Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Oh, sial! Aku lupa menghubungi teknisi.”
Air sedingin es yang mengalir di seluruh tubuhku membuatku menggerutu. Tanganku bergegas meraih handuk di dekat pintu kamar mandi. Dengan cepat, kukeringkan tubuhku yang mulai menggigil. Lenganku mengambil pakaian apapun yang dapat membuatku kembali hangat.
Butuh setidaknya empat puluh lima menit bagi teknisi untuk membereskan masalah water heater di tempatku tinggal. Beruntung, teknisi datang sekitar sepuluh menit setelah aku meneleponnya.
“Oh, it works! Merci, Alex.”
“You are welcome, Orfie. Be careful next time, okay?”
“Sure.”
“Great! I’ll get going. Don’t forget there will be a festival in the hospital.”
“I know. I‘ll be there for sure.”
“Great to hear that. It is a good thing to get more socialize with others, Orfie,”
“Hum … I am trying, Alex.”
“Great! Au revoir!”
“Um ... see you!”
Alexander Benoit adalah pemilik tempat yang kutinggali. Alex, begitu aku memanggilnya, bersama istrinya Adrienne Benoit, merupakan orang pertama yang menyambut kehadiranku di Baume-les-Messieurs. Sebuah desa kecil di daerah dataran tinggi di Perancis Timur. Selain mengijinkanku tinggal, mereka juga mengijinkanku membantu pekerjaan mereka di rumah sakit yang mereka kelola. Terlepas dari desa yang seringkali bersuhu di bawah sepuluh derajat, aku menyukai kehangatan keluarga Benoit.
Keluarga Benoit bagaikan malaikat yang dikirim Tuhan untukku. Mereka menyadarkanku jika keajaiban Tuhan itu ternyata … ada. Keajaiban yang sebelumnya aku pikir hanya dongeng anak-anak semata. Ternyata berlaku juga untuk yatim piatu sepertiku.
Hari ini, tujuh tahun yang lalu. Aku berhasil keluar dari kehidupan bagai neraka bersama keluarga Jaffar. Keluarga penerus pemilik yayasan itu mengadopsiku dari panti asuhan yang kutinggali hingga usiaku menginjak dua belas.
Keluar dari keluarga Jaffar tidaklah mudah. Terlebih setelah tinggal hampir dua puluh lima tahun bersama mereka. Bagiku … keluarga terbaik adalah keluarga yang berisi orang asing sepenuhnya. Sama halnya ketika aku tinggal bersama keluarga Benoit. Orang-orang yang kutemui sama asingnya denganku. Tidak ada yang mengetahui namaku, tidak ada yang bertanya tentang asal-usulku, tidak ada yang menggunjingkanku, dan tidak ada yang memanggilku yatim piatu.
Pertama kalinya dalam hidupku, aku mendaratkan kakiku di panti asuhan pada usiaku yang ke tujuh. Setelah kedua orangtuaku meninggal dalam kecelakaan, pamanku menitipkanku di sana. Seketika itu juga ... duniaku berubah. Alih-alih memanggilku Orfie, orang-orang di sekitarku mulai memanggilku si yatim piatu.
Hingga menginjak usia ke dua belas, hidupku terasa normal di panti asuhan. Namun, menjadi jauh berbeda hingga kedatangan Ghani Jaffar, anak lelaki satu-satunya keluarga Jaffar yang tersohor, yang merayakan ulang tahunnya di panti tempatku tinggal. Hingga kini, aku masih bertanya-tanya untuk apa dia menghampiriku.
“Hey, Orfie!”
Suara Ghani yang melengking menghentikanku dari aktifitasku di taman panti. Kepalaku menoleh pada sumber suara. Ghani tersenyum lebar dan berlari ke arahku.
“Kau memenangkan olimpiade sains itu? Aku bahkan tidak masuk sepuluh besar. Kau hebat sekali, Orfie.”
Wajah Ghani yang berseri-seri tidak membuatku menyambutnya. Senyum yang merekah dari bibirnya juga tidak membuatku tersenyum padanya.
“Hentikan basa-basimu! Kita tidak sedekat itu.”
Mendengar ucapanku, Ghani mengangkat kedua alisnya. Mulutnya terbuka untuk beberapa saat.
“Kau … tidak ingin berteman denganku?”
“Mengapa aku harus melakukannya?”
“Kita satu sekolah, Orfie. Kita bahkan pernah satu kelas saat di kelas empat.”
Ucapan Ghani membuatku tersadar. Semua orang di sekolah mengenalnya. Mengaguminya. Bahkan memujanya. Aku pasti satu-satunya anak paling aneh yang enggan untuk dekat dengannya. Sebelum aku sempat menanggapi ucapannya, kudengar beberapa anak lain berteriak ke arah kami. Mereka dari sekolah yang sama denganku.
“Ghani! Apa yang kau lakukan bersama si yatim piatu itu?”
“Apakah si yatim piatu itu mendekatimu?”
“Sebaiknya jangan dekat-dekat dengannya.”
“Benar, Ghani. Kau tidak lihat? Tatapannya sangat suram. Kata Ibuku itu bisa menular pada kita.”
“Oh, itu mengerikan. Ayo, Ghani! Kita mulai pesta ulang tahunmu!”
Tanpa menanggapi mereka, Ghani hanya menatapku. Aku memberanikan diri untuk berucap dengan suara ketus.
“Temanmu sudah banyak. Bertemanlah dengan mereka.”
Ghani tidak menjawabku. Kurasakan langkahnya mendekat padaku. Tangan kecilnya berusaha meraih tanganku. Namun, teman-temannya berlarian ke arah kami lebih cepat. Menyeretnya ke dalam aula panti. Meninggalkanku sendirian di bawah teriknya matahari bulan Agustus.
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya di bulan Augustus, aula panti tempatku tinggal dipenuhi anak-anak dari sekolahku. Sepeti biasanya pula, mereka menjaga jarak dengan anak-anak panti yang telah berkumpul sebelum mereka.
Tidak lama setelahnya, orang tua Ghani memintaku dan anak panti lainnya memanjatkan doa. Semua doa ditujukan untuk putra semata wayangnya, Ghani. Aku selalu membenci saat-saat seperti itu. Seolah kami adalah senjata pengabul doa yang dipersembahkan untuk Tuhan. Memangnya itu masuk akal?
Entah takdir apa yang membuat duniaku berputar setelah perayaan ulang tahun Ghani yang ke dua belas itu. Pengurus panti bersama salah satu pegawai dari keluarga Ghani mendatangiku. Setiap perkataannya membuat tubuhku lemas.
"Orfie ... keluarga Ghani memutuskan untuk mengadopsimu. Aku dengar kalian satu sekolah. Bukankah terdengar menyenangkan? Maksudku ... menjadi bagian dari keluarga Jaffar melalui adopsi adalah hal yang sangat langka."
"Tidaak ... keluargaku pasti akan menjemputku. Aku tidak boleh diadopsi siapapun. Pamanku sudah berjanji akan menjemputku."
"Oh, Orfie ... ini sudah lebih dari lima tahun. Pamanmu tidak pernah mengunjungimu sekalipun. Akan lebih baik jika,"
"Tidak! Pamanku akan datang. Aku yakin itu!"
"Sadarlah, Orfie. Dia tidak akan datang. Ini adalah kesempatan yang bagus untukmu."
"Aku berbeda. Aku bukan anak yatim piatu seperti yang kalian pikirkan."
“Orfie … keberuntunganmu membuat anak-anak lain iri. Seharusnya kau bersyukur dengan karunia Tuhan padamu."
Jauh di dalam hatiku, bukan itu yang ingin kudengar. Mereka sungguh tidak mengerti. Aku sangat yakin jika pamanku akan menjemputku. Dia tidak mungkin melanggar janjinya. Aku tidak boleh diadopsi siapapun.
Sayang sekali, penolakanku tidak didengar. Saat dihadapkan pada dokumen adopsi yang dipegang oleh keluarga Jaffar, duniaku berhenti. Tatapan Tuan Jaffar ketika memintaku menyetujui dokumen adopsi itu membuatku sesak napas. Saat jemarinya menggenggam tanganku, sekujur tubuhku berkeringat dingin.
“Dengar, Orfie. Mulai kini kau akan menjadi Orfie Jaffar. Selama kau menuruti semua ucapanku, kau akan mendapatkan segalanya. Tidakkah kau ingin mengetahui penyebab kecelakaan orang tuamu?”
Tubuhku gemetar mendengar ucapannya yang seolah menjawab semua kemarahanku. Bagaimana mungkin dia mengerti isi hatiku?
"Kau ... juga ingin bertemu dengan pamanmu, bukan? Itu hal yang mudah bagi kami."
Entah kekuatan apa yang membuatku mengangguk pada ucapan Tuan Jaffar. Oh, andai saja dapat aku tolak kala itu.
“Aku ... ingin menjadikan Ghani sebagai dokter paling hebat. Dan … aku membutuhkanmu. Dia harus masuk ke fakultas kedokteran yang terbaik. Jadi … bantulah dia mendapatkannya. Saudara harus saling membantu, bukan?”
Setelahnya, hari-hari yang kulalui di rumah Ghani hanya belajar dan belajar. Menjadi nomor satu di semua bidang. Ironinya, semua nilai dan prestasi yang kudapatkan otomatis menjadi atas nama Ghani Jaffar. Bukan namaku.
Mereka hanya mengijinkanku mendapat peringkat dua atau tiga. Anehnya, mereka tidak mengijinkanku menjadi yang terburuk di sekolah. Itu akan merusak citra keluarga Jaffar.
Dari semua itu, yang lebih buruk adalah sikap Ghani yang menutup mata. Sama dengan Ayahnya, dia hanya memperdulikan bagaimana pandangan masyarakat terhadap keluarganya. Ibu dan dua saudarinya, Imelda dan Anne, bahkan lebih buruk.
Sikap Nyonya Jaffar dan para putri tertuanya menolak kehadiranku di rumah tanpa basa-basi. Mereka hanya memperbolehkanku tinggal di basement. Mereka juga tidak mengijinkanku ikut makan di meja makan bersama.
Tidak hanya itu, aku diwajibkan turut serta dalam pekerjaan rumah tangga. Atau … mereka tidak akan memberiku makan. Beruntung, para pekerja yang sepenuhnya berasal dari Keluarga Yosef lebih berhati nurani dibanding mereka.
“Orfie … bersabarlah. Aku yakin Tuhan bersama orang-orang yang sabar.”
“Yosef benar, Orfie. Aku yakin tuan muda manja itu akan menerima akibatnya.”
“Dan, oh! Aku dengar kau meminta Tuan Jaffar untuk memasukanmu ke universitas.”
Gosip di rumah keluarga Jaffar cepat menyebar diantara para pekerja. Begitu pula terkait permintaanku yang dianggap lancang oleh Nyonya Jaffar. Anggota keluarga Yosef hanya bisa bergumam saat melihatku.
“Ah … Tuan Jaffar pasti ingin kau mengerjakan semua tugas kuliah tuan muda. Bukankah pelajaran saat kuliah akan lebih sulit?”
“Oh, Tuhan. Ini pasti sangat menyakitkan untukmu, Orfie. Akan lebih baik jika kau keluar dari keluarga ini.”
Negosiasi masuk kuliah untukku di fakultas kedokteran diterima oleh Tuan Jaffar. Beliau bahkan mengijinkanku untuk kuliah di salah satu universitas terbaik milik yayasan keluarga Jaffar. Beliau mendukungku hingga aku meraih gelar dokter spesialis di Harvard bersama Ghani.
Setelah menyelesaikan studi, keluarga Jaffar megijinkanku bekerja di rumah sakit milik yayasan Keluarga Jaffar. Tentunya bersama Ghani. Dia sungguh tidak mampu melakukan apapun tanpa diriku.
“Orfie, ayo makan bersama,”
Suara Ghani yang muncul di balik pintu basement kamarku membuatku beranjak. Meninggalkan kamarku yang lembab dan dingin.
“Kau ... ingin makan bersamaku?”
“Hum … orang tuaku sedang ke luar negeri. Semua kakak perempuanku juga ikut dengan mereka. Kau tidak tahu?”
“Itu bukan urusanku. Mengapa aku harus mengetahuinya.”
“Hey … ayolah. Berhenti merajuk. Kau tahu bukan? Ini hari bahagia untukku.”
“Kau tampak bahagia setiap hari.”
“Huh? Sepertinya kau belum mengetahuinya. Aku diterima magang di salah satu Rumah Sakit di Amerika. Bukankah itu keren?”
“Apanya yang keren, huh? Aku yang mengerjakan semua test dan wawancara itu.”
“Hey … ayolah. Itu tidak sulit untukmu. Selain berkat dirimu ... para pengurus panti mengatakan jika itu semua karena doa-doa ibuku.”
“Bagus untukmu.”
“Apa maksudmu, Orfie?”
“Ada seseorang yang mendoakanmu. Bukankah itu bagus? Tidak ada yang mendoakanku karena aku yatim piatu.”
“Oh, ayolaah. Sampai kapan kau akan menyebutkan hal itu?”
“Bagaimana kau melupakannya, huh? Kau sendiri yang selalu menyebutku demikian, Ghani.”
“Oh, sorry. I didn’t mean it. Aku serius. Aku minta maaf, okay? Ayolaah … kau membuatku selalu peringkat satu di sekolah, kemudian masuk Harvard, mendapat gelar specialis, dan sekarang aku akan menjadi seorang dokter di Amerika. Kau yang terbaik, Orfie.”
“Lupakan! Orang sepertimu tidak akan mengerti.”
“Ayolaah, Orfie,”
“Hentikan, Ghani! Kau sama saja dengan anak-anak lainnya. Kau … dan juga keluargamu.”
“Apa lagi sekarang? Tidakkah kau lelah dengan cerita itu, huh?”
“Kau sungguh menyebalkan. Kau tahu? Saat aku tinggal di panti … hampir setiap bulan setidaknya ada satu keluarga yang membawa anaknya ke panti. Sama seperti yang kau lakukan, mereka merayakan ulang tahun bersama kami.”
“Mereka ingin berbagi, Orfie. Apa salahnya? Itu mengajarkan mereka untuk … saling menyayangi, saling berbagi, dan … bersyukur, mungkin?”
“Memangnya belajar menyayangi di dalam keluarga mereka saja tidak cukup? Itu tidak adil untukku, untuk kami … para yatim piatu.”
“Oh, Orfie … mereka tidak bermaksud demikian,”
“See? You don’t understand at all, Ghani.”
“Aku yakin tidak seperti itu.”
“Kami mungkin hanya anak-anak. Tetapi … kami juga berpikir rasional. Seperti … dimana orang tua kami, atau parahnya … mengapa mereka meninggalkan kami, mengapa kami harus tinggal berdesakan di panti, mengapa mereka …”
“Orfie, hanya karena pamanmu meninggalkanmu di panti bukan berarti,”
“Tidak. Kau sungguh tidak mengerti semua perasaan itu, Ghani. Setiap kali para orang tua itu tersenyum pada anaknya ... memeluk anaknya di hari ulang tahun … itu membuat anak-anak di panti saling bergumam ... "Apakah orang tuaku juga akan melakukan hal yang sama?" Pernahkah kau berpikir seperti itu?”
“Mereka mungkin melakukan hal yang sama, Orfie. Sudahlah … kau berlebihan.”
“Tidak, Ghani. Itulah kenyataan yang harus dihadapi anak yatim piatu. Sungguh … orang sepertimu tidak akan mengerti.“
Dalam ingatanku, itulah terakhir kali kami berbincang. Setelahnya aku dan Ghani jarang berjumpa. Waktuku telah disita oleh kesibukan rumah sakit yang tak mengenal kata istirahat. Penat dan sesak di dadaku menghabiskan 24jam di rumah sakit setiap harinya membuatku kabur dari keluarga Jaffar.
Hari ini, setelah menyelesaikan makan siangku dan menenggak beberapa vitamin di sebelah piringku, tubuhku membeku saat mendaratkan kakiku di dekat pintu masuk rumah sakit. Suara Adrienne yang menghampiriku membuat tenggorokanku tercekat.
“Orfie … lihatlah siapa yang datang. Kau pasti senang mereka mengunjungimu.”
Kedua jemariku mengepal kuat-kuat. Aku tidak ingin Adrienne mengetahui jika tubuhku gemetar. Apalagi napasku hampir terhenti. Ingin aku berteriak untuk mengusir mereka. Terlebih saat tatapan Nyonya Jaffar melekat padaku.
“Oh, Orfie … putraku, kau tampak lebih sehat. Ini Ibu, nak. Kau merindukanku? Ibu sangat merindukanmu,”
Nyonya Jaffar mendekat padaku. Tangannya berusaha meraih lenganku tetapi segera aku tepiskan. Langkahku mundur perlahan dari tempatku berdiri sebelumnya. Pandanganku tertunduk terpaku pada ubin warna-warni yang kupijak. Kulihat langkah sepatu pantofel cokelat dengan ukiran khas milik Tuan Jaffar mendekat pada perempuan itu. Meski tidak menatapnya, aku yakin beliau menepuk bahu perempuan itu ketika dia terisak menanggapi penolakanku.
Pandanganku tidak kualihkan dari ubin di pijakan kakiku. Kusadari langkah Adrienne kembali mendekat padaku. Sepatu flat birunya yang khas selalu kuingat.
“Orfie … mendekatlah. Kau mengenali mereka dengan baik di bulan lalu.”
Kuangkat pandanganku dengan tatapan gemetar. Mataku mengunci pandangan Adrienne yang menatapku dengan lembut.
"Kau ingat sesi terapi kita dua hari yang lalu?"
Tenggorokanku kembali tercekat mendengar ucapan Adrienne.
“Te … ra … pi?”
“Benar sekali. Kita berdua telah berusaha keras untuk sampai di sini.”
Tubuhku semakin gemetar hebat saat kuangkat daguku untuk menatap Adrienne lebih dekat. Benakku tidak menemukan kata yang tepat untuk setiap ucapan yang terlontar dari Adrienne.
Di saat yang bersamaan, suara Nyonya Jaffar yang terbata membuatku mengalihkan pandanganku padanya. Wanita itu menatap Adrienne sembari terisak. Pikiran dan tatapanku padanya dipenuhi prasangka.
“Haruskah kami menunggu lebih lama lagi, dokter? Kau mengatakan di telepon bahwa kondisinya sudah stabil.”
“Ah ... mengertilah, Tuan dan Nyonya Jaffar. Skizofrenia terkadang dapat kambuh kapanpun. Meskipun sudah dinyatakan stabil sebelumnya, hal seperti ini tidak dapat kami prediksi. Terlebih, dalam delusinya, Orfie juga menciptakan kepribadian lain dari dirinya.”
“Oh, Tuhan … tujuh tahun aku menunggu hari ini, dokter. Bulan lalu dia bahkan mengenaliku dengan baik.”
“Sepertinya ... Orfie dan rumah sakit kami masih harus berusaha lebih keras lagi. Dukungan Tuan dan Nyonya Jaffar akan sangat berarti bagi proses terapi ini.”
“Oh, Orfie … putraku yang malang, maafkan Ibu, nak. Ayah dan Ibulah yang terobsesi menjadikanmu yang terbaik sebelumnya. Kami tidak sadar jika itu melukai perasaanmu hingga seperti ini. Bagaimana kami harus membantunya kembali, dokter?”
“Kami yakin obat-obatan dan terapi akan membantu mengurangi delusinya.”
“Oh, Tuhan,”
Obrolan yang terdengar tidak masuk akal bagiku membuat gigiku berdecak. Alih-alih menanyakannya dengan sopan, suaraku justru meninggi. Meskipun demikan, mereka hanya menatapku dengan tatapan iba yang paling aku benci.
“Skizofrenia?! Omong kosong macam apa ini, huh? Adrienne, katakan sesuatu! Itu tidak benar, bukan? Aku dokter terbaik di rumah sakit ini. Kau yang mengijinkanku tinggal di sini. Di kota ini. Kau tidak ingat?”
“Orfie … tenangkan dirimu. Tentu saja aku mengingatnya. Aku menerimamu tinggal di sini sebagai pasienku.”
Pandanganku kosong meskipun aku menatap Adrienne dengan telak. Saat Tuan Jaffar berhasil meraih lenganku, aku meronta. Tubuhku bergidik saat menatap mata lelaki itu. Suaraku kembali menggema saat dia berusaha merengkuh tubuhku. Mataku terbelalak lebar. Mulutku terus meracau.
“Menjauh dariku! Kau hanya peduli pada Ghani. Kau tidak pernah memikirkanku sedikitpun. Tidak denganku, tidak juga dengan keluarga Yosef yang selalu membantuku.”
Tuan Jaffar meneteskan air matanya. Tangis Nyonya Jaffar pecah begitu mendengar semua yang terlontar dari mulutku. Lengannya yang gemetar meraih jemariku. Suaranya yang terbata membuat mataku kembali terbelalak.
“Orfie ... putra Ibu. Berapa kali harus Ibu katakan, hum? Tidak ada yang bernama Ghani di keluarga kita. Semua keluarga Yosef yang membantu kita telah meninggal di usiamu yang ke dua belas. Kebakaran besar di panti saat ulang tahunmu merenggut nyawa mereka. Kita mengadakan pesta ulang tahun besar untukmu kala itu, kau tidak mengingatnya?”
“Tidak mungkin! Apa yang kau katakan?! Tidak ada kebakaran. Ghani yang merayakan ulang tahun di panti bukan aku. Berhenti berbohong padaku. Adrienne, jangan percaya ucapan wanita ini. Semua itu bohong!”
Kulihat Adrienne hanya terdiam. Pandangannya melembut pada Nyonya Jaffar yang kembali terisak.
“Oh, dokter … kembalikan putraku,”
Tangis Nyonya Jaffar semakin menggema. Kulihat beberapa petugas rumah sakit berseragam biru muda menghampiriku. Adrienne mendekat dan meraih lenganku. Tangannya berusaha menyuntikkan sesuatu padaku.
Tubuhku kembali meronta saat beberapa perawat berhasil mencengkeram kedua tangan dan kakiku. Andrienne menggenggam lenganku semakin erat. Seketika pandanganku mulai kabur. Perlahan … hanya kegelapan yang kulihat bersamaan dengan masuknya suntikan dalam tubuhku.
-End-