Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
The Supposer
2
Suka
289
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“Papa! Aku yakin tahun ini Sinterklas akan memberiku hadiah natal!”

Teriakan itu diiringi dengan suara langkah kaki cepat tak beraturan dari tangga kayu yang sudah reyot di rumah kami.

Adikku, Ilis, berlarian menghampiri Papa dan menceritakan tentang mimpinya yang bertemu dengan Sinterklas dengan mata berbinar. Ah! Aku tahu tatapan itu. Tatapan penuh harap pada apa yang seharusnya tidak diberi kepercayaan.

Aku memberengut kesal. Kupandang adikku yang masih becerita tentang mimpinya pada Papa, tak jauh dari tempat kami berada. Ah, ini yang paling menyebalkan. Mama dan Papa akan pergi selama satu minggu sedangkan Ilis tidak bisa tidur tanpa dongeng dan aku tidak mahir mendongeng.

Barang-barang telah selesai dikemas, mobil jemputan sudah menunggu di depan rumah dan mereka pun pamit. Tidak sulit untuk memberi pengertian pada adikku tentang kepergian mereka. Asal saat orang tua kami kembali nanti, ia mendapatkan imbalannya karena telah mandiri dan tidak menyusahkan Bibi Dorothy—dia terobsesi menjadi baik karena ingin mendapatkan kado spesial dari Sinterklas.

“Cobalah, dulu kau antusias mendengar dongeng, tidak mungkin dongeng hilang begitu saja dalam ingatanmu. Kau tak punya pilihan lain.” Itu kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Mama sebelum dia benar-benar pergi.

“Malam ini maukah kau menceritakan padaku kisah anak laki-laki yang tak pernah dewasa?” tanyanya tiba-tiba.

Aku mengerutkan alis untuk mengingat-ingat. Setahuku tidak ada dongeng yang berkisah tentang itu. Ah, ternyata aku benar-benar melupakan semua dongeng-dongeng masa kecilku.

“Mama pernah menceritakannya, tapi tidak sampai selesai,” ujarnya.

“Mengapa? Kau pasti tertidur sebelum ending,” dugaku. Ia menggeleng.

“Karena dongeng itu memang belum selesai. Penulisnya tidak menyelesaikan kisah itu. Kau lupa? Kau benar-benar lupa tentang kisah itu?” cecarnya.

“Apa sih maksudmu? Ya! Aku benar-benar lupa. Sudahlah, ayo kuceritakan kisah yang lain.” ujarku seraya menaiki anak tangga menuju kamar.

“Tidak! Aku hanya mau kisah itu! Aku sudah menantikan momen ini, di mana kau akan menceritakan kisah yang kau buat sendiri. Dongengmu! Aku ingin mendengarkannya langsung darimu!” rengeknya.

Aku terdiam sebentar. Tunggu. Apa katanya? Dongengku? Darimana ia membacanya? Aku yakin telah membakar bukuku itu di perapian. Tapi bagaimana bisa?

Aku menghela nafas. “Lupakan saja. Tidak ada dongeng malam ini sampai Ibu pulang.”

“Apa?! Tidak bisa begitu!! Kau sudah berjanji pada Ibu, bukan? Ibu bilang kau dengan senang hati mendongeng untukku!!” serunya.

“Ilis! Dengar! Dongeng itu tidak penting! Semua yang kau tau tentang dongeng, itu… i-itu….”

tidak nyata

Mengapa sulit sekali mengatakan itu pada Ilis? Dadaku terasa sesak dan tenggorokanku seakan tercekat. Padahal itu faktanya. Tapi melihat binar yang terpancar di mata Ilis, aku tak berdaya mengatakannya. Sebelum aku sempat memikirkan kata apa yang pantas kuucapkan untuk melengkapi kalimatku dan tidak melukai hatinya, tiba-tiba saja pria tambun bermantel merah jatuh dari perapian hingga api di perapian itu padam. Ia mengumpat sesuatu kepada bokongnya, kurasa.

Seketika aku dan Ilis berteriak. Bedanya aku berteriak ketakutan melihat pria berjenggot putih itu sedangkan Ilis tampak girang, ia menyebut-nyebut “Santa Nicholas! Santa Nicholas!!” tanpa curiga sedikitpun pada pria asing itu.

Sebelum aku sempat memikirkan apa yang seharusnya kulakukan, tiba-tiba saja pria tambun itu melepas jubah merahnya dan yang kulihat selanjutnya adalah ternyata pria tambun itu adalah kawanan kurcaci yang saling menggendong. Mereka mulai menyebar, tubuh kerdil dengan topi kerucut di kepalanya bergerak gesit untuk memblokade adikku.

“Lepaskan dia!” seruku.

Namun para kurcaci itu tak mendengarkan. Beberapa dari mereka malah menghampiriku dan menahan kakiku agar tidak kemana-mana.

“Maaf, mungkin pertemuan ini terlalu tiba-tiba Miss, tapi di sana kami membutuhkan bantuanmu. Keadaan di Myra sudah tidak terkendali,” ujar salah satu kurcaci itu.

Mereka mengikat aku dan Ilis, membawa kami ke tangga menuju kamarku. Setalah sampai di sana, mereka membuka jendela kamar dan bersiul. Samar-samar aku mendengar suara lonceng, semakin lama semakin jelas dan pada saat itu lah aku melihatnya. Aku melihat Sembilan rusa kutub dengan kereta luncur yang biasanya hanya ada di buku dongeng itu menghampiri kami. Mereka terbang, mengambang di hadapan kami. Para kurcaci melepas ikatan di tubuhku dan adikku. Beberapa dari mereka naik ke kereka luncur itu lebih dulu dan membantu kami menaikinya dengan hati-hati.

Aku masih tidak percaya akan hal ini. Apakah ini mimpi? Bagaimana bisa para kurcaci ini menjemputku dengan kereta natal yang biasanya dipakai oleh Sinterklas? Bahkan kini aku dan adikku tengah memandang pendar-pendar cahaya lampu dari pedesaan di bawah sana. Aku menampar pipiku berkali-kali untuk menyadarkan diri bahwa ini hanya mimpi. Namun bukanya terbangun, aku malah merasakan sakit atas tamparanku sendiri. Mungkin saja pipiku sudah merah karenanya.

“Permisi, ada yang bisa menjelaskan kita akan kemana?” tanyaku pada para kurcaci itu.

“Kita akan ke Myra, Miss. Tepatnya ke Festival Pertempuran Ratu Yule dan Santo Nicholas. Keadaan sangat genting. Para pendukung dua kubu tidak ingin saling mengalah tentang siapa yang menjadi pemenangnya tahun ini. Jika tidak dilerai, habislah kami semua," jawab salah satu kurcaci itu.

“Tunggu! A-apa?! Lalu apa hubungannya semua itu dengan kami?! Kalian mencoba menjadikan kami umpan, begitu? Bisa-bisanya membawa kami ke medan pertempuran! Oh, aku tak percaya kurcaci bisa selicik ini. Aku ingin kembali. Antar kami pulang!” racauku.

“Tidak, bukan begitu, Miss. Pertempuran itu jauh dari bayanganmu. Sangat jauh! Karena kau adalah Sang Pengandai. Kau harus mendongeng untuk semua rakyat Myra. Itu satu-satunya cara untuk melerai mereka.”

“Apa katamu? Sang Pengandai?” tanyaku masih tidak percaya.

“Kakak tidak tahu? Itu sebutan untuk penulis dongeng,” jawab Ilis.

“Lebih tepatnya, orang yang menciptakan dongeng. Menjadi Sang Pengandai memang harus mendongeng di hadapan rakyat Myra karena semua dongeng berasal dari sana. Beruntung kau hadir di waktu natal ini, Miss. Kalian bisa melihat pertunjukan Ratu Yule dan Santo Nocholas sekaligus mendongeng. Natal tahun ini akan menjadi natal terbaik sepanjang masa.”

“Lihat! Kita sampai!” seru Ilis seraya menunjuk kerumunan orang yang mengenakan syal serba hijau dan serba merah. Terdengar sangat jelas mereka saling mengumpat satu sama lain.

“Orang-orang bersyal merah adalah pendukung Santa Nicholas sementara yang hijau pendukung Ratu Yule. Sepertinya pertunjukan dari Ratu Yule maupun Santo Nicholas telah usai.” ujar salah satu kurcaci yang sedari tadi berbicara pada kami.

“Sinterklas!! Lihat Kak!! Di sana! Aku bisa melihat Sinterklas!!” seru Ilis antusias.

Aku menatap apa yang ditunjuk Ilis lamat-lamat. Ti-tidak mungkin. Semakin dekat, aku bisa melihat keseluruhan dari orang-orang di sana. Mereka bukan manusia—maksudku manusia normal—hanya beberapa dari mereka yang terlihat normal, selebihnya aku melihat makhluk setengah manusia dan setengah kambing atau manusia setengah kuda, manusia bertelinga panjang dengan rambut peraknya yang lurus, troll, raksasa hingga para putri duyung yang tampak duduk memerhatikan di pinggir danau. Di atas mereka, aku bisa melihat pria tambun bermantel merah, bertopi kerucut dan berjanggut putih panjang serta di samping pria—yang kuyakini sebagai Sinterklas—itu, aku melihat wanita tinggi berambut perak panjang dan memakai gaun satin bercahaya yang memperjelas siluet tubuhnya yang ramping dengan makhluk berbulu lebat berwarna seputih salju—mungkin itu beruang kutub—di dekatnya. Kuyakini sosok itu adalah Ratu Yule.

“Tunggu! A-aku bahkan belum mempersiapkan diri. Aku belum menyelesaikan dongengku, bahkan aku lupa!” Aku berujar panik.

Jantungku berpacu cepat. Bagaimana jika aku tidak bisa menceritakannya dengan baik? Bagaimana jika aku gagal melerai mereka? Bagaimana jika aku malah mengecewakan mereka?

Dalam kepanikan itu, aku merasakan sentuhan lembut di tanganku. Ilis tersenyum, senyum yang menenangkan. Ia menggenggam tanganku yang dingin dengan telapak tangannya yang hangat.

“Aku yakin kau pasti bisa. Aku menantikan dongeng darimu. Kami semua,” bisiknya tenang.

Para kurcaci telah mendaratkan kereta luncur tepat di depan Sinterklas dan Ratu Yule. Tiga dari mereka meniup terompet yang memekakkan telinga hingga para warga Myra menghentikan umpatan mereka dan memerhatikan kami. Aku kembali gugup ditatap mereka. Satu kata yang dapat kutangkap dalam pandangan mereka adalah: heran.

Ya, mereka sudah pasti heran atas kedatanganku yang tiba-tiba, di tengah-tengah Ratu Yule dan Sinterklas, pula!

“Sang Pengandai telah tiba! Dongeng baru akan dikisahkan dan dunia baru akan lahir!” seruan dari Sinterklas membuat rakyat Myra bisik-bisik sambil menatapku.

“Sang Pengandai baru!"

“Benarkah dia?”

“Muda sekali!”

“Dongeng seperti apa kira-kira?”

Begitulah bisikan-bisikan yang aku dengar. Ratu Yule memegang pundakku, mengisyaratkan aku untuk berdiri. Aku menatap Ilis sekali lagi. Ia tersenyum kemudian mengangguk meyakinkanku. Baiklah, ini sudah saatnya, bukan? Aku menghela napas pelan, kutatap rakyat Myra yang sudah diam, menungguku untuk memulai cerita.

“Diceritakan ada 3 orang anak yang bernama Wendy, John dan Michael Darling. Setiap sebelum tidur, Wendy menceritakan kepada dua adiknya tentang kisah anak laki-laki yang tak pernah dewasa.”

Aku berhenti sebentar, memandang takjub atas ilustrasi dari ceritaku yang dibuat oleh Ratu Yule dan Sinterklas.

“Anak laki-laki itu bernama Peter Pan. Ia tinggal di sebuah tempat bernama Neverland yang penuh dengan petualang, keseruan dan keajaiban. Di sana para peri tinggal dengan nyaman di puncak pohon, begitu juga dengan para putri duyung di laguna dan suku indian asli yang tinggal di tebing. Namun ada satu yang tidak bahagia di Neverland. Orang itu adalah Kapten Hook. John dan Michael sangat menyukai kisah itu. Tanpa mereka sadari di sisi lain dari jendela kamar mereka, Peter Pan selalu mengintip, ikut mendengarkan kisah tentang dirinya sendiri—

Suatu malam, bayangan dari Peter Pan membuat ulah. Peter Pan berusaha menangkapnya dan membuar suara gaduh di kawar Wendy, membuat gadis itu terbangun dan terkejut. Peter Pan mengajak Wendy untuk pergi ke negerinya, Neverland. Bersama John dan Michael mereka pergi ke Neverland setelah Peter mengajarinya terbang dengan serbuk peri. Mereka jatuh cinta pada Neverland, cinta pandangan pertama—

Bersama Peter dan Tinkerbell, Wendy beserta kedua adiknya menyusuri negeri itu. Berpetualang, berkenalan dengan suku indian dan juga bertarung dengan Kapten Hook. Pikiran mereka bebas. Wendy tidak perlu lagi memikirkan kekhawatirannya menjadi wanita dewasa. Di Neverland hanya ada keriangan. Imajinasi tumbuh liar di sana. Namun Wendy sadar. Ia tidak bisa selamanya tinggal di Neverland. Meski ia sangat senang bisa melakukan banyak hal, diam-diam ia merindukan keluarganya—

Ia harus pulang bersama kedua adiknya. Menghadapi ketakutannya, menjalani kewajibannya untuk sekolah, bekerja atau mungkin menikah. Peter dengan berat hati melepaskan Wendy. Ia mengantar Wendy dan kedua adiknya kembali pulang. Wendy tidak bisa meninggalkan keluarganya dan Peter tidak bisa meninggalkan Neverland. Mereka berpisah. Tapi tidak apa, Wendy akan selalu menceritakan kisah Peter Pan kepada adik-adiknya, anak-anaknya, atau bahkan cucu-cucunya hingga kisah itu tetap abadi. Dan mereka semua pasti tahu bahwa semua anak-anak akan beranjak dewasa, kecuali satu: Peter Pan.”

Aku menghembuskan napas lega karena telah berhasil menyelesaikan dongengku sepenuhnya. Ilustrasi magis yang telah dibuat oleh Sinterklas dan Ratu Yule luruh berganti salju. Mereka semua terdiam. Suasana mendadak hening. Apakah aku gagal? Apakah mereka tidak menyukai akhir dari dongengku?

Namun tak berselang lama aku mendengar suara tepuk tangan dari seseorang.

“Hey, kalian tidak bertepuk tangan untuk kisahku? Wah … payah!” gerutu sebuah bayangan hitam yang berdiri di atas atap salah satu rumah warga.

Kami semua menoleh ke asal suara. Bayangan itu makin lama makin mendekat, dan keluarlah dia! Sosok anak laki-laki berambut pirang tanpa alas kaki. Ia melompat dari atap dan terbang mengitari kami kemudian mengambang begitu saja di depanku—membelakangiku.

“Semuanya perkenalkan! Peter Pan si bocah yang tak pernah dewasa!”

Setelah seruan dari Sinterklas, sontak para rakyat Myra bersorak gembira, mereka bertepuk tangan antusias dan bahkan mereka yang tadinya berkelompok antara syal merah dan syal hijau kini membaur menjadi satu. Mereka terlihat seperti titik-titik hijau dan merah secara acak, saling merangkul dan tertawa bersama ada juga beberapa dari mereka yang saling bertukar syal.

“Salam kenal semuanya!” seru Peter Pan sambil menyalami mereka semua dengan sangat cepat kemudian kembali lagi ke atas, ke hadapanku.

Ia menatap mataku lamat-lamat dan berkata, “Terima kasih telah menciptakan aku, Wendy,” ujarnya kemudian mengecup punggung tanganku sekilas. Setelahnya ia terbang lebih tinggi, melambaikan tangan pada kami lalu tak terlihat lagi.

“Kemana dia pergi?” gumamku.

“Tentu saja ke tempatnya. Neverland,” jawab Ratu Yule.

“Ternyata semua ini nyata.”

“Hohhohoo tentu saja. Karena ada Sang Pengandai yang menciptakan kami. Semua rakyat di Myra adalah dongeng yang diciptakan mereka. Setiap kali Sang Pengandai hadir membawakan dongengnya, saat itulah dunia baru lahir. Beruntung sekali Sang Pengandai yang menuliskan kisah kalian.” Kini Sinterklas yang menjawab dengan sorot mata menerawang, seakan sedang mengenang dongeng tentangnya.

Ratu Yule mengangguk setuju. “Kau benar.”

“Baiklah semuanya, waktunya pulang! Lambaikan tangan kalian pada mereka! Mereka akan pulang sebentar lagi," ujar Sinterklas.

Mereka melambaikan tangan pada kami. Aku dan Ilis saling pandang kemudian tersenyum sebelum membalas lambaian mereka. Kini para kurcaci yang sebelumnya mengantar kami sudah turun lebih dulu. Mereka berlari kecil menghampiri seorang wanita cantik dengan mahkota di atas kepalanya yang kuyakini ia adalah Putri Salju.

Tempat pengemudi digantikan oleh Sinterklas. Adikku berteriak kegirangan.

“Santa Nicholas!” pekiknya tak percaya.

“Hohhoo aku tau kau penggemar beratku, kau bisa memanggilku Paman Nick kalau kau mau, dan aku akan mengantarkan kalian,” ujarnya ramah sambil menepuk pelan puncak kepala Ilis.

“Hey! Tunggu!! Tunggu dulu! Aku ingin bicara!!”

Seruan itu membuatku menoleh ke belakang dan kudapati sosok anak laki-laki yang bersetelan corduroy berlari mengejar kereta luncur dari bawah.

“Euh… Santa? Bisakah kau berhenti dulu? Tampaknya anak itu ingin bicara,” pintaku.

“Apa pun yang kau mau, Miss.”

Setelah kereta luncur berhenti, aku berteriak pada anak laki-laki itu dan bertanya apa yang mau ia bicarakan.

“Ak-aku … aku James Mattew Barrie, kau boleh memanggilku apa saja.” teriaknya dari bawah.

Aku terkekeh melihatnya kesulitan mengatur napas dan berbicara dengan terburu-buru.

“Baiklah Barrie, apa yang mau kau katakana?” tanyaku setengah berseru.

“Apakah … apakah aku boleh menjadikan kisah itu sebagai naskah drama untuk tugas kelulusan sekstrakulikuler di sekolahku? Kalau kau keberatan—

“Ya! Boleh saja! Aku tidak keberatan!” seruku untuk mempersingkat waktu.

Senyum di wajahnya mengembang. Kereta luncur bergerak lagi. Aku melambaikan tangan padanya sedangkan ia melepas topi hitamnya dan membungkuk tanda hormat.

“Ini adalah kado natal terbaik yang pernah aku dapatkan,” ujar Ilis. Aku tersenyum membenarkan.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
The Supposer
Lail Arahma
Cerpen
Wacana Pengen Nyimeng
Ifan Reynaldi Yz
Cerpen
TIGA LUKA TARI,
Indira Raina
Cerpen
Bronze
Restaurant Jang Kie
Muram Batu
Cerpen
FISIKA oh FISIKA
Rian Widagdo
Cerpen
CAHAYA DI TENGAH BADAI
sangberuangtidur
Cerpen
Paduka Yang Mulyo
Kiiro Banana
Cerpen
Bronze
AKU PULANG, MAK
Citra Rahayu Bening
Cerpen
Bronze
Overtime
Aylanna N. Arcelia
Cerpen
Elegi Rinjani
Dini Apriani
Cerpen
Bronze
SUKA DUKA MENYAMBUT RAMADHAN
Muhammad Ghifar Annafi
Cerpen
Nala
Shofi
Cerpen
Bronze
Persimpangan di Stasiun Kereta
AnotherDmension
Cerpen
Bronze
TERBELAH
WN Nirwan
Cerpen
Catatan Harian Pak Treng
Rafael Yanuar
Rekomendasi
Cerpen
The Supposer
Lail Arahma
Cerpen
Kisah Kancing Nenek
Lail Arahma
Flash
A Rose and A Bride
Lail Arahma
Cerpen
Armaghan Knight and The Fertility Goddess
Lail Arahma
Flash
Dreamcore Room
Lail Arahma
Flash
Perspectives on Love
Lail Arahma
Cerpen
Cara Teraman Mencintaimu
Lail Arahma
Cerpen
Oiran and The Summer Crow
Lail Arahma
Flash
Sebuah Bayangan Mengusikku (surat 1)
Lail Arahma
Flash
In His Memories
Lail Arahma