Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
The Dark Ages
0
Suka
1,132
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

"Nathan? Nathaniel? Ada masalah? Semuanya baik-baik saja?"

"Tidak."

Seandainya aku bisa mengucapkan kata itu ....

"Ya, saya baik-baik saja," jawabku tersenyum kepada guruku.

"Ya sudah kalau begitu. Akhir-akhir ini, ibu perhatikan kamu sering melamun. Kalau ada masalah coba bicarakan dengan orang lain, jangan dipendam sendiri, itu tidak baik," ucapnya lalu melanjutkan pelajaran hari ini.

"Ya, Bu," jawabku dingin.

"Sial ... kenapa nilaiku jadi begini? Padahal nilaiku selalu sempurna."

Puluhan orang tua dari para calon murid baru di sekolah terbaik yang ada di kota ini, yang sudah mendaftarkan anak-anaknya sebelumnya, beramai-ramai memblokade gerbang masuk sekolah bagi para orang tua atau calon murid baru yang akan mendaftarkan diri atau anaknya ke sekolah itu, di pagi hari yang panas itu.

Suara mesin motor terdengar mendekat ke dalam rumah pada saat hujan mulai mengguyur dengan deras di atas langit hitam kota kecil ini, pada malam hari yang sunyi itu.

Setelah mendengar kabar buruk yang sudah bisa kuramalkan sendiri itu, aku bergegas menuju kamar kecilku dan mengunci diriku kedalam kegelapan.

Dunia sudah memutuskan bahwa sudah waktunya untuk membuang sang Pangeran dari kerajaannya, membiarkannya membusuk dalam pengasingannya di pulau terkutuk.

Mobil kami melaju dengan perlahan melewati hamparan sawah yang luas di negeri antah berantah.

"Tenanglah, Pangeran. Ada kami disini. Anda tidak sendirian," ucapku sendiri yang menyedihkan ini.

"Welcome to the Dark Ages."

Papan nama sekolah tua itu seakan menyambutku dengan penuh ejekan dari atas sana, menatapku yang berada dibawahnya dengan penuh suka cita.

Aku melangkahkan kaki-kakiku dengan berat menuju kegelapan yang suram.

Semua mata tertuju padaku pagi itu, entah kenapa.

Aku terus berjalan menunduk menyusuri lorong-lorong yang gelap dan sempit itu.

Orang-orang selalu memberi jalan saat aku berjalan ke arah mereka lalu menatapku dengan tatapan yang menusuk, bahkan rasanya seakan mereka benar-benar menusuk tubuh kurusku saat pandanganku terfokus pada bayangan hitam dibawah kaki-kakiku yang lebih pas dibilang terseret daripada melangkah itu.

Ruangan kelasku berada di ujung lorong, terisolasi dari peradaban dan menjadi sarang para brandalan.

Suasana di dalam kelas terlihat sangat penuh dengan kecanggungan para penghuni barunya, sampai aku menginjakan kakiku didalamnya, seperti biasa, sorotan semua mata tertuju kepadaku, kehadiranku semakin menambah kebekuan ruangan itu.

Aku duduk disebuah bangku kosong, diapit oleh dua gadis asing di depan dan belakangku.

Di sebelah kiriku, duduk seorang Putri Raja yang terlihat sangat menawan sedangkan di sebelah kananku duduk seorang Dewa arogan yang diusir dari kayangan.

Secara umum kami semua hanya duduk dalam diam selama berjam-jam menunggu sang guru datang, kecuali dua orang gadis dibelakangku yang terdengar sangat berisik dan menggangu.

"Oh ... maaf. Kau bisa mengambilkan pulpenku, tolong," pinta sang Putri kepadaku.

Aku memungut pulpen kaca itu di atas lantai keramik lalu meletakkannya kembali di atas bangku kayu sang Putri tanpa mengucapkan sepatah katapun padanya.

"Makasih," ucapnya tersenyum hangat kepadaku yang dingin.

Beberapa saat kemudian manusia salju itu menggelinding kembali ke bawah.

"Hehe ... tolong ...," pintanya kembali dengan senyum yang mengembang di wajahnya.

"Ambil sendiri," ucapku tidak peduli.

"Hmm ...."

Putri berbaju pink itu terlihat kesal dan pada akhirnya dengan terpaksa bangkit dari singgasananya dan memungut kembali manusia salju kesayangannya itu dengan tangannya yang seputih bola salju.

Dia masih terlihat kesal dan marah kepadaku saat kembali duduk di atas singgasananya.

Di sisi lain, seorang Dewa terlihat mulai bosan dan berniat untuk bercanda dengan seorang pengawal dibelakangnya.

Tak lama kemudian candaan toxic dari sang Dewa membuat sang pengawal marah dan memukuli sang Dewa, tepat di hadapan para manusia rendahan di sekitar mereka.

Kami semua para manusia rendahan, yang bukan merupakan pengikut dari sang Dewa arogan, menyaksikan pertarungan ala anak kecil dari sang Dewa dan pengawalnya tersebut dengan seksama, tidak ada yang berani, atau berniat, untuk menghentikan pertunjukan langkah tersebut.

Bahkan di salah satu sudut ruangan, salah seorang di antara kami sudah mempersiapkan popcorn dan sodanya di atas meja. Sedangkan di sudut lain, para pria berkumpul untuk melakukan taruhan.

"Bodoh," ucapku dalam hati menyaksikan ketololan dari salah seorang yang mengaku Dewa di samping bangkuku ini.

Beberapa saat kemudian guru kami akhirnya datang dan pertengkaran anak kecil tadi berakhir tanpa pemenang.

Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan berlalu dengan sangat lambat dalam cengkeraman abad kegelapan. Satu tahun terasa seperti satu abad lamanya, rasanya kegelapan ini benar-benar abadi dan tidak akan pernah mau untuk pergi.

Hari ini, seperti hari Senin yang lain, aku berjalan dengan kepala tertunduk menghadap tanah menuju pengasinganku melalui jalan rusak di belakang ruangan-ruangan kelas yang gelap.

Jalan yang hanya akan dilalui oleh para pecundang yang selalu gagal dalam segala hal.

Aku lebih memilih jalan yang kesepian ini daripada jalan utama yang menakutkan.

Hanya beberapa gelandangan, kriminal dan pecandu narkoba serta markas para Yakuza di sudut kegelapan yang harus kulewati setiap pagi, itu jauh lebih baik dan menenangkan daripada harus selalu berhadapan dengan kumpulan mata-mata yang selalu memburuku setiap waktu.

Hal itu secara resmi membuatku menjadi salah satu makhluk mitologi dalam abad kegelapan itu yang hanya bisa didengar rumor keberadaannya dan tidak pernah ada yang mengetahui secara pasti wujud dan wajah asliku dibalik topeng tampan sang Pangeran kegelapan.

"Hei, Nathan. Kau tidak mau bergabung bersama kami?" tawar salah satu Yakuza itu menghembuskan nafas berasapnya.

"Tidak, terimakasih," jawabku melewati mereka yang sedang berpesta.

"Hei, kau sudah mengerjakan pr mu?" tanya si kembar kepadaku saat aku baru saja meletakkan tubuh tidak berguna ini di atas bangku kayu yang keras itu.

"Sudah."

"Bagus. A ...."

"Pergilah, aku mau tidur," potongku memberikan tugasku padanya.

"Ah, baiklah. Terimakasih. Kau memang teman yang baik."

"Berisik," sahutku meletakkan kepalaku yang mulai berat dipenuhi dengan kecemasan di atas kayu kasar ini.

"Ya, ya, terserah kau saja," ucap si kembar lalu menghilang dalam kegelapan.

"Jadi, siapa yang bisa mengerjakannya?" tanya guru bahasa Inggris kami kepada kami semua.

Tidak ada yang mengangkat tangan, dan seperti biasa, aku yang menjadi sasaran.

"Nathan. Maju kedepan," perintahnya kepadaku di baris belakang.

Aku dengan terpaksa menyeret kaki-kakiku yang terbelenggu kedepan ruangan.

Aku mengambil spidol hitam itu, mencoret-coret papan tulis dengan sebuah jawaban dan kembali kedalam kegelapan.

"Bagus! Jawaban yang sempurna seperti biasanya. Kerja bagus, Nathan," puji sang guru diikuti oleh tepuk tangan dari seluruh kelas seperti biasanya.

"Hei, Nathan. Bangun, bodoh. Kau tidak mau pulang?"

Aku membuka mata dan melihat sahabatku di hadapanku.

"Hmm ... apa? Itu tadi cuma mimpi?" tanyaku bingung.

"Mimpi apa?" tanyanya.

"Tidak ada, hanya perintah dan pujian seperti biasa," jawabku bangkit berdiri dan memasukkan kembali buku-bukuku kedalam tas ranselku yang kosong.

"Oh. Itu berarti bukan mimpi. Itu sudah menjadi menu sarapan, makan siang dan makan malammu setiap hari," ucapnya.

"Benarkah?"

"Jangan lupakan cacian dan kegagalan untuk makanan penutupnya, selalu," ucapku berjalan melewatinya keluar kelas.

Lorong gelap dan sempit itu kini sudah terasa sedikit terang dan luas saat monster-monster itu sudah kembali ke sarang mereka masing-masing.

Kami berjalan menuju tempat parkir sebelum seorang gadis tak dikenal berteriak memanggilku dan menghentikan langkahku.

"Kau mau jadi pacarku?"

Aku memalingkan wajahku padanya dan berkata, "tidak," lalu kembali berjalan menuju kuda biruku.

Gadis itu hanya terdiam menatapku yang tidak memperdulikannya sama sekali.

Hanya senyum mengejek dari sahabatku yang diterima oleh tatapan matanya yang ambisius itu.

Setelah itu dia bergegas pergi dari area parkir dengan wajah kesal lalu berteriak, "dia tidak mau!" dengan sangat keras kepada sahabatnya yang menunggunya di depan gerbang sekolah.

"Apa?" tanyaku dingin kepada sahabat setiaku itu yang menatapku penuh keheranan.

"Kenapa kau menolaknya? Kau tau? Dia salah satu gadis tercantik disini," ucapnya menunggangi kuda hijaunya.

"Aku tidak peduli," jawabku mulai beranjak pergi dari tempat itu.

"Hmm ... kau benar-benar aneh, kawan."

"Ya, aku tau."

Kami terus melaju di tengah hamparan sawah yang hijau menuju rumah kami di Utara.

"Oh, ya. Kau pulang duluan saja, aku ada urusan sebentar."

"Ya."

Di tengah persimpangan jalan itu kami berpisah, mungkin untuk selamanya, setelah perpisahan yang biasa itu entah mengapa hubunganku dengannya dan semua orang terasa semakin memburuk, bahkan terkesan seperti sebuah kepalsuan dan formalitas belaka.

Saat dia beranjak pergi ke arah matahari senja di Barat aku justru berbalik ke arah langit mendung yang mendekat dengan cepat dari Timur jauh.

Kemana sebenarnya aku berjalan? Aku benar-benar tidak tau jawabannya.

Apakah aku tadi mengatakan menunggangi seekor kuda biru? Kenyataannya aku hanya seorang pecundang yang mengayuh sebuah sepeda biru yang sudah sekarat dan hanya tinggal menunggu waktu untuk dibuang ke tempat sampah yang busuk.

Aku bahkan tidak mengetahui dimana rumahku berada. Mungkin aku memang tidak pernah ditakdirkan untuk ada.

Gemuruh petir terus menyambar di bawah cakrawala dunia yang busuk, sebuah tempat sampah bagi para pendosa surga yang menunggu penghakimannya di hari akhir, apakah mereka akan di daur ulang kembali atau dihancurkan dan dilebur untuk selama-lamanya dalam neraka yang terkutuk.

"Kriiing!!!"

Alarm pagi yang menyebalkan telah berbunyi dan mimpi buruk ini pun di mulai kembali.

"Ada apa? Kenapa kau tersenyum seperti itu?" tanya si kembar ketakutan.

"Tidak apa-apa, aku hanya memikirkan sebuah hal yang seharusnya aku lakukan dari dulu," jawabku tersenyum tidak sabar.

"Apa?"

"Tunggu saja, kau akan mengetahuinya," ucapku memakan mie ayam tanpa kecap pertamaku.

"Kapan?" tanya si kembar lagi penasaran.

"Entahlah, mungkin besok," jawabku meminum es tehku.

"Oh ... ok."

Kami berdua melanjutkan makan siang kami pada jam 10 pagi itu hingga bel tanda masuk berbunyi dengan keras ke seluruh penjuru sekolah.

"Bu, mie ayamnya lima," pintaku kepada ibu itu.

Beliau lalu bergegas menyiapkan pesanan kami berlima di pagi hari yang terik itu.

Aku, si kembar dan ketiga teman kelasku yang lain mengambil tempat duduk masing-masing dan mulai melakukan perbincangan omong kosong kami seperti biasa sembari menunggu pesanan kami datang beberapa menit lagi.

"Kalian sudah mengerjakan pr kalian?"

"Belum."

"Bagaimana denganmu, Nathan?"

"Belum," jawabku menikmati minumanku perlahan-lahan.

Mereka berempat serempak terkejut dengan wajah konyol mereka menatapku tak percaya.

"Ah, kau pasti bercanda kan? Tidak mungkin seorang Nathaniel tidak mengerjakan tugasnya. Benar kan?" tanya si kembar kepada mereka bertiga yang serempak menganggukkan kepala kosong mereka itu.

"Aku bilang belum bukan tidak," protesku.

"Ya, itu kurang lebih sama kan?" balas si kembar menatapku bingung.

"Kau bercanda kan, Nathan?" tanyanya sekali lagi memastikan.

"Tidak. Kau tau aku tidak pandai bercanda kan?" tanyaku balik menatapnya.

"Aku juga tidak bawa uang hari ini. Kalian yang membayar," lanjutku melanjutkan minumku.

"Ah ... baiklah. Aku yang bayar," ucap si kembar setuju.

"Aku juga masih punya hutang taruhan bola denganmu kan?"

"Lupakan saja dan berhentilah bertaruh. Kau tidak akan pernah bisa menang, percayalah."

"Ok."

"Terimakasih."

"Hore! Mie ayam gratis!" teriak mereka bertiga seperti anak kecil.

"Mata kau gratis!" teriak si kembar tak kalah histeris.

"Aku cuma bayarin Nathan, kalian bayar sendiri, bodoh."

"Ya ... gak seru," gerutu mereka bertiga menjijikan.

Mereka bertiga, terlihat seperti sekumpulan lalat menjijikan yang mengotori keindahan dunia ini dari sudut mata hitamku yang dipenuhi oleh kebencian.

"Silahkan."

Akhirnya pesanan kami datang.

Ketiga lalat kotor itu terlihat sangat ceria seperti anak kecil ketika makanan mereka sudah siap untuk mereka kotori.

Setelah semua persiapan sudah selesai, saatnya untuk bersenang-senang, pikir mereka.

Sebotol kecap manis menjadi senjata dan semangkuk mie ayam menjadi sasaran.

Botol hitam itu baru saja take-off beberapa detik yang lalu dan siap untuk mengudara dengan tujuan, sebuah rawa berlumpur.

Dalam gerakan slow motion cairan-cairan hitam, kental dan manis itu di jatuhkan secara brutal kedalam sebuah mangkuk tak berdosa berwarna putih dengan gambar ayam jantan di pinggirannya itu.

"Hahahahahaha! Makan itu kecap!" teriak ketiga lalat itu bergembira.

Disaat seperti itu, saat ketidakadilan dan kebiadaban merajalela, semua pendosa tidak berguna itu hanya bisa melihat Pangeran tercinta mereka, Raja mereka di masa depan, ditelanjangi harga diri dan kehormatannya oleh sekumpulan iblis terkutuk tidak berguna di depan mata kepala mereka sendiri yang terkesan hanya sebuah pajangan semata.

"Ha ... sampah," ucapku lirih menatap genangan cairan hitam itu di dalam mangkukku sendiri, sendirian tanpa siapapun di kedua sisinya.

Kini, cairan hitam, kental dan manis itu terlihat seperti sekolam lumpur hisap yang menelan semua makananku kedalam kegelapan tak berujungnya.

"Kau baik-baik saja, Nathan?" tanya si kembar tak berdaya.

Aku tersenyum dan berkata, "tidak, aku benar-benar tidak pernah baik-baik saja selama ini, kawan," lalu berbalik menunjukan wajah asliku kepadanya.

"Oi," panggilku ke ketiga lalat kotor itu.

Saat mereka menoleh ke arahku, aku langsung melemparkan mangkukku yang berisi semangkuk lumpur hisap itu ke salah satu kepala kosong mereka itu.

Setelah kepala kosong itu terjun bebas di atas lantai dan semangkuk lumpur hisap itu sukses mendarat pada wajah kotornya, aku, sang Pangeran kegelapan, dengan pecahan mangkuk keramik di tangan kananku, menusukkan pecahan mangkuk itu berulang kali pada wajah hitam jeleknya, memberikannya sentuhan warna merah darah dengan selera seni kelas atas.

Sebagai sentuhan terakhir pada mahakarya pertamaku, aku memberikan tanda tangan eklusifku dengan sebotol kecap manis.

"Makan itu kecap."

Setelah merasa puas dengan karya pertamaku, jiwa seni dalam diriku terasa semakin bernafsu dan menggila untuk karya-karya berikutnya.

Dan aku, aku tidak akan mengurungnya kembali dalam kegelapan itu.

Waktunya untuk serangan balik.

"Oi, ada apa dengan wajah pengecut kalian itu? Kalian sudah tidak sabar untuk bersenang-senang, bukan?"

"Ijinkan aku bergabung bersama kalian, lalat-lalat yang menjijikan!"

"Brakkk!!!"

"Bok! Bok! Bok! Bok! Bok!"

"Hhahahahaha! Ini menyenangkan!"

"Haaa ... dan juga melelahkan."

"Makan itu kecap."

Setelah selesai mengguyurkan kecap manis itu hingga tetes kecap terakhir, aku membuang botol kosong itu sembarangan dan menjilati sisa-sisa kecap manis itu di tanganku.

"Manis."

"Oi, kawan. Kau tidak mau mencobanya? Beri sedikit saus di atasnya, itu akan membuat rasanya semakin kuat, percayalah."

"Nathan? Apa yang kau lakukan?" tanya si kembar gemetar.

"Apa? Aku hanya bersikap ... jujur. Seperti biasanya," jawabku masih menjilati jari-jari panjangku yang terasa manis.

Kumpulan pendosa tidak berguna itu mulai berjalan mundur secara perlahan, menatapku dengan tatapan tidak percaya dan penuh ketakutan.

"Apa? Kenapa kalian berjalan mundur seperti undur-undur seperti itu?"

"Kalian mau bermain sesuatu yang menyenangkan?"

"Apa kalian bersedia mengajakku bergabung?"

"Sudahlah, lupakan. Aku tidak perlu ijin dari kalian semua para pendosa tidak berguna."

"Aku ikut."

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
"Apa? Kenapa kalian berjalan mundur seperti undur-undur seperti itu?" Undur-undur jalannya mundur ya? Saya baru tahu, tidak pernah memperhatikan undur2🤣🤣🤣. 👍👍
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
The Dark Ages
Rama Sudeta A
Cerpen
Dunia Sang Penjelajah
Elysiaaan
Novel
Dear Random
Lirin Kartini
Novel
Gold
The Red Haired Woman
Mizan Publishing
Novel
Guys & Girls
Ayuk SN
Cerpen
Bronze
The Secret Behind of Aquarius Boy|| PART 1 |
Siddiq Aulia
Flash
Ibu Setengah Hari
Binar Bestari
Novel
Bronze
I'M CONFUSED NOW
Aurelia Fransiska Wijaya Kusuma
Novel
Our Galaxy
Pyoo
Novel
Gold
KKPK Kompetisi Rahasia
Mizan Publishing
Novel
Bronze
The Colours of Life
Sofia Grace
Novel
Harsa
Amalia Zahra
Novel
Beautiful Gadis
Anggia Novkania
Novel
My Twenty
qwerty
Flash
Baju Pantas
Deden Darmawan
Rekomendasi
Cerpen
The Dark Ages
Rama Sudeta A
Novel
Robot
Rama Sudeta A
Flash
S
Rama Sudeta A
Novel
Deathskull
Rama Sudeta A
Flash
The Nightmare
Rama Sudeta A
Cerpen
Circus
Rama Sudeta A
Novel
Candy
Rama Sudeta A
Cerpen
The Writer
Rama Sudeta A
Cerpen
November
Rama Sudeta A
Flash
Flies
Rama Sudeta A
Novel
Venus: The Dawn
Rama Sudeta A
Cerpen
Game Over_
Rama Sudeta A
Novel
The Doomsday
Rama Sudeta A
Cerpen
LOCK IT DOWN
Rama Sudeta A
Cerpen
Apocalypse
Rama Sudeta A