Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
The Moon
1
Suka
84
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

The Moon

 

Sore itu, sepulang sekolah aku disibukkan dengan kegiatan membereskan kamar, menyiapkan segala keperluan untukku membuat konten hari ini.

Tripod berdiri tegak dengan lighting yang menyala terang. Kuletakkan ponselku di tempatnya dan berjalan mundur memposisikan diri.

“Ok! Siap!” Kutekan tombol rekam setelah memastikan penampilanku aman.

“Kenapa sih kita harus berani bersosial? Hai, aku The Moon. Selama video ini diputar, kalian akan belajar mengenai seberapa penting bersosial.” Kalimat template ditambah topik pembahasan berbeda di setiap video menjadi pembuka di setiap kontenku.

Aku lupa sejak kapan aku berani menampakkan diri. Yang pasti, semua ini perlahan berubah setelah kejadian beberapa waktu lalu. Aku mulai nyaman dengan kegiatanku sepulang sekolah. Rasanya rutinitas ini menambah energiku setiap harinya.

Aku mencintai diriku. Aku bangga pada diriku. Hidupku, adalah tentang diriku. Tidak ada yang boleh mengusik. ***

 

Beberapa bulan yang lalu.

Aku bukan siswi yang cantik seperti kebanyakan perempuan yang bersekolah di sini. Bahkan tidak ada sisi yang menarik dari diriku. Itulah sebabnya aku tidak pernah menjadi ketua kelas, tidak pernah menjadi murid yang paling pintar, dan bukan juga orang yang paling ramai. Aku hanya Nara, siswi baru pindahan kelas XI yang lebih nyaman duduk di barisan belakang, memilih berpura-pura sakit saat diminta presentasi, dan berpura-pura sibuk menulis saat guru menyuruh memilih kelompok.

Introvert,” ucap Reta suatu hari saat jam istirahat pertama berlangsung. “Itu bukan berarti kamu lemah Ra, tapi kamu cuma punya dunia sendiri. It’s Okey Nara. Itu bukan pula aib.”

Reta, teman sebangkuku yang mungkin satu-satunya orang yang membuatku merasa tak asing berada di tengah hiruk pikuk sekolah ini. Aku dan Reta memiliki kesamaan walaupun Reta tidak se-introvert diriku. Aku dan Reta sama-sama penyendiri, sama-sama tak suka basa-basi, apalagi memulai suatu obrolan pada orang baru, dan yang paling utama sama-sama menghindari kantin saat jam istirahat. “Frightful moment!"

Kami selalu membawa bekal makan siang yang kami nikmati bersama di pojokan ruang dekat toilet. Terkadang kami hanya mentok makan siang di ruang kelas saja. Padahal aku ingin sekali menghabiskan waktu istirahat di bawah pohon besar sekolah juga kantin yang menjual beragam makanan dan camilan. Rasanya aku ingin sekali mencicipi satu di antara beragam camilan itu. Akan tetapi, itu mustahil karena entah mengapa mulutku ini kelu, tak bisa bergerak sedikitpun saat aku berada di tengah-tengah segerombolan para siswa Kartika yang berjubel di kantin.

Namun, sejak beberapa bulan terakhir, aku merasa ada sesuatu yang aneh dan tak biasa di dadaku. Sebuah rasa yang cukup sulit kupahami sendiri karena rasanya mengganjal dan abstrak. Merasa sepi, tapi tak suka keramaian. Ah! Entah sejak kapan perasaan itu aku miliki. Aku ingin sekali didengar. Aku ingin memiliki ruang di mana aku bisa menjadi seperti orang lain kebanyakan. Tertawa, bebas, berani, dan memiliki banyak teman juga pengagum rahasia. Akan Tetapi, aku tahu, jika aku jadi diriku yang sekarang, kuyakin tak akan ada yang benar-benar akan mendengarku.

Malam itu, hampir pukul satu, aku belum juga bisa tidur. Sudah kucoba semua posisi tidur. Miring ke kanan, ke kiri, telungkup, telentang, ah sia-sia. Nyatanya netraku ini belum juga terasa berat. Kuambil ponsel yang kusimpan di bawah bantal lalu kugulir media sosial. Ada video motivasi yang lewat di berandaku. Seorang perempuan muda berbicara pelan dan penuh makna. Ia berbicara tentang menjadi introvert bukanlah suatu kekurangan, melainkan bentuk kekuatan yang tenang karena diamnya seorang introvert justru karena ia memiliki kualitas diri yang tinggi. Diamnya seorang introvert adalah berpikir keras. Introvert bukan juga anti sosial, tapi memang lebih nyaman sendiri.

Kalau kamu tak bisa bicara di depan orang, bicaralah pada layar. Suaramu tetap berarti.” Aku terdiam lama. Kalimat itu terus saja terngiang-ngiang di telingaku.

Tanganku mulai gemetar memegangi ponsel. Kugulir aplikasi perekam suara dan menarik panjang napasku sebelum kutekan tombol merekam.

Kadang,” aku menjeda sebentar menahan napas.

“Menjadi tenang itu melelahkan, karena sebenarnya kita ingin bicara, tapi tak tahu harus bicara kepada siapa,” kataku dengan suara gemetar. ***

 

Jam beker yang berdering kencang membuatku terbangun. Hal pertama yang kuingat adalah rekaman suaraku semalam yang masih kusimpan di ponsel. Dengan degup jantung yang tak beraturan, aku mencoba menekan tombol play diikuti dengan tombol volume yang aku tekan ke bawah. Kudekatkan ponsel pada telinga kiriku. “Ah! Menjijikan!” Aku mencemooh diri sendiri. Setelahnya ponsel itu kulempar ke sudut ranjang dan tubuhku bergerak, bangkit bersiap-siap ke sekolah.

“Nara!” Sapa Reta dari kejauhan. Aku menoleh dan memutar badan. Ia berlari mendekat menghampiriku. “Hari ini presentasi, kamu sudah siap kan?” tanyanya. Aku mengerjap dan mengangguk pelan. Gemuruh di dada terasa menghantam tiba-tiba. Aku lupa kalau di jam pertama adalah pelajaran Ibu Ratmi. Pelajaran sejarah yang tak pernah kusuka.

Kami berjalan menyusuri lorong Kartika yang dihiasi tanaman sirih gading yang menempel di dinding. Dengan kepala terus merunduk mendengarkan Reta bercerita tentang hari liburnya yang ia habiskan untuk membaca novel terbaru yang baru saja ia beli di toko online. Reta memang gemar membaca, tidak seperti aku.

Aku berhenti di ambang pintu yang bertuliskan kelas XI-5 pada kacanya. Kulihat ruang kelas masih sepi, hanya ada aku dan Reta. “Reta, sepertinya aku kurang sehat,” aku mencoba mencari alasan agar tak melakukan presentasi.

Reta mendekat, berdiri berhadapan denganku setelah ia melempar tasnya begitu saja di bangku. “Kamu sakit Nara?” katanya terdengar cemas. Ia menempelkan punggung tangannya ke keningku.

“Nggak demam ko,” imbuhnya kemudian.

“Aku, sakit perut,” seruku yang masih berdiri di depan pintu seraya meremas perut dengan kedua tanganku.

“Ini hari pertamaku datang bulan,” kataku tanpa berpikir panjang karena otakku sudah dipenuhi ketakutan untuk presentasi.

“Aku antar kamu ke UKS ya,” tawar Reta sembari memapah lenganku dan berjalan perlahan ke ruang UKS yang letaknya tak jauh dari kelas.

Reta menemaniku sampai bel masuk terdengar mengudara dan ia pamit masuk kelas karena harus presentasi.

“Reta!” panggilku ketika Reta beranjak dari ranjang.

“Tak apa Nara, aku bisa presentasi sendiri. Kamu tetap di sini ya,” katanya disertai dengan senyuman yang mengembang seraya tangannya menepuk bahuku, menujukkan kalau Reta memahamiku.

Di ruang UKS aku habiskan hanya dengan berbaring, meskipun sesekali aku duduk untuk menyeruput teh manis hangat yang disajikan oleh petugas kesehatan sekolah dan menggigit sepotong roti cokelat yang sudah kumakan hampir setengahnya.

Empat jam pelajaran berlalu, dentang bel sekolah bergema di udara, tak lama suara langkah-langkah kaki yang bergerak cepat menuju kantin dan memenuhi lorong-lorong sekolah terdengar setelahnya juga riuh suara dari anak-anak Kartika. Aku merasa lega karena berhasil menggagalkan presentasi hari ini. Aku tak sekalipun memikirkan nilaiku. Kupikir bisa selamat dari presentasi hari ini saja sudah cukup membuatku tenang.

“Nara,” suara Reta terdengar dari balik tirai ruang UKS.

“Sudah baikan?” sambungnya kemudian seraya duduk di bibir ranjang.

Aku mengangguk. “Bagaimana presentasi hari ini?”

“Lagi-lagi aku gagal presentasi,” seruku dengan nada penuh penyesalan.

“Tak apa Nara, aku sudah katakan kepada Bu Ratmi kalau kamu sakit, ada di UKS,” serunya dengan kedua sudut bibir tertarik ke atas. ***

 

Pukul empat sore, aku sampai di rumah. Setelah membersihkan diri, aku kembali ke kamarku. Entah mengapa tiba-tiba terbesit dalam pikiranku untuk membuat akun medsos baru dengan nama samaran.

The Moon.” kuputuskan nama The Moon sebagai akun keduaku. Tempat aku berbicara dan menjadi orang lain. Nama itu muncul begitu saja. Bulan yang selalu diam, tetapi tetap bersinar. Seperti itulah yang aku inginkan.

Dua bulan berlalu cukup cepat. Kini aku terbiasa mendengar suaraku sendiri, membuat video, menulis naskah suara, dan menyisipkan lagu instrumental. Dalam video yang kubuat, aku tak pernah menampilkan wajah. Hanya gambar bulan, dan suara lirih yang entah mengapa justru digemari banyak orang, terutama para remaja seusiaku.

Hari ini, saat aku terbangun, betapa terkejutnya aku karena video yang baru kubuat semalam ternyata viral. Video tentang bagaimana menjadi pendiam bukan berarti tak punya pendapat. Dalam semalam, pengikutku naik dari seribu menjadi dua puluh ribu. Komentarnya penuh empati. Banyak yang bilang, "Aku merasa kamu menuliskan isi hatiku." Bahkan dari beberapa komentar, banyak yang memujiku. Aku tidak bisa menahan senyumanku. Pagi itu aku diselimuti kebahagiaan, melengkungkan bibir sepanjang hari sampai-sampai Reta menatapku kebingungan.

Namun, sepertinya dunia sedang mempermainkanku karena selang satu bulan kemudian, tiba-tiba saja beribu pertanyaan menyerang di kolom komentar disertai dengan kata-kata yang tak pantas kuterima tanpa bisa menolak. Aku menunduk, duduk tanpa bersuara. Duniaku runtuh, rumah yang kubangun dengan susah payah kini diterpa badai yang luar biasa hebat. Tempatku pulang dikepung, sekarang aku tak tahu lagi harus bagaimana.

Identitasku tersebar sebagai pemilik akun The Moon. Tempatku memberikan pendapat kini luluh lantah. Orang-orang menggunjing, berbicara seolah aku adalah pembohong andal. Meski sebenarnya banyak perasaan yang kusebar pada mereka.

Aku, Nara yang dikenal pendiam dan tak bisa berekspresi dianggap tak layak menyebarkan video yang sangat berbanding terbaik dengan sifatku.

Lantas, apakah aku tidak bisa sedikit saja mengubah diriku? Aku hanya ingin berusaha, memberikan pendapat dan berbagai cara agar orang-orang tidak seperti diriku. Banyak hal yang kulalui dengan tangis dan putus asa, aku tidak mau perasaan sakit itu dirasakan oleh mereka.

Aku bukan manusia sempurna. Aku juga ingin didengar. Aku ingin semua orang melihat sisi lain dari diriku. Akan tetapi, mengapa tidak ada yang pernah bisa seperti itu.

Aku pulang dalam keadaan paling menyedihkan yang tak pernah kutampilkan sebelumnya. Tubuhku layu, seperti sayur yang tak disentuh dari pagi. Mataku sembap, seperti bekas hujan di pagi hari. Sejenak aku ingin hilang, pergi entah ke mana. Tidak menampakkan diriku sebagai Nara yang lemah, tetapi tidak bisa. ***

 

Satu bulan yang lalu.

Sore itu, aku baru saja mengecek konten baruku yang semalam kuunggah. Sebuah monolog tentang “Bagaimana menjadi tenang di dunia yang ribut.” Aku merekamnya dua hari lalu, menyisipkan musik piano pelan, dan mengeditnya dengan rapi. Aku tahu pasti video ini akan ramai lagi. Teksnya menyentuh, nadaku terkontrol, dan kurasa semuanya sempurna.

“Nara, ayo makan dulu. Ibu tunggu di meja makan ya.” Suara ibu terdengar dari balik pintu. “Iya, Bu,” kataku bergegas beranjak dari ranjang untuk menghampiri ibu.

“Bu, aku mau ambil ponsel dulu di kamar,” kataku menyadari ponselku tertinggal di kamar.

“Nanti saja, makan dulu,” ibu melarangku.

“Takut ada pesan penting, Bu,” sambungku, kemudian setelah berhasil memasukkan satu sendok nasi ke dalam mulut dan berjalan cepat ke kamar seraya meringis, melirik kepada ibu yang menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tak setuju.

Namun, saat aku kembali ke kamar, aku melihat layar laptop menyala sendiri. Webcam-ku aktif. Padahal aku tak pernah membuka kamera hari ini. Tak lama bunyi notifikasi "@themoon_official upload 1 video baru".

Aku tertegun. Aku merasa tidak mengunggah apa pun. Dengan tangan gemetar, aku membuka akun The Moon. Kulihat video itu sudah ditonton 2.000 kali hanya dalam 10 menit. Aku beranikan diri memutar video itu. Gambarnya buram, tapi cukup jelas. Dalam video itu aku duduk di kursi belajarku dengan memakai hoodie abu-abu, rambut tak terikat, wajah kosong. Di layar tampak aku sedang mengetik sesuatu. “Mungkin sedang membalas Direct Message atau menyusun skrip,” pikirku dalam hati. Tak ada suara musik, hanya sunyi yang kutangkap dari video itu. Tak lama tiba-tiba terdengar suaraku bergumam pelan. “Aku capek, tapi kalau aku berhenti, aku takut orang kecewa.”

Belum selesai aku menonton videonya, suara notifikasi whatsapp membuat fokusku teralihkan. Aku berdiri panik. Napasku tercekat. “Siapa yang mengunggah ini?” tanyaku dalam hati. Aku langsung menghapus video itu, tapi layar hanya berputar dan tak lama kemudian muncul pesan “Video ini sedang dibagikan ribuan kali. Tunggu beberapa saat.”

Keringat dingin membasahi seluruh tubuhku. Tanganku gemetar hebat. Sepuluh menit kemudian, Twitter penuh dengan nama The Moon. Di TikTok, cuplikan video bocor itu sudah dijadikan konten reaksi oleh beberapa akun gosip SMA Kartika.

Inilah sosok di balik The Moon. Dia bukan inspirasi. Dia hanya gadis biasa yang takut dicintai jika jadi dirinya sendiri.”

“Orang pendiam seperti kamu membuat konten motivasi? Cuih! Kamu saja belum bisa memotivasi diri sendiri, sok memotivasi orang lain. Minimal coba dulu pada dirimu, lalu baru membagikan tips! Hahaha!” Suara mengerikan itu terus berputar di kepala.

“Ikan mengajari monyet memanjat, hahaha! Di antara penontonmu itu pasti ada yang lebih berani daripada dirimu, Nara!”

“Halo para netizen. Kalian tahu dia siapa? Yup! Dia The Moon! Orang yang sering kalian kira motivator andal yang ternyata tidak bisa memotivasi dirinya sendiri. Lucu, bukan? Kalian percaya dengan semua yang dikatakannya? Aku sih tidak. Dia saja belum bisa seperti apa yang dia katakan, hahahaha!”

Satu komentar bahkan menandai akun SMA Kartika. “@SMA_Kartika, murid kalian ini? Influencer palsu?”

Aku ingin menjerit, tapi tak ada suara yang keluar. Aku ingin menghilang, tapi tak tahu ke mana. Aku tahu hanya satu orang yang mungkin bisa melakukan ini. Bukan karena dia jahat, tapi karena dia tahu terlalu banyak.

“Nara, ayo makan dulu.” Lagi-lagi suara ibu terdengar memaksa dari balik pintu, tapi kali ini tak kuhiraukan. Bahkan aku tak punya niat untuk datang menghampirinya. Aku benar-benar ingin menghilang saja. Apalagi setelah melihat hujatan orang-orang memenuhi kolom komentar video terbaruku. Aku semakin tersudutkan.

“Bagaimana setelah ini? Aku takut,” lirihku di kesunyian saat malam mulai meninggi.

Tak terdengar tangis, hanya kebingungan yang senantiasa memeluk kesedihanku. Aku bahkan tak berani membuka ponsel, meski suara notifikasinya kudengar terus-menerus tanpa jeda.

***

 

“Halo guys! The Moon datang. Si motivator yang tidak pernah memotivasi diri sendiri. Hahaha!” Tawa renyah itu kudengar dari gerbang sekolah hingga aku mendudukkan diri di kursi.

Reta menatapku tajam dari bangku yang ia duduki. Sejak beberapa minggu terakhir, Reta memilih tak lagi menjadi teman sebangkuku. Aku merasa Reta sengaja menjauh. Tapi itu karena aku. Akulah yang perlahan menghilang dari kehidupannya karena aku terlalu disibukkan dengan The Moon. Aku sering membaca whatsapp-nya, tapi tak membalasnya. Aku merasa bersalah, tapi aku takut bicara jujur. Bagaimana jika dia tahu siapa aku sebenarnya? Bagaimana kalau dia kecewa?

Dua minggu yang lalu, aku tak sengaja bertemu dengannya di koridor sekolah. Reta menatapku dalam-dalam.

“Nara! Kalau kamu ada masalah, aku bisa dengar, Nar,” katanya ketika kami berpapasan.

“Tapi kamu bahkan tak pernah bicara lagi kepadaku,” imbuhnya kemudian setelah aku dan Reta benar-benar berhadapan. Aku tak menjawab pertanyaaannya. Hanya tersenyum tipis kemudian pergi. Padahal hatiku berteriak.

Beberapa minggu setelah itu, aku mulai merasa Reta mencurigai sesuatu. Reta tiba-tiba menanyakan hal-hal aneh kepadaku.

“Kamu pernah dengar akun The Moon? Suaranya mirip kamu Nara,” serunya ketika jam kosong di kelas.

Aku tertawa gugup dan menjawab dengan nada bercanda, “Ah, masa sih? Mirip-mirip saja mungkin,” kataku memutup obrolan sebelum memasangkan earphone di kedua telingaku. Aku sengaja menghindari percakapan ini karena khawatir identitasku sebagai pemilik akun The Moon terbongkar.

Tapi aku tahu, Reta belum berhenti. Dia mulai menyelidiki. Aku melihatnya beberapa kali membuka laptop sambil mendengarkan headphone. Ia memicingkan mata, mencocokkan sesuatu dan aku mulai takut.

Sejak pertanyaan itu keluar dari mulut Reta tentang The Moon dan miripnya suaraku, aku tak pernah benar-benar tenang. Aku mulai merasa dia tahu lebih dari yang ia katakan. Hari-hariku di sekolah menjadi canggung dan tentunya tak nyaman. Reta memang masih menyapaku, tetapi tak lagi dengan sorot mata yang sama. Seperti ada kecurigaan yang menggantung. Namun, setiap kali aku ingin bicara jujur, lidahku membeku. Aku takut menghancurkan yang tersisa dari hubungan kami. Tapi aku juga tak bisa berhenti menjadi The Moon. Akun itu sudah menjadi separuh napasku. Tempat aku bisa bicara tanpa ditertawakan. Tempat aku merasa berguna, didengar, dan tak sendirian. Setiap kali seseorang mengirim pesan, “Terima kasih, aku jadi lebih kuat hari ini,” rasanya seperti dunia mengangkatku ke permukaan. Akan tetapi, di dunia nyata, aku semakin menjauh dari semuanya. ***

 

Hari-hari setelah menyebarnya identitasku di balik akun The Moon tidak menyenangkan, bahkan lebih menyedihkan lagi. Perundungan yang kudapatkan semakin parah, bukan hanya melalui ucapan, tetapi sudah menyerang fisik.

Batinku jelas tak bisa menerima kejadian yang sangat tiba-tiba ini. Aku bahkan berbohong kepada ibu, mengaku kurang sehat agar diizinkan beberapa hari tak pergi ke sekolah.

“Diminum teh hangatnya, Ibu belikan obat dulu ke apotek depan,” kata ibu sebelum akhirnya meninggalkanku sendirian di kamar.

Tubuhku lemas, kakiku bahkan tak bisa menahan berat badanku barang sebentar saja untuk berdiri. Aku terkulai, tepat di samping ranjang. Dengan kondisi yang menyedihkan, aku menarik tubuhku ke sudut ruangan, duduk di sana memeluk lutut. Aku menangis.

Dengan napas memburu, kubiarkan mataku bergerak ke sekitar ruang. Di atas meja, gunting hitam melintang tak digunakan. Aku bangkit, berjalan terseok-seok mendekat. Tubuhku bergetar, tangisku semakin kencang. Gunting itu kupegang dengan perasaan risau. Tepat sesaat sebelum benda runcing itu menusuk perutku, ponsel yang kuletakkan di dekatnya kembali berdering.

Kali ini berbeda.

Bukan komentar pedas dari video terbaruku, bukan juga pesan singkat dari teman sekolah, melainkan sebuah notifikasi pesan berderet panjang yang masuk di akun The Moon.

Bisa dipastikan lebih dari dua puluh orang mengirimkanku pesan, tetapi isinya hanya umpatan dan makian seolah diriku manusia paling hina. Namun, berbeda dengan sekarang. Hatiku berkata untuk membuka dan membacanya, mengurungkan niatku sebelumnya.

Kuletakkan lagi gunting di atas meja dengan gemetar lalu menarik kursi untuk kududuki.

“Halo, Kak! Perkenalkan namaku Zahwa. Aku salah satu followers The Moon! Aku cuma mau bilang kalau kakak hebat loh. Kakak udah bisa memotivasi aku buat bisa bersosial, biar nggak jadi introvert. Masalah yang sekarang bukan apa-apa kak, cuma batu kerikil yang tanpa sengaja masuk ke sepatu kakak, hehe. Gimana pun kakak di real life, kakak tetap The Moon yang aku kenal.

Seperti yang pernah kakak bilang, jadi introvert itu bukan berarti nggak bisa bersuara. Kakak juga bisa loh bersuara tentang masalah ini. Jangan takut! Banyak yang sudah terbantu sama konten-konten kakak. Salah satunya aku. Mulai sekarang, yuk coba pelan-pelan masuk ke hati, rasakan apa yang kakak mau.

Satu pesanku buat kakak. Dunia kakak ya cuma milik kakak. Orang lain nggak bisa pegang apalagi mengubah. Jadi, biar orang mau ngomong apa asalkan kakak bergerak di dunia kakak sendiri.

Semangat! Dari aku, Zahwa, salah satu orang yang sangat-sangat terbantu dengan motivasi yang kakak bagikan.”

Aku terenyuh, tetes air mata kembali turun membasahi pipi. Begitu sibuknya aku mengira semua orang membenci, tetapi lupa kepada mereka yang mendukung. Tidak banyak, tetapi tak bisa dibilang sedikit juga.

Seharusnya aku lebih membuka mata, menatap mereka yang senantiasa ada di sampingku, bersama mereka yang merasa terbantu dengan konten di media sosial yang kubagikan. ***

 

Tiga hari setelahnya aku terpaksa kembali ke sekolah karena tak mungkin trus berbohong kepada ibu. Sepanjang kakiku melangkah, sudah kusiapkan mental dan mencoba bersikap bodo amat dengan gunjingan orang-orang. Kasus itu sudah cukup tenggelam termakan waktu, tetapi tetap beberapa orang masih mempermasalahkannya.

Hari Senin, seluruh siswa SMA Kartika diwajibkan mengikuti upacara bendera. Seperti biasa, aku berdiri di barisan belakang, tanpa suara, tanpa mendongakkan kepala, dan tentunya kali ini tanpa Reta berdiri di sampingku. Hari ini aku tak melihat Reta sama sekali. Dari kabar yang merebak di akun SMA Kartika, Reta adalah orang yang menguak siapa aku sebenarnya. Bukan hanya aku yang diserang, tapi Reta pun juga terkena dampak dari perundungan The Moon.

“Pengkhianat loe Reta! Katanya sahabat, tapi tega ngehancurin The Moon!”

“@Retaa halah, orang macam loe mending jauh-jauh deh!”

“Loe nggak pantes sekolah di sini @Retaa. Cuma bisa ngumbar doang!”

 

Aku menarik napas panjang, mengingat komentar pedas yang mengenai Reta. Kuharap ini segera usai dan aku bisa kembali berteman dengan Reta. Sekolah yang dulu tak begitu menakutkan bagiku kini sangat-sangat mengerikan.

Suara mengalun tegas dari speaker, menyadarkanku dari lamunan. Aku membetulkan topiku dan berdiri tegak karena petugas keamanan upacara mondar-mandir tepat di belakangku. Waktu berlalu cepat, seiring dengan matahari yang mulai meninggi. Rangkaian upacara satu per satu telah terlaksana. Hingga, sampai pada sesi amanat pembina.

Wanita paruh baya berdiri tegap di depan sana, mengharap tenang kepada seluruh siswa SMA Kartika yang berbisik protes di bawah sinar matahari. Aku masih diposisiku, menunduk di barisan belakang. Meski terlihat tak memedulikan sekitar, telingaku masih cukup jelas mendengar pidato panjang Ibu Yulastri, salah satu guru senior di sekolah ini.

“Beberapa minggu terakhir beredar berita yang ramai diperbincangkan mengenai The Moon, yang ternyata pemiliknya salah satu siswi di SMA Kartika.” Mendengarnya, aku mendongakkan kepala. Bertepatan dengan itu hampir seluruh manusia di sana menatap ke arahku. Karena itu, kuputuskan untuk kembali menunduk.

Jantungku berdegup sangat kencang. Rasanya ingin berlari pergi dari tempat itu segera. Akan tetapi, entah mengapa kaki ini enggan bergerak. Alhasil, tubuhnya hanya bisa membeku di tengah keramaian orang-orang berbisik tentang diriku.

“Saya sangat menyayangkan kejadian ini. Karena ternyata masih ada anak-anak SMA Kartika yang belum bisa mengekspresikan diri. Saya akui konten The Moon sangat bermutu, mampu bersaing dengan ratusan tren media sosial. Sayangnya orang di balik The Moon tidak mempunyai keberanian untuk mengungkapkannya dengan tubuh yang berdiri tegak di hadapan kalian semua seperti saya,” ucap Ibu Yulastri dengan nada tegas dan tenang.

Peluh membanjiri sekujur tubuhku. Kakiku semakin lemas, kepalaku pusing, beberapa menit lagi mungkin aku akan limbung ke tanah.

“Akan tetapi, melakukan perundungan bukan keputusan yang baik. Saya saksi, saya membaca seluruh komentar jahat di video yang diunggah. Nama sekolah terseret, jelas. Sayangnya itu hanya bisa merusak mental seseorang. Percayakah kalian jika ada ratusan, bahkan ribuan orang yang terbantu dengan konten motivasi yang The Moon buat?” Ucapan Bu Yulastri kali ini berhasil membuatku berani mengangkat kepala.

“Kalian kenal Zahwa?” Pertanyaan yang ditujukan untuk seluruh siswa itu membuatku mengangguk tanpa sadar. “Zahwa, putri saya. Salah satu orang yang terbantu dengan konten yang dibagikan The Moon. Zahwa yang dulu tidak berani berkenalan dengan orang, Zahwa yang setiap harinya hanya pulang pergi dari rumah ke sekolah, dari sekolah ke rumah, tanpa pernah merasakan dampak bersosial. Sekarang dia sudah berani mencoba membuka diri, keluar dari zona nyamannya. Karena apa? Karena konten media sosial yang tidak sengaja dia lihat di beranda,” sambungnya kemudian.

Aku menelan ludah kasar. Zahwa, seseorang yang mengirimkanku pesan penyemangat tempo hari. Yang juga berhasil menahan tindakan bodohku untuk mengakhiri hidup. Ternyata, dia ada di sekelilingku. Dia Zahwa, anak kelas sepuluh yang juga anak dari Ibu Yulastri.

“Ingat ini anak-anak. Sampai kapanpun, perundungan tidak pernah dibenarkan. Apa yang dilakukan The Moon seharusnya tidak perlu kita permasalahkan. Kalian juga punya media sosial kan? Pasti ingin terlihat lebih dibanding diri kalian di kehidupan nyata. Media sosial bisa dijadikan tempat berkarya, tempat menyuarakan pendapat, tempat untuk kalian mengekspresikan diri. Lalu, apa yang dilakukan The Moon itu salah? Tidak kan?” Ibu Yulastri terdiam sehjenak.

 “Seseorang yang dikenal pendiam tidak harus selamanya menjadi pendiam. Mereka butuh berekspresi, mereka butuh berusaha, dan media sosial salah satu wadah untuk kebutuhan mereka.” Di akhir amanatnya, wanita itu memberikan senyuman. Matanya tak sengaja berpapasan dengan mataku. Kulihat senyuman tulus itu sembari tersenyum juga.

Di dalam hati, aku mengucapkan beribu kata terima kasih kepada Ibu Yulastri. Beliau menyuarakan maksudku, tidak ikut menggunjing hampir seisi sekolah bersikap sama.

Namun, kata-kata yang diucapkannya setelah itu menjadi pengingat. Beliau berkata, “Jangan lihat siapa yang menyampaikan, tetapi lihatlah apa yang disampaikan.”

Sisa hari itu kuhabiskan seperti biasa, tetapi sedikit berbeda karena suasana hati yang perlahan membaik. Hari itu juga aku bertemu langsung dengan Zahwa. Kami mengobrol di kantin, menikmati aneka macam camilan yang dijual. “Ah! Ini yang kumau dari dulu,” seruku dalam hati.

“Mulai sekarang janji buat nggak nutup diri ya, Kak? Kakak harus bangga sama semua pemikiran Kakak, harus bangga juga kalau kakak itu manusia di balik akun The Moon.” Pesan zahwa kepadaku sesaat setelah kami mengisap jus jeruk di kantin Kartika.

Aku harus bangga menjadi The Moon, aku harus bangga kepada diriku sendiri. Itu pesan Zahwa yang terus kupegang erat hingga saat ini.

Hari-hariku setelahnya terasa lebih berwarna meskipun tanpa Reta di sampingku. Aku mulai kembali membuat konten media sosial setelah mengklarifikasi peristiwa tak mengenakkan beberapa waktu lalu. Untungnya, ribuan pendukung masih setia bersamaku. Mereka masih menyimak pesan-pesan yang kubagikan tanpa menoleh ke belakang.

Yang lalu biarlah berlalu.

Nara yang sekarang bukanlah Nara yang dulu. Perlahan aku mulai mengikuti nasihat Zahwa. Aku belajar membuka diri, mencoba mengusir perasaan takut ketika berada di tengah keramaian. Berhasil. Aku berhasil walaupun masih ada setitik rasa yang belum benar-benar hilang.

Namun, sampai di titik ini aku sudah bangga pada diriku.

The Moon sekarang sudah mempunyai satu juta lebih pengikut. Video yang rutin kuunggah setiap hari rata-rata menyentuh ratusan ribu penonton. Konten yang kubagikan juga semakin beragam. Sekarang, Nara dikenal sebagai konten kreator motivasi.

Yang terpenting, aku sudah bisa memotivasi diriku sendiri. ***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
The Moon
Shinta Puspita Sari
Cerpen
CURHAT CUCU
Kiki Isbianto
Cerpen
99.99% Headshot
Veron Fang
Cerpen
Bronze
Dikejar-kejar Polisi
Titin Widyawati
Cerpen
Sebuah kegagalan karena ketidakpedulian kesombongan dan meremehkan perhatian kecil
Andika Prawira
Cerpen
Bronze
SAATNYA KEMBALI
Citra Rahayu Bening
Cerpen
Bronze
Coba Kau Lihat ke Arah Ban, Nak!
Nuel Lubis
Cerpen
1: Kopi dan Para Pemikir
Nana Mangoenmihardjo
Cerpen
Bernasib Seperti Socrates
Sayidina Ali
Cerpen
Pembunuh yang Kucintai
Kaylasyifa Azzahrie
Cerpen
Tokoh Saya yang Bernama Marya
Haryati SR
Cerpen
Bronze
Jomblo ini Belum Berakhir
mahfudz siddiq kr
Cerpen
Melodi Cinta Biru
REZA
Cerpen
Bronze
Setelah Kematianku
Lisnawati
Cerpen
Bronze
Usman dan Ujang, Suatu Kali
Harsa Permata
Rekomendasi
Cerpen
The Moon
Shinta Puspita Sari
Novel
Unfair Marriage
Shinta Puspita Sari
Flash
HANUM
Shinta Puspita Sari
Cerpen
MENDEKAP MARAPI
Shinta Puspita Sari
Cerpen
Jadi, Boleh Aku Mencintaimu?
Shinta Puspita Sari
Cerpen
Senja di Langit Lahewa
Shinta Puspita Sari
Novel
Jadi, Boleh Aku Mencintaimu?
Shinta Puspita Sari
Novel
Takdir yang Tak Pernah Kusepakati
Shinta Puspita Sari
Flash
MANTAN PER*K
Shinta Puspita Sari