Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tawa anak-anak pecah, meledak di bawah terik matahari siang, mengalahkan bisingnya Jakarta yang selalu riuh. Di tengah lapangan becek yang dikelilingi tembok-tembok kusam, berdirilah sesosok pria dengan setelan badut yang kebesaran. Wajahnya dipenuhi riasan tebal, dengan bibir merah yang ditarik lebar ke atas, dan hidung bulat yang memerah. Ia adalah Om Badut, pahlawan kecil yang datang setiap Minggu.
"Mana suaranya?" teriak Om Badut, suaranya sedikit serak tapi penuh semangat. "Om Badut mau sulap! Siapa yang mau lihat?"
Anak-anak serempak menjawab, "Akuuuu! Aku mauuuu!"
Om Badut membungkuk hormat, membuat gerakan lucu yang mengundang tawa. Ia mengambil sebuah sapu tangan dari saku jaketnya, mengocoknya di udara. "Sekarang, sapu tangan ini akan berubah! Tapi Om Badut butuh mantra. Kalian tahu mantranya?"
Anak-anak saling pandang, lalu salah satu anak perempuan berambut kepang maju, "Mantranya apa, Om Badut?"
Om Badut meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, "Ssst! Ini rahasia. Mantranya adalah... bilang... simsalabim! Tapi harus keras-keras ya! Siap?"
"Siap!" jawab mereka.
"Satu... dua... tiga... SIMSALABIM!"
Anak-anak mengikuti dengan suara lantang. Om Badut membuka tangannya, dan di sana, bukan bintang yang muncul, melainkan seekor merpati mainan yang terbuat dari kertas. Wajah-wajah anak itu berubah dari tegang menjadi tawa riang.
"Horeee! Berhasil!" sorak Om Badut, ikut tertawa, tawa yang tak pernah ia tunjukkan di balik setelan jasnya yang mahal. Tawa itu tulus, datang dari relung hati terdalamnya.
Di tengah pertunjukan yang penuh keceriaan itu, Om Badut melihat salah satu anak kecil berdiri di sudut, matanya menatapnya tanpa senyum. Senyum Om Badut sedikit goyah. Ia tahu, di balik riasan cerianya, ia merasakan kesedihan yang sama. Ia melihat dirinya di dalam anak itu, sebuah jiwa yang sepi di tengah keramaian.
Dengan balon berbentuk bunga yang masih tersisa di tangan, Om Badut mengakhiri pertunjukannya. Setelah mengucapkan salam perpisahan, ia berjalan menghampiri anak itu. Suara riuh anak-anak di sekitarnya perlahan memudar, digantikan oleh keheningan di antara mereka berdua.
"Ini untukmu," kata Om Badut, suaranya lembut. Ia menyodorkan bunga balon itu. Anak itu ragu-ragu, tapi akhirnya mengambilnya.
"Kenapa tidak ikut bermain?" tanya Om Badut, suaranya dipenuhi empati. Anak itu hanya menunduk, memainkan mobil-mobilannya yang usang.
"Om Badut tahu rasa kesepian itu," lanjut Om Badut. "Kadang, saat kita merasa sangat sedih, dunia di sekitar kita terasa seperti panggung, dan kita hanyalah penonton."
Anak itu mengangkat kepalanya, menatap mata Om Badut yang tersembunyi di balik riasan. Di sana, ia melihat sesuatu yang familiar: kesedihan yang mendalam. Tanpa disadari, air mata Om Badut menetes, melunturkan sedikit riasan di pipinya. Anak itu terdiam, lalu dengan tangan mungilnya, ia menyentuh pipi Om Badut.
"Om Badut jangan sedih," bisiknya, suaranya sangat pelan. "Kalau Om Badut sedih, siapa lagi yang bisa hibur kita kayak gini?."
Kata-kata anak itu menusuk hati Om Badut. Ia mengangguk, lalu tersenyum lagi. Bukan senyum yang ia lukis di wajahnya, melainkan senyum tulus yang muncul dari hatinya. Ia memeluk anak itu erat, sebuah pelukan yang ia butuhkan sejak lama. Pelukan itu adalah pelukan yang ia rindukan, pelukan seorang ayah.
Keesokan paginya, Rendra terbangun di kamarnya yang mewah. Ia mengenakan setelan jas mahalnya, memakai dasi sutra, dan melangkah keluar rumah. Di kantornya, Rendra adalah sosok yang berbeda. Ia adalah seorang pemimpin yang disegani, yang membuat keputusan-keputusan penting. Ia tidak pernah menunjukkan kelemahan.
Pagi itu, ia langsung memimpin rapat dewan direksi di ruang konferensi. Di depan layar proyektor yang menampilkan grafik-grafik pertumbuhan, Rendra menjelaskan strategi ekspansi perusahaan dengan suara yang lugas dan berwibawa.
"Target kita untuk kuartal ini naik 15% dari kuartal sebelumnya," ucapnya, tatapannya tajam. "Kita perlu mengevaluasi kembali alokasi dana untuk proyek Martha Tower, dan memangkas biaya operasional di divisi pemasaran."
Seluruh ruangan hening. Para direktur dan manajer senior mencatat setiap kata-katanya. Di sampingnya, Bima, asisten pribadinya yang telah bekerja bersamanya selama sepuluh tahun, mengangguk setuju. Bima adalah salah satu dari sedikit orang yang bisa berinteraksi lebih leluasa dengannya, berkat loyalitas dan pemahamannya terhadap cara kerja Rendra.
Rapat berlanjut, membahas proyek properti terbaru. Rendra duduk dengan tenang, sesekali memberikan instruksi yang presisi. Tidak ada emosi yang terpancar dari wajahnya. Ia adalah mesin yang berfungsi sempurna, dirancang untuk menghasilkan keuntungan.
Saat jam makan siang tiba, Rendra memilih untuk tetap di ruangannya. Ia duduk di balik meja kerja raksasanya, menikmati makanan yang sudah disiapkan oleh Bima. Tak lama kemudian, Bima masuk, membawa secangkir kopi.
"Saya sudah siapkan laporan detail yang Bapak minta, Pak," kata Bima, meletakkan berkas di meja. "Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak?"
Rendra menghentikan makannya. Ia menatap Bima sejenak, wajahnya yang biasanya kaku sedikit melunak. "Tidak ada. Terima kasih, Bim." Ia kemudian terdiam sebentar, lalu melanjutkan, "Bagaimana keadaan anak kamu? Bukankah minggu lalu dia sakit dan dirawat di rumah sakit?"
Bima terkejut. Ia tidak menyangka Rendra akan mengingat hal pribadi seperti itu. Wajahnya yang tegang langsung berubah menjadi lega dan tersenyum. "Ah, Bapak ingat ya. Alhamdulillah dia sudah jauh lebih baik, Pak. Sudah di rumah. Sekarang sudah mulai aktif lagi, bahkan sudah bisa menendang-nendang bola. Sepertinya sudah tidak sabar untuk bermain di luar."
Hati Rendra berdenyut. Ia mencoba mengalihkan perhatiannya, berpura-pura fokus pada makanannya, tapi bayangan tawa anak-anak yang ia temui kemarin terus menari di pelupuk matanya. Ia teringat kembali bagaimana tangan mungil seorang anak menyentuh wajahnya.
"Alhamdulillah," jawab Rendra, suaranya nyaris tak terdengar. Ia mengambil minum dan menenggaknya, berusaha menutupi getaran dalam dirinya. "Itu... kabar baik."
Bima menyadari nada suara Rendra yang berbeda. Ia mengangguk pelan, seolah mengerti ada sesuatu yang tak bisa ia jangkau. "Saya permisi dulu, Pak. Kalau ada apa-apa, panggil saja."
Setelah Bima pergi, Rendra kembali ke ruangannya yang luas. Ia duduk sendirian, membiarkan keheningan menyelimuti dirinya. Ia menatap foto yang terbingkai di meja kerjanya—foto istrinya yang tersenyum hangat, dengan mata penuh cinta. Jemarinya menyentuh bingkai itu. Ia masih bisa merasakan kehangatan tangannya, janji-janji yang tak sempat terpenuhi, dan mimpi yang tak pernah terwujud.
Ia menghela napas. Ia merasa seperti robot, bergerak sesuai skrip yang sudah ditentukan. Pagi, siang, dan malam, ia adalah Rendra yang sukses. Namun, di dalam dirinya, ia hanyalah Om Badut yang kesepian, yang mencari arti dari tawa yang bukan miliknya.
Malam itu, Rendra tidak langsung pulang. Ia pergi ke sebuah galeri seni yang tenang, tempat ia sering mencari inspirasi, atau lebih tepatnya, pelarian. Ia berjalan melewati lukisan-lukisan abstrak, mencari makna dalam goresan warna yang tak beraturan. Namun, malam itu, tidak ada satu pun lukisan yang mampu mengalihkan pikirannya dari kerinduan yang membakar.
Ia duduk di bangku di tengah galeri, memejamkan mata. Ingatan tentang senyum anak-anak, bisikan polos yang menyentuh, dan pelukan hangat yang ia rasakan kemarin, terus berputar di benaknya. Ia merasa seperti ada dua bagian dirinya yang terus-menerus bertarung. Satu adalah Rendra yang kuat, dingin, dan logis; yang lain adalah Om Badut yang rapuh, emosional, dan penuh kerinduan.
"Pak Rendra?"
Suara itu mengejutkannya. Ia membuka mata dan melihat Bu Mira, pemilik galeri, berdiri di sampingnya. Bu Mira adalah seorang wanita paruh baya dengan aura hangat, yang sudah lama mengenal Rendra sebagai kolektor seni sekaligus pelanggan setia. Ia adalah salah satu dari sedikit orang di Jakarta yang melihat Rendra lebih dari sekadar CEO.
"Oh, Bu Mira," sapa Rendra, sedikit canggung. "Maaf, saya melamun."
Bu Mira tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, Pak. Saya sering melihat Bapak di sini, terutama di hari-hari kerja yang padat. Kelihatannya Bapak butuh tempat yang tenang." Ia kemudian duduk di samping Rendra. "Hidup ini memang aneh, ya. Ada banyak panggung yang harus kita naiki. Ada topeng yang harus kita pakai, tergantung peran yang sedang kita mainkan. Tapi kadang, di balik topeng itu, kita merindukan diri kita yang sesungguhnya, yang mungkin sudah lama terkunci."
Kata-kata Bu Mira bagaikan sebuah cermin yang memantulkan kondisi batinnya. Rendra menatapnya, ia tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, menyerap setiap kata yang diucapkan Bu Mira. Ada sorot kesedihan yang dalam di matanya yang biasanya tegar. Ia merasa kata-kata itu ditujukan langsung padanya, sebuah pengakuan tak terucap yang ia sendiri belum berani suarakan.
"Saya permisi dulu, Pak," ujar Bu Mira, seolah memahami bahwa Rendra butuh waktu untuk sendiri. "Semoga Bapak menemukan apa yang Bapak cari."
Setelah Bu Mira pergi, Rendra kembali menunduk. Ia merenungkan perkataan wanita itu.
Topeng. Merindukan diri yang sesungguhnya.
Dua kalimat itu terus berputar di benaknya. Ia sadar, ia telah membangun sebuah dinding yang begitu kokoh antara kedua dunianya, hingga ia sendiri kesulitan menemukan jalan untuk menyatukannya.
Malam itu, ia pulang ke rumah. Ia berjalan ke ruang bawah tanah, tempat ia menyimpan rahasianya. Ia membuka lemari, menyentuh setelan badut yang ia gunakan kemarin. Sebuah riasan wajah yang luntur masih membekas di sana. Ia menyentuhnya, membiarkan kenangan itu kembali.
Ia duduk di sebuah kursi tua di ruangan itu. Ruangan ini, meskipun berada di rumahnya, terasa seperti dunia yang berbeda. Di sini, ia bisa menjadi dirinya. Ia bukanlah seorang pengusaha. Ia hanyalah seorang ayah yang patah hati, seorang suami yang mencintai, seorang pria yang kesepian.
"Apa kabar, Nak?" bisiknya pada keheningan. "Ayah baru saja menghibur teman-temanmu."
Ia tahu ia tidak akan mendapat jawaban. Namun, entah bagaimana, kata-kata itu terasa begitu penting. Itu adalah satu-satunya cara ia bisa berbicara pada anaknya.
Dan di sinilah alasan mengapa ia melakukan semua ini, mengapa ia menjadi Om Badut. Sebuah kecelakaan mobil tragis merenggut nyawa istrinya. Dokter mencoba menyelamatkan anak mereka, namun gagal. Istrinya dan calon anaknya meninggal bersamaan. Sejak saat itu, Pak Rendra merasa dunianya runtuh. Rumah yang dulu penuh cinta kini terasa seperti makam. Ia mengubur semua mimpinya, termasuk impian menjadi seorang ayah. Ia bekerja tanpa henti, menenggelamkan diri dalam tumpukan uang dan kesuksesan. Namun, semua itu hanyalah topeng lain, sebuah pelarian dari rasa sakit yang tak terlukiskan.
Kini, ia menyadari bahwa dengan menjadi badut, ia merasa lebih dekat dengan buah hatinya yang tak sempat ia lihat. Dalam setiap tawa anak-anak yang ia hibur, ia menemukan potongan-potongan kebahagiaannya yang hilang. Ia mencari anaknya dalam diri setiap anak yang ia temui. Ia mencari kebahagiaan yang hilang dalam kebahagiaan yang ia ciptakan untuk orang lain.
"Sampai kapan ini akan berakhir?" bisiknya lagi, suaranya parau. Pertanyaan itu menggantung di udara. Sampai kapan ia harus hidup dalam dua dunia ini? Dua dunia yang sama-sama terasa nyata, namun tak pernah bisa bersatu. Ia ingin menjadi satu, utuh. Ia ingin bisa menangis di depan karyawannya, ia ingin bisa tertawa lepas tanpa riasan, ia ingin menjadi sosok yang jujur, tanpa perlu menyembunyikan luka hatinya.
Namun, ia tahu, tidak ada tempat untuk itu. Dunia pengusaha tidak punya tempat untuk air mata. Dan dunia Om Badut hanyalah sebuah pelarian, sebuah oase di tengah gurun kesepian. Ia adalah Om Badut yang merindukan. Ia adalah Rendra yang kesepian. Dan ia tidak tahu sampai kapan ia bisa terus seperti ini, hidup di balik dua topeng yang berbeda. Sebuah rahasia yang ia pikul sendiri, demi sebuah tawa yang bukan miliknya, namun terasa seperti segalanya.
Rendra meraih bingkai foto yang ia letakkan di meja kecil di ruang bawah tanah itu. Ia membelai wajah istrinya di foto, lalu membalikkan bingkai itu. Di baliknya, ada coretan tangan kecil, sketsa wajah badut yang ia buat bersama istrinya saat mereka membayangkan akan punya anak. Di bawah sketsa itu, tertulis: "Ayah Badut dan Bunda Peri".
Air matanya kembali tumpah. Ia bukan hanya menangisi istrinya, atau anaknya. Ia menangisi dirinya sendiri. Menangisi semua tahun yang telah ia lalui dalam kesepian, bersembunyi di balik topeng. Ia sadar, kata-kata anak kecil itu benar. Kata-kata Bu Mira juga benar. Ia perlu menemukan cara untuk tersenyum dengan tulus. Ia perlu menemukan cara untuk menyatukan dua dunia ini.
Mungkin, ia tidak harus memilih. Mungkin, ia bisa menjadi CEO yang kuat, sekaligus Om Badut yang berhati lembut. Mungkin, ada tempat di mana ia bisa menjadi dirinya seutuhnya, tanpa perlu menyembunyikan luka hatinya, tanpa perlu takut akan pandangan dunia. Mungkin, saatnya untuk berhenti berlari.
Rendra memejamkan mata, membiarkan kesedihan itu mengalir. Kali ini, ia tidak mencoba menahannya. Ia membiarkan hatinya yang hancur untuk merasakan sakit, karena ia tahu, hanya dengan merasakan sakitlah ia bisa memulai proses penyembuhan. Di tengah kegelapan ruang bawah tanah itu, sebuah tekad baru muncul. Ia akan mencari tahu bagaimana. Ia akan menemukan cara. Ia akan menjadi satu, utuh, untuk dirinya sendiri, dan untuk kenangan yang ia jaga.