Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
The Deep Secret
1
Suka
17
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Ditulis 25 Oktober - 12 November 2025

Mengandung konten dewasa. Boleh dibaca bagi yang sudah teredukasi terkait seks dengan baik.

"Kamu kenapa?"

Aku seorang ibu rumah tangga dengan dua balita yang sedang aktif- aktifnya. Punya pekerjaan paruh waktu yang cukup untuk memenuhi kebetuhan rumah tangga. Sekadar makan, minum, mencuci serta kebutuhan sandang. Untuk kebutuhan lain seperti rokok, SPP anak, amplop untuk ke hajatan dan lain sebagainya di-handle oleh keuangan suami yang bekerja dari pagi jam 8 sampai jam 4 sore di kantor perusahaan swasta. Sisanya ditabung untuk dana masa depan. Sebuah kesepakatan yang sudah dijalani 5 tahun ini. Aku sibuk di rumah, mengurus dua balita tak bisa dibilang mudah. Makan, mandi, main adalah hal mudah dan simpel bagi orang-orang dewasa. Tapi untuk anak-anak? semua yang mereka lakukan serba drama. Drama menguras air di bak sampai habis. Drama membuang-buang makanan, drama lari-lari sampai jalanan, hingga drama-drama lain yang tak terelakkan. Segala drama yang membuatku tak punya cukup waktu untuk diriku sendiri, apalagi untuk bermain ke rumah teman seperti para bapak yang masih bisa pergi kesana kemari dengan alasan nongkrong, ngopi, mancing. Aduhai! Namun, aku betuntung. Ada satu sosok spesial yang rela ke rumah dan menemani masa-masa payahku menjadi ibu. Bagiku, dia lebih dari sekadar teman.

"Aku gak tahu. Satu minggu ini suamiku berubah." Aku mendengus lalu memerhatikan si adik yang kini sedang tenang menyusun mainan balok. Aku berharap ketenangan itu akan berlangsung lama meskipun sepertinya itu mustahil. Aku tahu betul bagaimana tipe anakku. Dia mudah bosan.

Tunggu saja, sebentar lagi dia akan menciptakan sebuah drama dimana memaksaku menjadi salah satu lakon dari ciptaannya.

"Berubahnya gimana?" Temanku mengambil mainan balok, menyusunnya sampai tinggi. Membuat anakku meliriknya dengan merengut.

Itu mainanku, jangan direbut!

"Aku rindu sentuhannya." Ada banyak yang ingin kujawab. Tapi menjelaskan terlalu banyak adegan vulgar, tentu saja tak etis. Apalagi di depan anakku. 

"Dia gak seintim dulu?" Jelasnya dengan alis terangkat.

Aku mengangguk, mengiyakan.

Anakku mulai bangkit dari duduk. Merengek, menunjuk mainannya yang sudah diambil tanpa permisi.

"Kembalikan mainan anakku. Dia belum mau berbagi. Dia sedang di fase mempertahankan miliknya."

Kuambil paksa mainan yang di depan temanku. Kuberikan pada anakku dengan wajah bak pahlawan. 

Temanku tersenyum meledek. Lalu bertanya, "Terus? udah kamu komunikasikan? kan itu tuh yang sering kamu bilang. Komunikasi komunikasi komunikasi. 90 persen suami istri itu komunikasi. 10 persennya seks.!" Kekehnya.

Aku mendelik padanya. Kata terakhir yang dia ucapkan tak boleh asal sembarang dikeluarkan. Ini area anak-anak.

Dia merapatkan mulutnya cepat-cepat.

"Belum. Lebih tepatnya, dia sering tiba-tiba menangis saat tidur. Memeluk guling erat-erat- memunggungiku. Dan selalu pura-pura sibuk, tergesa-gesa ke kantor tanpa bisa kutanya banyak." 

Aku menatap kaca jendela. Di belakangnya, pohon Bougenville tumbuh dengan rimbun. Daun hijaunya lebat, lebih banyak dibanding bunganya. Dan di bawahnya, tertata dengan apik meja dan dua kursi yang saling berhadapan. Adalah rutinitas kami, ngobrol bersama di bawah lampu redup tatkala anak-anak tidur. Sembari ditemani satu cangkir kopi, satu gelas air putih serta satu lingkar obat nyamuk. 

"Aneh. Terus, rencanamu gimana?" Temanku menyandarkan punggungnya di dinding. Tangannya bersedekap, bola matanya menatap ke atas ikut berpikir keras.

Kini anakku sudah mulai merengek, tak mau lagi bermain dengan lego. Kedua tangannya mengarah padaku, minta gendong. Aku menggapainya, berdiri dengan dia dalam dekapanku sekarang. 

Pandanganku tak mau lepas dari meja dan kursi di bawah pohon Bougenville. Aku, rindu masa-masa itu. Masa-masa sebelum seminggu yang lalu.

"Jadi, udah seminggu ya kamu dianggurin? selama 7 hari itu ..., kamu mulai gak?" ujar temanku setelah beberapa lama tak ada obrolan di antara kami.

"Eh, mulai apaan?" tanyaku tak paham.

"Ih. Masak gak paham? Masak harus aku jelasin?" Wajah temanku terlihat muram, dahinya mengernyit, bibirnya terbuka tertutup tup seolah mau bicara tak jadi.

"Oh, mulai hubungan se ...?" 

"STOP!" Larangnya dengan nada keras.

"Gimana sih! Yang bikin peraturan tapi malah dilanggar sendiri," tambah temanku, tangannya menepuk jidatnya dengan keras.

"Oh, itu ..., belum!" jawabku lirih.

"Mungkin, dia butuh sensasi baru, Rie!"

Anakku mulai menaikkan nada rengekannya, wajahnya mendusel-dusel ke dadaku yang akhirnya kubuka resletingnya. 

"Ngantuk?" tanya temanku sembari menatap anakku yang sekarang kususui.

"Siapa? aku?" 

"Nggak, lah. Itu loh, anakmu. Dia ngantuk?" 

"Enggak. Belum waktunya. Dia haus," terangku lalu mengambil posisi nyaman, duduk dan menyandarkan punggung seperti temanku tadi.

"Dia butuh sensasi baru?" ulangku. 

"Rumah tangga yang adem ayem, kadang juga sebuah cobaan, Rie. Namanya cinta, mungkin butuh dipupuk, butuh sedikit permainan baru, atau apalah. Kamu pasti paham lah!" terangnya panjang lebar dengan muka meyakinkan.

"Nanti malam, bolehlah kucoba," jawabku semangat seolah mendapat angin segarm

"Yang ganas, Rie!" godanya lalu terkekeh keras sekali membuat anakku menangis karena kaget.

***

Malam harinya, pukul 10 usai anak-anak tidur. Suamiku pergi ke dapur, sebuah rutinitas tiap malam adalah menikmati kopi dan rokok di dapur. Dua hal yang tak terlewatkan selama dia sehat setelah aku menikah dengannya. 

Kesempatan baik, aku akan ke ke kamar mandi yang berseberangan dengan dapur dimana suamiku berada. Saat kesana, dia melirikku dengan tatapan bertanya. Ya, karena bukan kebiasaanku mandi malam. Wajar jika ekspresinya begitu.

Aku berupaya membersihkan tubuh dan mandi sebersih dan sewangi mungkin. Juga sudah membawa handuk dan lingerie warna putih gading yang mana akan langsung kupakai di kamar mandi. Hingga saat keluar dari kamar mandi, aku berharap suamiku langsung menatapku dengan penuh nafsu sampai melupakan kopi dan rokoknya, lalu memboyongku dengan tergesa-gesa menuju kamar tidur.

Sungguh, aku rindu sentuhan-sentuhan itu.

"Cantik." gumamku sendirian di depan cermin setinggi setengah badan di dalam kamar mandi. 

"Memang tidak secantik dulu. Keriput ini," jariku menunjuk tepat di sudut mata.

"Di sini juga," selanjutnya jariku mengarah ke dahi.

"Di sini. Di sini."

Di pipi, ujung garis senyum.

"Aku sudah tua ya." Mendadak rasa minder itu menggelayut. Cepat-cepat kupejamkan mata.

Inhale, Exhale. Aku menggelengkan kepala dengan cepat dan meyakinkan diri jika menua itu tidak apa-apa. Fisik suamiku pun sudah tidak sebagus dulu. Oke, kita sama-sama impas. Tidak boleh ada alasan kalau dia tak lagi suka fisikku. Karena menjadi tua, itu sebuah kepastian kan?

Selanjutnya, aku menurunkan bola mata ke arah leher yang putih bersih hingga ke bawahnya. Sepasang anggota tubuh yang bisa membuat tipisnya iman para lelaki yang jomlo, kalau sudah menikah malah jadi pahala, iya kan? 

Model lingerie ini membuat dadaku terlihat naik dan penuh. Untuk urusan wajah, bolehlah aku merasa minder. Tapi untuk urusan yang satu ini, aku yakin suamiku bakal klepek-klepek. 

Ihiirr !!! Aku tersenyum sendiri.

Inhale, exhale!

Oke, saatnya beraksi Arriena.

Kubuka pintu kamar mandi.

Aku melangkah melewati dapur, bisa kudengar dia sedang meletakkan cangkir kopinya. Tak ada asap rokok, bisa jadi belum diisap atau rokok sudah dijejalkan di asbak. Aku sudah menikah dengannya 5 tahun, tapi kenapa untuk saat ini aku kikuk bukan main. Melirik saja, tak berani. 

"Sayang!" Panggilnya membuat jantungku mencelos. Dengan dag dig dig ser, aku membelokkan badan, menghadap ke arahnya. 

"Iya, Mas. Gimana?" jawabku dengan nada senormal mungkin. 

Aku melirik asbak yang kini tersisa abu dari seperempat batang rokoknya. Relung hatiku tersenyum, dia pasti segera menjejalkan sisa rokok ke asbak tatkala menatapku dengan baju haram ini.

"Kamu ...," ucapnya lagi

 Aku segera menghampiri ke arahnya. Tak menyela barang satu kata pun, menunggu kelanjutan kalimatnya.

Mulutnya masih melongo, meski kini aku sudah duduk tepat di sampingnya. Wajah kami saling berhadapan. Rasanya ada sensasi berdebar bak pengantin di malam pertama. Matanya masih menatap, tanpa berkedip. Dari wajah lalu berhenti lama, di bagian dada. 

Aku menikmati momen ini. Momen dimana dia mengagumi anggota tubuhku. Momen dimana dia tak lagi berkutik. Tak mungkin lagi bisa memunggungiku lagi.

Kuberikan senyum paling menawan disertai tatapan mata menggoda sembari menanti dengan sabar kalimat yang belum tuntas darinya. 

"Kamu ...," ucapnya lagi.

Aku mengangguk, bersabar menunggu apa pun yang ingin dia ucapkan. 

"Kamu ..., emm ...," suamiku menelan ludah. 

Tunggu, kalimat apa yang hendak dia utarakan? ayo dong segera bilang.

Kini harus kuakui kaki dan pahaku mulai terasa gatal oleh gigitan nyamuk yang sekarang makin leluasa menggigit di area mana saja. 

"Kapan terakhir kita berhubungan, Sayang?" Tanyanya membuatku merasa janggal. Kenapa dia menanyakan itu? apa sesungguhnya kalimat yang ingin ia ucapkan setelah mengutarakan kata 'kamu?'?

"Satu minggu," jawabku masih dengan tanda tanya besar di kepala.

"Satu minggu, ya," jawabnya mengangguk, seolah satu minggu bukan waktu yang lama baginya. Hei, ada apa dengannya? seminggu yang lalu dia masih Mas Bramku yang dulu. Mas Bram yang selalu ingin mencumbu tatkala hanya ada kami berdua. Paling lama 3 hari dia tak menyentuhku, itu pun karena ada urusan atau kerja lembur dadakan. Dan ..., apa artinya ini semua? 

Mataku masih menatap dirinya dengan gemuruh tanya yang kini makin bergejolak. Mas Bram mendekat. Dan kini, kami hanya berjarak beberapa cm.

Aku menatap matanya dengan lamat-lamat. Ya, dia bergairah namun tak sebuas dulu. Dia mengalungkan kedua lengannya ke pinggangku, lalu kami berciuman. Aku mencium bau kopi, rokok, dan permen mint tercampur jadi satu dari bibirnya yang basah. Bau keringat khas bercampur dengan parfum yang aku pilihkan sendiri untuknya. Bau keringat kepala bercampur dengan minyak rambut yang juga sudah kukenal di luar kepala. Tak ada yang berubah dari fisiknya, tapi ..., mengapa perlakuannya berbeda? ciumannya tak sedahsyat seminggu yang lalu. Dan yang menjadi sebuah tanda tanya besar adalah ..., kenapa dia tanya kapan terakhir kita berhubungan? seolah-olah dia memastikan dimana giliranku berada. Apa mungkin dia selingkuh?

Aku tak menyadari ciuman yang loyo tadi kini berubah sesi. Mas Bram memboyongku menuju kamar khusus. Satu kamar khusus untuk kami melakukan hubungan suami istri. Matanya menatapku dengan hangat. Senyumnya mengembang sedikit genit. Tapi ini berbeda. Sungguh, aku tahu. Ini berbeda. Aku ..., tak akan tinggal diam.

***

"Selingkuh?" temanku yang sudah menusuk mangga dengan garpu urung memasukannya ke mulut.

"Gak nuduh loh aku. Maksudku, ada kemungkinan kalau dia selingkuh kan?" Aku menyodorkan garpu dengan mangga sudah tertusuk di ujung padanya.

"Baru aja seminggu, Rie!" Temanku menggelengkan kepala. Seolah-olah asumsiku keterlalulan.

"Ada kemungkinan kan?" jawabku tak mau kalah. Sembari mengawasi anakku yang sedang bermain mainan susun magnet, aku membuka layar handphone

"Eh, bentar. Itu bukan hp-mu kan?" temanku terperanjat, sekaligus penasaran dalam satu waktu.

"Yes. Penyelidikan dimulai." Jujur, aku berharap tak ada sesuatu yang mencurigakan di hp ini. Semoga kemungkinan selingkuh itu tak pernah terjadi.

"Tolong, jagain anakku ya," tambahku kemudian.Temanku mengerti. Dia mengangguk sembari memberi ekspresi penasaran, berharap cepat-cepat aku mengabarinya.

Kubuka layar gawai. Aku sudah hapal pola kuncinya. 

WhatsApp jelas itu yang pertama. Scroll demi scroll. Tak ada chat mencurigakan. Tak ada panggilan mencurigakan. Ada yang bilang, orang tidak akan menyimpan nama asli untuk selingkuhan. Biasanya malah disimpan sebagai nama bapak-bapak. Aku amati lagi dari atas ke bawah. Chat di hp suamiku termasuk sedikit. Aku beralih melihat status-status temannya. Hanya beberapa dan itu-itu saja. Jumlah kontak pun ku-chek, hanya 80-an. 

Aku mendengus kesal.

"Gak ada chat mencurigakan. Temennya juga dikit."

"Lagian, kalau memang dia selingkuh, bodoh banget kalau pakai aplikasi WhatsApp," temanku nyeletuk. Aku menoleh padanya dan menyadari, benar juga.

"Bentar. Aku cari di aplikasi lain," jawabku cepat. Mataku mengawasi anakku dari jarak 5 meter sembari berdiri di ujung pojok dinding. Temanku berbaik hati mau menggendongnya, menyanyikan lagu untuknya agar anakku rewel.

Aplikasi demi aplikasi kubuka. Dan hasilnya nihil. Tak ada yang mencurigakan. Dari jarak 5 meter temanku mulai menimang-nimang anakku yang mulai ngantuk. Dia mengerlingkan matanya, alisnya bertaut. Meminta jawaban atas pertanyaan yang sudah kupahami tanp harus mengeluarkan beberapa kata.

"Bersih. Gak ada yang mencurigakan." Aku senang namun masih ada sesuatu mengganjal yang membuat dadaku sesak. 

"Kamu udah cek aplikasi kalkulator atau aplikasi yang kelihatannya gak mencurigakan belum?" Ucapnya dengan setengah berbisik agar anakku tak bangun.

"Eh. Kok?" Aku merasa aneh.

"Kamu, ih. Kudet! Kan pernah ngetren aplikasi kalkulator tapi isinya bisa buat saling chat," jawabnya.

"Serius?" Aku terbelalak. Gumun, namun juga serasa mendapatkan angin segar. Segera saja kubuka aplikasi yang nampak tak mencurigakan. Kalkulator? sungguh diluar dugaan. Tak terbesit untuk menyentuhnya sama sekali. Aku klik aplikasi itu dengan nada was-was. 

"Eh, gimana?" temanku kini mendekat. Matanya mencuri pandang layar gawai yang kini menampilkan angka demi angka.

Aku menggeleng.

"Aku cari yang lain. Barangkali ada fake-fake yang lain. Fake Calender misalnya." Segera tanganku mengarah pada aplikasi kalender dan radio.

Beberapa game yang tak kukenal bahkan kucek kembali, album dan google drivenya. Barangkali ada foto yang dia sembunyikan."

"Gimana hasilnya?" tanya temanku penasaran dengan anakku yang sudah terlelap dalam gendongannya.

"Nihil. Bersih," jawabku masih merasa ada yang mengganjal.

"Kok gitu ekspresinya. Harusnya senang dong! Baru seminggu, Rie. Mungkin suamimu lagi capek-capeknya. Cobalah nanti malam kamu komunikasi sama dia ...," nasehat temanku dengan bijaksana.

"Sambil pakai baju haram. Bisa tuh!" Tambahnya kemudian, nyengir.

Apa-apaan. Yang ada kayak tadi malam. Habis gituan langsung tidur.

Tapi, bisa juga. 

Aku berjingkat.

"Iya. Nanti malam." jawabku semangat.

"Kalau gituan aja semangat!" ledek temanku.

Aku terkekeh. Ada yang ingin kupastikan. Dan jawabannya adalah nanti malam.

***

"Yuk," ajakku setengah memaksa. Kukalungkan lengan ke lehernya sembari duduk di atas pahanya. Dengan gaya eksentrik kujejalkan rokok ke asbak kaca kesayangannya. Kopi yang tinggal separoh itu pun kusruput sampai habis. Malam ini, aku yang akan mendominasi. 

"Kamu kenapa, Sayang?" tanyanya setengah gugup oleh tingkahku yang mungkin menurutnya tak wajar. 

"Aku pengen, Mas!" kutarik kaos hitam bagian leher dan kucoba meniupkan desahan napas di lehernya yang kini menegang.

Kutarik dagunya pelan hingga bibir kami hanya berjarak beberapa mili. 

Aku mulai melumat bibirnya yang sekarang basah dan semakin basah. Dia pun menjawab semua sentuhan demi sentuhan yang kuberi. Kami menikmati oksitosin yang membanjiri tubuh. Degup jantungku makin tak karuan. Ternyata mendominasi itu menyenangkan. Bagaimana kalau dilakukan disini? di dapur ini? belum pernah kan? pikiran-pikiran nakal itu melayang seiring kutarik celananya dengan lancang.

"Cukup, Arriena!" tangan kekarnya mencengkram tanganku yang masih menggenggam di lipatan celananya. 

"Arriena?!" nadaku meninggi. Tak ada lagi jarak bibir yang hanya beberapa mili. Tak ada lagi keintiman. Tak ada lagi desahan panjang. Sudahlah merasa tertolak, lalu dia memanggilku dengan sebutan nama saja?

"Arriena! itu panggilan terakhir saat kita masih jadi teman kuliah, Mas!" Nadaku semakin meninggi. 

Sekarang aku yakin. Dia menyembunyikan sesuatu.

"Maaf. Tapi, aku tak bisa, Sayang!" Jawabnya tanpa menatap mataku sedikit pun. 

Sungguh, aku tak mau kalah dengan emosi. Aku tak mau meledak meski ingin. Ku hirup napas dalam dan kukeluarkan pelan. Aku duduk di depannya. Membuang semua ego dan perasaan kecewa yang ingin tumpah.

"Baik. Aku bukan anak kecil lagi. Jelaskan alasannya!"

"Aku belum bisa menjelaskannya," jawabnya yang membuatku tak bisa lagi membendung rasa marah, sedih dan kecewa.

"Kamu selingkuh?" suaraku bergetar hebat. Sungguh, aku ingin terlihat kuat. Tapi, toh rasa cemburu itu begitu halus menyelimuti semua jiwa ini.

Tak ada jawaban. Hanya wajah menunduk nan lesu yang diperlihatkan.

"Benar, kan? kamu selingkuh?" 

Kini wajahnya mulai terangkat. Matanya menatapku dengan lamat-lamat. Dia menunjukkan sebuah ekspresi yang tak dapat ku kenali. Selama 5 tahun pernikahan, belum pernah aku melihat ekspresi wajah yang sedemikian rupa.

"Aku tidak selingkuh," jawabnya masih dengan eskpresi yang sulit kupahami. 

Aku menggeleng. Tak percaya. Entah kenapa, insting pertamaku bilang jika dia telah mendua. Soal bukti, akan kucari nanti.

"Aku tidak selingkuh," ulangnya sekali lagi lalu segera pergi memunggungiku.

Mataku nanar. Air mata kini membanjiri pipi. Tak kusangka Mas Bramku yang teramat baik akan melakukan hal semacam ini.

Di kamar mandi, aku menatap diriku dengan setengah malu dan jijik. Kubelai rambut, wajah, leher, lengan. Semua masih normal. Baju haram ini pun, begitu melekat di badan. Dadaku penuh. Aku mencoba tersenyum. Tak ada cacat, tak ada cela. Dan penolakannya di saat-saat krusial menampar semua rasa percaya diriku. Aku menangis sejadi-jadinya. Kalau bukan selingkuh lalu apa?

***

"Penyakit. Mungkin dia kena penyakit, Rie. Coba cek kapan terakhir dia ke dokter!"

"Penyakit yang berhubungan sama alat kelamin. Dia gak mau kamu ketularan!" Tambah temanku nampak meyakinkan. 

"Kalau iya. Biasanya orang yang kena penyakit kelamin itu hobi jajan," jawabku semakin membuat dadaku merasa sesak. 

"Eh. Nggak kelamin ding. Mungkin penyakit yang bisa nular karena air liur atau apa!"

"Kita udah ciuman. Kemungkinan memang penyakit kelamin. Kalau memang alasannya itu penyakit."

"Aku udah cek semua barang kerjaan dia. Saku baju, celana, tas dan buku-buku yang ada di ruang kerjanya. Gak ada yang mencurigakan. Juga gak ada tanda-tanda dia ke dokter. Apa aku harus nyewa orang buat buntutin dia ya?"

Temanku tersedak. Dia mengerang karena jus alpukat masuk ke hidungnya. 

"Jangan aneh-aneh deh! Kamu aja bukan orang sini. Dari semenjak diboyong suami langsung hamil kemudian beranak. Anak masih nyusu, kamu dah beranak lagi! Mau nyuruh siapa?" Temanku menggelengkan kepala, setengah meledek.

"Kamu yang aneh! Siapa lagi? ya kamu lah!" selorohku.

Sontak, mata temanku terbelalak, menatapku dengan pandangan tak percaya.

"Emang, wajahku ini cap pengangguran ya!" selorohnya cemberut. Lalu buru-buru menghabiskan jus alpukat yang sisa seperempat.

"Enggak gitu! Terus yang bisa bantuin aku siapa lagi selain kamu?" pintaku memelas. Aku duduk di sofa sembari meninju bantal di sana. Andai saja aku punya sedikit waktu. Pastilah sudah pergi kemana-mana. Waktuku habis untuk mengurus ini itu. Kerjaan rumah pun tak pernah kunjung selesai. Selalu ada!

Temanku menatapku dengan iba, lalu menatap anakku yang kini bermain perosotan, sembari menjaganya agar bisa bermain dengan aman.

"Jujur aku pengen bantu kamu, Rie! Tapi ..., untuk membuntuti orang dari kerja sampai pulang itu mustahil lah. Aku kan juga punya kerjaan," jelasnya dengan lemah lembut.

Aku mengerti. Di sini, akulah yang egois. Dia sudah sering memberikan waktunya untuk mendengar keluh kesahku, lalu dengan entengnya kuminta ini dan itu tanpa sedikit berempati padanya.

"Maafin aku. Aku egois. Aku akan cari cara. Makasih untuk semuanya, teman!"

Dia tersenyum. Tak ada obrolan diantara kami. Mata kami disibukkan mengawasi anak keduaku. Meski pikiranku kemana-mana. Mungkin, temanku juga begitu.

"Coba selidiki saat dia ada lembur, Rie!" ucapnya setelah beberapa lama.

Aku mencerna kalimatnya. Lembur?

Dia mendekat ke arahku.

"Kalau memang suamimu selingkuh. Dia pasti cari waktu buat spend time sama selingkuhannya tanpa ketahuan kamu, Rie. Menurutku, waktu dia izin alasan lembur, bisa tuh aku buntutin suamimu. Tapi kamu ngomongnya jangan mendadak. Bisa chaos urusanku!" tambahnya kemudian

Kalau dipikir-pikir benar juga pendapatnya. Aku mengangguk. Setuju.

"Jadi, kamu mau buntutin dia saat dia lembur? Kamu gak papa? kamu kan juga punya kesibukan?" Aku memastikan hal itu lagi padanya. Sejujurnya, aku merasa tidak enak namun juga sangat perlu bantuannya.

"Gak papa Rie, Eh ..., Aduh ...!"

Kami tersentak oleh bunyi gedebug keras. Entah bagaimana asal mulanya anakku kini menangis keras luar biasa, pososi sudah terjerembab di lantai.

Refleks, kami setengah berlari menuju anakku. Aku segera mengambil, menggendongnya sembari minta maaf berkali-kali.

"Maafin ibu, Nak. Ibu gak fokus jagain kamu. Maaf, Nak! Pikiran ibu kemana-mana. Maafin ibu, Nak!" Sembari mengayun-ayunkan anakku di gendongan, air mataku tumpah karena begitu chaos kehidupanku sebagai ibu, sebagai istri, sebagai pekerja paruh waktu.

Temanku menepuk pundakku. Dia terlihat sedih, ikut berempati.

*****

"Serius?"

Aku masih tak percaya dengan jawabannya. Aku sudah bersabar selama dua minggu menghadapi sikapnya yang aneh. Setelah penolakannya kemarin, aku tak lagi meminta. Pun, tak lagi cerewet selayaknya istri. Bicara jika perlu. Sungguh, rumah tangga yang suram. Selama dua minggu itu, dia hanya menyentuhku 3 kali. Satu minggu tiga kali dan setelah itu aku haid selama seminggu. Kemarin adalah waktu yang tepat untuk membuntutinya, waktu dimana dia lembur dan waktu dimana selama seminggu dia tak menyentuhku. Mana ada lelaki yang tahan tak berhubungan selama seminggu?

Jika memang dia selingkuh, tadi malam adalah waktu yang tepat untuk dia melakukannya, yaitu waktu dia lembur kerja hingga akhirnya pulang jam 1 dini hari. Memangnya aku bodoh ada orang yang lembur sampai jam 1? 

Tapi jawaban temanku barusan membuatku bingung bukan kepalang. Apa sebenarnya yang terjadi dengan suamiku?

"Menurutku, kamu harus tanya sama sohib dia! Barangkali temannya malah tahu banyak tentang suamimu dibanding kamu, Rie!" Nasehatnya sembari menguap lebar-lebar. Mata pandanya terlihat mengantong, kasihan juga dia.

"Kok bengong? kamu gak tahu sohib suamimu?" tanya temanku dengan wajah gumun.

Aku menggeleng.

"Gak pernah diajak kemari? gak pernah izin mau ngopi sama siapa kek. Atau mancing sama siapa kek. Atau apa kek?" tanya temanku masih dengan raut tak percaya.

"Aku lupa," jawabku terbata. Sembari mencoba mengingat-ingat momen dimana suamiku dulu izin pergi ke temannya. Tapi, itu sudah lama sekali. Sejak aku hamil dan beranak pinak, dia sudah sangat jarang pergi. 

"Astaga, Arriena! Satu aja deh, nama teman suamimu. Siapa?" cerocos temanku masih tak habis pikir.

"Lupa. Lama banget. Dia gak pernah cerita soal temannya. Di hp ada beberapa nama. Tapi, aku gak tahu yang mana sohibnya. Pesan-pesan di hp juga singkat.

"Kok bisa sih. Ada suami yang gak cerita sama sekali soal temannya? maksudku, bisa kan dia cerita soal kantor yang mana isinya anak-anak kantor alias pasti ada satu atau dua temannya di situ?" jelasnya panjang lebar dengan eskpresi gemas.

Aku menghela napas panjang. Benar juga. Yang ditanyakan temanku adalah suatu pukulan keras yang baru kurasakan sekarang. Sungguh, aku kecolongan. Aku merasa telah mengenal suamiku, tapi nyatanya ...

"Terus, meja kursi di bawah Bougenville itu apa? ngapain kalian disana?" Temanku menunjuk spot favorit sebelum hubunganku dengan suami berjarak.

"Aku yang lebih sering cerita ke dia." Aku menunduk. Merasa sedih sekaligus bingung.

Sebenarnya ada apa ini? apa keretakan rumah tanggaku dikarenakan aku tak pernah memberikan waktu untuknya bercerita? atau sebenarnya, karakternya memang begitu? tak mau bercerita dan hanya suka mendengarkan dan merespon balik? 

Apakah keretakan rumah tanggaku diakibatkan oleh amarahnya yang memuncak akibat selama ini aku tak terlalu memberinya ruang untuk bercerita? 

Aku sedih, tapi jujur. Ini membingungkan. 

Andai saja dia bercerita banyak, aku malah senang. Tapi, aku kira. Diamnya artinya tak punya masalah apa-apa.

"Sebenarnya. Aku gak berhak ngasih kamu opini ini dan itu, apalagi sampai sok ngasih saran. Soalnya aku bukan pakar, Rie. Soal yang tadi, lupain aja deh," ucap temanku dengan muka menyesal. 

"Kamu ada benarnya kok. Makasih ya atas perhatian kamu selama ini. Kalau ada apa-apa soal rumah tanggaku, tenang aja! Semua yang kulakuin atas pilihan sendiri," jawabku meredakan rasa bersalahnya.

"Apa rencana kamu selanjutnya, Rie?" tanyanya kemudian dengan wajah lebih tenang.

"Kalau memang suamiku masih susah aku ajak komunikasi, aku akan tanya teman dekatnya. Akan aku cari sampai ketemu," jawabku dengan penuh tekad dan keyakinan. 

Temanku mengangguk setuju. 

***

"Seperti apa Mas Bram di kantor?" tanyaku pada teman karib Mas Bram usai memperkenalkan diriku.

Dia menatapku dengan hangat seolah aku ini juga dianggap sebagai sohibnya.

"Dia adalah Bram yang baik. Anda pasti beruntung memiliki suami seperti dia," ucapnya dengan rasa bahagia seolah sedang memberi selamat pada pengantin yang berada di atas pelaminan.

"Kalau saja saya beruntung menikah dengannya, tidak mungkin saya minta ketemu sama Anda," jawabku langsung ke akar masalah. Waktuku tidak banyak, aku ingin bicara to the point. Anak-anak sedang bersama bapaknya, aku berbohong pada suamiku. Izin keluar sebentar untuk membeli pembalut.

Wajahnya tercengang mendengar jawabanku. Apa mungkin, dia tak tahu menahu soal Mas Bram? apa mungkin Mas Bram memang semisterius itu? tak pernah membagi apa pun uneg-uneg pada orangterdekatnya?

"Waktu saya tidak banyak. Saya ada masalah dengan Mas Bram. Entahlah, ini cuma asumsi saya. Jangan-jangan Mas Bram punya selingkuh ..."

"Tidak mungkin!" Potongnya membuatku sedikit tersentak. 

"Maaf, membuat Anda kaget!" Ucapnya kemudian.

"Dia sosok yang baik dan lurus. Semua orang kantor tahu hal itu. Dia tidak seperti yang Anda pikirkan barusan," ucapnya meyakinkan.

"Apa menurutmu dia sedikit berubah akhir-akhir ini?" tanyaku menyelidik.

Teman Mas Bram yang bernama Satrio menatapku lalu beralih ke jendela Kafe.

"Dia beberapa kali ke dokter, sepertinya sa ...," jawabnya kemudian dengan wajah prihatin.

"Sungguh? tapi aku tak pernah lihat kartu, struk, atau semacamnya!" selaku tanpa permisi.

"Dokter kantor. Di kantor disediakan dokter. Dia kecapekan karena pekerjaannya bertambah," jelasnya.

"Kenapa bertambah? apa dia dihukum?" tanyaku kebingungan.

Temannya tertawa.

"Apa Anda tidak dikabari? dia naik pangkat." Satrio terkekeh. 

Aku menggeleng. Entah harus sedih atau bahagia. Yang jelas ini belum clear. Hatiku masih mengganjal. 

Tapi, jelas ini info penting. Bukan masalah kenaikan pangkatnya. Tapi ..., dokter kantor!

****

"Jadi, kapan kamu kesana?" tanya temanku sembari mengajak menyanyi anakku. Cicak-cicak di dinding adalah lagu favoritnya, apalagi jika sudah ketemu bagian 'HAP', dia akan heboh sendiri.

"Aku udah chat gurunya Mirea. Semoga ada slot kosong penitipan buat si adik di sana," jawabku sembari masih melirik layar gawai. Barangkali ada notifikasi masuk dari gurunya Mirea.

"Mau dititipin sampai jam berapa? barangkali aku bisa bantu," tawarnya dengan tulus.

"Kamu udah banyak bantuin. Makasih. Lagian aku mau nitipin anak-anakku sampai jam 4.

"Oohhhh ...," dia ber 'oh' panjang.

"Kamu keren Rie. Udah berusaha sampai sejauh ini!" ucapnya dilanjut mengajak anakku bernyanyi kembali.

"Urusan rumah tangga ini ..., entah kenapa bikin aku sedih luar biasa sekaligus menguatkan dalam waktu bersamaan. Aneh ya!"

Tak terasa sudut mataku basah. Dadaku juga turut bersedih. Sesak di sana sini.

"Hidup ini, memang agak-agak memainkan perasaan ya, Rie! Kita pengennya bahagia. Tapi rasa bahagia itu baru benar-benar bisa terasa jika sudah didera oleh penderitaan. Kita pengennya jadi orang pintar. Tapi gimana bisa pintar kalau otak gak dikasih soal-soal dulu?" temanku terkekeh. Dia mengusap sudut matanya yang juga basah.

"Ih. Sok bijak deh!" Aku melempar tisu ke arahnya. Kami saling menatap satu sama lain. Seolah saling berbagi rasa sedih dan segala emosi yang teraduk jadi satu. Selajutnya, kami tertawa bersama sembari menyeka sudut mata sekaligus menyanyi lagu cicak-cicak di dinding dan menangis sekeras-kerasnya di bagian 'HAP'.

***

Aku sudah di depan pintu putih gading. Di dinding sebelah pintu, tersemat dengan anggun papan nama ukuran 5 x 20 cm yang terbuat dari kayu yang dipahat nan elegan. Dokter Amelia. Dari namanya saja, aku merasa ini bukan tanda yang baik. Semua asumsi-asumsi itu berkecamuk jadi satu. Tanganku mulai mendorong gagang pintu.

Mataku langsung tertuju pada sosok wanita cantik dengan rambut indah digelung. Usianya sekitar menginjak kepala 4 namun masih terlihat cantik dan bugar. Dia mengenakan kemeja panjang dan rok selutut. Jas dokter disampirkan di kursi empuknya belakang meja.

"Selamat siang. Silahkan duduk Bu!" tuturnya dengan lembut sekaligus berwibawa.

Hanya dari menatap dan mendengarkan dia bicara, aku sebagai perempuan merasa takjub. Dia punya kharisma tersendiri untuk menyedot perhatian orang ke arahnya.

Apa sebenarnya penyakit yang didera suamiku? Apa memang dia benar-benar sakit? atau ada tujuan yang lain?

***

"Baik, dengan siapa dan dari departemen mana Bu?" tanyanya setelah aku tepat berada di depannya. Kursi yang empuk dan dokter perempuan yang cantik. Apakah suamiku ...?

"Mohon maaf! Dengan siapa dan dari departemen mana, Ibu?" tanyanya sekali lagi membuatku tersentak dari lamunan. Aku menggigit bibir. Jika jujur, pastilah dokter ini akan melaporkan ke pihak yang berwernang jika ada orang dari luar yang masuk ke ruangannya. Tapi, aku bisa berkilah jika sebelum menemui suamiku, aku merasakan sakit hingga mencari ruang dokter di kantor ini. 

Aku tersenyum.

"Saya ...,"

"ARRIENA!" 

Aku tersentak dan spontan mencari asal suara. Di depan pintu, Mas Bram sudah berdiri dengan muka tegang.

"Anak kantor bilang kamu mencariku, Mah!" Ucapnya kemudian dengan nada yang lebih rendah dan ekspresi yang lebih tenang.

"Ya, tapi aku pengen periksa sebentar. Tiba-tiba badanku tidak enak," kilahku memasang akting sempurna.

"Ini fasilitas kantor, Mah. Sebentar lagi istirahat. Papa bisa antarkan Mama ke luar," ajaknya lembut, tangan kanannya sudah mengulur padaku.

Dokter Amelia hanya berdiri, memandang kami dengan ekspresi yang tak bisa kuterka. Dan suamiku? dia terlihat sekali berusaha agar aku secepatnya keluar dari tempat ini.

Keputusanku sudah bulat. Aku tak mau ikut dengan suamiku. Mumpung mereka di sini. Justru itu waktu yang terbaik untuk menanyakannya sekaligus melihat gelagat mereka.

"Suami saya sakit apa, Dok?"

Aku melihat ekspresi terkejut dari Dokter Amelia.

Benar bukan? pasti ada sesuatu.

"Mohon maaf. Saya tidak bisa mengatakannya tanpa izin pasien," ucapnya dengan senyum. Ekspresinya kembali ke setelan awal.

"Sakit apa yang dia rasakan, Dok? Sakit fisik atau jiwanya?" tandasku pada Dokter Amelia.

Dokter Amelia masih tenang. Tak ada tanda-tanda dia bersuara. Namun mata kami saling menatap. Sepasang Mata dari dua orang perempuan yang penuh selidik meski tanpa bicara satu patah kata pun. 

"Cukup, Mah. Ayo ikut Papa!" Tangan suamiku yang kekar kini sudah menarikku sampai ke luar ruangan.

"Beri aku penjelasan!" desisku pada Mas Bram yang kini tengah mengelap peluh di dahi. 

Mas Bram menatapku dengan wajah setengah marah. Wajah yang teramat menenangkan dulu, wajah yang aku begitu gandrungi sebelum semua masalah ini terjadi kini berubah menjadi wajah yang paling aku benci. Pantaskah dia memasang wajah itu setelah sekian lama aku tak diberikan penjelasan olehnya? kalau dia marah, itu salahnya sendiri. Membuatku mencari tahu sendiri penyebab semua keretakan rumah tangga ini. 

"Akan aku beri jawabannya. Tapi tidak di sini," jawabnya dengan wajah merah padam. 

"Dimana?" kejarku.

Mas Bram menoleh ke kanan dan kiri, memastikan para pekerja masih sibuk. Tak ada yang memerhatikan kami. 

Sembari menggandeng lenganku menuju ruangan yang lebih sepi, dia berkata,

"Di rumah."

"Kapan?" kejarku lagi.

Dia memejamkan mata. Aku bisa melirik mulutnya yang sekarang membuka dan menutup. Seakan teramat susah membuat keputusan.

"Jangan tunda lagi, Mas. Nanti malam di bawah Bougenville. Katakan sejujurnya." Kutarik tanganku dari genggamannya lalu pergi tanpa menoleh sedikit pun. Luka di hati ini benar-benar sudah menganga. Suamiku yang berubah, dokter yang cantik dan gelagat mereka yang seakan menyembunyikan sesuatu. Ada apa ini? apa mereka selingkuh? apa ini cuma luapan emosional saja yang tak berbukti? namun instingku sebagai istri meyakini jika, suamiku selingkuh. Suamiku punya wanita lain. Meski belum ada bukti valid.

Kuputuskan untuk keluar dari kantor dengan tergesa. Tak kuhiraukan beberapa orang yang menatapku dengan tatapan bertanya. Taxi online sebentar lagi datang. Aku ingin ke perpustakaan. Tempat itu tiba-tiba muncul di kepala. Aku ingin me time disana. Menenangkan dan mempersiapkan diri untuk sebuah jawaban nanti malam. Toh siap tidak siap, aku akan menghadapinya. Jalani semuanya dengan gagah.

"Kopinya, Bu!" Pelayan menyodorkan secangkir kopi susu hangat. Kopi yang dulu sering dipesan suamiku saat kali pertama kami memutuskan semeja bersama. Dia memang teman kuliahku, tapi kita jarang bersua. Paling hanya saling menatap lalu sudah. Dan di perpustakaan ini, kami akhirnya dekat. Barangkali, hobi yang sama bisa membuat orang punya keterikatan. Dari iseng basa-basi soal bacaan buku hingga akhirnya ngopi bersama di kafe yang masih satu ruang dengan perpustakaan.

"Ini gak adil, Rie. Kamu nerima ajakanku ke kafe loh tapi malah pesan air mineral!" 

Aku masih ingat. Kalimat itu yang pertama dia ucap kali pertama suguhan datang di atas meja.

"Kamu ngajaknya ngafe, kan Bram? bukan ngopi bareng, kan?" 

Aku tersenyum jika mengingat itu kembali.

Kucoba menyeruput kopi susu panas. Teguk demi teguk dan berusaha merasakan nikmat pahit dan manisnya di lidah. Bahwa, menikmati pahit dan manis secara bersamaan barangkali menjadi seni terindah dalam kehidupan.

"Ini ya Bram filosofi kopi menurut kamu!" Aku tertawa kecut. Dadaku masih sesak oleh peristiwa tadi.

"Rie. Habis wisuda, kamu mau ngapain?" tanyanya di kafe ini dulu, tepat satu minggu sebelum kami wisuda. 

"Kayaknya, aku kerja di pabrik deh," jawabku dengan senyum mengembang pada saat itu.

"Gitu ya. Kenapa gak guru? Terus ikut daftar sertifikasi!" tanyanya dengan muka gumun.

"Aneh ya kalau aku milih pabrik di banding guru?" sergahku tak terima.

"Eh. Enggak gitu, Rie. Rata-rata teman kita yang cewek kan ngejar jadi guru terus sertifikasi karena mereka bakalan jadi ibu rumah tangga. Kalau kerja di pabrik, jam nya kan panjang dan kerjanya lebih berat. Ya, barangkali itu bisa buat pembanding," ucapnya tanpa dengan nada menggurui.

"Oh gitu ya. Tapi kayaknya, aku gak berbakat jadi guru deh!" Ungkapku sembari membayangkan jika hal itu terjadi.

"Eh, gak bakat gimana?" tanyanya dengan wajah ingin tahu.

"Aku gak bisa ketemu banyak orang, Bram. Bisa stress kuadrat deh!" Jawabku sembari masih membayangkan jika suatu saat aku jadi guru.

"Lagian, kasian murid-muridku nanti. Mau dapat ilmu apa mereka kalau gurunya kosong kayak gini?" kekehku sambil menunjuk ke diri sendiri.

Dia ikut terkekeh lalu menggelengkang kepala.

"Merendah banget sih, Rie! IPK mu aja lebih tinggi dari aku!"

"IPK cuma di atas kertas, Bram. Yang lain-lain masih banyak," jawabku sembari menenggak air mineral.

"Kamu gimana, Bram? Habis wisuda nanti ngapain?"

"Aku mau ke Jepang ...,"

"S2?" selaku sebelum dia menyelesaikan kalimat.

"Kerja dong Arriena! Kontrak kerja 2 tahun!" Jawabnya dengan mata berbinar.

"Asik dong bisa lihat sakura bermekaraan," mataku mulai membayangkan berada di bawah pohon sakura pink, putih nan estetik. Bunga-bunga cantik itu berguguran, mengguyur rambut, jalanan dan sungai tepi jalan.

"Musim Sakura itu gak lama kali, Rie! Gak bisa tiap hari estetik" Celetuknya.

"Ya, seenggaknya bisa ngerasain langsung festival bunga sakura. Gak cuma di angan-angan!" Jawabku ketus.

"Yah, gak asik juga sih nonton Sakura tanpa orang yang kita sukai," jawabnya lalu cepat-cepat menyeruput kopi susunya.

"Idih! Kerja yang bener baru cari pacar. Pacaran juga gak usah lama-lama, kasihan anak orang digantung kayak tiang jemuran!"

Bram menutup wajahnya dengan kedua lengannya sembari menggelengkan kepala kuat-kuat. Loh, padahal bener kan nasehat yang kuberikan?

"Masak sampai sini gak ngerti, Rie?!" ucapnya dengan gelagat malu bercampur gemas.

"Kamu yang gak ngerti! Intinya, jangan asal macarin cewek cuma buat nonton Sakura. Kesana tuh kamu kerja. Kalau udah berpenghasilan, udah yakin bisa jadi suami dan ayah yang baik, baru tuh macarin anak orang," jawabku ketus. Aku menatap Bram yang saat itu malah mesam-mesem.

"Eh, nikahin aja langsung. Gak usah pacar-pacaran! Pacaran anak-anak sekarang suka kebablasan, horor ih!" Tambahku kemudian sudah seperti emak-emak yang memarahi anaknya.

"Oke, Rie. Dua tahun ya. Kasih aku waktu 2 tahun ya! Jangan dekat sama laki-laki lain dulu."

"Eh ...,"

Aku tersenyum jika mengingat kejadian itu. Romantis jika itu didengar oleh Arriena dulu. Dan memuakkan jika itu didengar oleh Arriena yang sekarang.

Singkat cerita, Mas Bram kerja di Jepang selama 2 tahun dan aku kerja di pabrik beberapa kilo meter dari tempatku tinggal.

Hubungan kami semakin erat meski ribuan kilometer menjadi jarak. Tiap malam tak pernah absen komunikasi meskipun sekadar kabar dan curahan kecil perasaan satu sama lain. Dan tepat satu tahun setelah bekerja, Mas Bram bilang ingin serius. Dia mau menikah di Indonesia dan akan memboyongku di sana. Mas Bram bilang, gaji di sana menyejahterakan.

Setelah mendapatkan restu, aku menikah lalu langsung diboyong di sana. Jepang memang indah, apalagi Mas Bram bekerja di bagian pedesaan. Tapi, aku mengalami alergi berbagai macam di sana seolah tubuhku menolak apapun yang dari Jepang, dari cuaca hingga makanan. Kondisi tubuhku menurun drastis. Aku masih ingat, 3 bulan yang berat namun menyimpan hadiah terindah. Ya, aku hamil.

Aku diantar pulang ke Indonesia, sedangkan Mas Bram melanjutkan kontraknya di sana. Hamil 9 bulan tanpa suami bukan hal yang mudah. Tiap malam, aku menelpon Mas Bram. Curhat betapa sakitnya badan yang kurasakan saat hamil. Terlebih di trimester ke tiga. Kontraksi-kontraksi palsu yang membuat shok sebagai calon ibu muda tanpa banyak pengetahuan.

Jika ingat betapa berat aku menjalani hidup saat hamil tanpa suami di rumah dulu, jujur untuk sekarang aku lebih memilih itu. Dulu, kami memang berjarak tapi hati kami teramat dekat. Dan sekarang, kami serumah tapi hati kami berjauhan. Sepi.

Apa artinya kenangan-kenangan yang teramat manis dulu jika dampaknya begitu melukai saat sekarang ini? Andai saja kenangan-kenangan indah itu tak pernah ada. Barangkali, sakit yang kurasa tak sesesak ini.

Aku menatap secangkir kopi susu yang masih tak bisa kuhabiskan dalam sekali teguk.

***

Jam 11 malam di bawah Bougenville. Tak ada kopi atau air mineral di atas meja. Hanya ada obat nyamuk dan kesunyian beberapa menit. Kami sama-sama menyilangkan lengan di dada, kadang mendesah kadang menguap. Tak ada yang mengawali. Dasar laki-laki. Padahal, dia yang memulai semua ini

"Kakinya bagus ya!" Ucapku pada akhirnya usai tak sabar menunggu kebijaksanaannya memulai tanggungjawab. Dia masih terdiam, namun matanya bergerak, gelisah.

"Sepasang kaki yang jenjang dengan sepasang sandal merah hak tinggi!" Tambahku usai tak ada jawaban apa puh darinya.

"Cantik, seksi, berpendidikan, berwawasan, pembawaan tenang. Sempurna!" Selorohku dengan nada tinggi.

"Cukup Arrriena! Bukan dia!" Jawab suamiku pada akhirnya.

"Bukan dia? artinya ada yang lain? jadi kamu memang selingkuh!" Ucapku menahan segala sesak di dada.

Suamiku memejamkan mata sembari kedua tangannya mencengkram erat kedua sudut meja.Tak ada suara darinya. Apa itu artinya, dia sungguh-sungguh telah selingkuh?

Mau tak mau, tangis itu pecah. Sungguh, aku mencoba kuat namun nyatanya emosi itu meluap begitu saja.

"Siapa?" tanyaku masih dengan air mata yang menganak sungai. Tak ada jawaban, suamiku masih memejamkan matanya.

"SIAPA?!" Desakku tak sabar.

"Susah untuk kujelaskan, Rie!" jawabnya pelan, lesu.

"Sungguh? Mas Bram yang naik pangkat karena menjadi karyawan yang cakap tak bisa menjelaskan soal ini?" Ujarku dengan nada ironi.

Tak ada tanda-tanda suamiku akan bersuara. Sungguh, ini membuatku jengkel. Aku memukul-mukul dadaku yang kian sesak. Menarik napas panjang dan mengeluarkannya pelan-pelan. Baik, aku tak boleh cepat emosi.

"Akan kuterima semuanya. Aku berjanji tak akan membuat drama. Aku berjanji akan membuat hal ini simpel. Yang penting, kamu jujur saja, Mas. Jangan buat aku mencari sendiri, menerka-nerka sendiri, dan merasakan sesak yang kian bertambah!"

Mata kami saling bertatapan. Aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca hingga akhirnya ia menjelaskan segalanya ...

***

"Konyol, konyol, konyol!" Umpat temanku yang sedari tadi berdiri di sampingku di depan cermin.

Sudut mataku masih basah. Tinggal menyelesaikan sisa-sisa air mata yang sebentar lagi akan mengering.

"Suamimu udah gila, Rie!" Umpatnya sekali lagi dengan amarah yang kian memuncak.

"90 persen hatinya sudah direbut oleh perempuan itu, aku bisa apa?" jawabku serak.

"Kamu menyebutnya perempuan? Jangan gila! Dia cuma sebuah sosok antah barantah yang tiba-tiba nangkring di mimpi suamimu." Temanku berkacak pinggang, tak habis pikir.

Aku mendesah panjang.Permasalahan ini sumgguh aneh namun sukar diselesaikan. Bagaimana aku menyelesaikannya jika perempuan itu fiksi?

"Sadarkan suamimu sekali lagi, Rie. Buka matanya lebar-lebar. Putar memorinya kembali soal kisah kalian dan anak-anak kalian!" Nasehat temanku dengan menggebu-gebu.

"Percuma. Semakin kuat aku memintanya berubah, memintanya fokus di kehidupan nyata, memberinya fakta bahwa istrinya cuma 1 dan dia telah dikaruniai dua anak lucu, semakin dia membenciku. Di mimpinya, aku adalah sosok istri yang jahat. Yang tega mengambil jatah seks istri keduanya dan membuatnya mengurus anak kami. Istri kedua yang baik hati, nelangsa dan hanya bisa memeluk suamiku kala tangisnya pecah telah sukses membuat suamiku jatuh hati padanya."

"Itu tetap aja konyol, Rie! Tapi, aneh juga ya. Mimpi itu sering datang ke suamimu. Membuat fiksi itu makin tercetak tebal di memorinya." 

Aku mengangguk. Pertanyaan itu juga sering mengganggu pikiranku. Entah bagaimana bisa, orang bisa bermimpi hal yang sama hampir setiap hari.

"Kamu pernah dengar gak? bahwa pikiran bawah sadar mengambil peranan 90 persen dalam merespon kehidupan nyata. Aku sedih tapi aku bisa memahami kenapa suamiku begitu," jawabku masih dengan dada sesak.

"Terus, solusinya apa Arriena?" temanku mengelus dadanya. Menghirup udara dalam-dalam lalu melepaskannya kuat-kuat.

"Entahlah," jawabku dengan pikiran buntu.

"Sabar ya, Rie. Entahlah, aku gak bisa bayangin kami hidup serumah tapi hatinya di tempat lain. Malahan kamu dianggap jahat olehnya!" Temanku mengusap cermin lalu berkaca.

"Seenggaknya, dia masih jadi ayah yang baik," desahku pelan.

"Kalau ini sampai keterusan, kamu gimana Rie?"

Aku melihat tatapan prihatin temanku lewat cermin.

"Tidak semua rumah tangga bubar karena suami istri sudah tidak saling cinta," jawabku parau.

"Mirea? Kirei?" tebaknya dengan tepat.

Aku mengangguk, air mata yang tadi sudah mengering kini entah bagaimana bisa mengalir kembali.

"Mereka butuh ayahnya. Toh, Mas Bram masih jadi ayah yang baik. Lupakan soal perasanku. Lambat laun, aku mungkin bisa berdamai dengan ini."

"Tapi itu sakit banget, Rie. Aku tahu kamu cinta banget sama suamimu. Tapi, gak ada jaminan waktu kapan suamimu sembuh. Kamu tahu itu, kan?" temanku menepuk-nepuk pundakku.

Aku mengangguk. Aku mengerti, keputusan ini memang berat. Dan sejujurnya, cintaku untuk Mas Bram lebih besar dibanding rasa benci di hati. Aku, memang muak, benci dengan sikapnya yang kuanggap sebagai sebuah 'kejahatan'. Tapi, sekuat apa pun aku berusaha tak memedulikannya, tanganku terus mengarah pada pakaian kerja yang kemudian kusetrika untuknya. Tanganku selalu mengarah pada tumpukan pakaian dan celananya untuk kucuci. Tanganku selalu mengarah pada kompor, merajang air panas untuk secangkir kopi di pagi hari. Apa aku bodoh? aku tidak tahu. Tapi dalam lubuk hati yang terdalam, ada satu harapan. Hati kami akan bertaut seperti dahulu lagi.

Aku, akan menyerahkan segala urusan ini pada Tuhan. Jika suatu saat aku harus menyerah pada takdir, setidaknya aku sudah memberikan pertarungan yang terbaik.

"Ini pasti berat buat kamu, Rie. Tapi, bagaimana kamu bisa memberi cinta kalau teko cintamu sendiri kosong?"

Kalimat dari temanku itu pelak menampar relung dadaku yang paling dalam.

Temanku memelukku. Kami menangis bersamaan.

Puk ... Puk ... Puk ...

Puk ... Puk ... Puk ...

Puk ... Puk ... Puk ...

Suara kedua lengan yang bersilang dan menepuk masing-masing pundak kanan dan kiri.

Terimakasih, terimakasih telah menjadi teman yang baik.

*Ada sebuah ungkapan yang saya dapatkan di media sosial.

Jika kita tidak bisa makan sendiri, tidur sendiri, jalan-jalan sendiri, itu artinya kita bukan teman yang cukup baik untuk diri kita sendiri.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Dukkha dan Renjana
Diana Tri Hartati
Skrip Film
Cinta tak terhitung Cinta tiada ujung...
Siti Fatimah
Flash
Riana -Perkenalan- eps 1
Anisah Ani06
Cerpen
Bronze
DZUL
Abdurrazzaq Zanky
Cerpen
The Deep Secret
Naila Etrafa
Novel
Bronze
Antara Rasa
Keefe R.D
Novel
SATURNUS
Ardhi Widjaya
Cerpen
Dor!
Zaki S. Piere
Flash
Sungai Pasir
muhamad fahmi fadillah
Cerpen
Bronze
Pelukan Terakhir
Aria
Novel
Cerita Sang Aktor
ab
Cerpen
Bronze
Hujan di Balik Langit Cerah
Rudi Ardi Hamzah
Novel
Karimunjawa Love Story
Kelana Kaheswara
Novel
Meragukan, yang berakhir nyata.
Callista Vine Wijaya Buntoro
Novel
Broken Angel
Andrea Jevan
Rekomendasi
Cerpen
The Deep Secret
Naila Etrafa
Cerpen
Bronze
Sepasang Kekasih November
Naila Etrafa
Cerpen
Bronze
Lelaki Misterius Yang Setiap Malam Datang Ke Gereja
Naila Etrafa
Cerpen
Bronze
Hujan di Bulan Agustus
Naila Etrafa