Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
THE STORM CATCHER
By Fidiya Sharadeba
.
"Jade! Nathan!"
Seorang wanita berambut pirang bergelombang berlari melintasi halaman yang nyaris porak-poranda diamuk angin. Matanya mencari-cari dengan gelisah, meneliti gerakan terkecil apapun yang muncul di ladang jagung seberang jalan.
Awan gelap pekat menggantung di atas, kontras dengan langit putih terang yang mengintip di bawahnya. Bagian yang gelap tampak menjulur-julur turun ke bawah bagaikan kabut beracun yang mengancam.
Pakaian wanita itu berkibar-kibar tertiup angin. Kecemasannya berlipat ganda ketika suhu mendadak turun, diikuti batu-batu dingin yang jatuh dari langit.
Hujan es!
Wanita itu, Lauren, terkesiap ketika melihat gerakan awan hitam yang makin menjulur turun, mirip belalai gajah raksasa. Sejenak dia terpukau. Pemandangan itu indah, sekaligus mengerikan, membuat kakinya enggan bergerak.
Fokus! Dia harus segera menemukan anak dan suaminya. Siapa yang tahu akan mengarah ke mana pusaran angin tersebut?
"Mom!" jerit Jade. Gadis kecil itu tiba-tiba muncul dan menarik bagian bawah gaun Lauren. "Cepat turun ke--" Ucapan Jade terpotong.
Juluran awan hitam itu turun menyentuh tanah, berputar meliuk-liuk, menghamburkan debu dan batuan, serta menghancurkan benda-benda yang berada dalam lintasannya.
Ibu dan anak itu bisa saja menjadi korban tornado, seandainya Nathan, ayah Jade, tidak menyambar mereka dan membawa mereka lari berlindung di ruang bawah tanah.
Jade bisa mendengar raungannya ketika angin berpusar itu lewat di atas mereka. Pintu penutup ruang bawah tanah bergetar hebat dan tampak seperti akan lepas sewaktu-waktu.
Keluarga kecil itu meringkuk di pojok. Jade duduk diapit kedua orang tuanya yang membungkuk melindungi tubuhnya. Ayah Jade menggunakan sabuk untuk mengikat pinggang Jade pada pipa besi yang tertanam jauh di dalam tanah. Tidak ada salahnya berjaga-jaga.
Terdengar bunyi 'krak' keras dan gedebuk benda terbanting, disusul dengan bergetarnya pintu ruang tempat mereka berlindung. Pintu itu bergetar hebat seolah ada digedor dengan keras dari luar.
"Mom?" Jade mengintip dari balik lengan ayahnya. "Pintunya...."
Lauren balas menatap putrinya. Matanya memancarkan ketakutan. "Tidak apa-apa, Jade. Kita aman di si...."
BRAKK!
Mendadak pintu itu terlepas dan tersedot ke pusaran angin. Jade terbelalak menatap lubang menganga yang tadinya tertutup oleh pintu. Puing-puing terlontar masuk ke dalam tempat perlindungan, membuat pasangan tersebut kompak menrunduk demi melindungi tubuh kecil Jade. Suara jeritan Lauren berpadu dengan teriakan Nathan dan lolongan angin yang menderu-deru, hingga pada suatu titik, mendadak saja suara teriakan mereka menghilang. Lalu sunyi menyapa, disambut oleh isak tangis dari mulut Jade.
Hari itu, Jade kecil kehilangan dua orang yang sangat dicintainya. Puing-puing yang terlontar masuk telah merenggut nyawa keduanya.
***
"Sebetulnya, apa yang kau cari?" tuntut Jade, sepuluh tahun kemudian. Matanya menatap tajam sang lawan bicara, sementara tangannya sibuk mengelap meja counter.
"Foto awan badai dan tornado yang bisa menggetarkan hati orang," jawab Zach dengan mata berbinar.
Jade kadang merasa otak Zach sedikit miring. Dia bertemu Zach pertama kali di kafe tempatnya bekerja sambilan ini, tempat yang dikelola oleh keluarga angkat Jade.
Gadis itu mengumpulkan setiap sen yang diperolehnya, mengambil setiap shift yang dapat diisinya, demi mengumpulkan biaya kuliah. Keluarga angkat Jade sangat baik, tapi dia tidak ingin memanfaatkan kebaikan hati mereka. Apalagi, kini dia mempunyai tiga adik kembar. Semakin sungkanlah dia.
Jade mengelap counter sambil bergumam kesal. "Foto yang menggetarkan hati orang? Tunggu sampai kau terseret pusarannya, bukan hanya hatimu yang bergetar," omel Jade.
Pemuda itu tertawa. "Jangan khawatir, kami profesional. Coba lihat ini." Dia memutar laptopnya. Cukup banyak foto tornado berbagai skala terpampang di sana.
"Ini foto-foto yang berhasil diambil oleh tim kami," jelasnya.
Ada keterangan tempat dan waktu terjadinya tornado pada setiap gambar. Sebuah gambar menarik perhatiannya.
"Laurel, sepuluh tahun yang lalu?" bisiknya tercekat.
Zack menjulurkan kepalanya, melongok ke balik layar. "Oh. Foto itu diambil ayahku," gumamnya.
"Kau satu tim dengan ayahmu?" tanya Jade, heran. Sekian lama dia mengenal Zach, tidak pernah sekali pun dia bertemu dengan sang ayah. Hanya beberapa rekannya saja; si gondrong Mitch, Ralph yang berkacamata dan sedikit sinting, serta terkadang Belinda, mahasiswi cantik yang bergabung kala liburan.
Profesional, katanya? Yang benar saja.
Zach kembali duduk di kursi tinggi di depan meja counter, menyesap kopi yang nyaris dingin.
"Tornado di Laurel itu... mengambil tiga korban jiwa," ucapnya berat. "Sepasang suami istri warga setempat, serta seorang fotografer," jelasnya. "Dia ayahku," lanjutnya.
Mereka kedua orang tuaku, begitu Jade ingin menimpalinya. Namun, dia hanya menatap dalam diam, kemudian berkata, "Aku turut berduka cita."
Zach tersenyum dan mengibaskan tangan dengan asal. "Itu cerita lama."
Mereka terdiam selama beberapa saat. Cuaca sedang tidak baik di luar sana. Awan gelap menggantung di kejauhan, pepohonan tampak bergoyang tertiup angin kencang. Beberapa saat kemudian, melalui pintu kaca kafe, Jade melihat sesuatu yang membuatnya terkesiap.
"Ada apa?" tanya Zach, mengikuti arah pandang Jade. "Astaga, sejak kapan--" gumamnya terkejut.
Zach melompat dari kursinya dan mengambur keluar kafe. Di luar, awan makin pekat menggantung di utara, kontras dengan sisi lainnya yang masih terlihat cerah. Angin bertiup makin kencang, menandakan badai akan mendekat.
"Zach! Lihat itu!" Ralph berlari mendekat dari tempat parkir mobil. Dia menunjuk bagian bawah awan gelap yang mulai menjulur membentuk belalai.
Berpusar, turun, turun.... Menuju ke arah mereka.
Jade menyaksikan pemandangan itu dengan ngeri, begitu pula pengunjung kafe yang mulai berlarian ke luar. Sirene peringatan tornado yang mulai meraung-raung menyadarkan Jade. Dia berbalik dan berteriak sekeras-kerasnya.
"Ke basement, sekarang! SEKARANG!" teriaknya, berlari ke pintu kecil di bagian samping kafe.
Jade merunduk melindungi kepala dari benda-beda dan debu yang beterbangan. Dia menatap sekeliling, memastikan setiap orang yang melintas jalan itu sudah aman di tempat berlindung masing-masing, dan baru saja hendak turut masuk ketika melihat kedua orang itu.
Ralph dan Zach. Mereka seperti sedang berdebat. Zach bersikeras terus mengambil gambar. Dia bahkan menepis tangan Ralph yang berusaha menarik lengannya, seraya meneriakkan sesuatu tentang video.
Sepotong atap terbang ke arah mereka. Keduanya melompat menghindar, kemudian Jade melihat Ralph berlari ke arahnya sambil mengumpat.
"Masuk! Angin itu mengarah ke sini!" teriaknya panik, mendorong Jade hingga nyaris terjatuh ke dalam basement.
Hal terakhir yang dilihat Jade sebelum Ralph menutup pintu adalah hoodie merah terang yang dikenakan Zach melayang di angkasa. Bersama pemiliknya. Lunglai bagaikan boneka kain.
***
Angin itu meluluh-lantakkan sebagian besar kota di sepanjang garis lintasannya, sejauh sekitar 3 KM. Zach ditemukan cukup jauh dari tempatnya terakhir terlihat, sudah tak bernyawa.
Sungguh ajaib, ponsel yang digunakannya untuk merekam kejadian itu selamat. Videonya dirilis melalui akun mereka, memperlihatkan rekaman tanpa putus, dimulai sejak tornado terbentuk hingga saat monster angin itu menerbangkan Zach ke angkasa, berputar-putar dengan kecepatan 300 KM/jam....
Hingga jatuh terhempas ke tanah.
Jade mengusap wajahnya, duduk termenung di tempat pengungsian bersama keluarga angkatnya. Syukurlah, mereka semua selamat. Rumah mereka pun hanya rusak ringan, meskipun kafe mereka hancur berantakan.
Unggahan video itu mengundang banyak komentar, banyak yang menyukainya.
Jade tersenyum pedih. Apakah nya wamu sepadan dengan jutaan like, Zach?
-Tamat-
Tangerang Selatan, 14 Januari 2024