Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Lihat wanita itu? Sangat membosankan dengan penampilan seperti itu. Gendut, buruk sekali." Teman satu meja di tempat kami nongkrong berbisik. Kami melirik mengikuti matanya tertuju.
Aku mengernyit. Buruk? Gendut? Mataku rasanya masih normal.
"Hey, itu bodyshaming!" kecamku.
"Fakta memang menyakitkan," tukas teman satu lagi sembari diiringi tawa kecil.
"Belum saja terperosok dan membuatnya terjebak. Meskipun begitu, kita melihat ketidaknormalan di diri wanita itu," lanjutnya.
Justru aku melihat hal sebaliknya. Perempuan yang mereka maksud, orangnya tinggi jenjang, putih, wajah full treatment, rambut keriting gantung, dengan outfit serba mahal. Lagi-lagi aku mengernyit. Tapi ini Negeri Wkwkland, di mana hal tak kasat bisa dilihat oleh orang-orang yang bebas lemak nista, seperti memiliki radar lie detector.
Mereka bebas saja menilai, selama itu mengandung fakta dengan cara unik dalam mengulik.
"Lihat saja, dengan lemak bergelambir, masih juga ingin menyesaki tubuhnya dengan lemak-lemak berkalori di sana. Seperti tidak ada puasnya. Seolah keharaman dapat tertutupi keharuman, seperti nama grupnya 'Ikatan Baby-sosialitah Lintas Samudra' alias IBLiS." Teman yang pertama makin menambahkan.
"Seandainya ada ketua yang diangkat untuk menaungi komunitas mereka, mungkin bergelar Ketua Kecantikan dan Kemapanan Ibu-ibu Keceh Ikatan Baby-Sosialitah Lintas Samudra, disingkat jadi KECEKIK IBLIS." Si teman kedua terus menimpali dengan celotehan yang menurutnya lucu, tetapi cukup membuatku gerah.
Lemak? Kalori? Bukannya perempuan itu memasuki toko perhiasan? Entah apa yang mereka lihat sebenarnya. Keharuman? Keharaman? Lantas keduanya menatap sinikal ke arahku.
"Coba, kau tanyakan pada ayahmu. Apakah kalian bebas lemak nista dan kenapa orang-orang menyeganimu? Benar segan atau hanya karena lemak menjijikkan yang kalian punya?" Disusul cekikian memuakkan bagiku.
Apa? Mereka juga mulai menyerangku. Sebelum aku membela diri, ponselku membunyikan notifikasi. Pesan singkat masuk.
[Ayah tidak pulang, Sayang. Love you.]
Ah, seperti biasa, seolah itu bukanlah hal aneh. Memang begitulah ayahku. Kerja ke seberang, pulang bawa uang. Hanya itu yang kutahu.
Sebelum menutup ponsel, aku mendapat notifikasi dari sebuah laman berita dengan tajuk,
"Licin seperti belut listrik, pengusaha yang tersangkut kasus korupsi akhirnya tertangkap, setelah 10 tahun menjadi DPO."
Terpampang foto di bawahnya, seorang lelaki paruh baya dengan gaya dan wajah yang tak asing bagiku.
Napasku sesak, melirik pada kedua teman ngopiku yang masih asyik berbisik-bisik sambil cekikikan.
Apakah mereka juga membaca laman berita yang sama? Mataku mulai bergerak tak tentu arah.
Apa yang mereka maksud dengan lemak nista? Pandanganku menyusuri setiap inci yang membaluti tubuhku.
Aku pun menyerah dengan sikap konyol mereka dan pamit terlebih dulu. Beberapa langkah di belakang, aku masih mendengar tawa mereka.
***
"Berita itu pasti salah." Aku mondar-mandir di rumah besar yang kini terasa lengang. Hanya beberapa petugas rumah.
Rasanya hilang semua selera makanku. Aku kembali membuka ponsel meski masih merasa paranoid. Beberapa laman media sosial menampilkan berita yang sama dengan headline berbeda.
Mediaseccond, "Seorang pengusaha yang menjadi DPO akhirnya tertangkap."
Mediahotdotcom, "Sang Belut berhasil dibekuk, setelah 10 tahun keluar masuk lubang kenikmatan."
Mediacitynews, "Konglomerat berlemak nista telah diborgol, akankah lemaknya berguguran?"
Media semakin tak berakhlak saja dalam membuat judul berita. Walaupun orang yang tersangkut terbukti bersalah, bukankah ia juga manusia? Berkali-kali aku menelusuri berita itu dan mencari kebenarannya. Benarkah itu berita tentang Ayah?
"Nona, saya mendapat perintah untuk membawamu ke sebuah tempat." Tiba-tiba suara serak milik Ranggawara mengejutkanku. Entah sejak kapan ia berada di depanku yang sibuk menggeser-geser layar ponsel.
"Ke mana dan untuk apa?"
"Ini perintah yang sudah Tuan rencanakan jika dirinya tertangkap."
Ranggawara adalah asisten pribadi Ayah. Aku ingin bertanya lebih lanjut, tetapi sepertinya ini bukan waktu yang tepat. Lelaki berkulit cokelat itu memintaku segera mengikutinya.
"Apa pendapatmu tentang berita yang menimpa Ayahku?" Rangga bergeming. Ia tetap fokus pada kemudi dan jalanan licin akibat hujan lebat semalam.
"Apa kau yakin Ayah bersalah?" Masih belum terdengar jawaban.
Hening. Hanya suara mesin mobil yang mendengkus di atas jalanan beraspal.
Tiba di sebuah jalan desa setelah melewati sebuah gapura, Ranggawara memarkirkan mobil di bawah pohon besar yang menyambut kami di desa ini. Aku seperti tak asing dengan rumah-rumah besar bergaya deco kuno. Ini pasti Desa Utan. Sungguh jauh berbeda dengan tempat tinggalku di Kota Emas. Orang-orang terlihat lebih modern dibanding dengan orang-orang di sini.
Rangga memerintahkanku untuk mengganti pakaian seperti halnya yang digunakan orang di desa ini. Aku mengernyit heran dan menolak.
"Hanya cara ini yang bisa menyelamatkanmu dari deteksi nista yang menempel di tubuhmu. Karena sebetulnya jiwamu masih bersih, hanya saja kasus ayahmu bisa menyeretmu pada penghakiman."
Aku tak paham, tetapi karena tak punya banyak pilihan akhirnya menurut saja. Lebih mengejutkan lagi. Rangga tak mengemudikan mobil menuju Desa Utan dalam, melainkan kami menunggangi alat transportasi di sini, kuda.
Di antara kekesalan dan tolakan dalam diriku karena harus terpaksa menerima keadaan, mataku ditakjubkan oleh keindahan tata desa ini. Semakin menuju Desa Utan dalam, semakin terlihat berbeda dengan yang tampak di luar perbatasan. Pohon besar berumur ratusan tahun menutupi bagian luar desa ini, persis seperti hutan. Kata Rangga, desa yang berada di wilayah kewedanaan ini sudah terjamah oleh teknologi canggih seperti sinyal telekomunikasi. Jadi, aku masih bisa mengikuti kabar Ayah melalui media sosial.
"Anda akan tinggal di sini dalam beberapa waktu sampai keadaan di kota tenang dan isu tentang ayahmu menguap. Baru anda bisa kembali atau akan ditentukan pilihan lain." Rangga membuka pintu sebuah rumah kecil di balik pohon besar yang tampak asri.
"Kau belum menjawab apa yang terjadi pada Ayah."
Aku menahan langkahnya yang membelakangiku.
Lelaki berambut klimis itu menoleh kiri-kanan, memastikan keadaan aman.
"Jebakan!" Ia menyeret lenganku ke dalam rumah.
"Konsekuensi sebuah kesepakatan dari sirkel ayahmu telah menyeretnya ke dalam isu itu."
Kami duduk di sofa ruang depan.
"Anda ingat wanita yang beberapa tahun lalu harus mendekam di penjara karena kasus yang sama dengan ayahmu?" lanjutnya. Aku mengangguk.
Semua orang ingat kasus perempuan yang divonis 12 tahun penjara karena isu pencucian uang dan proyek mangkrak sebuah wisma.
"Itu bukan kesalahan ayahmu seorang diri. Komunitas yang menaunginya, entah itu partai politik atau perusahaan perseroan, intinya yang berhubungan dengan petinggi negeri, akan selalu ada yang dikorbankan jika ulah mereka mulai tercium."
Aku masih berusaha mencerna penjelasan Rangga.
"Di sidang nanti, anda boleh datang. Ingat! Tetap dengan pakaian ini. Supaya terhindar dari pendeteksi kebohongan dari mata telanjang warga negeri ini."
"Aku rasa aku takkan datang, Rangga. Jangan menjemputku."
Lelaki itu mengangguk paham, sebelum benar-benar meningalkan Desa Utan.
***
Sidang pertama Ayah di lakukan di dalam sebuah lapangan. Aku berdiri di tepi bangunan paling atas dengan tembok pembatas berlubang. Dari celah lubang itulah aku dapat memantau jalannya sidang.
Setiap warga boleh menghadiri. Mereka akan melihat adakah kebohongan dalam sidang, atau pada tersangka, atau mungkin juga para hakimnya.
Sengaja aku tak memberitahukan Ranggawara jika akhirnya aku datang di sidang pertama Ayah. Di sana aku pun melihat dua teman yang terakhir nongkrong bareng di sebuah kafe. Mereka hadir untuk menyaksikan dan memberikan penghakiman jika ada kebohongan.
Hebatnya, para petinggi negeri di Wkwkland ini selalu luput dari pendeteksi kebohongan mata telanjang warga. Sebab mereka sudah melindungi diri dengan tuksedo berbalut kulit domba. Membuat mata warga kesulitan mendeteksi orang-orang itu. Justru kebanyakan menatap takjub dengan wibawa yang mereka citrakan.
Di sana, di lantai dasar yang seperti arena gulat gladiator, Ayah dihakimi dengan dalil-dalil yang cukup memberatkan. Tanpa ada seorang pun yang memberikan perlindungan. Meskipun ada, tidak mungkin membocorkannya. Bicara atau mati!
Fakta itu telah diatur sedemikian rupa sehingga penggiringan opini tergaung dari masyarakat untuk menghakimi Ayah. Dengan demikian, borok komunitas itu luput dari mesin pendeteksi kebohongan yang nyata.
Dalam balutan khas orang-orang Desa Utan, mataku benar-benar melihat kejernihan dan kebohongan itu.
Tak ada noda sedikitpun yang tergores di tubuh Ayah. Begitu juga dengan para hakim yang bertugas. Sementara sebagian orang-orang dalam balutan tuksedo membias dalam pandanganku, tidak jelas antara di sisi jernih atau hitam. Lalu, pupilku jelas melihat lemak hitam di seluruh balutan kedua temanku yang ternyata anak seorang pemangku jabatan tinggi negeri. Begitu juga Ranggawara yang selama ini mataku tak dapat melihatnya secara kasat. Nyatanya Ranggawara ada bersama orang-orang yang menjebak Ayah.
Benar-benar tidak ada yang dapat dipercaya, sedekat apa pun mereka dengan kita. Aku mengembuskan napas kasar.
"Pembohong teriak pembohong!" Tinjuku mengepal. Pertahananku runtuh, meluruh kristal yang kutahan sejak tadi.
Aku pun meminta Ranggawara untuk tidak menjemputku kembali ke Kota Emas yang nyatanya seperti sangkar kumuh.
***
Dibuat di Majalengka, 3 Maret 2023.