Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
The Lost's Neighborhood Serenity
2
Suka
3,110
Dibaca

9 Maret 2021. Adalah hari ulangtahun pernikahan gue dan suami yang ke 2 tahun. Di usia pernikahan yang masih sangat teramat muda ini, kami sudah diberi amanah seorang anak laki-laki. Jagoan kecil yang kami beri nama Bambang, kini usianya sudah 1 tahun 4 bulan.

Terhitung dari tanggal ini, kami baru merasakan tinggal serumah alias seatap dalam waktu yang panjang. Karena sejak awal menikah, gue dan suami LDM (Long Distance Marriage). Jadi selama 2 tahun ini, paling lama dua minggu suami gue cuti. Itu pun sekali 4 bulan. Parahnya, pas corona melanda, 7 bulan suami gue nggak pulang. Karena dari perusahaannya belum memberi izin cuti.

Tapi, cerita ini bukan perkara rumah tangga gue. Melainkan tentang lingkungan baru gue dan suami. Di tanah Timor, daerah yang terkenal dengan julukan kota kasihnya, di sinilah kapal kami akan berlabuh.

Kupang, 9 Maret 2021

***

Malam ini, malam pertama di “rumah tusuk sate”. Padahal sebelumnya gue nggak tahu soal istilah ini. Gue baru tahu di hari pertama kami tinggal di sini. Itu mitos orang jawa. Konon, “rumah tusuk sate” adalah rumah yang terletak di ujung pertigaan jalan. Jadi kalau dilihat dari depan, seolah nggak ada jalan alias mentok. Yang buat gue jadi was-was, rumah itu biasanya menjadi jalur lalu lintas para makhluk gaib. Gue kesal jadinya sama suami gue. Udah tahu gue orangnya parnoan soal begituan, malah ngasih info yang aneh-aneh. Sumpah, gue nggak bisa tidur malam ini. Gue lihat jam dinding, udah pukul 12. Kumpulan adegan film horor yang udah gue tonton ditayangkan di layar monitor otak gue. Walapun sejak nikah gue tobat dari film horor. Tetap aja, gue masih parnoan. Gue perhatiin, suami dan anak gue udah tidur pulas.

“Tung...” gue kaget bukan main. Ada sesuatu yang jatuh ke atap rumah gue. Syukurnya, teriakan gue yang spontan, nggak ngebangunin anak dan suami gue.  Ngapain coba main bola malam-malam? Gue mencoba untuk mengalihkan ketakutan gue. Tapi yang ada, gue malah teringat dengan artikel yang pernah gue baca. Kalau tengah malam, ada sesuatu yang jatuh ke atap rumah, penghuni rumah mesti hati-hati dan segera nyalakan kran di kamar mandi. Sebab itu adalah tanda seseorang sedang mengirim marabahaya, pelet, atau semacamnya ke rumah itu. Gue balik lagi ke kepercayaan gue. Mulut gue nggak henti-hentinya ngucap. Yang membuat suasana semakin horor, salakan anjing silih berganti. Gue tarik selimut dan meringkuk di dalamnya. Mencoba tidur.

Akhirnya gue terlelap. Malam berganti menjadi pagi. Gue bangun. Usai shalat, gue masak buat sarapan anak dan suami gue. Saat gue jalan menuju dapur, tiba-tiba ada suara dari luar rumah. Gue nggak kenal dengan orangnya.

“Sayur ko?” gue mikirnya apa dia mau minta sayur? Karena gue nggak ngerti bahasa orang sini. Gue intip dari sela-sela tirai jendela. Di depan pagar rumah, tampak seorang bapak sedang memikul keranjang rotan berisi sayur-mayur. Gue paham, ini bapak jualan sayur. “Sayur ko atau sonde?” tanya Bapak itu lagi.

“Sonde,” jawab gue. Walaupun gue asal jawab, tapi pilihan gue tepat. Setelah gue jawab seperti itu, si Bapak langsung bilang “Baik. Beta terus,” kemudian berlalu pergi. Kamus bahasa Kupang gue  nambah. Jadi, sonde itu tidak. Ko itu seperti partikel kah dalam bahasa Indonesia.

Hari kedua, hari ketiga, dan hari-hari berikutnya tinggal di tanah beta. Orang-orang di sekitar sini mulai mengakrabi gue. Yang buat gue risih, ada seorang cewek bergaya rambut bob, yang berusia sekitar 20 tahun dari perwakannya. Tu cewek blak-blakan nanya ini itu. Ya bukannya sombong atau nggak mau bersosialisasi, tapi perkenalan alias PDKT itu ada tahapannya. Apalagi dia sampe celingak-celinguk ngintip isi rumah gue.

Baru-baru ini gue tahu nama cewek itu Talita. Rumahnya pas di belakang rumah gue. Hanya dinding setinggi 2 meter sebagai penyekat. Jadi, kamar gue bersebelahan dengan ruang tamu rumah Talita. Tu cewek keponya bukan main.

Setelah pekerjaan gue selesai, seperti biasa, gue nyantai sambil ngeliatin anak gue main sepeda di teras rumah. Sengaja pintu rumah nggak gue tutup rapat. Biar ada pertukaran udara. Karena hawa rumah gue pengap, ditambah lagi suhu di kota ini tinggi. Berada di dalam rumah rasanya seperti kekurangan oksigen.

“Bambang main sepeda ee...” sapa Talita yang muncul dari gang kecil menuju rumahnya. Gue balas dengan senyum tipis. “Bambang pung sepeda bawa dari kampung ko?” nambah lagi kosakata gue. Pung itu artinya kepunyaan. Jadi sama kayak bahasa Inggris. Bambang’s bycycle, artinya sepeda Bambang. Dalam bahasa Kupang, Bambang pung sepeda artinya sama, sepeda Bambang, jadi sepeda punya si Bambang.

Gue menyerngit mendengar pertanyaan Talita. Mau belinya di kampung, di sini, atau sekalian di Amerika ya bukan urusan lo juga kali ya.

“Iya, bawa dari kampung,” padahal mau gue jawab nggih.

Loh, ini dia mau ngapain? Gue hanya tercengang melihat Talita melangkah mendekati pagar rumah gue. Apa boleh buat. Dia masuk ke teras gue dan duduk di samping gue. Ini orang SKSD atau caper ya?

Setelah ngobrol kurang lebih 15 menit, Bambang menguap. “Aduuh, Bambang su ngantuk e... Bobok dulu Bambang,” satu kosakata lagi. Su itu artinya sudah. “Yaudah Kak, Be mau pi ke kios dulu,” gue mulai ngerti bercakap dengan orang beta. Pi itu artinya pergi. Syukur gue si Talita itu berlalu meninggalkan rumah gue.

Soal Talita mungkin bukan masalah besar. Gue mencoba untuk positive thinking. Semoga aja nggak ada masalah besar. Ya kalau bisa nggak ada masalah. Tapi yang namanya hidup pasti ada masalah. Balik ke manusianya lagi, apa masalah itu benar-benar akan menjadi masalah atau bukan. Ngomongin masalah, yang diomongin panjang umur nih. Waktu gue lagi bacain dongeng sebelum tidur untuk Bambang, ada suara teriakan dari rumah Talita. Nggak jelas ngomong apa. Yang pasti gue kenal banget sama suaranya. Ya itu si Talita. Kemudian, disusul suara bantingan pintu. Sepertinya telah terjadi perang dunia ke-3 di rumah Talita. Anak gue nggak cuma kaget, tapi dia juga ketakutan. Bambang berguling mendekat ke arah gue.

“Peluk, Bu. Takuut, Bu,” lirihnya manja.

“Nggak papa ya, Nak. Ada Ibu. Berani,” seru gue menenangkan Bambang.

Setengah jam berlalu, perang pun masih berlanjut dan semakin mencengkam. Satu per satu suara yang nggak gue kenal bermunculan. Masalahnya apa coba? Mesti ya bertengkarnya tengah malam begini. Apa nggak bisa delayed dulu?

Gue lihat suami, udah berenang-renang di kolam mimpi. Maklum, kecapekan. Jadi mau orang perang dunia pun ya emang gue pikirin.

Sambil gue elus-elus kepalanya, akhirnya si bocil tidur juga. Nggak tahu deh jam berapa tidurnya, nggak kepikiran lagi lihat jam. Mata gue udah protes.

Paginya, seperti biasa gue masak buat anak dan suami. Pas lagi fokus ngiris bawang, ada suara yang mengejutkan gue. Syukur aja jari gue nggak ikut keiiris kayak di sinetron. Biasanya kan gitu, kalau lagi ngiris bawang, terus ada sesuatu yang buat si tokoh terkejut, ya jarinya ikut keiiris. Gue kacangin aja tuh orang. Pagi-pagi udah ngedor rumah orang. Kalau si tukang sayur yang biasa lewat gue kenal sama suaranya. Orang itu meninggikan nada suaranya.

“Permisi. Sayur ko?”

Akhirnya gue putusin untuk membuka pintu, setelah nyadar kalau stok cabe gue habis.

“Iya, cabenya ya Kaka,” pinta gue. Betapa kaget dan horornya pas gue tahu ternyata orang yang jualan sayur ini beda. Tampangnya kayak buronan. Rambut gondrong, bibirnya bertindik, telinganya beranting. Ni orang serius jualan sayur?

Gue rasanya ingin cepat selesai aja deh. Pas orang itu lagi ngambilin apa yang gue pesan, dia malah nanya baju gue.

“Ibu, baju yang seperti Ibu pake itu ada ko? Saya suka sekali dengan baju itu,” ni orang gila ya. Apa maksudnya nanya kayak gitu? Ya baju gue nggak ada bagus-bagusnya. Ya namanya juga baju tidur. Jantung gue rasanya semakin berdetak kencang.

“Nggak jadi aja ya, Kaka,” gue langsung tutup pintu. Trauma gue beli sayur sama orang yang lewat-lewat.

***

Huft, akhirnya gue bisa me time. Setelah rentetan rutinitas harian gue sebagai ibu rumah tangga DONE. Suami gue udah berangkat kerja. Si bocil gue pun juga udah tidur sehabis makan, mandi, terus main lego. Gue ambil pena dan si Picka, buku catatan pink kesayangan gue. Jemari gue mengayunkan pensil. Otak gue mulai menvisualisasikan kata yang muncul.

“Tang, tung...” terdengar bunyi wajan jatuh ke lantai. Si bocil gue kaget dan terbangun. Baru juga menuliskan satu kata, ada aja yang ganggu. Lagi-lagi suaranya bersumber dari rumah Talita.

Terpaksa deh mulai dari nol lagi. Kayak pom bensin aja ya. Tapi emang butuh 15 menit lagi nidurin bocil sampe kembali tidur pulas. Gue elus-elus kepala Bambang, sambil nyanyiin lagu Ambilkan Bulan, Bu, lagu kesukaannya. Gue paksain mata gue tetap terbuka lebar. Malah kebablasan ngorok. Gue kebangun, pas mau buka pintu. Tadaaa, bocil ikutan bangun. Yasudah lah. Gagal me time deh gue. Saatnya siap-siap untuk makan siang.

Malamnya, nggak ada masalah. Lancar jaya. Gue bisa tidur pulas. Nggak terasa udah pagi lagi. Seperti biasa tukang sayur datang menyapa.

Dari pagi, ke siang, terus malam, pagi lagi, lalu siang, tibalah malam, aktivitas gue ya muter-muter di situ aja. Namanya juga ibu rumah tangga anak satu. Kadang di sela-sela pekerjaan rumah, gue sempatin baca artikel tentang parenting. Maklum lah ya mamak-mamak jaman now. Yang lucunya dan buat ketawa ngakak, aktivitas gue diselingi musik perang dunia ke-3. Apa nggak makin pecah kepala? Huft...

Udah hampir sebulan gue tinggal di sini. Mulai dari tukang sayur, si Talita Sang Ratu Kepo, dan nah ini masalah terberatnya, kehebohan dan keributan keluarga Talita. Untuk persoalan terakhir ini, bagi gue adalah the complecated problem.

Kadang gue mikir, tu orang masalahnya apa ya. Nggak ada absennya bertengkar. Ada aja yang diributin. Ya kali aja udah jadi hobi ya, suka heboh. Di mana-mana orang pasti nyarinya ketenangan. Apalagi bagi ibu rumah tangga macam gue ini.

“Feli, Feli, makan dulu!” teriak seorang laki-laki dari rumah Talita. Gue automikir, tu Bapak anaknya ada berapa ya? Yang gue tahu Talita, Sean, Jean, Malika, Diandra, dan Mala. Ah, bodo amat. Mikirin anak orang segala sih.

Mesti ya si Bapak itu manggil anaknya teriak kayak di hutan? Kenapa nggak pake toa aja sekalian? Biar seRT dengar.

Nggak pernah kebayang sama gue bertetangga dengan keluarga super duper heboh, doyan ribut, hobi perang. Nggak afdal kalau nggak perang sehari. Tapi, inilah takdir gue dan keluarga kecil gue.

Ini gue kasih tahu hukum probabilitas kehidupan ibu rumah tangga. Hidup lo nggak akan pernah baik-baik aja selama lo punya tetangga yang super duper heboh, doyan ribut, dan hobi perang. Catat itu baik-baik.

Mulai hari ini, gue centang di kalender gue setiap kali mereka perang.

“Pemirsa, telah terjadi perang dunia ke-3, season 4, episode 99,” gue iseng-iseng update status di Whatsapp. Banyak yang nanggepin. Ujung-ujungnya malah ngakak. Duh, jahat banget sih gue. Problematika kehidupan tetangga gue jadiin lelucon. Yaaah hidup ini udah penuh lika-liku, kalau dibawa serius dan emosi, bukan cuma nambah pusing doang, meledak tu otak jadinya. Energi pun habis, asam lambung naik, beresiko terkena darah tinggi.

“Glori, jang ke sini. Di situ sa,” bentak suara seorang perempuan. Gue yakin itu suara Talita. Lumayan untuk nambah kosakata gue. Jang artinya jangan. Sa itu artinya saja. Kenapa orang beta bahasanya suka disingkat gitu ya? Akh, bukan urusan gue. Siapa lagi Glori? Apa nggak bisa volume suaranya diturunin?

***

Sorenya, hujan turun deras di tanah Timor. Semulanya hanya rintik gerimis. Huft, udah hampir sebulan gue tinggal di sini, akhirnya gue bisa mencium lagi aroma khas tanah yang tersiram air hujan.

Bagi pujangga, hujan selalu dikaitkan dengan rindu, luka, kecewa, dan semua yang mellow pokoknya. Tapi bagi anak kecil seperti Bambang, hujan menjadi hal yang menyenangkan. Namun, kalimat ini dipatahkan karena tetangga sebelah. Pas gue dan anak gue lagi asyik-asyiknya mengadu kasih di antara tetesan hujan, terdengar suara raungan Talita mengamuk. Ritme hujan menjadi tidak karuan karena berpadu dengan suara Talita.

Pliis, kalau lo mau hidup tenang jangan coba-coba tetanggaan sama keluarga yang super duper heboh, doyan ribut, dan hobi perang. Tertanggal 9 April 2021 mendatang, genap 1 bulan gue hidup berdampingan dengan tetangga “menyebalkan”. Dan gue belum menemukan solusi untuk masalah ini. Tiap hari gue serasa dikejutkan oleh suara meriam. Memang gue benar-benar dibuat seperti berada di medan tempur.

Di tengah suara gaduh keributan mereka, gue merenung. Syukurnya Bambang tetap fokus menikmati nyanyian hujan. Dari perenungan, ada beberapa opsi yang gue ajukan sebagai solusi permasalahan ini. Aduh, ribet ya gue. Tapi percayalah, punya tetangga hobi perang lebih ribet.

Berikut opsi untuk solusi perkara menghadapi tetangga yang super duper heboh, doyan ribut, dan hobi perang:

1.      Pindah rumah

2.      Bertahan dan menyetel lagu sekeras-kerasnya

3.      Bersikap bodo amat

Dari 3 poin di atas, gue analisis satu per satu. Poin pertama, pindah rumah. Ya kalau solusi ini gue terapkan mesti nyari rumah kontrakan lagi. Boro-boro mau nyari rumah lagi, untuk dapetin rumah yang sekarang aja susah dulu nyarinya. Dan kalau pindah, artinya gue gagal beradaptasi. Gue nggak lolos ujian dalam menghadapi rintangan kehidupan. Poin kedua, bertahan dan menyetel lagu sekeras-kerasnya. Ya gue mikirnya supaya lagu itu bisa meredam suara keributan keluarga Talita. Solusi ini efektif diterapkan kalau anak gue lagi bangun. Berikutnya, poin ke tiga, bersikap bodo amat. Apa bisa seorang ibu rumah tangga dengan segala kerepotan mengurus toddler bersikap bodo amat untuk permasalahan ini? Lama-lama gue bisa jadi pasien dokter psikiater. Ini peringatan terakhir. Gue mesti nyari cara untuk menyelamatkan kewarasan gue.

Hujan mereda. Untungnya, perang pun berakhir. Gue nggak tahu dan nggak peduli siapa yang menang dan siapa yang kalah. Bambang pun mengantuk. Sambil nidurin dia, gue nidurin pikiran gue.

Limabelas menit kemudian...

Dan apa yang terjadi? Malah mata gue maunya kebuka aja. Gue coba tidur lagi sambil ngebayangin the first night gue jadi seorang ibu.  And minute by minute, gue berhasil berlabuh di pulau mimpi. Gue tertidur bareng si Bocil.

Pas bangun, rasanya fresh banget jiwa raga gue. Lima menit berlalu, gue masih meleyot-leyot di kasur. Lagi dan lagi, suara gaduh peperangan terdengar dari rumah Talita. Kali ini lebih parah dari sebelumnya. Semua orang di rumah Talita, seperti menyerangnya. Gue kasihan juga. Masalahnya apa ya?

Sebenarnya ada yang janggal dari Talita sejak pertama kali gue tinggal di sini dan ketemu dia. Ya gue nggak mau bersangka buruk dan menyimpulkan sendiri. Gue pun juga orang baru. Tapi apa yang gue lihat selalu terbayang dalam pikiran gue. Perutnya itu lo, kayak baby bump. Oke. Gue nggak akan berpikir lebih jauh lagi.

“Tu, Ibu. Orang teriak-teriak,” ujar Bambang dengan aksen khas kekanak-kanakannya.

“E... Anak Ibu udah bangun. Iya, orang teriak-teriak. Bambang kaget ya dan kebangun? Nggak papa ya, Nak. Sini, peluk Ibu,” gue tenangin anak gue dan peluk dia. Ini juga yang gue khawatirin dari keributan tetangga sebelah, dampak buruknya ke anak gue.

Rasanya gue mau manjat langit, malam ini berlalu dengan aman dan lancar jaya. Gue bisa menari-nari di panggung mimpi. Gue harap malam-malam berikutnya juga seperti ini.

Paginya, setelah suami gue berangkat kerja, gue menjemur pakaian di teras dapur.

“Pagi, Ibu,” sapa Oma yang saat itu lagi menjemur cucunya. Oma adalah tentangga gue yang rumahnya bersebrangan dengan rumah gue. Pertama kali gue kenal Oma, orangnya ramah dan peduli sekali.

“Pagi, Oma. Waah, Khalila kacamatanya bagus ya,” rayu gue basa-basi. “Hmm... Oma, maaf mau tanya Oma ee... Itu Talita kenapa sering sekali menangis dan meraung? Kadang membanting pintu na, teriak-teriak,” tanya gue penasaran sambil menirukan aksen orang Timor berbicara. Pasti Oma tahu karena beliau termasuk orang lama di sini.

“Aa... Sudah biasa seperti itu. Dari dulu begitu na. Karena ini ju, dia ada isi na,” jelas Oma. Gue kagetlah dengarnya. Ya walaupun gue sempat berasumsi seperti itu. Gue nggak enak hati nanya lebih lanjut lagi. “Tapi, yang cowoknya itu sonde mau nikah na. Jadi, neneknya, bapaknya, mamaknya, semua, marah,” tambah Oma.

“Begitu Oma. Maaf, ya. Karena anak saya itu jadinya kaget, takut, mendengar mereka bertengkar. Hampir setiap hari saya rasa.”

“Ee, orang di sini su tahu semua na. Sudah, biarkan sa Ibu.” Ya tanggapan terakhir Oma menyimpulkan bahwa orang-orang di sekitar sini sudah memaklumi.

Malamnya usai family lunch, gue coba mengutarakan usulan gue untuk pindah rumah.

“Mas, kayaknya kita mesti pindah rumah deh. Nyari kontrakan lagi,” oke. Gue stop dulu kalimat gue.

“Kenapa? Memang di sini kurangnya apa?”

“Ya nggak ada kurangnya. Cuma aku nggak nyamannya aja. Nggak tenang aja,” jawab gue. Suami gue tersenyum nyengir.

“Kamu takut karena Mas bilang rumah tusuk sate?” suami gue mengelus rambut gue. “Itu kan hanya mitos lo, Dek!” dia berusaha menimbulkan rasa berani di dalam diri gue.

“Bukan lo, Mas. Itu tetangga sebelah. Ribut nggak ada liburnya. Peraaang terus. Jadinya anak kita sering kebangun, rewel, dan takut. Aku juga yang repot,” jelas gue.

“Dek, gini ya Mas jelasin. Kalau kamu kerja, ada karyawan bahkan ada atasan yang buat kamu nggak nyaman dan terganggu di tempat kerja apa kamu bakalan langsung pindah kerja? Nyari kerja susah lo. Ya begitu juga hidup. Kalau kita nggak bisa bertahan dan ngatasin masalah, nanti berikutnya akan lebih besar masalah yang bakal datang. Yang ribut dan perang cuma mereka,” kayaknya gue underline deh kata-kata cuma. Seremeh itukah permasalahan ini di mata suami gue? Hello... yang banyak menghabiskan waktu di rumah itu gue. Jadi yang merasakan semua penderitaan gue. Terus satu lagi, gue nggak setuju permasalahan ini dibandingkan dengan dunia kerja. Dunia emak-emak dengan seabrek kesibukannya mengurus toddler, rumah, dan suami itu jauh lebih melelahkan. Bukan hanya dari segi tenaga, pikiran dan perasaan pun ikut terkuras. Mungkin hanya sebangsa emak-emak yang paham dengan apa yang gue alami. Apa gue buat komunitas E12EH (emak-emak want to be happy)??!

Makin ke sini gue pun semakin diuji. Gue terus belajar dan memperdalam ilmu menjadi seorang ibu. Ternyata dunia parenting itu luas. Menurut salah satu artikel yang gue baca, di usia 1-3 tahun, anak rentan mengalami tantrum. Ya inilah yang terjadi dengan Bambang. Jadwal bangun, makan, mandi, main, sampai dia kembali tidur menjadi berantakan. Giliran gue udah ngantuk berat, si bocil malah masih energik main, loncat-loncat, muter-muter. Pas giliran dia udah ngantuk dan gue nidurin dia, terdengar suara meriam dari tetangga sebelah. Dan terjadilah perang. Entah perang episode yang ke berapa, udah nggak terhitung. Centang di kalender pun udah banyak yang terlewat dan nggak tercatat saking hampir setiap harinya, bahkan pernah sehari itu dari pagi sampai malam perang.

Ternyata nggak cuma cinta yang membuat seseorang menjadi gila dan berkhayal yang aneh-aneh. Seorang ibu yang stres punya anak toddler dan tetangga hobi perang bisa menyebabkan gejala serupa. Kadang gue mikir ya, andai gue punya robot kayak doraemon, gue bakal minta dia ngeluarin alat yang bisa melindungi rumah gue dari suara gaduh dan keributan perang.

Dan juga buat suami gue. Ini bukan permasalahan receh, ini perkara besar. Sebab ini merenggut ketenangan seorang ibu. Rasanya gue mau nyebur aja deh ke laut.

Malam ini terjadi lagi perang. Talita meraung. Suara pintu dibanting. Gue ajak Bambang main di teras rumah. Lumayan, suara kegaduhan perang sedikit meredam. Awalnya Bambang kepo juga nanya ini itu.

“Ibu, orang teriak-teriak terus,” ujarnya dengan aksen khas kekanak-kanakannya.

“Iya. Biar aja, ya. Yook main. Eh, itu ada kucing,” seru gue mengalihkan perhatian Bambang seraya menunjuk seekor kucing yang tiba-tiba loncat dari balik pagar rumah. Sepertinya ini kucing persia. Bulunya tebal dan berwarna abu-abu. Di lehernya ada kalung biru melingkar.

“Waah, kucing. Halo kucing,” untung banget gue, dia lupa dengan perkara perang tetangga sebelah. Kalau nggak, nanti bakalan macam-macam lagi pertanyaan yang diajukannya. Selang beberapa menit, datang seekor kucing lagi. Sama kucing persia. Tapi gue nggak tahu betina atau jantannya. Bukan pawang kucing gue. Bulunya warna putih.

Bambang senang banget dan menikmati bermain bersama dua ekor kucing. Kemudian, suara raungan Talita mendekat.

“Mamaak... jangaaan ee...” teriak Talita. Sekarang mereka ribut tepat di depan teras rumah gue.

Gue tetap fokus menemani Bambang bermain dengan kucing. Lalu, seorang anak perempuan yang gue tahu itu adik Talita, Malika, menerobos masuk ke teras rumah gue.

“Permisi, mau cari Glori sama Feli,” tanya Malika. Ya mana ada. Gue jelas cuma berdua. Gue dan anak gue, Bambang.

Sonde ada,” jawab gue singkat. Malika melirik kiri-kanan. Didapatinya Bambang sedang bermain dengan dua ekor kucing.

“Itu. Glori, Feli... Ayo pulang,” titahnya. Owalah, jadi Glori dan Feli itu kucing.

Setelah Malika membawa pergi dua ekor kucingnya keluar teras, gue pun membawa Bambang masuk ke dalam rumah. Perang tetap berlanjut.

Malamnya, gue ajukan lagi ke suami gue.

“Mas, nggak bisa Mas dibiarin terus. Aku nggak tenang. Tetangga itu loh ribut terus,” keluh gue.

“Ya, jadi kamu maunya gimana?” tanya suami gue.

“Ya aku butuh refreshing Mas. Sebelum aku jadi pasien dokter psikiater,” ujar gue dengan mata berbinar berharap suami gue paham maksud gue.

“Yaudah, sekarang gini aja. Tiap hari, kamu ikut Mas ke resto aja. Sekitar siangan jam 11 Mas jemput,” kalimat suami gue sepertinya menjadi solusi permasalahan gue.

Sedikit informasi, suami gue kerja sebagai maneger restoran di pinggir pantai pelataran kota Kupang. Jadi bisa sekalian refreshing. Ada kedai kopi kekinian juga. Ngopi sambil mandangin laut, mantul!

Kalau soal perang keluarga Talita, masih melewati banyak episode. Bahkan, setahun gue tinggal di sini suara gaduh keributan dan perang menjadi backsound aktivitas gue. Jadi, kalau nggak mau kewarasan terganggu, jangan coba-coba hidup berdampingan dengan tetangga super duper heboh, doyan ribut, dan hobi perang!

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@kopiitem karena saya ambil gaya metropop. Suami saya orang jawa, saya orang minang. Jadi kami merantau ke kupang. Nama anak saya Fawwaz. Tapi dia manggil dirinya Bambang. Emang nggak logika. Itulah uniknya mnrt saya.
Setting Timor, manggil suami Mas, punya anak namanya Bambang, kenapa pakai Gue?
Makasih kk @priyAnt
Doa yang sma buat kk
Seru ceritanya sukses ya :)
Pernah punya tentangga yang super duper heboh, doyan ribut, dan hobi perang???
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
The Lost's Neighborhood Serenity
Hafizah
Cerpen
Bronze
Cerita Calon Koruptor
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Sipanggaron
Muram Batu
Cerpen
Bronze
panana paapa nanaada panapapana
Marhaeny Benedikta Tinggogoy
Cerpen
Bronze
Baliho
Muhaimin El Lawi
Cerpen
Bronze
Tugas Akhir
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Paradoks Kehidupan
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Obral Obrol Tetangga
Lovaerina
Cerpen
Messi, Jangan Pindah!
Serenade
Cerpen
Bronze
Apakah yang Kita Harapkan dari Hujan?
Habel Rajavani
Cerpen
Bronze
Restaurant Jang Kie
Muram Batu
Cerpen
Bronze
Mbah Rus
Bonari Nabonenar
Cerpen
(Serasa) Ngga Punya Tetangga
Amalia Puspita Utami
Cerpen
Afeksi Sang Rasi Phoenix
Fianaaa
Cerpen
Bronze
UITDF
Hary Silvia
Rekomendasi
Cerpen
The Lost's Neighborhood Serenity
Hafizah
Novel
Langis
Hafizah
Cerpen
Mrs. & Mr. Lion
Hafizah
Novel
Jejak Senyum Senja di Tepian Mahakam
Hafizah