Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
The unfinished sky
1
Suka
5
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Hujan selalu turun sama seperti biasa—pelan, membasuh halaman sekolah yang dipenuhi ubin-ubin licin. Namun bagi Aksa, setiap tetesnya seperti mengingatkan sesuatu yang belum selesai. Ia berdiri di bawah atap koridor, ransel sekolahnya menggantung di salah satu bahu. Rambutnya yang sedikit berantakan meneteskan air. Ulangan matematika barusan membuat mood-nya jatuh seperti cuaca hari ini.

“Kalau kamu basah-basahan terus, besok sakit,” suara seseorang muncul tepat di belakangnya.

Aksa menoleh dan menemukan seorang gadis berdiri sambil menenteng payung berwarna kuning. Seragamnya rapi, wajahnya terlihat hangat meski udara dingin menyelimuti. Gadis itu tersenyum kecil.

“Kirana?” gumam Aksa.

Kirana—gadis yang selalu duduk dua bangku di depan, yang terkenal sebagai anggota aktif perpustakaan, yang selalu punya cara tersendiri untuk membuat keadaan di kelas terasa sedikit lebih ringan.

“Kamu masih menunggu hujannya reda?” tanya Kirana sambil sedikit memiringkan kepala.

Aksa mengangguk pelan. “Rumahku lumayan jauh. Kalau hujan begini pulang juga ngga banyak guna.”

Kirana memperhatikan rintik hujan sebelum menatap Aksa lagi. “Kalau kamu mau, kita bisa pulang bareng pakai payung ini. Rumahku searah sama halte depan.”

Aksa sedikit terdiam. Ia bukan tipe cowok yang mudah dekat dengan orang lain. Apalagi dengan seseorang seperti Kirana—yang bisa menatap semua orang seolah mereka pantas mendapatkan kesempatan kedua.

“Boleh?” Kirana kembali bertanya.

Aksa akhirnya mengangguk. “Ya… boleh.”

---

Payung itu tak bisa menutupi keduanya secara sempurna. Bahu Aksa tetap terkena hujan, sementara Kirana berusaha memiringkan payung ke arahnya.

“Kamu pasti bakalan sakit kalau begini,” katanya seolah merasa bersalah.

Aksa terkekeh pelan. “Aku udah biasa.”

“Tuh, kan. Kamu biasain hal yang harusnya ngga dibiasain.”

Aksa meliriknya cepat, lalu kembali menatap jalan. “Kamu peduli banget sama orang lain ya?”

Kirana tersenyum tanpa menoleh. “Menurutku, setiap orang perlu ada yang peduli sama mereka. Kadang, kita sendiri ngga sadar kalau kita butuh itu.”

Aksa terdiam. Kata-katanya seperti menembus lapisan dinding yang sengaja ia susun sejak lama.

---

Besoknya, Aksa datang ke sekolah lebih awal dari biasanya. Ia tak mengerti, tapi percakapan sederhana kemarin itu terus mengiang di kepala. Saat masuk kelas, Kirana sudah duduk membaca buku tebal.

“Kamu datang pagi,” komentar Kirana tanpa menutup bukunya.

“Cuma kebetulan,” jawab Aksa cepat. “Kemarin… makasih ya sudah dipayungi.”

Kirana mengangkat wajah, tersenyum. “Sama-sama. Lain kali jangan biasakan diri kehujanan sendirian.”

Entah kenapa, dada Aksa terasa sedikit hangat.

Belum pernah ada orang yang memberi perhatian seperti itu. Kebanyakan hanya menganggapnya cowok pendiam yang selalu menyendiri. Orang-orang seperti dia jarang dilihat. Tapi Kirana? Ia melihat.

Dan sejak hari itu, sesuatu mulai berubah.

---

Hari-hari berlalu. Aksa semakin banyak menghabiskan waktu dengan Kirana—di perpustakaan, di kantin, atau sekadar duduk mengobrol setelah jam pelajaran selesai. Dia mulai merasa tidak sendiri lagi, meski ia jarang berbicara banyak.

Suatu sore, saat mereka sedang membaca di perpustakaan, Kirana bertanya pelan:

“Kamu kenapa sih selalu keliatan ingin jauh dari semua orang?”

Aksa terdiam cukup lama sebelum menjawab, “Aku… ngga terlalu cocok sama keramaian.”

“Itu jawaban aman. Tapi aku tanya lagi,” Kirana menatapnya lebih dalam. “Kenapa kamu menjauh?”

Aksa menggenggam bukunya sedikit kuat. Jantungnya berdetak tak stabil. Ia jarang menceritakan hidupnya pada siapa pun.

“Terkadang… orang cuma datang kalau mereka butuh kamu. Dan saat kamu butuh mereka, mereka pergi,” jawab Aksa dengan suara nyaris seperti bisikan. “Aku pernah berharap sama seseorang, tapi akhirnya kecewa. Aku pikir lebih baik sendiri sejak awal.”

Kirana menutup bukunya. Wajahnya melunak, seperti menyimpan empati yang tidak dibuat-buat.

“Aku paham,” katanya. “Aku juga pernah merasa begitu.”

Aksa mengangkat mata, menatapnya ingin tahu.

“Ayahku meninggalkan keluarga sejak aku kelas 1 SMP,” Kirana melanjutkan. “Aku benci semua orang yang bilang ‘waktu akan menyembuhkan’ karena aku masih menunggu sampai sekarang.”

Aksa tak menyangka ada luka di balik senyum cerianya selama ini.

“Tapi,” Kirana menambahkan sambil tersenyum tipis, “kalau aku terus menutup diri, aku takut ngga akan pernah merasa lebih baik. Jadi aku berusaha membuka pintu pelan-pelan, walau kadang anginnya masuk terlalu dingin.”

Kata-kata itu membuat Aksa terdiam cukup lama. Saat itu, ia menyadari satu hal: Kirana bukan seseorang yang datang ke hidupnya untuk sekadar lewat.

---

Suatu hari, Kirana absen. Guru mengatakan ia tidak masuk karena sakit. Dan untuk pertama kalinya, Aksa merasa gelisah seharian. Ia menatap bangku kosong itu berkali-kali, berharap Kirana muncul dan mengucapkan sapaan kecil yang selalu membuat paginya tidak terasa buruk.

Sepulang sekolah, ia mengambil keberanian untuk membeli buah dan pergi ke alamat rumah Kirana—yang pernah ia dengar sewaktu mereka pulang bersama.

Ia mengetuk pintu pelan. Tak lama, Kirana muncul dengan wajah pucat namun tetap tersenyum.

“Aksa? Kamu ngapain di sini?”

“Cuma… mau nganter ini,” kata Aksa sambil mengulurkan plastik berisi buah.

Kirana terpaku, lalu menerima perlahan. “Makasih… kamu perhatian banget ternyata.”

Aksa merasa pipinya memanas. Ia mengalihkan pandangan. “Ya… ngga juga. Aku cuma…”

“Kamu peduli,” potong Kirana lembut. “Dan itu hal baik.”

Ada jeda penuh makna di antara mereka. Sunyi yang tidak canggung, melainkan sesuatu yang hangat dan nyaman.

Aksa akhirnya berkata pelan, “Kalau kamu butuh sesuatu… aku ada.”

Kirana menatapnya lebih lama, seolah ingin mengingat baik-baik ekspresi Aksa saat mengucapkan kalimat itu. “Aku juga,” ucapnya. “Aku ada buat kamu juga.”

---

Hidup tidak selalu memberi jeda untuk perasaan yang baru tumbuh.

Suatu hari ketika Kirana sudah kembali sehat, kabar menyebar di sekolah: ia diterima dalam program beasiswa luar kota yang sangat bergengsi. Semua murid mengucapkan selamat. Semua guru bangga.

Kecuali satu orang—Aksa—yang merasa seperti sebagian langitnya akan diambil.

Malamnya, mereka duduk di taman sekolah, seperti yang sering mereka lakukan. Lampu-lampu taman menyinari wajah Kirana yang terlihat sedikit muram meski semua orang berpikir ia seharusnya bahagia.

“Kamu akan pergi?” tanya Aksa tanpa memutar kata.

Kirana mengangguk pelan. “Bulan depan.”

Aksa menatap tangannya sendiri. “Berapa lama?”

“Setahun… mungkin lebih kalau aku diterima lanjutannya.”

Hening.

“Aksa,” Kirana memulai lirih, “Aku ngga pernah menyesal kenal kamu. Kamu berubah banyak. Kamu mulai membuka diri, mulai percaya sama orang lain. Itu semua karena dirimu sendiri. Aku cuma… mendorong sedikit.”

Aksa menggeleng. “Kamu lebih dari itu.”

“Kalau kamu tetap menutup diri setelah aku pergi?” Kirana tersenyum tipis. “Perjalananku jadi sia-sia dong.”

Aksa tahu ia harus bahagia untuk Kirana. Tapi hatinya belum cukup kuat untuk melakukannya.

“Apa kamu… bakal lupa sama aku?” Aksa bertanya, suaranya hampir pecah.

Kirana mengerjapkan mata pelan, lalu menatapnya dalam-dalam—tatapan yang akan selalu Aksa ingat.

“Gimana aku bisa lupa seseorang yang membuatku merasa pantas untuk terus mencoba?”

Tanpa berpikir panjang, Aksa memeluknya. Pelukan yang kaku pada awalnya, namun melembut perlahan saat Kirana balik memeluknya.

“Aku akan kembali,” bisik Kirana. “Dan kalau kamu masih mau, kita lanjut cerita yang sempat terhenti.”

Aksa menarik napas panjang, membiarkan rasa yang selama ini ia tahan mengalir bebas.

“Aku akan menunggu,” janjinya.

---

Hari perpisahan tiba. Kirana berangkat dengan bus, membawa koper dan ribuan harapan yang baru. Aksa berdiri di pinggir jalan. Mereka tidak bicara banyak lagi, karena kadang kata-kata hanya akan membuat hati berantakan.

Saat bus mulai melaju, Kirana membuka jendela dan meneriakkan—meski suaranya hampir tenggelam oleh deru mesin:

“Aksa! Jangan berhenti berkembang!”

Dan Aksa… tersenyum untuknya.

Untuk pertama kali, ia merasa masa depan bukan sesuatu yang harus ditakuti.

---

Sejak kepergian Kirana, Aksa mulai berubah. Ia aktif berinteraksi dengan teman sekelas, mulai bergabung dalam ekskul fotografi, mulai membuka diri pada dunia. Setiap langkah yang ia ambil, ia selalu ingat pesan Kirana:

Jangan biasakan sendiri. Izinkan orang lain masuk. Kamu layak diperhatikan.

Musim berganti, hujan kembali turun, namun kali ini Aksa berjalan dengan payungnya sendiri—payung yang ia beli setelah hari pertama Kirana meminjamkannya.

Kadang ia merindukan suara Kirana. Namun rasa rindunya berubah bentuk menjadi dorongan untuk terus maju, bukan alasan untuk mundur.

Ia sadar, perjalanan karakter bukan soal menemukan seseorang untuk bergantung sepenuhnya, tapi menemukan versi terbaik dirinya—bersama seseorang atau sendirian.

Dan ia berjanji, ketika Kirana kembali, ia akan menyambutnya bukan sebagai Aksa yang dulu, tapi sebagai Aksa yang sudah berani menatap dunia.

Karena kisah mereka, masih belum selesai ditulis.

Pesan moral:

Beranilah membuka hati dan memberi diri sendiri kesempatan untuk tumbuh, karena kita tidak selalu bisa berkembang sendirian.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Jangan Rapuh
bismikaaaaa
Cerpen
The unfinished sky
Bunny Secret
Novel
Gold
Habibie Ya Nour El Ain
Bentang Pustaka
Novel
Romansa Imaginer
Muhammad Arief Rahman
Novel
Bronze
Perawan Tiga Kali
Soh
Novel
Gold
Snow Flower and The Secret Fan
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Takdir Cinta di Bawah Langit Kelabu '98'
Mahindah
Novel
Bronze
Tetangga Manisku
Aspasya
Flash
Riang Dalam Hening
Akara Drawya
Novel
Gold
Love Cake
Bentang Pustaka
Novel
Sound Good
Jonem
Novel
gak ada
Ula
Skrip Film
Kau Mentariku
Andhika Yudistira Syah Putra
Skrip Film
Malam Mencari Pagi
Aneidda
Novel
Bronze
Pelangi Meet Awan
Senandung
Rekomendasi
Cerpen
TABOO
Bunny Secret
Cerpen
The unfinished sky
Bunny Secret
Cerpen
3 Sentimeter Perdetik
Bunny Secret