Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam itu dingin dan sepi. Mia duduk sendirian di kursi kafe kecil yang menghadap ke jalanan basah karena hujan, tangannya memegang secangkir kopi yang sudah lama mendingin. Matanya terpaku pada jalanan yang dilintasi orang-orang yang berlalu-lalang dengan langkah terburu-buru. Hatinya merasa kosong, meski di luar, dunia tampak penuh dengan kehidupan.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.
"I think we have to talk. Kamu bisa datang gak? Ada hal penting yang harus kamu tahu."
Pesan itu dari Arya, kekasih yang sudah beberapa bulan ini seperti bayangan di hidup Mia. Dulu, semuanya sempurna. Tapi beberapa bulan terakhir, Arya sering menghilang tanpa kabar, meninggalkan Mia dalam kebingungan dan pertanyaan yang tak terjawab. Dan kini, pesan yang datang tiba-tiba itu seperti membawa pertanda buruk.
Mia menatap layar ponselnya dengan ragu. Ia tahu betul bahwa sesuatu yang besar sedang menanti. Tetapi, apakah dia siap mendengarnya?
Setelah beberapa menit berdiam diri, Mia akhirnya memutuskan. Ia mengambil jaketnya, membayar kopi yang tak tersentuh, dan berjalan keluar menembus hujan menuju tempat yang disebutkan Arya. Sebuah hotel tua di pusat kota, tempat yang tidak pernah mereka kunjungi bersama. Ada yang ganjil, tetapi Mia memilih untuk tidak memikirkannya.
—
Hotel itu terlihat suram dari luar, seolah menyimpan banyak rahasia di balik dindingnya yang usang. Mia berdiri di depan pintu kamar yang dimaksud dalam pesan Arya. Tangannya gemetar saat mengetuk pintu.
Pintu terbuka dengan pelan, dan Arya muncul dengan wajah serius. Tidak ada senyuman hangat atau sapaan manis seperti biasanya. Ia hanya mempersilakan Mia masuk tanpa berkata apa-apa.
"Ada apa?" Tanya Mia setelah masuk, suaranya nyaris tak terdengar. Arya menatapnya dengan mata yang penuh beban, seolah sedang membawa dunia di pundaknya.
"Aku harus bilang sesuatu," jawab Arya, duduk di sofa sambil menunduk, menghindari tatapan Mia.
"Kenapa kamu terlihat seperti ini? Apa yang terjadi?" Hati Mia mulai dipenuhi rasa cemas. Selama beberapa bulan terakhir, Arya memang aneh. Tetapi, malam ini, dia terlihat lebih kacau dari biasanya.
Arya menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "Aku... Aku sudah tidak bisa melanjutkan ini lagi, Mia."
Kata-kata itu terasa seperti hantaman keras bagi Mia. Ia terdiam, tak tahu harus merespons apa, "Apa maksudmu?" Tanyanya pelan.
Arya menunduk, kedua tangannya saling meremas, tanda bahwa ia juga merasa tidak nyaman dengan apa yang akan dikatakannya, "Kita harus berhenti. Ini tidak adil bagimu, dan juga bagiku."
Mia merasa dadanya sesak, "Tidak adil? Arya, kita sudah bersama selama lebih dari tiga tahun. Apa maksudmu dengan 'tidak adil'?"
Arya tampak ragu sejenak sebelum melanjutkan, "Ada hal yang kamu tidak tahu tentang aku, Mia. Dan aku tidak bisa menyembunyikannya lagi."
"Apa yang kamu sembunyikan?" Mia menatap Arya dengan tatapan penuh luka, "Kamu berselingkuh?"
Arya menggeleng, "Tidak. Aku tidak selingkuh. Tapi aku... Aku bukan orang yang kamu kira."
Mia mengerutkan dahi, bingung, "Apa maksudmu? Kamu Arya, orang yang aku kenal. Apa yang kamu bicarakan?"
Arya terdiam sejenak, seolah berusaha merangkai kata-kata yang tepat, "Aku punya masa lalu yang... Aku sembunyikan darimu. Ada seseorang yang dulu pernah sangat berarti bagiku, dan dia kembali."
Mata Mia melebar, "Maksudmu, ada wanita lain?"
Arya mengangguk pelan, "Dia bukan sekadar wanita, Mia. Dia adalah cinta pertamaku. Dan sekarang, dia muncul lagi di hidupku. Aku tidak bisa mengabaikannya."
Mia terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja dia dengar, "Jadi, kamu ingin meninggalkanku untuk seseorang dari masa lalumu?"
"Bukan hanya itu," Arya menatap Mia dengan penuh kesedihan, "Aku tahu ini tidak adil bagimu, tetapi aku tidak bisa berpura-pura lagi. Aku masih mencintainya, dan aku merasa mungkin dia adalah the one untukku."
"The one?" Mia menelan ludah, merasa jantungnya seperti diremas, "Setelah semua yang kita lewati, kamu bilang dia the one? Bagaimana dengan aku?"
Arya terdiam. Kata-kata Mia seperti menghantamnya, tetapi ia tidak bisa membantah perasaannya sendiri, "Aku tidak tahu, Mia. Aku mencintaimu, tapi aku juga mencintainya. Dan aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini tanpa jujur pada diriku sendiri."
Mia menahan air matanya yang mulai menggenang, "Kenapa kamu tidak pernah bilang sebelumnya? Kenapa kamu menutupinya selama ini?"
"Aku tidak ingin menyakitimu," jawab Arya, "Tapi pada akhirnya, aku sadar bahwa ini hanya akan semakin menyakitkan kalau aku terus berpura-pura. Aku tidak ingin hidup dalam kebohongan, baik untuk diriku maupun untukmu."
Mia terdiam, merasa hancur oleh pengakuan Arya, "Jadi, apa yang kamu inginkan sekarang?"
Arya menarik napas dalam-dalam, suaranya lirih, "Aku harus mencoba bersamanya, Mia. Aku harus tahu apakah dia benar-benar the one untukku."
Kata-kata itu menghantam Mia seperti pisau tajam. Ia tidak pernah membayangkan malam ini akan berakhir seperti ini. Tanpa berkata apa-apa lagi, Mia bangkit berdiri dan menatap Arya untuk terakhir kalinya, "Aku berharap kamu menemukan apa yang kamu cari. Tapi kamu telah kehilangan seseorang yang sebenarnya selalu ada untukmu."
Tanpa menunggu jawaban, Mia berbalik dan berjalan keluar dari kamar, meninggalkan Arya yang terdiam di tempatnya. Malam itu, dunia Mia runtuh.
—
Beberapa minggu berlalu. Mia mencoba melanjutkan hidupnya tanpa Arya, meski hatinya masih dipenuhi luka. Setiap malam, ia teringat percakapan terakhir mereka di hotel, tentang cinta pertama Arya yang kembali muncul. Meskipun begitu, Mia berusaha tetap kuat, berusaha meyakinkan dirinya bahwa hidup akan terus berjalan.
Suatu malam, saat Mia sedang duduk di kafe tempat biasa ia menghabiskan waktu sendirian, seseorang menghampirinya.
"Mia?"
Mia menoleh dan melihat seorang wanita yang tidak dikenal berdiri di hadapannya. Wanita itu terlihat gugup, tetapi ada ketegasan di balik matanya.
"Maaf mengganggu. Aku Dina," kata wanita itu, memperkenalkan diri.
Mia mengernyit. Nama itu tidak asing, "Dina? Kamu... Wanita itu?" Tanya Mia pelan, menyadari bahwa ini adalah orang yang selama ini menjadi bayangan di antara dia dan Arya.
Dina mengangguk pelan, "Iya, aku orangnya. Maaf sebelumnya karena mengganggu waktumu, tapi aku perlu bicara denganmu."
Mia terdiam, bingung, "Apa yang ingin kamu katakan?"
Dina duduk di hadapan Mia, menarik napas panjang sebelum berbicara, "Aku ingin minta maaf. Aku tahu Arya meninggalkanmu karena aku. Tapi kamu harus tahu, aku tidak pernah memintanya untuk memilihku."
"Maksudmu?" Mia semakin bingung.
"Arya datang padaku beberapa minggu yang lalu," lanjut Dina, "Dia bilang dia masih mencintaiku, bahwa aku mungkin the one untuknya. Tapi aku tidak pernah meminta dia meninggalkanmu. Sebenarnya, aku juga sudah punya kehidupan sendiri. Aku bahkan sudah menikah."
Mata Mia membesar, "Menikah?"
Dina mengangguk, "Ya, aku sudah lama menikah. Ketika Arya muncul lagi, aku tidak bisa langsung menolaknya karena ada perasaan lama yang muncul. Tapi aku tahu di hati terdalamku, aku tidak bisa meninggalkan hidupku yang sekarang. Aku mencintai suamiku. Dan Arya... Dia masih terjebak dalam kenangan masa lalu."
Mia merasa kepalanya berputar. Semua ini tidak masuk akal, "Jadi, kenapa kamu datang padaku sekarang?"
Dina menatap Mia dengan penuh penyesalan, "Aku ingin memberitahumu bahwa Arya tidak pernah benar-benar memilih. Dia tidak bisa melupakan masa lalunya, tapi dia juga tidak bisa meninggalkanmu. Dan aku pikir kamu perlu tahu itu sebelum semuanya terlambat."
Mia terdiam, mencoba mencerna semua yang baru saja didengarnya. Arya meninggalkannya untuk seseorang yang sudah tidak lagi menginginkannya. Lalu sekarang, dia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa Arya mungkin telah salah memilih.
—
Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Dina, Mia mendapat pesan dari Arya.
"Aku sudah salah, Mia. Aku sadar sekarang. Kamu adalah the one. Aku tidak bisa melupakanmu."
Mia membaca pesan itu dengan hati yang dingin. Tiga kata itu: Kamu adalah the one, seolah menghantamnya dengan rasa ironis. Bagaimana bisa Arya baru menyadari hal ini setelah membuatnya melalui rasa sakit yang tak terperi? Mia duduk di sofa ruang tamunya, memandang layar ponsel dengan perasaan bercampur aduk.
Ia menatap pesan itu berulang kali, seolah mencoba memahami isi hati Arya yang sebenarnya. Tapi, pada saat yang sama, ada keinginan kuat dalam dirinya untuk tidak lagi terjebak dalam drama yang sama. Arya sudah membuat keputusan, dan konsekuensinya tidak bisa dihindari.
Malam itu, Mia memutuskan untuk tidak langsung membalas pesan tersebut. Ia merasa perlu waktu untuk berpikir. Arya mungkin merasa telah menemukan jawabannya, tetapi Mia tidak ingin menjadi seseorang yang kembali hanya karena dia adalah pilihan yang tersisa.
—
Keesokan harinya, Mia duduk di kafe yang sama, kali ini dengan segelas teh hangat di tangan. Pikirannya masih berkecamuk, namun ia merasa lebih tenang dibanding sebelumnya. Di tengah renungannya, suara langkah kaki mendekat.
Ketika ia mengangkat kepala, Arya sudah berdiri di depannya. Mata Arya tampak penuh penyesalan, dan Mia bisa melihat kelelahan di wajahnya. Namun, kali ini, Mia tidak tergerak oleh tatapan itu seperti dulu.
"Mia, aku... Aku ingin bicara," Arya membuka percakapan, suaranya lirih.
Mia hanya menatapnya, menunggu Arya untuk melanjutkan.
"Aku tahu aku sudah salah, dan aku tahu ini tidak mudah buatmu. Tapi aku benar-benar sadar sekarang bahwa kamu adalah orang yang aku cari selama ini," ucap Arya, suaranya terdengar lebih putus asa dari sebelumnya.
Mia menghela napas panjang, "Arya, kamu bilang aku the one setelah semuanya hancur. Kamu bilang itu setelah memilih untuk pergi, setelah memilih orang lain. Apa yang kamu harapkan dari aku sekarang?"
Arya menunduk, tangannya gemetar di atas meja, "Aku tidak tahu, Mia. Aku hanya tahu aku tidak bisa hidup tanpa kamu."
"Dan apa yang membuatmu yakin kali ini?" Tanya Mia, nadanya lebih tenang daripada yang dia duga, "Apa yang akan mencegahmu membuat keputusan yang sama lagi seperti tempo hari?"
Arya menatap Mia, tampak kebingungan dan kehilangan arah, "Aku tidak bisa menjawab itu. Tapi aku benar-benar menyesal, Mia."
Mia terdiam, merasakan perasaan campur aduk. Dulu, mungkin dia akan menerima Arya kembali tanpa berpikir dua kali. Tapi sekarang, setelah semua yang terjadi, dia tidak bisa lagi hanya mengikuti hatinya. Ada luka yang terlalu dalam untuk disembuhkan dengan kata-kata penyesalan.
"Sejujurnya, Arya," Mia berkata pelan, "Aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayaimu lagi. Mungkin cinta kita dulu nyata, tapi aku tidak yakin itu cukup sekarang."
Arya mencoba menyela, tapi Mia melanjutkan, suaranya tetap tenang, "Aku sudah mencoba mengerti, mencoba memaafkan. Tapi kamu tidak bisa datang kembali hanya karena hidupmu tidak berjalan sesuai rencanamu. Kamu tidak bisa membuatku jadi pilihan kedua."
Mata Arya mulai berkaca-kaca, "Mia, aku tidak pernah bermaksud seperti itu."
"Tapi itu yang terjadi," jawab Mia dengan tegas, "Aku bukan seseorang yang kamu panggil ketika pilihan pertamamu gagal. Aku layak mendapatkan lebih dari itu."
Kata-kata Mia menggantung di udara, dan Arya terdiam. Ia tahu Mia benar. Setelah beberapa saat, Arya mengangguk pelan, "Aku mengerti," katanya, suaranya nyaris tak terdengar, "Dan aku benar-benar minta maaf."
Mia hanya tersenyum kecil, meski hatinya masih terluka, "Aku harap kamu menemukan apa yang kamu cari. Tapi aku juga harus menemukan kebahagiaanku sendiri."
Arya menunduk untuk terakhir kalinya, lalu perlahan berdiri, "Terima kasih, Mia. Untuk segalanya."
Mia mengangguk tanpa berkata-kata, menyaksikan Arya berjalan pergi, meninggalkannya dengan kenangan.
—
Mia duduk di balkon apartemennya, memandang langit malam yang penuh bintang. Meski hatinya masih terluka, ia merasa lebih kuat. Semua perasaan dan kenangan yang dulu membelenggu mulai terurai satu per satu. Mia tahu bahwa hidupnya belum berakhir di sini. Ada masa depan yang menantinya, dan itu tidak lagi bergantung pada siapa yang datang dan pergi.
Ponselnya bergetar lagi. Kali ini bukan dari Arya. Sebuah pesan baru muncul di layar.
"Aku sudah lama ingin menghubungimu. Apa kamu masih di kota yang sama? Mungkin kita bisa bicara?"
Nama yang muncul di layar itu membuat Mia tersenyum tipis. Bukan karena kenangan lama yang menghantui, tetapi karena itu adalah seseorang yang pernah ia kenal jauh sebelum Arya masuk dalam hidupnya.
Mia menatap pesan itu sejenak, lalu mengetik balasan pelan-pelan.
"Ya, aku masih di sini. Mungkin kita bisa bicara."
Ketika Mia menekan kirim, ia tahu satu hal pasti—ini adalah awal baru. Kali ini, ia yang akan menentukan jalannya sendiri.
–TAMAT–