Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam itu, angin berhembus pelan, membawa aroma sedih dari dapur kos yang kosong.
Jhony, mahasiswa semester entah ke berapa, duduk bersila di depan angkringan Pak Man yang setia buka sampai tengah malam.
Jhony lagi bokek.
Sisa saldo Gopay tinggal cukup buat beli dua bungkus nasi kucing dan teh anget.
Malam itu, dia makan sambil duduk di trotoar, sendirian, merenungi skripsi yang nggak kelar karena dosennya lebih sering update status "healing" daripada bales chat bimbingan.
Dengan Rp8.000, dia berhasil membawa pulang dua bungkus nasi kucing, satu tusuk telur puyuh, dan teh manis hangat dalam plastik bening yang diikat karet gelang warna merah muda.
“Ini sih bukan makan malam,” gumam Jhony sambil duduk di teras kos, “ini ritual bertahan hidup.”
Satu suap pertama masuk, aman. Suap kedua “KRAK!!!”
Jhony langsung berhenti. Dia membeku sejenak. Mulutnya mengunyah pelan sambil mengernyit.
"Astagfirullah… gigi gue kena ini barusan?"
Dia ludahin perlahan ke tangan.
Sebuah batu kecil hitam legam, mengkilap, dan... agak panas. Bentuknya nggak jelas, tapi dengan aura yang entah kenapa terasa luar angkasa banget. Jhony memelototi benda itu dengan mata sok ahli.
“Woy, ini bukan batu biasa, men... ini batu luar angkasa!” ujarnya dramatis, padahal nggak ada siapa-siapa.
Ia berdiri mendadak, hampir menumpahkan teh plastiknya.
Kepalanya mendongak ke langit gelap.
“Apakah ini... tanda dari semesta?” gumamnya, dramatis seperti aktor FTV yang kehilangan ingatan karena kecelakaan motor.
Tanpa pikir panjang, Jhony masuk kamar.
Dia taruh batu itu di atas meja belajar, di samping tumpukan kertas skripsi yang lebih sering jadi alas gelas. Ia menatapnya lekat-lekat, seolah itu artefak kuno dari film Indiana Jones.
Sinar lampu kamar menyinari permukaan batu yang mengkilap gelap. Ada semacam guratan samar, tapi bukan huruf, bukan angka kayak bekas terbakar, atau bekas gorengan jatuh, Jhony belum yakin.
“Oke,” katanya sambil membuka laci, “kalau ini meteor beneran, pasti... punya energi magnetik atau apa kek.”
Ia ambil senter, sendok, dan kompor mini portable sisa camping semester lalu.
Modal investigasi gaya anak kos sejati.
Uji pertama: cahaya.
Jhony sorot batu itu pakai senter dari HP-nya.
“Hmm... mengkilap. Tapi ya semua batu juga gitu sih kalau disenterin,” gumamnya sambil mencatat sok-sokan di kertas bekas print-an skripsi bab dua.
Uji kedua: panas.
Batu didekatin ke kompor mini yang dia nyalain pelan-pelan.
Setelah 30 detik, Jhony sentuh.
“MASYAALLAH PANAS JUGA!”
Ia spontan ngelempar batu itu ke atas kasur. Untung kasurnya udah keras kayak papan triplek, nggak kebakar.
Uji ketiga: magnet.
Jhony ambil magnet tempelan kulkas dari pintu kamar. Tempel ke batu.
Hening. Nggak ada reaksi. Tapi Jhony manggut-manggut sok paham.
“Wah ini berat jenisnya beda. Mungkin... antimateri.”
Tiba-tiba, suara dari kamar sebelah teriak:
“Oi Jhony, lu ngomong apaan sih? Antimateri apaan, itu kayak batu kerikil digoreng gosong!”
Jhony nggak peduli. Dia udah terlalu dalam.
Batu itu, baginya, bukan sekadar batu. Itu… peluang. Itu... mungkin jalan keluar dari skripsi, dari hidup kos, dari Pak Man, dari semua!
“Gue harus lapor ke NASA. Atau… ke Elon Musk. Tapi kayaknya NASA lebih sopan bahasanya.”
Jhony duduk tegak, mata penuh tekad, seperti ilmuwan di film-film dokumenter yang tayang di jam 2 pagi.
Laptop bututnya menyala, layarnya kedap-kedip karena LCD-nya pernah ketindihan buku statistik.
Dia buka Gmail.
Akun: jhonythelegend99@gmail.com
Subject: Important rock from space (I eat this)
To: nasa@space.us (asal-asalan, tapi niat)
Jhony mulai mengetik dengan bahasa Inggris hasil gabungan dari Google Translate, nonton Interstellar, dan baca komentar YouTube.
Dear Mr. NASA,
Last night I buy cat rice. I eat. I bite rock. But the rock is not bone. The rock is hot and shiny. I think it's meteor.
I already test it: hot, not magnetic, and reflect light. Maybe antimatter. Or alien USB.
Please analyze. If needed I can send via JNE or J&T. Please fast respond. This rock might save Earth. Or maybe not.
Thank you and sorry my English broken.
Your future scientist,
Jhony
(Attachment: Foto batu pakai kamera HP, flash terlalu terang sampai batu kelihatan kayak pentol bakso gosong.)
Setelah dikirim, Jhony bersandar. Dia menatap langit-langit kamar yang penuh coretan mimpi dan nyamuk.
“Hidup gue bakal berubah,” bisiknya pelan. “Dari kos ke Cape Canaveral.”
Selama tiga hari ke depan, Jhony gelisah. Dia refresh Gmail tiap lima menit. Dia bahkan mulai browsing “kurs dolar ke rupiah” dan “biaya kuliah ulang di luar negeri”.
Hingga akhirnya…
ting!
Satu email masuk.
From: nasa-research@space.us
Subject: Re: Important rock from space (I eat this)
Dear Jhony,
Thank you for your message. We appreciate your enthusiasm for space science.
After reviewing your photo and description, we can confidently say that the object you found is not a meteorite.
It appears to be a burnt piece of charcoal or cooking debris, possibly from grilled food.
Also, for clarification: what is “cat rice”? Should we be concerned?
Best regards,
Dr. Emily S.
NASA Research Division
Jhony menatap layar. Hening.
Burung pipit lewat di luar jendela, bersiul seperti mengejek.
Dari kamar sebelah, suara tawa teman kos terdengar:
“NASA katanya. Lah batu gosong tuh, cuk!”
Jhony masih diam. Matanya sayu.
Dia lalu menatap batu itu lagi, memegangnya dengan lembut, seperti sahabat lama yang bikin malu tapi juga susah dibuang.
“Setidaknya… lu pernah bikin gue merasa penting, Bro,” bisiknya pada batu itu.
Jhony mengambil bungkus nasi kucing yang masih sisa, membuka satu suap terakhir.
Gigi depan kanan masih ngilu.
Jhony menguap pelan, lalu menatap langit-langit kamar yang retaknya membentuk pola aneh mirip peta bintang versi anak kos.
“Ya sudahlah,” gumamnya, “kalau bukan NASA yang nyelamatin gue, mungkin nasi kucing yang bakal melakukannya.”
Dia tertawa kecil sendiri. Suara tawa yang capek tapi tulus, kayak tawa orang yang udah berhenti berharap tapi juga nggak benar-benar menyerah.
Lampu kamar terus kedap-kedip, kipas angin berdecit pelan, dan dunia tetap berjalan seperti biasa tanpa keajaiban, tapi juga tanpa alasan buat berhenti.
Jhony sadar, nggak semua tanda dari langit harus berarti besar. Kadang, semesta cuma bercanda, ngasih batu gosong biar manusia belajar ngetawain hidupnya sendiri.
Dan mungkin, itu justru jenis mukjizat yang paling realistis di dunia mahasiswa: bisa tetap ketawa meski hidup kayak nasi kucing kecil, dingin, tapi cukup buat bertahan satu malam lagi.
Sebelum tidur, Jhony sempat ngetik satu catatan di HP-nya:
“Kalau suatu hari NASA beneran bales lagi, bilang aja: saya udah baik-baik aja, Dok. Batu itu sekarang di hati.”
Lalu dia matiin lampu, nyelipin kertas skripsi di bawah bantal, dan memejamkan mata.
Di luar jendela, langit tampak tenang seperti ikut menonton seorang manusia kecil yang akhirnya berdamai dengan batu gosongnya sendiri.