Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku terbangun karena gedoran pada pintu studio yang merangkap sebagai tempat tinggalku selama delapan tahun terakhir ini terdengar tidak santai. Sambil mengerang kesal karena harus meyibakkan hangatnya selimut di pagi yang dingin dan merelakan badanku yang terasa remuk ini untuk bangkit dari kasur yang nyaman sebab semalam aku begadang untuk ke sekian kalinya, setelah mencuci wajah sekenannya pada wastafel, aku bergegas membuka pintu sebab khawatir ia akan roboh kalau kubiarkan.
"Selamat pagi. Benar ini dengan kediaman Khevanstin Randika?" tanya seseorang bertubuh tegap tinggi dengan perut buncit. Ia mengenakan setelan kaos putih polos yang ketat, jeans panjang, sepatu kulit, dan jaket kulit hitam. Aku mengangguk sebagai jawaban. Ia lalu menunjukkan kartu yang entah apa itu namanya, yang jelas, di kartu itu ada keterangan bahwa ia adalah seorang polisi. Aku mengerutkan dahi, memangnya aku melakukan pelanggaran apa sampai didatangi oleh tiga orang polisi sekaligus. Yang satu kutebak adalah seniornya karena wajahnya paling tua, sementara yang dua yang masih muda pasti juniornya.
"Anda diminta untuk ikut ke kantor polisi sekarang," dua orang anak muda yang mengenakan pakaian sama santainya itu segera memborgol tanganku di saat nyawaku belum genap. "anda diduga sebagai tersangka pembunuhan karena foto sketsa wajah perempuan yang Anda unggah di sosial media tadi malam, sama persis dengan foto korban." Walaupun nyawaku belum genap, tapi aku masih waras dan bisa dengan cepat merespon apa yang mereka katakan. Aku meronta, mencoba menjelaskan bahwa aku bukan pelaku pembunuhan, lagipula aku tidak mengenal perempuan yang dimaksud mereka. Mereka salah tangkap orang! Tapi mereka seolah tuli. Aku tetap dibawa ke kantor polisi.
...
Seorang polisi muda yang tadi membawaku ke kantor polisi dan sekarang berakhir di ruang interogasi, kini duduk di hadapanku. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Adimas Prawira, salah satu anggota reserse kriminal, seorang detektif yang didapuk untuk memecahkan kasus pembunuhan seorang perempuan yang wajahnya mirip dengan sketsa yang aku gambar lalu aku unggah ke instagramku semalam.
Di sebelah kanan Adimas, duduk seorang polisi muda lainnya yang memperkenalkan diri sebagai Bagas Mandala yang duduk tegap dengan laptop di hadapannya, siap mencatat seluruh jawaban atas pertanyaan yang akan Adimas ajukan padaku.
Adimas menyodorkan hapenya yang menampilkan unggahan terbaru dari akun instagramku, yang membuatku berakhir di sini. Unggahan itu adalah sebuah sketsa sederhana seorang perempuan yang aku beri nama 'Dream Girl' sebab aku mendapatkan gambaran wajahnya dari mimpi singkat dan aneh semalam ketika tidak sengaja ketiduran karena terlalu lelah setelah menyelesaikan pekerjaanku, dan karena aku adalah orang yang langsung mencatat atau menggambar apapun yang terlintas saat itu juga, setelah mendapatkan mimpi tentang perempuan itu, aku langsung terbangun dan menggambarnya. Tiba-tiba saja mataku segar, padahal sebelumnya sangat berat untuk dibuka. Dan seperti sebelumnya, aku selalu mengunggah hampir semua gambar dan lukisanku ke satu-satunya sosial media yang aku punya, yaitu instagram. Setelah itu aku kembali tidur karena kantuk menyerang, tanpa tahu kalau sketsa perempuan yang aku gambar menjadi viral dan dibahas di banyak koran digital.
"Jelaskan pada saya, apa ini?" tanya Adimas. Kukira ia hanyalah junior bau kencur yang bersembunyi di balik jabatan orangtua atau seniornya, tapi ternyata ia cukup tegas. Tatapan dan nada bicaranya sama-sama mengintimidasi, tapi aku tidak takut sebab aku yakin tidak bersalah.
"Sebuah sketsa perempuan, seperti yang kamu lihat," jawabku tenang walau sekarang perutku terasa lapar.
"Mengapa kamu menggambar wajah perempuan ini?"
Aku membuat napas pelan. "Kalau aku jelaskan, apa kamu akan percaya?" aku balik bertanya, dan Adimas menaikkan kedua alisnya. "sebab yang aku jelaskan tidaklah logis. Kamu pasti tidak akan percaya. Sebab kalau kamu punya penafsiran sendiri soal aku dan kasus ini, maka penjelasanku tidak akan berguna."
Sepersekian detik setelah aku menjawab begitu, Adimas diam. Mungkin berpikir. Mungkin juga sedang mengendalikan emosi supaya tangannya tidak menampar atau menonjok pipiku. Karena walaupun aku tidak suka konflik, wajahku yang tengil ditambah penampilan yang seperti berandalan sebab punya banyak tato di kedua lenganku, membuat orang-orang tidak percaya kalau aku tidak melakukan tindak kejahatan sekalipun aku mengatakan yang benar. Selain itu, jawabanku jelas seperti menganggap remeh pertanyaannya. Apa yang aku jelaskan sebentar lagi adalah jawaban yang tak logis. Jelas tak ada yang percaya. Puluhan tahun aku pernah hidup satu rumah dengan Ayah yang selalu mencurigaiku, yang tidak percaya kalau aku tidak mencuri uang atau barang berharga miliknya di lemari, yang menuduhku tanpa bukti hanya karena aku bukan anak pandai di sekolah maupun di bangku kuliah, hanya karena aku merokok, mewarnai rambut, sempat punya tindik di atas alis, dan bertato. Aku bertemu cukup banyak orang yang tidak mempercayaiku karena tampilan luarku, jadi kalau Adimas jadi salah satu dari mereka, aku tidak kaget.
"Jelaskan sekalipun itu tak masuk akal," Adimas menjawab begitu pada akhirnya.
"Kamu yang memilihnya, kuharap kamu tidak menyesal," aku membetulkan posisi dudukku menjadi bersandar pada sandaran kursi. Kutatap Adimas dan Bagas bergantian sebelum akhirnya menjelaskan apa yang aku alami semalam. "Semalam aku baru menyelesaikan pekerjaan mengedit foto salah satu klien. Karena kelelahan, aku ketiduran. Lalu aku bermimpi. Dalam mimpi itu, aku melihat seorang perempuan datang ke studioku, dia bilang, dia ingin wajahnya dilukis, jadi aku melakukan apa yang ia lakukan. Setelah selesai aku lukis wajahnya, dalam mimpi itu dia langsung pulang sambil membawa lukisannya. Lalu aku terbangun karena merasa aku harus menggambar wajah perempuan itu. Bagiku, itu adalah sebuah ide. Aku selalu mencatat atau menggambar apapun yang saat itu terlintas di pikiranku, jadi aku langsung menggambar perempuan dalam mimpi itu di sebuah buku sketsa. Ada banyak gambar di buku sketsaku yang kudapat dari mimpi, jadi ini bukan yang pertama kalinya aku menggambar apa yang ada di dalam mimpiku, tapi ini adalah kali pertama gambar dari mimpiku berkaitan dengan dunia nyata. Ada beberapa gambar yang aku pindahkan ke kanvas, ada yang tidak, dan kebetulan gambar perempuan itu hanya ingin aku simpan dalam buku sketsa, lalu aku unggah gambar itu ke instagram seperti yang sudah aku lakukan pada sketsa atau lukisan-lukisanku yang lain. Setelah itu aku tidur." Aku dan Bagas berjengit kaget saat Adimas memukul meja tepat setelah aku menyelesaikan kalimatku. Sudah kuduga. Kalau aku jadi Adimas, aku juga tidak akan percaya dengan penjelasan tidak logis dari seseorang yang diduga kuat sebagai tersangka pembunuhan.
"Ini hanya khayalanmu belaka, Khev sialan! Kamu pikir ada yang seperti itu di dunia ini, hah?! Kamu mau aku percaya pada cerita sampah karanganmu supaya kamu bebas dari jerat hukum?!" Adimas lalu maju dan segera mencengkram kerah kemejaku. Bagas hanya melirik sekilas, tanpa berniat membantu. Aku menatap Adimas dalam diam dan ketenangan seorang pertapa. "hei, cecunguk, dengar, ya. Aku sudah menangani cukup banyak kasus sampai hapal dengan alibi para pelaku kejahatan. Jangan pernah bermimpi untuk bisa mengelabuhiku dengan alibi sampahmu! Paham?!" Adimas melirik pintu ruang interogasi yang dibuka oleh salah satu anggotanya. Pemuda yang berdiri di ambang pintu itu tidak menunjukkan reaksi kaget atau keinginan untuk memisahkan Adimas dan aku. Adimas juga tidak berusaha melepaskan cengkramannya dengan segera supaya imejnya tetap terjaga.
Adimas melepas cengkramannya dengan kasar. Ia menatap Bagas sekilas dan seolah paham dengan bahasa tubuh itu, Bagas mengangguk. Adimas keluar ruangan dan sekarang Bagas yang menggantikannya. Dibanding Adimas yang mudah terpancing emosinya, Bagas adalah orang yang lebih tenang.
...
Nadhira Baskoro, perempuan bisu dan tuli berusia 26 tahun itulah yang datang ke mimpiku, yang aku gambar pada buku sketsa, dan setelah dicocokkan oleh semua koleksi foto semi formal milik Nadhira di ponselnya, gambarku dan foto Nadhira yang asli sangat persis. Bahkan aku tidak sadar kalau menggambar sketsa wajah Nadhira dengan sangat detail, seperti menambahkan tahi lalat yang ada di pipi kanan bawah dan pelipis kirinya, juga membuat bibirnya terangkat sedikit ke sudut kiri atas ketika tersenyum, persis seperti kebanyakan foto Nadhira seolah senyum itu adalah ciri khasnya. Inilah alasan yang memberatkan alibiku.
Sudah dua hari aku mendekam di sel penjara yang satu ruangan dengan ruang kerja polisi sehingga aku bisa melihat bagaimana kegiatan mereka. Aku tebak, Adimas dan timnya sedang bekerja keras untuk membuktikan apakah aku bersalah atau tidak. Kalau tidak bersalah, sepertinya aku boleh keluar, walaupun setelah keluar nanti, hidupku tak akan sama.
Televisi di sudut ruangan menyala sejak tadi menyiarkan berita yang sama, yaitu tentang pembunuhan Nadhira Baskoro, salah satu anak bungsu dari keluarga pengusaha sekaligus konglomerat terkenal di negeri ini, keluarga Baskoro. Aku tahu keluarga Baskoro, tapi tidak mengenal mereka secara pribadi. Keluarga besar Baskoro adalah orang mapan. Ada yang jadi pengacara, dokter, direktur rumah sakit, pengusaha di bidang properti, pengusaha tambang, pemilik pabrik makanan ringan, dan masih banyak profesi sukses lainnya. Kupikir, keluarga Baskoro tidak ada yang tidak jadi orang. Hampir semuanya menjadi orang penting, tapi soal anak bungsu mereka yang bernama Nadhira Baskoro, aku baru mendengarnya. Selama ini yang berseliweran di TV dan koran hanyalah kakak-kakak, saudara, dan sepupunya, nama Nadhira tidak pernah nongol di berita mana pun, kecuali artikel yang menyorot pembunuhannya yang keji.
Karena Nadhira diduga sengaja disembunyikan dari media oleh keluarganya karena bisu dan tuli, netizen menggiring opini dan menyebar cocoklogi yang mengatakan bahwa salah satu anggota keluarga Baskoro pasti ada kaitannya dengan pembunuhan ini mengingat Nadhira disembunyikan dari media dan menimbulkan tanda tanya, kenapa hal semacam itu harus dilakukan pada perempuan sebaik Nadhira? Dan karena tuntutan netizen yang sampai membuat petisi supaya pihak kepolisian menyelidiki satu per satu keluarga Baskoro, aku yakin Adimas dan timnya sedang sibuk. Mungkin anggota timnya bertambah supaya memudahkan penyelidikan.
Aku tidak bisa berpendapat banyak soal netizen yang mengarahkan tuduhan pada keluarga Baskoro, karena selama tersangka sebenarnya belum ditemukan, cukup wajar bagi seseorang untuk mencurigai orang-orang di sekitar Nadhira.
Ketika hari semakin malam, kantor polisi semakin sepi dengan sebagian besar dari mereka telah pulang. Yang tidak pulang hanyalah Adimas dan timnya. Mereka bekerja seperti orang gila. Wajar saja. Mereka dituntut atasan karena pembunuhan ini terjadi di wilayah kerja mereka, dituntut pula oleh kepolisian pusat yang kalau belum juga memecahkan kasus ini maka akan diambil alih oleh mereka dan itu akan membuat imej kantor kepolisian daerah ini jelek, belum lagi tuntutan dari masyarakat entah yang aktif di sosial media maupun yang tidak.
Karena mengantuk, tidak butuh waktu lama bagiku untuk tidur. Di dalam tidurku, aku bermimpi. Kali ini bukan Nadhira yang datang, melainkan potret seorang wanita berusia 30-an tersenyum sedih ke arahku kemudian menghilang.
....
Kegiatanku di penjara tidaklah banyak. Hanya buang air, melamun, tidur, bangun untuk senam pagi dan sarapan, membuat kerajinan, lalu kembali ke sel. Aku rindu aroma studio dan kopi hitam panas yang selalu aku seduh setiap kali akan melukis atau mengedit video maupun foto dari klien.
Aku mendongak untuk menonton berita dari TV yang baru saja dinyalakan. Berita tentang kecelakaan kereta api adalah pembukanya. Lalu dilanjutkan dengan kasus pembunuhan yang volumenya langsung dinaikkan oleh salah seorang polisi junior yang kikuk. Aku menyimak dengan seksama, lalu membulatkan mata saat foto korban ditampilkan di layar TV. Refleks, aku langsung maju memegang besi-besi panjang yang mengurung selku dengan kedua tangan yang mengeras. Tubuhku gemetar dan sekarang aku merasakan kalau perutku mual. Tiba-tiba saja aku diserang oleh sebuah ketakutan besar.
Foto korban pembunuhan itu adalah seorang perempuan berusia 30-an, yang persis sama seperti yang datang ke mimpiku semalam.
Aku berteriak pada mereka, meminta siapapun yang mendengarku untuk mengantarkan aku pada Adimas, atau siapapun anggota timnya. Melihat aku yang mulai mengamuk, salah seorang sipir junior yang takut-takut akhirnya membukakan pintu selku. Dia menemaniku bertemu Adimas di ruangan yang biasa dipakai oleh timnya untuk berdiskusi.
"Jangan coba-coba kabur dengan alasan ke kamar mandi atau akan kucongkel kedua matamu," aku mendengar salah seorang polisi entah siapa, berkata begitu ketika aku dan sipir junior meninggalkan sel.
Belum sempat aku sampai di ruangan Adimas, sosok itu sudah berjalan cepat bersama anggotanya, kutebak ia akan segera menuju TKP untuk menyelidiki kasus pembunuhan yang kedua yang sialnya terjadi di wilayah kerja Adimas.
"Adimas! Aku melihatnya!" aku langsung berucap dengan lantang, membuat Adimas menghentikan langkah tetapi tetap menyuruh anak buahnya lebih dulu berangkat sebab ia akan menyusul setelah bicara denganku.
Sipir junior tadi disuruh Adimas untuk menjauh, tapi tidak meninggalkan lorong dimana aku dan Adimas sedang bicara.
"Apa yang kamu bicarakan?" tanya Adimas tajam.
"Semalam ... semalam aku mendapat mimpi. Wajah perempuan yang pagi ini menjadi korban pembunuhan muncul di mimpiku. Aku berani sumpah bahwa aku mengatakan yang sebenarnya! Kamu harus percaya! Bagaimana kalau pelakunya adalah orang yang sama yang telah membunuh Nadhira? Bukankah itu artinya ini pembunuhan berantai? Kita harus mencegah ini. Aku bisa membantumu. Apapun itu, katakan saja. Aku akan membantu sebisaku."
Adimas langsung menonjok tulang pipiku yang kanan. Sekarang ia berdenyut dan perih. Tapi aku ketakutan oleh apa yang aku lihat di mimpi semalam. Tidak takut sama sekali kalau Adimas akan membuatku babak belur.
"Kamu membuang waktuku yang berharga. Persetan dengan mimpi sialan yang kamu alami, cecunguk! Mimpimu bukanlah bukti yang valid! Kamu hanya berhalusinasi sebab ini kali pertama kamu mendekam di penjara. Aku tidak peduli dengan karanganmu, bodoh!" Setelah itu, Adimas melesat seperti angin.
....
Setelah mendapatkan mimpi yang kedua tentang perempuan korban pembunuhan selanjutnya yang kuketahui bernama Renata Kesuma, aku sempat berpikir untuk tidak mau tidur, tapi setelah kupikir-pikir, egois sekali kalau aku tidak tidur. Kalau aku tidak tidur, aku tidak akan bermimpi, siapa tahu aku mendapatkan mimpi tentang wajah-wajah sedih orang lain yang akan jadi korban selanjutnya. Kalau aku bisa menggambar wajah mereka sesaat setelah aku mendapatkan mimpi, maka aku bisa mencegah pembunuhan itu terjadi selagi aku masih di kantor polisi. Maka dari itu, malam ini aku tidur lebih awal dan kedua tanganku menggenggam beberapa lembar kertas HVS dan sebuah bolpoin.
Sedikit yang aku ketahui dari corak pembunuhan Nadhira dan Renata, ternyata mereka dibunuh dengan cara yang sama tapi tidak serupa. Nadhira mendapatkan banyak luka tusukan yang tidak dalam, mengindikasikan kalau pelakunya tak menyimpan dendam pada korban. Apakah itu artinya dia menikmati saat menusuk-nusuk tubuh Nadhira, sehingga ia hanya perlu membuat lubang tusukan yang dalam? Lalu pada hasil autopsi Renata, hanya ada luka tusukan di dada kiri dan satu luka tusuk di perut, yang mana lukanya cukup dalam, tapi apakah luka yang dalam bisa dikatakan bahwa pelakunya adalah orang yang menyimpan dendam pada Renata? Kalau iya, artinya pelakunya bisa jadi orang yang berbeda, tapi bagaimana kalau mereka adalah orang yang sama dan ini adalah awal mula pembunuhan berantai di daerah ini? Hanya saja, untuk menyamarkan dugaan kalau ini adalah pembunuhan berantai, bagaimana jika pelaku sengaja menggunakan senjata yang berbeda untuk membunuh? Sehingga tidak ada kesamaan motif yang bisa dilacak polisi. Sialan! Pembunuh biadab!
Karena kelewat lelah memikirkan teori-teori pada dua kasus pembunuhan dua perempuan malang itu, aku terlelap juga. Sejam kemudian, aku merasakan kalau aku mengalami fase deep sleep. Aku benar-benar tidak mendengar bising-bising suara di sekitarku. Suara nyamuk pun tidak. Dan di saat itulah wajah seorang perempuan berusia 20 tahunan awal muncul di hadapanku. Ia tersenyum sedih sembari mengeluarkan air mata. Aku terbangun dan segera menggambar wajah gadis itu sejelas-jelasnya yang aku bisa dengan sisa-sisa ingatan tentangnya.
Setelah selesai menggambar seperti orang gila, aku membangunkan salah seorang sipir yang tertidur di salah satu kursi yang mana ia memang ditugaskan untuk menjagaku oleh Adimas. Ia bangun dan membukakan pintu selku. Ia sempat melarangku ke ruangan Adimas karena sekarang ia sedang sibuk dan sebaiknya aku tidak menganggu, tapi aku bersikeras melangkah ke sana, sehingga mau tak mau ia mengikutiku supaya aku tidak kabur.
Aku membuka ruangan Adimas dan hanya dia yang belum terlelap. Keempat anggota yang terlelap dengan berbagai posisi kontan bangun karena kaget kemudian menoleh ke arahku. Adimas sudah terlihat akan mendorongku keluar, tapi tidak jadi karena aku menyodorkan gambar itu padanya.
"Terserah kamu percaya atau tidak. Kamu tidak akan percaya kalau tidak mengalaminya langsung, tapi inilah yang aku dapatkan. Aku tidak mendapatkan namanya. Hanya gambar dan perkiraan umur sekitar 20 tahunan awal. Temukan secepatnya apapun tentang perempuan ini dan lakukan sesuatu yang berguna untuk mencegah pembunuhan selanjutnya. Lebih baik mencegah daripada tidak sama sekali." Sebelum aku pergi, Adimas mencengkram kuat-kuat kerah baju tahananku, dan aku menatapnya nyalang, kali ini aku tidak takut kalau ia akan merontakkan seluruh gigiku. Aku hanya melakukan apa yang aku kira bisa membantu penyelidikan ini.
"Siapa kau sebenarnya, Khev?"
Aku tersenyum miring lalu menjawab, "Percaya atau tidak, aku juga sedang mencari jawabannya."