Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
The Game of Ghost
21
Suka
3,250
Dibaca

20 orang pria berusia sekitar 20-30 tahunan berseragam ungu dan hijau berlarian saling kejar-mengejar, tarik-menarik, tabrak-menabrak, tendang-menendang, sikut-sikutan, sliding-slidingan bahkan sampai pukul-pukulan di atas sebuah tanah lapang yang tidak rata dan berumput jarang-jarang dalam sebuah stadion yang cukup besar tanpa kursi dan atap bagi para suporter yang berkerumun dan berdesak-desakan sekaligus berbagi tempat bagi para pedagang asongan untuk berkeliling menjajakan kacang, kuaci, dan permen dan lumpia dan tahu Sumedang, kerupuk, pentol, beberapa macam es dan juga air mineral di bawah terik matahari sore yang hangat menyengat di tengah-tengah sebuah kota kecil dalam sebuah pulau yang sangat padat akan penduduknya.

Sebuah pertandingan olahraga antara sepasang kesebelasan yang sedang bersandiwara dalam sebuah pertunjukan bergenre "war" yang berusaha berpura-pura memperebutkan "si kulit bundar" berwarna putih dan bermotif politik yang menyelimuti sekujur tubuhnya yang tidak ada henti-hentinya untuk terus ditendang dan bahkan sampai diludahi oleh sang penjaga gawang agar sang primadona tak sudi untuk masuk ke dalam gawangnya yang sudah ditakdirkan untuk perawan selama sisa pertandingan.

Dan pertunjukan boneka pun sudah sampai pada babak terakhirnya dimana segalanya berubah menjadi sangat brutal dan tak beraturan, hukum rimba diberlakukan dan sang singa yang kelaparan mulai menerkam buruannya yang malang. Segalanya menjadi kacau namun asik untuk disaksikan, hidangan utama akhirnya disajikan dimana sang pengadil lapangan mendapatkan hukuman akan kebobrokannya di atas lapangan atau bisa dikatakan di atas sebuah medan pertempuran antara sang macan dan ayam Kinantan. Semua kemunduran bercampur aduk di sini dalam sebuah acara televisi di tahun sekian, semua orang menonton dan menyaksikan sebuah hiburan di akhir pekan yang selalu dinantikan dimana terkadang atau sering bahkan sang figuran ikut beraksi dalam sebuah pertunjukan tambahan di akhir laga yang sangat mencekam namun sekali lagi tetap asik untuk disaksikan oleh sepasang mata yang haus akan sebuah kekacauan tanpa aturan, kebebasan dari sebuah kehidupan yang dipenuhi dengan segala kepalsuan dan kebohongan yang dipersembahkan oleh segelintir sosok yang hanya menginginkan sebuah penghiburan dalam sebuah kegabutan dan kedamaian di surga yang tidak pernah dirindukan.

Dan di akhir laga yang sudah disetting dengan sangat teramat berantakan panggilan iklan pun membuyarkan kesenangan para penonton veteran yang selalu menantikan dan membicarakan pertunjukan-pertunjukan boneka di akhir pekan. Sedangkan aku atau kami bisa dibilang, sekumpulan calon aktor di masa depan, kembali melanjutkan latihan menendang "si kulit bundar" yang sudah ditakdirkan untuk dipermainkan di setiap akhir pekan di saat sang senja mulai datang hingga lantunan adzan dikumandangkan, "si kulit bundar" akan selalu ditendang dan dipermainkan di setiap penjuru gang, tanah lapang, atau bahkan tanah kosong tak bertuan untuk bisa melewati seorang penjaga gawang yang selalu setia berada dalam sarang dan melindungi sebuah gawang tanpa tiang dan mistar yang terbuat dari sepasang sandal jepit murahan yang selalu beredar di pasaran.

Setelah itu, sesaat setelah lantunan adzan dikumandangkan, burung-burung kembali ke dalam sarang dan digantikan oleh gerombolan kelelawar yang mulai bergentayangan, saat sang Surya telah tenggelam dengan sepenuhnya dan digantikan oleh sang bulan dan bintang yang bersinar penuh kebohongan, dan kami, para calon aktor masa depan, yang kembali pulang membawa segala perlengkapan, kemenangan, kekalahan, dan kesenangan dari medan perang-perangan, negara api pun mulai menyerang, setidaknya itu yang kupikirkan saat melihat dengan kedua bola mata sendiri, yang masih berapi-api setelah mencetak banyak gol dan meraih kemenangan dalam sebuah permainan yang menyenangkan, bahwa sang Surya tak jadi pulang dan kembali muncul dalam kegelapan malam yang mencekam, namun kini ia nampak datang dengan penuh amarah dan kebencian terlihat dengan kedatangannya yang langsung membakar segalanya, segala yang sudah dilewati dan dilaluinya selama ini, dari sepasang kekasih yang tampak mesra di atas langit malam yang kelam hingga gerombolan manusia yang merusak pemandangan.

Sekawanan ikan pari super raksasa berwarna hitam legam terlihat sedang berenang dan mengepakan siripnya dengan begitu elegannya saat menyelam memasuki atmosfer Bumi, dari ruang angkasa yang gelap, dingin, sepi, dan menyedihkan di luar sana, yang sudah cukup terkikis untuk bisa membiarkan segala penyakit, virus, bencana, bahkan kiamat dari kehampaan di luar sana mengacak-acak dan menghancurkan segala keanekaragaman kehidupan yang sudah rusak dan beracun di dalamnya.

Kepakan lembut dari sirip para malaikat maut yang begitu menakjubkan itu adalah penyebab terjadinya berbagai ledakan yang terjadi di atas langit-langit hitam itu yang mulai membakarnya hingga menjadi hujan abu yang begitu mempesona bagaikan mimpi buruk yang datang dan menjemputmu di siang bolong.

Tak lama kemudian sekawanan ikan pari hitam legam super raksasa yang berjumlah tidak seberapa itu sudah berhasil menyelimuti seluruh planet dalam kepakan sirip mereka yang meledakan, membakar, dan mewarnai ulang segalanya menjadi warna merah yang menyala dan membara bak sebuah neraka yang sedang jatuh dan runtuh dari surga di atas langit ketujuh yang tak pernah terjangkau oleh jari jemari mungil seorang anak kecil itu.

Setelah itu jutaan pterosaurus, hewan purba dan dinosaurus prasejarah lainnya yang sudah punah dan lenyap dari tanah terkutuk ini kembali bangkit dari kubur dan keluar dari dalam rahim para malaikat maut itu dengan warna yang senada dengan induk mereka bersama dengan jutaan entitas aneh bertinggi sekitar 2 meter, berlengan dan berkaki panjang, berwarna hitam legam, dan berkepala botak besar tanpa wajah saat sebuah cahaya terang keluar dari dalam perut para malaikat maut itu hingga membentur tanah terkutuk di bawahnya dan menurunkan para penumpangnya ke dalam medan pembantaian para parasit perusak tanah jahanam itu.

Saat itu segalanya benar-benar hancur berantakan, kacau-balau, dan penuh dengan kebenaran yang sebenar-benarnya. Para pterosaurus berdatangan dari langit yang terbakar bagaikan masa depan yang mengerikan lalu menculik dan mencabik-cabik makan malam mereka hingga hancur di atas udara yang panas dan menguap. Sementara itu armada darat datang dengan kecepatan yang mengerikan lalu mulai menerkam, mencabik-cabik, menggigit, mengunyah, menginjak, menyeruduk, dan melemparkan segala yang hidup dan bernafas di hadapan mereka. Sementara khusus untuk kembaran kami yang aneh dan menakutkan, mereka bertugas untuk menghabisi seluruh orang tua dan dewasa tidak peduli laki-laki ataupun perempuan sementara untuk remaja dan anak-anak, kami bersiap untuk menjadi makanan penutup bagi mereka dengan cara ditelan hidup-hidup oleh mulut besar, elastis dan berlendir itu.

Kami, sekumpulan calon aktor masa depan, yang belum siap menghadapi sebuah pertunjukan yang sebenarnya, tanpa skenario dan arahan dari pak sutradara, kami semua hanya bisa ketakutan dan lari tunggang-langgang dalam sebuah pertunjukan drama yang berubah menjadi sebuah film tentang pembantaian umat manusia.

Entah seberapa jauh kaki-kaki kecil dan kurus ini berusaha berlari menghindari ajal yang sudah datang mendobrak pintu rumah kami yang kecil dan sederhana namun sudah rusak luar dan dalam, ajal tetaplah sebuah takdir dan masa depan yang tidak mungkin bisa untuk kami hindari.

Rasa semangat yang berkobar dalam dada kami sepanjang sore hari itu sudah lenyap tak tersisa sama sekali saat kami seakan hanya berlari di atas sebuah treadmill yang memaksa kami untuk berlari kembali menghadapi takdir dan masa depan kami yang sudah ditetapkan itu.

Dan pada akhirnya, hanya ada kengerian dan kejijikan saat mulut-mulut hitam, elastis dan berlendir itu menyedot tubuh kecil kami secara bergantian, rasanya sungguh sangat teramat-amat menjijikan.

***

"Apa ini?"

Aku, atau kami bahkan, hanya bisa bertanya-tanya saat mendapati dan menyadari bahwa tubuh kecil dan kurus kami sekarang tiba-tiba sudah menyatu dengan tubuh makhluk aneh, hitam dan berlendir yang sudah menyantap kami hidup-hidup beberapa saat yang lalu itu, satu hal yang membedakan wujud kami adalah makhluk aneh yang tak mempunyai wajah tadi kini sudah memiliki rupa kami sebagai wajah baru mereka, namun kini, sepertinya kami memiliki akses penuh akan tubuh baru kami.

"Waktunya menyerang," pikirku yang mulai kegirangan.

"Semuanya serang!!!"

Bak segerombolan domba tak bertuan teman-temanku dan semua anak-anak dan remaja di sekitar kami mulai berkumpul dan mengikuti komandoku, sang aktor dan striker utama dalam pertunjukan, untuk menyerang para tamu tak diundang di medan pertempuran.

Dengan kemampuan super dadakan kami, kami dengan mudahnya mendobrak pertahanan lawan, menerjang dan meluluhlantakkan mereka bak air bah yang membanjiri, menghancurkan dan menghanyutkan potongan-potongan mayat hidup prasejarah yang malang dan menjijikan.

Namun, tak lama setelah kemenangan kami yang palsu dan sementara itu, fakta bahwa permainan kami semua sudah diatur dan direncanakan dari awal pun datang menjemput kami bersama hasil akhir yang tragis dan mengenaskan bagi kami sang pecundang abadi, kekalahan dan kematian dalam arti yang sebenar-benarnya.

Selamat tinggal kawan.

Sang dalang pun berterimakasih dan pamit undur diri kepada para hadirin sekalian begitu juga dengan pertunjukan wayang yang menakjubkan, semua cahaya dan atraksi spektakuler dari sang bayang-bayang pun lenyap digantikan oleh kegelapan malam yang sunyi dan senyap segalanya lenyap dalam sekejap mata seperti sebuah delusi dari seorang bocah kecil yang kesepian.

***

"Game Over."

"Do You Want To Play Again?"

"Yes or No."

"No."

Seorang pemuda berambut dan bermata hitam tengah duduk santai di atas sebuah sofa lembut berwarna biru di tengah-tengah sebuah ruangan serba putih tanpa ada seorang atau sebuah benda apapun di dalamnya kecuali dirinya, sofa biru lembut yang sedang didudukinya dan sebuah kacamata serta pakaian berwarna biru yang melekat pada tubuhnya.

Pemuda itu nampak lelah, murung dan kecewa setelah melepaskan kacamata biru itu dari wajahnya yang putih pucat.

Dia menjatuhkan kacamata biru itu begitu saja di atas lantai putih bersih di bawahnya.

Dia memerosotkan badannya dengan begitu putus asa. Dengan tubuh yang begitu lemas dan tak berdayanya dia menghela nafas panjang beberapa kali lalu menatap langit-langit putih polos yang terdengar menangis dengan sangat menyedihkannya bagi dirinya.

Tak berselang lama kemudian mulai terdengar juga suara-suara derap dan langkah kaki yang tak beraturan yang mulai menghilang dan lenyap di kejauhan.

Setelah itu, sang pemuda beralih menatap lekat-lekat sebuah anak tangga dan sebuah pintu berwarna merah yang tiba-tiba muncul di hadapannya.

Sang pemuda terlihat sedikit ragu pada awalnya namun pada akhirnya dia memutuskan untuk bangkit berdiri dari sofa birunya, menginjak kacamata birunya, melepaskan pakaian birunya lalu melangkahkan kedua kakinya dengan penuh keragu-raguan menuju pintu berwarna merah yang tertutup di hadapannya.

Sekali lagi, dia benar-benar berhati-hati dan menelan ludah berulang kali. Dengan tangan kanan yang penuh keringat dan bergetar hebat layaknya anak kecil yang demam dan menggigil hebat dia mulai menyentuh gagang pintu itu secara perlahan dan menggenggamnya dengan begitu eratnya lalu ....

"Tok! Tok! Tok!"

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
The Game of Ghost
Rama Sudeta A
Flash
Jalan Setapak
Bima Kagumi
Novel
Bronze
PKL DI DESA GOSAN
Nunung Hartati
Komik
BUDI
Muucing
Skrip Film
Cerita Keluarga
Aditya Prawira
Flash
Bronze
Petuah Nenek
Alfian N. Budiarto
Novel
Bronze
Zona Zombie -Novel-
Herman Sim
Novel
Bronze
Horor family
angkaribut
Flash
Jok
Muhammad Adli Zulkifli
Novel
PESANTREN KILAT
Hesti Ary Windiastuti
Novel
Saksi Bisu Misteri As-Sihran
Nimas Rassa Shienta Azzahra
Novel
Gold
Fantasteen: Kage
Mizan Publishing
Novel
SITINGGIL PETILASAN KERAMAT
Heru Patria
Flash
Bronze
NYI DARSIH DEMIT TANAH JAWA UNIVERSE
Okino ojoeng
Novel
Gold
Fantasteen The Lagaziv School of Vathana
Mizan Publishing
Rekomendasi
Cerpen
The Game of Ghost
Rama Sudeta A
Cerpen
INFERNO
Rama Sudeta A
Cerpen
Bronze
Nokturnal
Rama Sudeta A
Cerpen
The Universe Next Door
Rama Sudeta A
Cerpen
Perang Dunia Kaiju
Rama Sudeta A
Cerpen
Bronze
Tetangga Berisik
Rama Sudeta A
Cerpen
Apocalypse
Rama Sudeta A
Cerpen
BOOM
Rama Sudeta A
Cerpen
April
Rama Sudeta A
Flash
Bronze
Heaven
Rama Sudeta A
Cerpen
Bronze
Home
Rama Sudeta A
Novel
Deathskull
Rama Sudeta A
Novel
Bronze
The Doomsday
Rama Sudeta A
Cerpen
Bronze
The Dark Ages
Rama Sudeta A
Novel
Bronze
Venus: The Dawn
Rama Sudeta A