Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Terjangkit influenza di masa pandemic adalah mimpi buruk. Aku hanya flu biasa, namun orang-orang menjauhiku layaknya kotoran. Aku terpaksa mengurus diri sendiri. Yah, walaupun biasanya aku selalu sendiri. Tapi kali ini, rasanya aku butuh teman untuk menemaniku sakit.
Aku keluar apartemenku membawa sekantung sampah. Kata dokter, aku tidak boleh keluar selama 14 hari, dan ini baru hari ke 10. Aku tidak punya pilihan. Karena hanya ada aku dan Mario—Kucingku di rumah ini. Sayangnya dia bukan kucing super yang bisa ku suruh membuang sampah. Dia hanyalah Kucing oren penganut sekte rebahan. Terserang flu tidak cukup membuatku gila untuk menyuruhnya membuang sampah.
Aku memilah sampah berdasarkan jenisnya, lalu tanpa sengaja mulut sialan ini bersin. Dan lebih sialnya lagi saat itu dua orang sedang berlalu. Aku menoleh, dan mereka menyemprotku dengan antiseptic. Hei! Aku tidak terjangkit corona virus. Seandainya saja kalian tahu apa yang ku lakukan selama ini. Kalian pasti akan sujud syukur di hadapanku. Mungkin.
Aku adalah mahasiswa tingkat akhir di Seoul National University, jurusan Biophysics and Chemical Biology, yang sedang berjuang di laboratorium bersama para profesor berotak cerdas—mayoritas mengidap penyakit rambut rontok—untuk menemukan penangkal virus Covid-19. Selain aku, ada juga mahasiswa dari jurusan Virology dan Clinical Pharmacology. Kami bertiga sama gilanya dalam belajar dan dianggap cukup kompeten. Entah aku harusnya bersyukur atau menyumpah. Karena setelah bergabung dalam kelompok jenius ini, aku merasa menjadi yang paling bodoh dan yang paling tidak pantas berada di dalamnya.
Hal itu terbukti dengan jatuh sakitnya aku. Sebagai ilmuwan, sudah sewajarnya aku menjaga kondisi tubuh sebagai bentuk tanggung jawab dalam penelitian. Namun, aku justru mengacaukannya. Yah, mau sehebat apapun aku, aku tetaplah manusia, bukan? Sudah sewajarnya jatuh sakit. Mereka saja yang terlalu berlebihan. Menganggap diri superhuman hanya karena menjadi ilmuwan.
Sebenarnya, aku bersyukur jatuh sakit. Karena setidaknya aku bisa beristirahat selama 14 hari setelah kurang lebih 2 bulan lamanya diriku berkutat di dalam laboratorium. Dan kini, tersisa 4 hari lagi. Aku melihat kalender, di hari ke-15 bertepatan dengan festival musim semi di danau Seokchon. Aku sudah membayangkan agenda apa yang akan ku lakukan hari itu. Aku ingin merayakan hari pertamaku lepas dari masa karantina.
Sesuai keinginanku, aku memutuskan pergi ke danau Seokchon. Melepas penat sebelum kembali ke laboratorium. Untunglah flu yang ku derita sudah benar-benar hilang. Jadi aku tidak perlu khawatir lagi akan bersin di depan umum.
Danau Seokchon memang tak pernah gagal membuatku bahagia. Pemandangan di sini selalu bisa mengisi ulang hormon endorfinku. Aura semangatku selalu meningkat bila di sini. Tepatnya saat aku duduk di kursi pinggir danau sambil beratapkan pohon sakura. Kursi ini muat diisi oleh dua orang. Namun, sayang aku tak pernah datang bersama seseorang. Jangan khawatir. Aku tidak sedih. Pergi bersama pacar atau teman dekat adalah hal mewah bagi mahasiswa sains sepertiku. Kami cenderung lebih dekat dengan tabung reaksi dan larutan berbahaya ketimbang manusia.
Meskipun festival danau Seokchon tahun ini ditiadakan karena masa pandemic, tempat ini masih menyediakan pemandangan indahnya dengan pohon-pohon sakura yang bunganya serempak berwarna merah muda. Sungguh indah. Setidaknya musim semi tahun ini yang tidak seramai biasanya, tetap bisa mengobati luka dan kesedihan manusia di tahun 2020 yang tak berkesudahan. Doaku malam ini, semoga dunia lekas sembuh.
Tiba-tiba telingaku diserang gelombang sonik berlebih. Dengung menjalar dan aku menutup kedua telingaku sebab tak tahan oleh dengungan tersebut. Dan—saat suara dengung itu menghilang, suara aneh muncul menggantikan.
"Kim Sejeong-ssi." Aku menoleh. Tidak ada siapa-siapa. Di belakangku pun tak ada orang-orang. Sekelilingku mendadak sepi. Namun, anehnya suara itu semakin nyaring memanggil namaku. Bulu di sekujur tubuhku meremang. Aku merinding.
"Aku di sebelah kirimu." Suara itu ingin membodohiku. Jelas-jelas di sampingku tidak ada orang. Yang ada hanya pohon sakura.
"Aku di dalam pohon. Bantu aku keluar." Aku berteriak. Sebuah tangan tiba-tiba keluar dari pohon sakura. "Jangan takut. Aku bukan hantu." Terlambat. Aku sudah merasa takut. Manusia normal mana yang berani saat melihat hal seperti ini. Apa terserang flu membuatku memiliki kemampuan supranatural? Kalau iya, aku harus segera menelitinya. Bisa jadi ini virus baru. Sejeong! Jangan gila. Mana ada virus seperti itu. Yang ada setelah ini aku harus ke psikiater. Mungkin stres pasca karantina membuatku mudah berhalusinasi.
"Baiklah aku keluar sendiri." Aku ingin segera berlari. Namun, kakiku terasa kaku. Tubuhku seperti dipaku di tanah ini. Aku pun memilih menutup mata sambil berdoa dalam hati. Sebuah tangan terasa mengusap rambutku. Aku mengintip sedikit. Memastikan makhluk di depanku ini menapak tanah atau melayang. Dan ternyata masih menapak tanah. Aku membuka mata dan langsung bernapas lega.
"Astaga! Ternyata benar, aku hanya berhalusinasi," ucapku sambil menstabilkan deru napas.
"Tidak. Kau tidak berhalusinasi. Aku memang keluar dari pohon sakura," ucap laki-laki dihadapanku. Aku sontak mendongakkan kepalaku menatapnya. Ia tersenyum seolah yang diucapkannya adalah hal wajar. Sedangkan aku mulai memucat dan sepertinya akan segera pingsan.
"Sejeong-ssi!" teriaknya. Ah, aku sudah pingsan ternyata.
Aku kembali membuka mataku, dan pemandangan yang ku lihat bukan lagi danau Seokchon, bukan lagi bunga sakura dan gedung Lotte World. Yang ku lihat adalah langit-langit berwarna putih, meja belajar yang penuh dengan note-note. Serta dinding kamar yang di ubah menjadi papan tulis raksasa berisikan tulisan rumus kimia, fisika dan istilah-istilah biologi. Ini kamarku. Tunggu dulu. Bagaimana bisa aku berada di kamar? Ah, aku tahu. Pasti aku bermimpi aneh.
"Kau sudah bangun?" Suara itu lagi. Jadi semua ini nyata bukan mimpi. Aku kembali berteriak histeris. Perempuan mana yang tidak kaget melihat laki-laki di rumahnya. Terlebih laki-laki itu adalah manusia yang keluar dari pohon.
"Namaku Sehun, aku adalah manusia. Sama sepertimu."
"Pembohong."
Dia berjalan ke meja belajarku dan mengambil sebuah gunting. Dengan cepat mengiris sendiri lengannya. Aku sampai ngilu melihatnya.
"Hei. Apa yang kau lakukan?"
"Membuktikan bahwa aku juga manusia. Aku juga bisa terluka dan berdarah. Dan lukaku tidak langsung sembuh."
Aku memperhatikan lukanya. Benar. Lukanya tidak langsung sembuh. Justru semakin banyak mengeluarkan darah. Aku beranjak dari tempat tidurku dan mengambil kotak P3K. Aku tidak ingin darahnya semakin banyak mengotori kamarku.
Selagi aku mengobati. Dia menjelaskan siapa dirinya. Katanya dia adalah manusia dari tahun 2030 dan namanya Oh Sehun. Aku tidak bisa langsung mempercayainya. Namun, aku juga tidak bisa menganggapnya berbohong. Karena aku tahu, dunia memang sedang merancang sebuah alat yang bisa membuat manusia menembus ruang dan waktu. Aku hanya tidak percaya bahwa dunia ini dengan para ilmuwan ambisiusnya telah berhasil mewujudkan mesin waktu di tahun 2030. Aku pikir perlu berpuluh-puluh tahun lagi.
"Jadi, apa tujuanmu kembali ke 2020?"
"Aku ingin menyelamatkan dunia dari Covid-19."
Aku tercengang. Apakah mungkin dunia di 2030 sangat sekarat hingga harus kembali ke masa lalu dan memperbaikinya? "Apa di tahunmu, kondisinya buruk?"
"Sangat. Aku perlu bantuanmu, Kim Sejeong-ssi. Hanya kau yang bisa melakukannya."
"Kenapa aku?"
"Karena penelitianmu yang digunakan di masa depan sebagai penangkal virus."
Aku mengerutkan kening. "Kau tidak berbohong, kan?"
"Aku tidak berbohong. Benar penelitianmu yang digunakan. Sayangnya para ilmuwan terlambat menyadarinya. Hingga akhirnya cukup banyak memakan korban. Oleh karena itu, kau harus segera menyelesaikannya tahun ini. Sebelum terlambat."
Aku kembali mengerutkan kening. Sehun menarik napas sebelum kembali berucap. "Kau meninggal sebelum berhasil menyelesaikannya. Tepatnya 49 hari dari sekarang."
Aku ingin tertawa. Seorang pria aneh yang keluar dari pohon tiba-tiba mengatakan aku akan meninggal 49 hari lagi. Apa aku sedang syuting drama? Sutradara, benar naskahnya seperti ini? Sungguh ini hari yang gila. Pandanganku kembali memudar. Sepertinya aku akan pingsan lagi.
Aku memutuskan untuk percaya pada ucapannya dengan mempertaruhkan logikaku. Dia menawarkan diri membantuku menyelesaikan penelitian sebelum 49 hari. Bahkan Sehun telah menyuntikkanku serum anti virus agar aku tidak jatuh sakit selama bekerja. Aku pikir aku tidak akan mati setelah anti virus yang ku terima. Ternyata salah. Katanya aku meninggal bukan karena virus. Tapi, karena ledakan di laboratorium. Karena itu jugalah ia kembali ke masa lalu, untuk mencegah ledakan itu terjadi. Rasanya aku sudah benar-benar menjadi superhuman karena informasi masa depan yang ku dapatkan.
"Perhitunganmu salah. Gunakan persamaan ini," ucap Sehun. Jujur penjelasannya lebih mudah ku pahami ketimbang Prof. Shin. "Hati-hati saat meneteskannya. Kelebihan sedikit sangat berpengaruh." Sehun terus berbicara.
"Ya! Sudah ku bilang hati-hati," teriaknya saat aku tidak sengaja melakukan kesalahan. Demi Tuhan! Penjelasannya memang mudah dimengerti, tapi emosinya juga mudah meledak. Aku ingin sekali menanyakan umurnya setelah ini. Wajahnya terlihat lebih muda dariku untuk ukuran 10 tahun mendatang. Awas saja jika dia benar lebih muda dariku.
Sudah 20 hari Sehun mengikutiku. Selama itu pula dia menumpang di rumahku. Aku pernah mengusirnya, tapi dia beralibi tidak punya tempat tujuan selain rumahku. Dia juga tidak bisa pulang ke rumahnya, karena akan membuat dirinya yang asli terkejut. Aku tidak punya pilihan lain, selain menghela napas pasrah.
Aku melempar selimut baru untuknya tidur di sofa. "Sejeong," panggilnya yang entah sejak kapan tidak lagi memanggil namaku dengan bahasa sopan.
"Wae?"
"Selamat tidur," ucapnya sambil tersenyum. Satu hal yang telah lama ku sadari namun tak ingin ku akui. Dia tampan. Apalagi senyumnya. Aku terdiam sesaat. Lalu bergegas masuk ke kamarku.
Rutinitasku dengannya terus berulang. Bisa dikatakan penelitianku sudah berjalan 70%. Aku melihat jam tangan khusus miliknya yang menunjukkan sisa harinya berada di sini. Tersisa 10 hari lagi. Aku menghela napas. Aku khawatir tidak sempat menyelesaikannya.
"Kalau pun ini tidak selesai. Aku tetap akan menyelamatkanmu dari ledakan hari itu." Sepertinya ia sedang membaca pikiranku yang khawatir akan penelitian dan takdir kematianku. "Aku tidak akan membiarkanmu meninggal."
Entah setan apa yang sedang merasukiku. Aku tersentuh dengan ucapannya dan mataku mulai berair. Sehun kembali membelai kepalaku. Persis seperti pertemuan pertama kami di pinggir danau Seokchon. "Percayalah. Aku akan melindungimu."
"Sehun. Berapa umurmu?" aku kembali menanyakan umurnya.
"Kau tidak perlu tahu umurku sekarang," ucapnya lalu tersenyum.
Waktu benar-benar bergulir dengan cepat. Aku dan sehun sudah berada di hari ke-49. Hari kematianku.
"Jangan bekerja di Lab hari ini."
Aku melepas lengannya yang menahan lenganku. "Aku harus menyelesaikannya. Kau sendiri yang bilang bahwa penelitianku ini penting."
"Tapi kau akan meninggal jika berada di lab hari ini."
"Kalau memang takdirku meninggal hari ini. Aku tetap akan meninggal di manapun aku berada." Aku hampir menangis saat mengucapkan kalimatku sendiri. Sehun menatapku lirih. Namun, hal itu tak cukup untuk menghentikanku.
Akhirnya, dia memilih mengikutiku, dan mengecek segala macam hal berbahaya. Dia benar-benar memastikan tidak akan ada yang meledak hari ini. Aku memperhatikannya diam-diam. Hari ini adalah hari terakhirnya di sini, entah mengapa aku merasa sedih. Apa aku mulai menyukainya?
"Kau sudah selesai?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Kita berhasil. Aku—" belum selesai bicara, dia mendadak memelukku. Jantungku serasa melompat.
"Kita harus keluar sekarang!" Sehun menarik lenganku. Tiba-tiba suara ledakan terdengar dari laboratorium sebelah. Sehun mengajakku berlari. Kepulan asap semakin besar dan juga ledakan susulan. Saat di tangga, kakiku melemah. Sepertinya aku telah menghirup gas beracun. Akhirnya kami berhasil sampai di lantai dasar. Namun, aku baru sadar ranselku tertinggal. Ransel tersebut berisi laptop dan juga berkas-berkas penelitian.
Sehun menyuruhku menunggu di luar. Dia kembali berlari ke dalam gedung. Aku ingin menahannya namun tak memiliki tenaga dan berakhir pingsan. Saat membuka mata, aku sudah berada di rumah sakit. Orang tuaku menangis melihatku siuman. Aku melihat sekeliling, mencari sehun. Aku bertanya kepada ibu apa ada seorang pria yang ditemukan bersamaku malam ledakan itu. Namun, ibu menjawab tidak. Hanya ada aku seorang diri.
Satu tahun berlalu. Dunia sudah pulih. Penelitianku sungguh berhasil menjadi anti virus. Persis seperti ucapannya. Aku tersenyum saat menatap pohon sakura yang menjadi tempat Sehun muncul dulu. Sejak malam itu aku tak pernah lagi berjumpa dengannya. Aku tidak tahu apakah dia berhasil kembali ke masa depan atau tidak.
Aku berjalan menyusuri pinggir danau. Bunga sakura berguguran mengiringi langkahku. "Maaf," ucap seseorang yang tak sengaja menabrakku. Aku terkejut. Remaja laki-laki berseragam SMA yang barusan menabrakku adalah—Sehun.
"Sehun," ucapku tak sadar.
"Hah? Bagaimana anda tahu nama saya."
Aku kebingungan. Lalu menunjuk name tag di seragamnya. "Kau kelas berapa?"
"Kelas 12 dulu. Karena hari ini adalah hari kelulusan saya."
"Apa kau berencana kuliah?"
"Nde. Di—"
"SNU."
"Wah, bagaimana noona bisa tahu?"
"Terlihat jelas di wajah bahagiamu."
"Be-benarkah?" ucapnya malu-malu.
Aku tidak menyangka ternyata Sehun dari masa depan yang ku temui hanyalah seorang siswa SMA di masa kini. Pantas saja dia tak mau memberi tahu umurnya. Aku mengusap kepalanya sambil mengucapkan selamat. Sehun yang sekarang tidak mengenalku. Jadi, aku memutuskan untuk pergi saja dan akan menunggunya sembilan tahun lagi.
"Aku akan menunggumu. Sehun."
Sebagai pembaca saya suka dan akan mendukung untuk penulis semangat melahirkan cerita2 yg lebih bagus.🥰🥰🥰🥰🥰