Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Aksi
THE AVERY INFERNO
0
Suka
23
Dibaca

Suara tangis seorang bayi menggema dari dalam sebuah istana megah, menembus dinding batu yang masih basah oleh embun. Di halaman istana, para penduduk Avery yang sejak semalam menunggu pun serentak menegakkan kepala. Beberapa bersorak riang menyambut kelahiran anggota keluarga kerajaan. Mereka bertepuk tangan seolah penyelamat mereka baru saja lahir. Sebagian lain hanya tersenyum lega, sementara sisanya tetap diam tanpa menunjukkan reaksi apapun.

Berbeda dengan suasana di luar istana yang dipenuhi kebahagiaan, ketegangan menyelimuti ruangan tempat sang Ratu masih terbaring lemah. Sesekali isakan kecilnya terdengar sementara yang lain tak ada yang berani mengeluarkan sepatah kata pun.

"Aku tidak tahu apakah ini keputusan yang tepat atau justru sebaliknya," suara serak Raja Davin memaksa keluar di antara tangisannya yang tak terdengar.

"Anda sudah melakukan yang terbaik untuk melindungi Avery," penasehat kerajaan tampak memelintir jenggot putihnya yang menjuntai sepanjang dada.

"Akhirnya gunung Kaudraen akan tertidur untuk selamanya," seluruh pasang mata kini melirik peramal bertubuh pendek yang berdiri tepat di samping kanan penasehat kerajaan. Jas biru usang yang ia kenakan pasti akan membuat siapa saja meragukan kemampuan meramalnya. "Begitu dia menunjukkan tanda-tandanya, kita harus bergegas," lanjutnya dengan santai.

"Akan kupastikan kau mati di tanganku jika semua yang kau katakan hanyalah omong kosong." Raja Davin langsung menyambar pisau yang semula tergeletak di atas meja rias Ratu. Pisau berukir naga di gagangnya itu kini telah berada tepat di bawah dagu si peramal. Sedikit saja gerakan dari Raja, ujung pisaunya dipastikan akan menancap cukup dalam.

"Dengan senang hati." Dengan pelan, si peramal menurunkan pisau itu menggunakan ujung jari telunjuknya.

***

[15 tahun kemudian]

Terik matahari tak mampu menahan senyum Pangeran Avis sejak limosin mewahnya memasuki gerbang kota. Aroma roti hangat dari toko roti favoritnya, tawa anak-anak yang berlarian di trotoar jalan, serta riuh suara lonceng yang menandakan waktu makan siang membuat dadanya dipenuhi rasa hangat yang sulit dijelaskan. Ia melambaikan tangan pada setiap orang yang menyapanya. Begitu tampak jelas di wajahnya bahwa ia telah merindukan kotanya itu, terutama keluarganya.

"Avis?" Ratu Joanna berjalan cepat begitu Pangeran Avis melangkah melewati gerbang istana.

"Kurasa aku harus ganti baju dulu, Bu," ucap Pangeran Avis begitu Ratu Joanna berniat memeluknya. "Aku tidak ingin menodai bajumu yang indah ini," godanya sambil berlari menuju ke kamarnya.

Tanpa protes, Ratu Joanna menyusul putranya. Diambilnya sebuah tas rajut dari tangan pelayan yang sedari tadi mengekor, kemudian ia mengisyaratkan agar ditinggalkan sendiri.

"Aku sudah menyiapkan baju baru untukmu."

"Sudah kubilang aku tidak membutuhkannya, Bu. Lagipula aku tadi juga mampir ke toko baju sebentar." Pangeran Avis yang belum rampung memakai kemejanya itu segera membuka pintu kamarnya. Kulitnya yang cerah membuat setitik noda saja akan terlihat dengan jelas, termasuk tanda lahir yang samar-samar membentuk siluet seekor naga di tengkuknya.

"Avis ...."

"Ya, Bu?"

"Tanda lahirmu ...."

"Menebal, ya? Teman-temanku juga mengatakan hal yang sama. Entahlah," ucap Pangeran Avis dengan entengnya, seolah itu bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan. "Tidak apa-apa, Bu. Ini tidak mengganggu. Justru teman-temanku bilang ini keren."

Pangeran Avis melangkah keluar setelah mengancingkan kemejanya, meninggalkan Ratu Joanna yang kini menatapnya dengan tatapan penuh kekhawatiran. Ia bergegas ke menara tertinggi yang dijaga ketat oleh beberapa pengawal. Senyumnya mengembang begitu melihat seorang gadis yang sedang duduk di pinggir tempat tidurnya, membaca novel yang baru saja diambilnya dari tumpukan novel di meja.

"Ada rekomendasi novel baru?" suara Pangeran Avis membuatnya menoleh dengan cepat. Senyumnya sama persis dengan senyum Pangeran Avis. Tak hanya senyum sebenarnya. Wajahnya benar-benar mirip dengan Pangeran Avis, hanya saja kulitnya lebih pucat dan rambutnya berwarna pirang.

"Aku tidak tahu kau akan pulang." Putri Hiera berlari mendekat dan langsung melompat ke dalam pelukan kakaknya.

"Mana mungkin aku tidak pulang di hari ulang tahunku."

***

Denting pisau dan garpu di meja makan saling beradu, disertai dengan tawa pelan yang terselip di antara obrolan keluarga inti kerajaan. Sebuah kue bertingkat tiga dengan warna hijau mint berdiri cantik di ujung meja. Pangeran Avis sesekali mengagumi betapa menggiurkannya kue ulang tahunnya kali ini.

Sayangnya, tawa dan kebahagiaan malam itu tidak berlangsung lama. Di luar ruangan, atau bahkan hampir di semua sudut istana, teriakan-teriakan panik saling bersahutan. Penasehat kerajaan menerobos masuk dan langsung membisikkan sesuatu yang tampak serius. Terbukti dari ekspresi Raja yang terlihat menyiratkan kengerian. Ia berlari, disusul keluarganya yang lain. Mereka berdiri terpaku di dekat jendela, menyaksikan Gunung Kaudraen di kejauhan sana yang tiba-tiba bangun dari tidur panjangnya.

Gemuruh halus terdengar, hadir bersamaan dengan getaran pelan yang menggoyangkan lampu gantung di atas meja makan. Mereka berdiri, menahan napas, ketika suara terompet penjaga menggema dari luar gerbang istana. Suara itu bukan tanda perayaan, melainkan sebuah peringatan.

"Sudah saatnya." Seorang pelayan istana menerobos masuk, kemudian kembali berlari keluar sambil memperingatkan rekan-rekannya.

"Leana, Avis, kalian tetap di sini. Hiera, ikut Ayah sekarang."

"Kenapa?" Avis menahan lengan Hiera, namun Raja Davin langsung melepasnya dan menarik lengan Putri Hiera keluar, diikuti Ratu Joanna.

Pangeran Avis yang merasakan adanya keanehan pun diam-diam mengikuti mereka. Ia berlari melewati lorong-lorong gelap istana. Langkahnya nyaris tanpa suara, hanya deru napasnya yang semakin cepat. Dari balik dinding batu yang lembap, ia melihat dua sosok menyelinap ke ruangan di dekat tangga. Ia mengenali salah satunya adalah Ratu Joanna, Ibunya. Jantung Avis berdentum keras dan firasat buruk mulai menggerogoti pikirannya. Pangeran Avis perlahan mendekat, bersembunyi di dekat pintu sambil mengintip apa yang mereka berdua lakukan di dalam sana.

"Aku melihat tanda itu menebal." Suara Ratu Joanna bergetar. "Bukankah kita sudah melakukan ritual pemindahan kutukan itu begitu Hiera lahir? Kenapa tanda itu muncul lagi? Bahkan semakin jelas."

Pangeran Avis perlahan mundur. Jantungnya berdegup semakin keras mendengar bahwa sebuah kutukan dipindahkan pada adiknya.

"Kutukan memang sudah berhasil dipindahkan. Namun tanda itu semacam tanda lahir. Kita tidak bisa menghapusnya. Lagipula, ada untungnya Pangeran Avis memiliki tanda itu, yang mana bisa jadi pertanda bahwa bencana besar akan terjadi." Suara pria yang bersama Ratu terdengar serak dan berat. "Kita hanya perlu menyerahkan Putri Hiera dan Kaudraen akan tidur untuk selamanya."

Firasat buruk yang mengganggu pikiran Pangeran Avis akhirnya mulai menemukan jawabannya. Kegelisahan yang tadinya samar kini berubah menjadi tekad untuk bertindak. Ia harus mencari tahu kebenaran di balik semua rahasia yang disembunyikan darinya. Jika perlu, ia tidak akan ragu menentang siapa pun demi menyelamatkan adiknya dari nasib buruk yang telah menanti.

***

Suasana aula persembahan yang terletak di pusat kota telah penuh sesak ketika Pangeran Avis baru saja tiba. Beberapa dari mereka ada yang melontarkan sumpah serapah, ada yang sekedar menunjuk-nunjuk, bahkan ada juga yang hanya berbisik-bisik dengan orang di samping mereka. Yang pasti, arah pandangan mereka semua sama, altar batu persembahan. Putri Hiera tengah berdiri di sana. Gaun putihnya yang semula bersih dan tampak indah kini terlihat lusuh. Kedua tangannya diikat dengan tali emas yang melambangkan pengorbanan suci. Tangisannya menyiratkan keputusasaan, serta tatapannya memohon pada siapa saja untuk menyelamatkannya.

Para pendeta mulai menyalakan obor di sekeliling altar. Asap dupa naik perlahan, menyebarkan aroma getir yang menyesakkan dada. Di atas altar, empat pria mencoba membaringkan tubuh Putri Hiera yang terus memberontak. Dari ekspresi wajah penduduk Avery, tidak ada satupun dari mereka yang terlihat ingin menyelamatkan Putri Hiera, seakan ini adalah saat yang mereka tunggu-tunggu. Hanya Pangeran Avis dan Putri Leana yang tampak cemas melihat Putri Hiera yang terus meratap.

Rasa cemas dari dalam diri Pangeran Avis tumbuh menjadi amarah. Suara doa dan mantra yang mereka lontarkan terdengar bagai ejekan di telinganya. Udara di sekitarnya terasa menebal, tubuhnya bergetar seiring tarikan napasnya yang semakin berat.

"HENTIKAN!" sebuah raungan menggelegar membuat segalanya berhenti. Mantra tak lagi terdengar, suara bisik-bisik di sekitarnya pun hilang, digantikan dengan tatapan ngeri semua orang yang mengarah pada Pangeran Avis.

Mata Pangeran Avis yang semula sendu, kini mulai memantulkan cahaya lain. Pupil matanya menyempit dan kilat cahaya kemerahan membuat tatapannya semakin tajam. Kini, satu demi satu perubahan pada fisiknya mulai terlihat. Dari punggungnya, garis-garis berupa cahaya merah menyala muncul, menyusuri kulitnya yang kini tampak merekah, menampakkan sisik berkilau di bawahnya.

"Mana mungkin?" bisik salah satu pelayan kerajaan yang ada di sana. "Bukankah kutukan itu telah dipindahkan?" Ia beringsut, pandangannya langsung tertunduk begitu Pangeran Avis berjalan melewatinya.

Bisik-bisik mulai terdengar. Mereka semua mengira kutukan darah Mortifera telah berpindah pada Putri Hiera setelah diadakannya ritual belasan tahun lalu. Mortifera adalah manusia yang dapat berubah menjadi wujud hewan tertentu, sebuah kemampuan yang biasanya diwariskan. Akan tetapi, ada pula yang memiliki darah Mortifera karena suatu kutukan, seperti halnya yang terjadi pada keturunan Raja Davin setelah keluarga berdarah Mortifera dibinasakan penduduk Avery atas perintah Raja sendiri.

Di antara semua jenis Mortifera, Mortifera Mythica adalah yang paling ditakuti. Mereka hanya akan berubah saat marah. Namun jika perubahan itu terjadi, diyakini hal itu menjadi sebuah pertanda atau justru sebagai penyebab bencana besar akan terjadi. Itulah mengapa banyak yang menganggap Mythica harus dikorbankan demi menjaga keselamatan kota. Sebuah ritual yang mereka sebut dengan pengorbanan suci.

"Kalian menyebut ini pengorbanan suci?" geram Pangeran Avis ketika ia telah berdiri di altar batu persembahan. Suaranya kini lebih rendah, namun justru lebih menakutkan dari raungan sebelumnya. "Kalian ingin menukar nyawa adikku dengan keselamatan kalian?"

Tak ada suara lain yang terdengar ketika Pangeran Avis perlahan melepaskan tali yang melilit lengan Putri Hiera. Ia berhati-hati, seolah takut menambah sedikit saja rasa sakit yang sudah ditanggung adiknya.

"Kau dilahirkan untuk hidup, Hiera. Bukan untuk menjadi penyelamatku, atau pun penyelamat orang-orang yang bahkan tak segan membunuhmu kapan saja." Bulir air mata perlahan mengalir dari mata Pangeran Avis. Ia jatuh berlutut, bersimpuh di depan Putri Hiera seakan tengah memohon ampun.

"Avis ...." Ratu Joanna tampak terhuyung dalam dekapan Putri Leanna.

"Aku sudah tahu semuanya, Bu," geram Pangeran Avis tanpa sedikitpun menoleh menatap ibunya. "Kukira kalian memberi begitu banyak cinta pada Hiera karena memang dia pantas mendapatkannya. Ternyata, kalian sedang menyiapkan persembahan yang layak ... demi menyelamatkan diri kalian sendiri." Suara Pangeran Avis terdengar seperti cemoohan yang dibalut amarah.

"Kemarilah, Nak! Kita harus bergegas."

Mendengar ucapan ibunya, Pangeran Avis kembali menggeram. Ia berbalik, menghampiri ibunya dengan langkah penuh amarah. Tidak seperti Pangeran Avis yang biasanya, yang begitu menyayangi dan menghormati ibunya, Pangeran Avis yang berdiri di hadapan Ratu Joanna kini tampak seperti orang lain. Pupil matanya yang menyempit menyorotkan kebencian dan kekecewaan.

"Ibu macam apa yang dengan sukarela menyerahkan anaknya sebagai persembahan. Memberinya kehidupan hanya untuk merampasnya kembali. MANA HATI NURANI IBU!" Pangeran Avis kembali meraung, diikuti suara menggelegar yang berasal dari Gunung Kaudraen. "Aku, Pangeran Avis, akan menjadi saksi kehancuran Avery hari ini, sebelum aku menenangkan murka Kaudraen."

Begitu Pangeran Avis mengucapkan kata-katanya, dentuman keras mengguncang udara. Nyala api di puncak Gunung Kaudraen kian membara, memantulkan cahaya merah di langit. Udara semakin panas, abu vulkanik berterbangan, dan kepanikan pun pecah. Penduduk Avery sibuk berlarian, berusaha menyelamatkan diri dari bencana yang tak terelakkan.

Putri Hiera masih berdiri di atas altar batu persembahan ketika tiba-tiba ia merasakan seseorang menariknya. Tubuhnya seolah berputar tanpa henti, membuat perutnya terasa mual. Baru ketika ia memejamkan mata, pusaran itu perlahan berhenti.

Suara jangkrik dan desau angin malam menyatu dalam keheningan. Perlahan, Putri Hiera membuka mata. Ia berdiri di puncak gunung, cukup tinggi hingga bisa melihat jauh ke seberang. Di sana, sebuah gunung menyala merah, asap hitam menggulung tebal. Lahar panas mengalir menuruni lereng, dan wilayah di sekitarnya kini telah berubah menjadi lautan api.

Putri Hiera menangis, merasa segala kekacauan yang ada di Avery adalah ulahnya. Ia menatap sekitar, memanggil ibunya, ayahnya, dan kedua kakaknya, namun tidak ada jawaban.

"Itu yang pantas mereka dapatkan." Putri Hiera terlonjak mendengar sebuah suara yang muncul dari belakangnya. Seorang gadis berambut panjang yang entah dari mana, terlihat berjalan menghampirinya. Gadis itu membuka tudung jubahnya dan menatap Avery yang mengalami kehancuran. "Tenang saja. Meski letusannya cukup dahsyat, kakakmu tidak akan membiarkan kota lain ikut menderita. Kau aman di sini."

"Dimana keluargaku?"

"Sedang menebus dosa mereka." Jawaban tenang dari gadis di sampingnya justru membuat tangisan Putri Hiera makin menjadi-jadi.

"Lalu mengapa aku harus menjadi satu-satunya yang selamat? Mengapa Avery harus seperti itu?"

"Kau akan segera tahu mengapa kau tak seharusnya menyesali kehancuran Avery." Gadis itu menoleh pada Putri Hiera dan mengulurkan tangan kanannya. "Tapi pertama-tama, izinkan aku menyambutmu. Selamat datang di Katharos."

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Aksi
Cerpen
THE AVERY INFERNO
Bie Farida
Skrip Film
O2 (Our Own)
Ridar Kurnia Pratama
Flash
Bronze
Salah Terka
Iena_Mansur
Novel
WaroX
Handi Yawan
Flash
Bronze
Rumah Berhantu karya Virginia Woolf. Penerjemah : ahmad muhaimin
Ahmad Muhaimin
Flash
Ugly things are also beautiful
2EZ4HVK
Novel
Gold
The Young Elites
Mizan Publishing
Novel
Godwin Agency 2: Reunion
FS Author
Cerpen
Bronze
Pukul Seratus
Imas Hanifah N.
Cerpen
DIA BUKAN TEMANKU
Yusuf Ahmad
Cerpen
Bronze
PENGUASA PARA DEWA: [Prequel] Kronik Kejam Break. Mengapa Menciptakan Jalur Elite, Rencana Kejam David Memanen Dunia Ilusi? Wajib Baca!
Sky Eyes
Flash
The Last Boss
Laila NF
Flash
Suatu Hari di Toko
Hans Wysiwyg
Flash
Bronze
DENDAM & CINTA
mushodah
Flash
Bronze
Setelah Lindu
Afri Meldam
Rekomendasi
Cerpen
THE AVERY INFERNO
Bie Farida
Flash
Bronze
KUKEMBALIKAN SAYAP INDAHMU
Bie Farida
Flash
THE PRECIOUS PEBBLES
Bie Farida
Cerpen
Bronze
LOVENGE
Bie Farida
Cerpen
MELODEATH: COMA
Bie Farida
Flash
DESTINY OF US
Bie Farida
Cerpen
STICKER
Bie Farida
Novel
THE LOST GOBLET OF FIRE
Bie Farida
Cerpen
LUKA BERNAMA ZEA
Bie Farida
Flash
SOMNIA
Bie Farida