Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di sebuah bandara internasional yang hiruk-pikuk, takdir mempertemukan lima orang asing di tengah lautan manusia yang berlalu-lalang. Claire Anderson, seorang fotografer yang mencari makna di balik lensa kameranya, berdiri dengan gugup di ruang kedatangan. Di tangannya, sebuah tiket menuju Labuan Bajo, Indonesia tempat yang ia harap dapat menjawab kehampaan yang selama ini mengintai hatinya.
Henrik Larsson, ilmuwan laut yang mengabdikan hidupnya untuk data dan angka, merasa canggung saat memperkenalkan dirinya. Olivia Bennett, seorang penulis perjalanan yang dulu memikat dunia dengan ceritanya, kini hanya bisa tersenyum tipis, menyembunyikan ketakutan bahwa inspirasinya telah mengering. Sophie Laurent, koki berbakat dari Prancis, mengamati yang lain dengan rasa penasaran, mencoba melupakan kelelahan yang terus menghantui mimpinya. Alessandro Romano, arsitek yang merindukan karya yang berbicara tentang jiwa, berdiri di sudut, tampak lebih tertarik pada arsitektur terminal daripada pada orang-orang di sekitarnya.
Mereka tidak tahu apa yang menanti mereka di Flores. Tapi saat mereka akhirnya bertemu Raka, pemandu lokal yang memancarkan ketenangan seperti ombak yang menari di tepi pantai, mereka mulai menyadari bahwa perjalanan ini bukan sekadar eksplorasi tempat baru. Raka, dengan senyum dan ceritanya yang penuh misteri, memperkenalkan mereka pada mitos-mitos tua dan keindahan alam Flores yang memikat.
Namun, perjalanan ini segera berubah menjadi lebih dari sekadar liburan. Di tengah bukit-bukit hijau dan lautan biru yang jernih, masing-masing dari mereka mulai menghadapi rahasia, ketakutan, dan kerinduan yang telah lama mereka pendam. Apa yang dimulai sebagai sebuah perjalanan fisik berubah menjadi perjalanan jiwa, di mana batas antara takdir dan pilihan mulai memudar.
Kelompok itu berdiri dalam keheningan canggung di pelabuhan tua Labuan Bajo, diterpa sinar matahari sore yang berkilauan di permukaan air. Claire mencoba tersenyum pada mereka semua, mencoba menenangkan suasana. "Baiklah," katanya, "sepertinya kita akan menghabiskan banyak waktu bersama."
Henrik, pria jangkung dengan tatapan dingin, hanya mengangguk kecil. "Kita lihat saja bagaimana nanti," gumamnya, matanya terpaku pada kamera Olivia yang terus berkedip-kedip. Ia tampak terganggu.
Olivia mendengus, menurunkan kameranya. "Kalau mau komentar, katakan langsung...