Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta dipenuhi suara langkah tergesa-gesa dan pengumuman yang menggema. Clara dan Arman duduk di bangku deretan ruang tunggu dekat Gate 17. Mereka berdua menunggu panggilan penerbangan menuju Paris, awal dari perjalanan impian yang mereka bangun sejak dua tahun lalu.
“Akhirnya ini benar-benar terjadi,” Clara menatap tiket di tangannya, senyumnya lebar. “Yes!, kita akan melihat Menara Eiffel besok pagi. Salju pertama, how amazing!!”
Arman tersenyum kecil, tapi tak seantusias Clara. “Iya, akhirnya. Semua lelah kerja keras kita terbayar.”
Clara menyandarkan kepala ke bahu Arman. “Makasih, sayang ya. Kalau bukan karena kerja kerasmu, mungkin kita masih harus menunggu setahun lagi.”
Tiba-tiba ponsel Arman berdering. Ia meraih ponselnya dari saku jaket. Nama “Shinta” berkedip di layar.
“Shinta?” Arman menjawab sambil berdiri, menjauh sedikit dari keramaian. “Halo?”
Clara memperhatikan perubahan ekspresi suaminya. Wajah Arman yang semula santai perlahan berubah tegang.
“Apa? Serangan jantung?” Suaranya naik satu oktaf. “Kapan, Sin? Kenapa nggak ada yang kasih tahu dari tadi?”
Clara bangkit dari kursinya, menghampiri Arman.
“Ada apa sayang?” bisiknya, menggenggam tangan suaminya yang kini gemetar.
Arman menatap istrinya dengan tatapan kosong sebelum mengucapkan kata yang nyaris tak terdengar, “Ibu.” Ujarnya lirih.
Clara terhenyak. “Apa maksudnya?”
Arman menutup telepon dengan tangan gemetar. “Ibu meninggal. Barusan. Serangan jantung. Shinta bilang semuanya terjadi begitu cepat.”
Detik itu, waktu terasa berhenti. Clara memeluk suaminya erat. “Ya Tuhan, Arman...”
Mereka berdiri di sana, di tengah keramaian bandara yang tak menyadari badai kecil di hati mereka. Clara mencoba menenangkan Arman, tapi pikirannya sendiri kacau.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Clara pelan, seolah tak yakin suaranya sendiri akan terdengar.
Arman menarik napas panjang, berusaha menguasai diri. “Kita harus pulang ke Bandung.”
Clara mengangguk pelan, tetapi kemudian ia melirik tiket pesawat di tangan mereka. “Tapi... tiketnya, Arman. Semua yang sudah kita siapkan. Hotel, itinerary... semuanya.”
Arman mengusap wajahnya. “Aku tahu. Tapi ini ibu, Clara. Kita harus ada di sana.”
Arman terngiang-ngiang saat mereka bertiga duduk menjelang keberangkatan mereka. “Ibu sangat bahagia, akhirnya impian kalian tercapai.” Ujar ibu ketika itu.
“Mestinya ibu juga ikut” Clara dan Arman nyaris bersamaan mengatakannya.
“Ih, yang ada nanti malah menganggu. Ibu tunggu aja kabar baiknya” ujar ibu sambil tertawa. Membuat Clara dan Arman tersipu.
***
Mereka kembali duduk. Arman menunduk dalam-dalam, sementara Clara mencoba mencari solusi di benaknya. Namun, semakin ia berpikir, semakin buntu rasanya.
“Apa kita bisa jadwalkan ulang penerbangannya?” tanya Clara akhirnya.
“Dengan harga tiket promo kayak gini?” Arman menggeleng. “Semua hangus kalau kita nggak berangkat hari ini.”
Suasana semakin tegang. Pikiran mereka terombang-ambing antara tanggung jawab sebagai anak dan impian yang telah mereka perjuangkan.
“Coba kita tanya pendapat orang lain,” usul Clara tiba-tiba.
“Maksudmu?”
Clara mengeluarkan ponselnya. “Di media sosial. Kita tanya orang-orang, biar mereka kasih pandangan. Mungkin dengan begitu kita bisa lihat dari perspektif lain.”
Arman tampak ragu. “Clara, ini soal keluarga. Apa pantas kita melibatkan orang asing?”
“Bukan soal pantas atau nggak, Arman. Kita benar-benar bingung. Lagipula, siapa tahu ada saran yang nggak kepikiran sama kita.”
Setelah beberapa menit berdebat, akhirnya Arman menyerah. Clara membuka aplikasi Facebook dan menulis:
"Kami butuh pendapat kalian. Ibu suami saya baru saja meninggal karena serangan jantung, tapi kami sedang di bandara, bersiap terbang ke Eropa untuk liburan yang sudah kami rencanakan lebih dari dua tahun. Kalau kalian di posisi kami, apa yang akan kalian lakukan? Pulang untuk keluarga atau tetap pergi demi menjaga semua yang sudah kami persiapkan? Tolong beri kami saran. Kami sangat membutuhkan perspektif kalian.”
Tak butuh waktu lama, komentar mulai mengalir.
“Pulanglah ke Bandung. Tidak ada yang lebih penting dari keluarga,” tulis seseorang.
“Kalau ibumu tahu ini impian kalian, mungkin dia ingin kalian tetap pergi. Tapi doakan dia dulu sebelum berangkat,” saran yang lain.
“Kalau ada cara untuk menjadwalkan ulang penerbangan, coba lakukan itu. Kalau nggak bisa, mungkin ini waktu untuk memilih dengan hati,” tulis seorang pengguna bernama Mira.
Arman membaca komentar demi komentar dengan napas berat. “Semua ini nggak membantu. Semuanya benar, tapi kita tetap harus memilih.”
Clara memegang tangannya. “Arman, aku tahu ini berat. Tapi coba pikirkan apa yang ibu kamu mau. Dia selalu mendukungmu, kan? Dia pasti nggak mau kita kehilangan semuanya hanya karena ini.”
“Tapi kalau kita pergi, aku akan merasa bersalah seumur hidup.”
Clara menatap suaminya dalam-dalam. “Guilt is part of life. Tapi kita harus belajar menerima kenyataan. Kehidupan nggak berhenti walau kita ingin.”
***
Setelah berdiskusi panjang dan membaca komentar demi komentar, Clara dan Arman akhirnya berdiri.
“Kita pergi,” kata Arman akhirnya, suaranya serak.
Clara mengangguk, memeluk suaminya erat. “Aku ada di sini untuk kamu, apapun yang terjadi.”
Mereka berjalan menuju gate dengan langkah berat. Sebelum masuk ke ruang keberangkatan, Arman mengangkat ponselnya sekali lagi, menelepon Shinta.
“Shinta, aku minta maaf. Aku nggak bisa pulang sekarang. Tolong urus semuanya di rumah. Aku janji kita akan segera ke Bandung setelah ini selesai.”
Di ujung telepon, Shinta terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku ngerti, Mas. Nggak apa-apa. Ibu pasti akan menerima keputusanmu. Jaga diri, ya.”
Panggilan boarding pun terdengar. Dengan hati yang masih berat, mereka melangkah ke pesawat, membawa luka yang mungkin tak akan sembuh dalam waktu dekat. Namun, di tengah kesedihan itu, mereka tahu bahwa hidup harus terus berjalan, meski tak pernah mudah memilih antara impian dan tanggung jawab.
***
Pesawat mereka dijadwalkan lepas landas dalam satu jam. Clara dan Arman akhirnya memasuki ruang keberangkatan. Namun, bayangan wajah ibu Arman masih terpatri jelas di benaknya. Dia menggenggam tangan Clara lebih erat, seolah mencari kekuatan dalam kehadiran istrinya.
“Arman,” Clara memulai pelan, “Kamu yakin dengan keputusan ini?”
Arman terdiam beberapa saat, memandang papan keberangkatan yang terus bergulir di layar besar. “Aku nggak yakin, Clara. Tapi aku tahu kalau kita terus bimbang, kita nggak akan pergi ke mana-mana.”
Clara mengangguk. “Aku tahu ini berat. Tapi aku percaya, ibu kamu pasti ingin yang terbaik untuk kamu. Dia tahu kamu sudah bekerja keras untuk ini.”
Arman menelan ludah. “Tapi, Clara, bagaimana kalau orang-orang di rumah menganggap aku anak yang nggak tahu diri? Anak yang lebih memilih liburan daripada mengurus ibunya?”
"Kalau itu yang mereka pikirkan, aku rasa mereka belum benar-benar memahami kamu. Kamu sudah melakukan banyak hal untuk ibu kamu, Arman. Dan ini bukan soal kamu tidak peduli. Ini soal bagaimana kamu memilih jalan terbaik untuk melanjutkan hidup.”
***
Ketika mereka akhirnya duduk di kursi kelas ekonomi pesawat menuju Paris, suasana hening menyelimuti. Arman bersandar di jendela, menatap hamparan aspal landasan pacu yang sebentar lagi akan menjauh dari mereka.
“Clara,” katanya pelan, “aku ingin kita lakukan sesuatu sebelum pesawat lepas landas.”
“Apa itu?”
Arman mengambil ponsel dari sakunya dan membuka catatan kecil yang berisi puisi pendek yang pernah ia tulis untuk ibunya. Ia membacakan isinya dengan suara serak, seolah ingin ibu mendengar, meski dari jauh.
“‘Bu, setiap langkahku adalah langkahmu,
Setiap mimpi yang kugapai, kau adalah bintangnya.
Meski kini kau tak lagi di sini,
Aku tahu kau selalu ada di hatiku.’”
Clara menggenggam tangan suaminya erat, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. “Itu indah, Arman. Ibu pasti mendengar.”
Arman mengangguk. “Aku harap begitu. Aku ingin dia tahu aku melakukan ini bukan karena aku melupakannya, tapi karena aku ingin menghormati semua pengorbanannya dengan melanjutkan hidupku.”
***
Mereka tiba di Paris dengan hati yang masih berat. Meski Menara Eiffel berdiri megah di depan mereka, ada kekosongan yang tak bisa diisi.
“Kamu baik-baik saja sayang?” tanya Clara suatu malam ketika mereka duduk di tepi Sungai Seine.
Arman menghela napas. “Nggak juga, tapi aku mulai bisa menerima. Kehilangan itu bagian dari hidup, kan? Kita nggak bisa menghindar.”
Clara tersenyum kecil. “Dan kamu tahu apa? Aku rasa ibu kamu bangga. Lihat dirimu sekarang. Kamu tidak hanya bisa mengejar impianmu, tapi kamu juga belajar untuk menerima bahwa hidup nggak selalu adil.”
***
Sebulan setelahnya Clara dan Arman kembali menjejak Indonesia. Mereka langsung menuju Bandung berziarah ke makam ibu Arman, tanpa menundanya untuk mampir ke rumah.
“Bu,” kata Arman sambil meletakkan buket bunga mawar putih di nisan, “maaf aku nggak ada di sini waktu itu. Tapi aku selalu memikirkanmu, di mana pun aku berada.”
Clara berdiri di sampingnya, membiarkan suaminya menumpahkan semua perasaan yang selama ini terpendam.
Saat mereka meninggalkan makam, Arman merasa sedikit lebih ringan. “Aku nggak pernah benar-benar siap kehilangan ibu, Clara. Tapi aku rasa, perjalanan ini mengajarkan aku sesuatu.”
“Apa itu?” tanya Clara.
“Hidup terus berjalan, bahkan ketika kita merasa dunia berhenti. Dan ibu, dia pasti ingin aku terus berjalan.”
Clara mengangguk. “Dan aku akan selalu ada di sampingmu, Arman. Untuk setiap langkah yang kamu ambil.”