kamu juga tidak lupa membawa obat, kan?”

Perjalanan dua jam berjalan lancar. Mobil mereka akhirnya berhenti di depan sebuah rumah bertingkat dua dengan banyak pintu, di mana terdapat papan bertuliskan ‘Masih Ada Kamar Kosong’. Setelah mendapat kunci kamar, mereka segera memindahkan barang-barang Clara. Kamar kos yang tidak terlalu luas itu dirasa cukup baginya. Clara merebahkan diri di atas kasur, menatap langit-langit yang polos, sangat berbeda dengan langit-langit kamarnya di rumah. Meninggalkan rumah dan orang tua adalah hal yang berat, bahkan jika tujuannya adalah menuntut ilmu.

Hari ini adalah masa orientasi. Clara sudah bersiap sejak pagi dengan kemeja putih dan celana hitamnya. Jarak kos dan kampusnya tidaklah jauh, cukup berjalan kaki selama lima menit. Beberapa hari sebelumnya, Clara sudah berkenalan dengan seorang mahasiswi baru bernama Maria yang tinggal di lantai dua kos yang sama. Rencananya mereka akan berangkat bersama. Selama perjalanan, mereka berbincang ringan. Clara merasa senang mengetahui Maria berasal dari daerah yang sama. Perbincangan itu berhenti ketika mereka sampai di depan gedung megah yang dipenuhi mahasiswa. Karena berbeda kelompok, mereka harus berpisah.

Clara berjalan mencari tangga tempat kelompoknya berkumpul. Tiba-tiba, sebuah dengungan kuat yang memekakkan telinga menghantam kepalanya. Kepalanya mendadak terasa pusing dan sekejap, mimpi buruk itu datang lagi. Sosok-sosok berjubah putih itu menatapnya, kali ini dengan mata yang begitu nyata. Clara merasakan sensasi aneh di dalam dadanya, seolah ada sesuatu yang mencoba meledak keluar. Clara kehilangan keseimbangan, tetapi tubuhnya ditangkap oleh seorang perempuan yang tampaknya adalah panitia.

Perempuan itu menuntun Clara ke pinggir dan menyuruhnya duduk. Dia menawarkan Clara untuk beristirahat di ruangan khusus, tetapi Clara menolak. Setelah duduk beberapa menit, ia merasa membaik dan melanjutkan kegiatannya.

Masa orientasi akhirnya berakhir. Kini Clara menjalani hidup layaknya seorang mahasiswi kupu-kupu, pergi ke kampus dan langsung kembali ke kos. Di semester awal, ia memilih untuk tidak mengikuti organisasi agar bisa beradaptasi dengan kehidupan barunya. Ia harus melakukan segalanya sendirian, termasuk membersihkan kamarnya.

Malam itu, Clara terbangun dengan nama asing di bibirnya. "Gaia..." Kata itu terasa familiar di lidahnya, seperti lagu yang pernah didengar dalam mimpi. Jam digital menunjukkan 2:47 pagi, waktu yang sama setiap malam selama delapan belas tahun terakhir. Tapi kali ini berbeda. Kali ini, Clara mengingat setiap detail mimpinya dengan kejernihan yang menakutkan.

Ruangan itu nyata. Cahaya biru yang menari-nari di sekitar mesin raksasa, sosok-sosok tembus pandang putih yang bergerak dengan ritual presisi, dan suara-suara yang menyebut nama yang bukan miliknya. Clara bangkit dengan kaki gemetar, berjalan ke jendela kamar kosnya yang sempit. Di luar, Kota X masih terlelap, namun ia bisa merasakan sesuatu yang salah. Udara terasa lebih berat, langit sedikit lebih kelabu dari biasanya. Ponselnya berkedip. Notifikasi berita: "Kualitas Udara Kota X berada pada Tingkat Tidak Sehat untuk Kelompok Sensitif." Aneh. Kemarin sore udaranya masih baik-baik saja.

Pagi itu, Clara hampir menabrak Maria di koridor kos. "Astaga, Clara! Kamu kenapa?" Maria memegang pundaknya dengan khawatir.

"Wajahmu pucat banget. Sakit?"

"Tidak bisa tidur," jawab Clara dengan berusaha tersenyum. "Mimpi aneh."

"Mimpi apaan? Kayak film horor gitu?" Clara terdiam sejenak.

"Bukan horor. Lebih seperti... déjà vu yang panjang."

Maria mengerutkan kening. “Deja vu?”

"Rasanya aku pernah berada di tempat yang nggak pernah kudatangi. Aneh kan?" Mereka berjalan menuju kampus dalam keheningan. Clara terlalu tenggelam dalam pikirannya untuk memperhatikan bahwa setiap langkahnya meninggalkan jejak tumbuhan kecil yang tumbuh sedikit lebih hijau di celah-celah paving block.

Kuliah Filsafat Sains Prof. Hartono berlangsung di ruang kelas yang pengap. Dosen paruh baya itu berdiri di depan papan tulis yang penuh dengan diagram tentang kenyataan berlapis. "Hari ini kita akan membahas konsep multiverse dan kemungkinan adanya dimensi paralel," suaranya menggema. "Pertanyaannya adalah, jika versi lain dari diri kita ada di dimensi yang berbeda, mana yang 'nyata'?" Tangan Clara terangkat tanpa ia sadari.

"Ya, Nona Clara?"

"Bagaimana kalau..." suara terdengar asing di telinga sendiri, "bagaimana kalau semua versi itu nyata sekaligus? Dan kita bisa terhubung dengan versi lain dari diri kita?" Kesunyian melanda ruangan.

Beberapa siswa berbisik-bisik, ada yang tertawa kecil. Prof Hartono mengetuk-ngetuk spidolnya. "Itu hipotesis yang menarik, tapi tanpa bukti empiris, itu tetap berspekulasi. Kamu punya pengalaman pribadi tentang ini?" Clara merasakan pipinya memanas. Semua mata tertuju padanya.

"Tidak, Pak. Hanya...berpikir asal-asalan."

"Hm." Prof Hartono menatap intens.

"Kamu tahu, Clara, dalam filsafat sains, sering kali pertanyaan yang paling 'acak' justru yang paling mendalam. Tapi ingat, perbedaan antara wawasan dan delusi sangat tipis." Sisa kuliah berlalu dalam kabur. Clara merasa seperti ikan yang terseret ke darat, tidak bisa bernapas dengan normal.

Karena itu, Clara memutuskan untuk berjalan sendirian ke Taman. Ia butuh ketenangan untuk menjernihkan pikiran yang kacau sejak pagi. Taman tidak terlalu ramai. Clara memilih bangku di bawah pohon beringin tua, mengeluarkan buku yang tidak juga terbaca karena pikirannya terus melayang. Tangisan keras memecah lamunannya. Seorang balita terjatuh dari ayunan, lututnya berdarah. Ibunya berlari panik, berusaha menenangkan anak yang menangis histeris. Tanpa berpikir, Clara bangkit dan mendekat. “Izin, Bu. Bolehkah saya lihat?” Ibu itu menoleh, wajahnya cemas.

 "Luka di lututnya lumayan dalam. Anakku takut darah." Clara tergeletak di samping balita itu, mengulurkan tangannya ke arah luka. Saat jari-jarinya hampir menyentuh darah yang mengalir, sesuatu yang aneh terjadi. Tangisan anak itu mereda. Napasnya menjadi teratur. Dan yang lebih mencengangkan luka di lututnya berhenti berdarah, malah tampak... mengering?

"Astaga," ibu itu membeku.

"Kok bisa? Tadi kan parah banget." Clara menarik tangannya dengan cepat, jantung berdetak kencang.

“Mungkin… mungkin tidak separah yang terlihat, Bu.” Ia kembali ke bangkunya, tangan gemetar. Apa yang baru saja terjadi?

Minggu demi minggu berlalu, dan Clara mulai menyadari pola-pola aneh di sekitarnya. Lampu-lampu di koridor kos sering berkedip saat ia lewat, bukan mati tapi seperti sebuah perayaan. Tanaman di pot yang ia siram tumbuh lebih subur, daunnya lebih hijau dan segar dibandingkan tanaman tetangga. Yang paling mengganggu, ibu kos pernah berkomentar, "Sejak kamu tinggal di sini, Clara, rasanya kos ini jadi lebih... adem ayem. Anak-anak jadi lebih jarang mengobrol, listriknya juga lebih hemat." Clara tidak tahu harus senang atau takut.

Yang lebih mengganggu lagi, mimpi-mimpinya semakin nyata. Setiap malam, ia kembali ke ruangan terang biru itu. Tapi sekarang ia bisa mendengar percakapan sosok-sosok yang terungkap dengan lebih jelas.

“Kondisi sektor 12-A semakin memburuk,” suara salah satu dari mereka terdengar cemas.

"Tingkat polusi melampaui ambang batas. Ekosistem mulai kolaps."

"Protokol intervensi masih belum diaktifkan," sahut yang lain.

"Kita hanya bisa mengamati."

"Gaia masih dalam fase transisi. Koneksinya belum stabil. " Clara selalu terbangun sebelum bisa mendengar lebih banyak. Tapi nama "Gaia" itu... semakin hari semakin terasa familiar, seperti panggilan yang ditujukan untuknya.

Clara menghela napas lega setelah seharian penuh membersihkan kamar. Ia duduk di depan pintu kamarnya sambil memakan camilan. Di seberang kosnya ada sebuah rumah mewah baru. Clara melihat ada seorang perempuan di lantai dua rumah itu. Perempuan itu menatapnya dengan intens, dengan rambut panjang sebahu dan mata yang gelap. Wajahnya terasa tidak asing bagi Clara.

'Seperti pernah lihat, tapi di mana ya?' batin Clara.

Setelah kuliah usai, Clara berjalan sendirian menuju kantin kampus. Di kantin kampus, Clara duduk sendirian di meja pojok, menyuap nasi tanpa berselera. Kejadian mimpi semalam membuatnya kehilangan nafsu makan.

"Boleh gabung?"

Clara mendongak. Di hadapannya berdiri seorang perempuan berambut panjang sebahu dengan mata yang anehnya familiar seperti pernah bertemu dalam mimpi, tapi Clara yakin belum pernah melihatnya sebelumnya.

"Tentu," jawab Clara, sedikit bingung.

Perempuan itu duduk dengan gerakan yang sangat elegan. "Lyra," ia memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. "Psikologi semester lima. Aku sering melihat kamu di sini, tapi baru sekarang berani menyapa."

"Clara. Fisika semester dua."

Lyra tersenyum, senyuman yang hangat namun ada sesuatu di matanya yang membuat Clara merasa sedikit tidak nyaman. "Fisika? Pasti suka hal-hal yang...tidak biasa ya?"

"Maksudnya?"

"Fenomena-fenomena yang sulit dijelaskan secara konvensional. Mekanika kuantum, alam semesta paralel, hal-hal seperti itu."

Clara merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. "Kenapa tanya?"

Lyra mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya berubah pelan. "Karena aku memperhatikanmu... berbeda. Ada aura tertentu di sekitarmu. Dan tadi pagi, saat kamu lewat, tanaman di taman depan terlihat seperti... lebih segar."

Clara hampir penasaran. "Itu kebetulan."

"Kebetulan?" Lyra tertawa lembut. "Clara, aku kuliah psikologi. Aku tahu cara mengamati orang. Dan kamu... kamu punya sesuatu yang istimewa."

Sebelum Clara sempat menjawab, Lyra bangkit. "Pikirkan ini: bagaimana kalau mimpi-mimpi anehmu itu bukan sekedar mimpi? Bagaimana kalau itu adalah kenangan dari... dirimu yang lain?"

Clara menatap Lyra yang berjalan pergi dengan perasaan campur aduk. Ada bagian dari dirinya yang merasa lega karena akhirnya ada yang percaya, tapi ada bagian lain yang diperingatkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

Hari-hari berikutnya, Lyra mulai sering muncul dalam kehidupan Clara. Mereka bertemu di perpustakaan, di kantin, bahkan sesekali Lyra mampir ke kos untuk belajar bersama. Clara merasa senang memiliki teman yang memahami keanehannya, namun ia tidak menyadari bahwa setiap pertemuan itu semakin membuat Lyra memahami pola dan kemampuan Clara.

"Cerita lagi dong tentang mimpimu yang ruangan biru itu," kata Lyra suatu sore saat mereka duduk di taman kampus.

Clara ragu-ragu. “Kenapa kamu begitu tertarik dengan mimpiku?”

"Karena aku yakin itu bukan mimpi biasa. Dalam psikologi, ada yang namanya ketidaksadaran kolektif yang menghubungkan semua manusia. Mungkin kamu sedang mengakses sesuatu yang lebih besar."

"Lebih besar gimana?"

Lyra menatapnya dengan intens. "Mungkin kamu terhubung dengan... entitas yang mengatur dunia ini. Bayangkan kalau kamu bisa menggunakan koneksi itu untuk membantu orang-orang yang membutuhkan."

Clara merasa pipinya memanas. "Aku bukan pahlawan super, Lyra."

"Tapi kamu punya kemampuan kan? Aku lihat kemarin saat kamu membantuin anak kecil yang terjatuh. Lukanya sembuh lebih cepat dari normal."

Clara terkejut. "Kamu lihat itu?"

"Aku memperhatikanmu, Clara. Karena aku peduli." Lyra menyentuh tangan Clara dengan lembut. Coba deh, gunakan kemampuanmu untuk hal-hal kecil. Membantu orang sakit, membuat tanaman tumbuh subur. Bukankah itu baik?

Malam itu, Clara terbaring di tempat tidurnya sambil memikirkan kata-kata Lyra. Mungkin memang tidak ada salahnya menggunakan kemampuannya untuk membantu orang-orang.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
The Unseen Hand: Prolog
Sekar Kinanthi
Novel
Gold
Hollowpox: Nevermoor #3
Noura Publishing
Skrip Film
Berburu Ropen
Vitri Dwi Mantik
Cerpen
Bronze
Ujung Koridor
Christian Shonda Benyamin
Flash
Orang - Orang Hilang
Akara Drawya
Novel
Before Everything Blows Up
Adeline Nordica
Flash
Di Balik Semangkuk Bawang
Denik a nuramaliya
Cerpen
Bronze
KAMAR KOS NOMOR 7
Mxxn
Skrip Film
Guzel: Skenario
Webi Okto Satria
Novel
Gold
Digital Fortress
Mizan Publishing
Cerpen
Bronze
A Little Bird
Lirin Kartini
Cerpen
Pesan dari Pembunuh
Seto Permada
Flash
Kedamaian di Dalam Air
Art Fadilah
Cerpen
The Sketch
Ida Ayu Saraswati
Cerpen
Bronze
Langit di Tangan
Syifa
Rekomendasi
Cerpen
The Unseen Hand: Prolog
Sekar Kinanthi
Cerpen
Bunga (di Retakan Dinding)
Sekar Kinanthi
Cerpen
Kereta Terakhir Menuju Rumah
Sekar Kinanthi