Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Kamu kan tau kalo aku ga bisa bareng kamu lagi," kata Okta.
"Tapi kita bisa bangun hubungan kita dari awal lagi seperti dulu, Okta," ucap Ariel.
"Seperti dulu? Emang aku mandor harus ngebangun hubungan ini dari awal kita ketemu, gitu??" sahut Okta.
"Maksud aku ga gitu juga, intinya aku kepingin kita baik-baikan soalnya cewek kemarin tuh cuma temen doang kok," pinta Ariel.
"Alahh, matamu temen, jelas-jelas aku lihat kamu gandeng tangannya mesra banget kek abis prewedding aja," balas Okta.
"Please, berhenti chat dan ganggu aku. Kita bukan siapa-siapa lagi, aku harap kamu maklum apa yang aku katakan ke kamu," tegas Okta.
Aku langsung mematikan HP dan membiarkan tubuhku jatuh terhempas di atas kasurku. Hubungan yang kujalani selama 7 tahun kandas begitu saja ketika kupergoki pacarku (sekarang jadi mantan) bergandengan tangan dengan cewe lain. Patah hati ini terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Rasanya, tujuh tahun yang kulalui bersamanya sia-sia. Waktu yang seharusnya bisa kugunakan untuk hal-hal lebih produktif, seperti belajar untuk masuk ke fakultas kedokteran, habis begitu saja. Sekarang, malah jadi pengangguran tanpa arah.
Aku memutuskan untuk rehat dari percintaan yang tak ada habisnya. Lebih baik aku mencari informasi lowongan kerja dari teman-temanku. Sambil menunggu kabar dari mereka, aku memutuskan keluar jalan-jalan di sekitar kompleks untuk menikmati senja.
Rasanya ada yang beda kali ini. Senja ini terasa lebih sepi tanpa Ariel di sisiku. Biasanya, kami menikmati senja bersama, tetapi sekarang aku hanya bisa merasakannya sendirian. Aku harus melupakan Ariel! Bagaimana aku bisa maju kalau begini terus?
Aku berjongkok melamun di dekat danau taman sebelum akhirnya beranjak meninggalkan taman. Tanpa aku sadari, seseorang mengintipku di balik sebuah pohon.
Aku masuk ke rumah bukan karena lapar atau apapun itu, aku hanya pengen duit. Sumpah, lama-lama aku bisa stres kalau ga dapet kerja dari sekarang. Aku menuntun badanku menuju kasur, mengharap sebuah notifikasi di HP-ku kalau aku menang lotre 500 juta.
Aku pun tertidur dengan khayalan yang memabukkan kepalaku, diiringi dengan pandangan yang memburam lalu menghitam.
Paginya, aku senang setelah mendapat info dari sahabatku, Nining, kalau ada salah satu tempat yang sedang membutuhkan pegawai di dekat Jembatan Merah. Kebetulan, lokasinya dekat dengan rumahku. Aku bersiap-siap untuk ke sana dengan motor kesayangan peninggalan ayah, Supra Matic biru gelap. Sekitar 30 menit kemudian, akhirnya aku sampai di lokasi yang dikirim oleh Nining.
What the hell.
Ternyata ini di luar ekspektasiku, bahkan di luar nurul. Tempat yang aku datangi adalah sebuah motel dengan desas-desus sering ada penampakan hantu tengah malam, dan anehnya lagi, tempat ini kosong sudah lebih dari 5 tahun. Ga kebayang, tempat angker kek gini malah nyari pegawai. Ngapain aku lama-lama berdiri di sini, entar ketempelan lagi.
Aku segera pergi dari motel tersebut. Aku bingung, karena malas untuk merepotkan orang lain mencari lowongan kerja buatku, aku berkeliling Jembatan Merah siapa tau menemukan tempat yang lagi butuh orang. Sudah lama aku ga ke sini semenjak tamat SMA. Aku teringat masa-masa bermain dengan teman-temanku yang sekarang sudah punya kesibukan masing-masing.
Aku tidak mau menyerah. Nasib ini harus kuubah, meski tak semudah membalikkan telapak tangan. Setelah 25 menit berkeliling, aku menemukan sebuah warung warmindo dekat danau. Aku memutuskan mampir makan sembari mencari lowongan pekerjaan. Suasana warung tidak ramai, tidak sepi, hanya ada beberapa pasangan dan aku.
"Permisi kak, mau makan apa?" pelayan kemudian menyodorkan menu yang akan dipesan.
Kutatap menu, tampaknya untuk menghemat budget aku memilih indomie Aceh dengan telur ceplok sebagai toppingnya. Pelayan meninggalkanku setelah mengembalikan daftar menu. Aku termenung, bingung tepatnya, bagaimana caranya mendapatkan pekerjaan untuk membayar semua tuntutan kehidupanku. Sial. Yang cocok menggambarkan diriku saat melihat kembali Ariel bersama selingkuhannya. Aku buru-buru membuyarkan lamunanku. Buat apa mengingat si brengsek itu.
"Permisi?"
Aku sedikit tersentak. Siapa pria ini? Seenaknya saja duduk di depanku sambil menatapku dengan tatapan aneh. Aku perhatikan gelagat pria tersebut. Menurutku, dia...
Aneh.
Ya, aneh memang jika seseorang duduk di depanku sambil menatapku dengan tatapan kosong. Aku memberanikan diri untuk mengajaknya bicara, namun dia malah mencueki dengan tatapan kosong. "Permisi mas, maaf sebetulnya tempat ini sudah saya pakai dari tadi, barangkali mas bisa cari tempat lain soalnya banyak kok tempat yang kosong di sini," tanyaku dengan sopan.
Tetap tidak digubris.
Aku mengalihkan pandanganku dengan bermain ponsel karena terlanjur kesal dengan sikap pria tersebut. Tiba-tiba, seorang wanita membawa nampan makanan berisi pesananku. Aroma makanan langsung membuat perutku yang keroncongan berdemo untuk makan.
Aku pun melahap makananku sembari memainkan HP dengan tanganku yang satunya. Tidak ada yang menarik di HP, kuletakkan HP-ku lalu makan dengan lahap. Sementara itu, aku melirik pria yang ada di depanku ini. Sepertinya sejak tadi dia tidak lepas pandangannya dariku. Aku bingung harus apa. Aku cuma ingin dapat kerja, malah ketemu orang aneh di depanku ini.
Aku beranjak meninggalkan pria tersebut lalu ke kasir, membayar mi Aceh lalu pergi meninggalkan warmindo tersebut.
"Duh, gusti, anak-anak jaman sekarang ada-ada aja sukanya bicara sendiri kayak kesurupan aja. Ngeri aku ihh," pelayan tadi bergidik heran setelah melihat Okta bicara dengan sendirinya.
Aku melajukan sepeda motor dengan tenang sambil menikmati sunset melewati Jembatan Merah. Sudah lama aku tidak merasakan perasaan ini. Hatiku berdebar-debar ketika melewati tempat ini. Ketika kecil, aku pernah dibawa berjalan-jalan oleh ayah dan ibu ke jembatan ini. Seperti melihat diri sendiri, kulihat matahari yang berada di ambang tenggelam dengan lekat-lekat itu seperti ketika aku menggandeng lengan ibuku dan tangan ayah menuju sebuah taman untuk piknik. Saat itu, Raden, adikku, belum lahir ke dunia. Jadi, sementara, aku bersenang-senang karena masa-masa itu begitu...
Waww bagiku.
Namun, kesenangan dan kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Setelah kami piknik di taman, saat di trotoar jembatan tiba-tiba saja ibu mengalami kontraksi hebat, air ketubannya pecah mengaliri paha lalu betis hingga sela-sela jari kakinya. Ayah panik tidak karuan mencari bantuan, sedangkan aku bergeming menyaksikan ibu menderita. Saat itu, ibu tengah mengandung Raden dan umur kandungannya telah memasuki 9 bulan awal. Setelah ayah mendapat bantuan, dengan sigap ayah membopong tubuh ibu ke ambulans dibantu dengan perawat. Aku tetap bergeming di tempat.
Ayah memanggilku untuk naik ke ambulans. Saat itulah berita buruk datang kepada keluarga kami.
Angin semilir memainkan rambutku. Hari itu menjadi hari yang aku benci sampai detik ini. Matahari persis meninggalkanku diiringi sebulir air mata yang menuruni pipiku. Aku rindu dengan ayah, ibu, dan tentunya Raden. Kuusap pipiku. Aku kembali ke motor setelah sekian lama terjebak dengan penderitaan yang berbekas. Kunyalakan starter motor lantas melajukan motor membelah jalan dengan hati yang tak menentu.
Ibu meninggal di saat-saat tragis ketika Raden, yang saat itu akan lahir, tidak bisa keluar karena badannya terlilit oleh tali pusarnya sendiri. Ibu mengalami pendarahan hebat dan akhirnya meninggal saat kritis.
Aku sedih sambil memeluk kucingku di koridor rumah sakit.
Aku terbangun dengan perasaan tidak karuan. Mimpi itu lagi! Aku duduk termenung sesaat lantas mengambil segelas air. Kepalaku sedikit pusing akhir-akhir ini, entah kenapa aku bisa masuk ke mimpi itu lagi. Sungguh menyebalkan jika harus diingat-ingat.
Aku mengucek kedua mataku lalu melihat jam menunjukkan 07.18 pagi. Aku segera mandi dan mempersiapkan barang sebelum berangkat kerja. Seminggu lalu, seseorang mengirimkanku pesan melalui email mengatakan kalau dia membuka lowongan pekerjaan sebagai kasir minimarket. Tanpa pikir panjang, aku menerima pekerjaan tersebut dan hari ini, hari pertamaku sebagai kasir dimulai.
Tempat ini tidak terlalu buruk untuk diriku; untungnya ada AC dan CCTV di sini, tapi lampunya suka nyala-mati membuatku agak tidak nyaman. Namun, kucoba untuk menghiraukannya saja. Toh, namanya kerja juga butuh pengorbanan. Kuamati sekeliling; yang ada hanya seekor kucing tertidur dekat pintu masuk toko dan seorang tunawisma di seberang jalan dengan penampilan yang kurang enak dipandang. Tidak ada sesuatu yang spesial di sini.
Tiba-tiba saja hujan turun diiringi dengan masuknya seorang pria dengan perawakan badan mengenakan jaket denim jeans bertuliskan "Never lost a target" kemudian hilang di balik rak makanan di sudut toko. Aku mengawasi sesaat lalu menghiraukannya.
"Ah, cuma pelanggan biasa," kucoba untuk tidak memedulikan pria tersebut.
Pria itu muncul dari balik rak makanan lantas menuju kasir. Dia menyodorkan sekaleng bir dan sebuah makanan ringan kecil di atas meja kasir, menunggu untuk di-scan.
"Berapa totalnya?" pria itu menanyakan harga.
"Semua totalnya jadi 15.200," ucapku dengan senyum memaksakan.
Pria itu lantas mengeluarkan sepucuk pistol revolver M1882 lantas tanpa sepatah kata langsung menarik pelatuk pistol...
DOR!
Peluru itu langsung melubangi tepat di dahiku, melewati serangkaian hingga peluru tersebut berhenti setelah melubangi dinding di belakang tepat aku berdiri. Aku hanya bisa menatap pria itu terakhir kalinya sebelum tubuhku terkulai jatuh ke lantai. Darah langsung berceceran di sekitar badanku, sedangkan pria itu mengambil sejumlah uang di mesin kasir lalu kabur begitu saja meninggalkan mayatku yang teronggok bisu.
Aku terbangun dengan terengah-engah di kasurku. Keringat dingin mengalir di dahiku. Itu hanya mimpi, pikirku. Aku melihat jam, menunjukkan pukul 07.18 pagi. Aku segera mandi dan mempersiapkan barang sebelum berangkat kerja. Seminggu lalu, ada seseorang yang mengirimkanku pesan melalui email mengatakan kalau dia membuka lowongan pekerjaan sebagai kasir minimarket. Tanpa pikir panjang, aku menerima pekerjaan tersebut dan hari ini, hari pertamaku sebagai kasir dimulai.
Aku mengenakan sepatu boot hitam yang lama tidak kupakai. Selesai berpakaian, aku berangkat menuju perusahaan tersebut dengan motor Supra Matic biru kesayanganku. Akhirnya, tiba juga di depan perusahaan yang kusebut tadi.
Aku berusaha membiasakan diri dengan lingkungan baru. Setelah registrasi, aku diperintahkan untuk menunggu di ruang tunggu. Aku berkenalan dengan beberapa karyawan yang sepertinya ramah dan mudah bergaul. Tidak lama, panggilan itu tiba.
"Okta Amelia."
Aku masuk ke ruangan HRD. Kututup pintu dengan pelan, deg-degan seperti sedang bertemu orang besar. Kulihat seorang pria dengan kacamata bulat duduk di kursi berhadapan denganku. Wajahnya terlihat serius tapi tidak menakutkan. Aku menarik napas dalam-dalam.
"Wawancara ini tidak akan lama," katanya dengan suara tenang. "Saya ingin mengenalmu lebih baik sebelum kamu bergabung di perusahaan kami. Ceritakan sedikit tentang dirimu dan apa yang kamu harapkan dari pekerjaan ini."
Dengan percaya diri, aku mulai berbicara tentang latar belakangku, pengalaman yang kumiliki, dan motivasiku untuk bekerja di perusahaan ini. Aku berusaha menunjukkan antusiasme dan semangatku untuk belajar dan berkembang. Pria itu mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk dan tersenyum tipis.
Setelah beberapa menit berbicara, dia mengajukan beberapa pertanyaan tambahan. Aku menjawabnya dengan jujur dan lugas. Pria itu kemudian menutup catatannya dan tersenyum lebih lebar.
"Okta, saya terkesan dengan dedikasi dan semangatmu. Kami akan mempertimbangkanmu untuk posisi ini dan akan menghubungimu secepatnya. Terima kasih telah datang."
Aku mengucapkan terima kasih dan keluar dari ruangan dengan perasaan lega. Meski belum ada keputusan pasti, aku merasa wawancara itu berjalan dengan baik. Setidaknya, ini adalah langkah awal untuk memulai lembaran baru dalam hidupku.
Hari itu aku pulang dengan senyum di wajahku, merasa sedikit lebih optimis tentang masa depan. Namun, bayangan mimpi itu tetap menghantuiku. Setiap kali aku menutup mata, aku bisa melihat pria dengan jaket denim itu dan mendengar suara tembakan. Apa ini pertanda? Atau hanya imajinasi yang berlebihan?
Aku tidak tahu. Tapi yang pasti, hidupku tidak akan pernah sama lagi. Aku harus terus maju, meski bayang-bayang masa lalu terus mengintai di setiap langkahku.