Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Embusan napas dari mulutku membuat kepulan asap di tengah udara malam yang dingin. Kembali kulirik arloji bertali warna biru di tanganku. Hampir jam dua belas. Dengan perasaan lelah, aku menyusuri pemandangan gemerlap di sepanjang jalanan Dongdaemun Design Plaza. Tiupan angin akhir musim dingin membuat deretan Taegeukgi melambai-lambai di atas tiang-tiangnya.
Maret, bulan ketiga di awal tahun. Waktu di mana jalanan sudah mulai kembali mengering tanpa adanya hamparan es yang telah membeku. Meskipun tentu saja itu tak berpengaruh banyak bagiku. Tubuh ini benar-benar nyaris kebas karena suhu udara yang mencapai minus dua derajat. Koyo penghangat yang tertempel manis di badan terasa bagaikan aksesori pelengkap saja. Begitu juga dengan baju rangkap tiga lapis, syal serta sarung tangan. Mereka tak cukup mampu memberiku kehangatan.
Aku meremas hand warmer yang ada di dalam kantong jaket tebalku. Sekali lagi aku menghela napas panjang. Aroma twigim dan odeng kembali menggelitik bulu-bulu hidungku. Andai saja suasana hatiku sedang baik, aku pasti sudah melipir ke jajaran street food yang ada di seberangku. Tapi rasa letih yang terlanjur bersemayam ini telah berhasil mengalahkan rasa lapar dan dahaga.
“Karin!”
Terdengar teriakan Lyana disertai derap langkah kaki yang mendekat. Dua orang perempuan yang sedari tadi kutunggu hingga berakar, menghampiriku dengan setengah ngos-ngosan. “Mianhae (maaf). Kita kalap soalnya,” ujar Jeny sambil cengengesan.
Aku hanya melirik tas belanjaan yang berjubel di tangan mereka sekilas. “Buruan. Udah ngantuk,” jawabku kesal.
Butuh waktu kurang lebih setengah jam untuk kembali ke salah satu hotel bintang empat tempat kami menginap di kawasan Jangchung-dong. Aku berjalan duluan sementara Lyana dan Jeny mengekoriku di belakang. Mereka masih asyik ngobrol sambil sesekali diselingi cekikikan. Aku tak berminat terlibat dengan topik obrolan mereka. Entah kenapa aku sangat ingin cepat berbaring malam ini.
Lampu merah untuk penyeberang jalan tengah menyala saat kami sampai di persimpangan. Dan tepat saat itu mendadak syaraf-syaraf motorikku seakan ikut macet bersamaan dengan langkah kakiku yang terhenti. Darah panas mulai terasa mengalir ke sekujur tubuhku, mencairkan kebekuan yang tadinya sudah sampai ke ujung jari.
Tepat di seberang jalan berdiri seorang pria berpostur tinggi berbalut mantel warna cokelat tua. Meski wajahnya tak diterangi cahaya, tapi perasaanku seolah bisa mengenalinya. Hanya melihat dari siluet dan potongan rambut rapinya saja sudah cukup menggerakkan firasatku. Mataku tak mampu berkedip. Aku tidak mungkin salah.
“Karin, ppali (buruan)!” seru Lyana, tangannya otomotis menarik lenganku.
Aku langsung tersentak dan lanjut berjalan meskipun bola mataku masih tak bisa lepas dari sosok itu. Degup jantung ini, aku takut Lyana dan Jeny mendengarnya. Aku berusaha melangkahkan kaki senormal mungkin. Kini laki-laki itu berjalan semakin dekat ke arahku. Aku menelan ludah. Pandangan matanya sampai di wajahku. Detik jarum jam seolah berhenti untuk menyeretku ke satu waktu.
Tiga hari yang lalu ...
Pagi itu kami ikut trip rombongan ke Seoraksan. Seperti biasa dua temanku yang luar biasa energik itu telah menghilang tanpa meninggalkan pesan. Entah mereka sedang berburu spot foto, atau sedang dalam misi penyusunan rencana pengejaran oppa-oppa yang lewat. Yang pasti batang hidung Jeny dan Lyana gagal aku temukan.
Aku pun tak mau ambil pusing. Akhirnya aku memutuskan berjalan-jalan sendirian di sekitar kuil Sinheungsa. Mataku menyusuri setiap detail dari bangunan bersejarah itu. Atapnya yang berwarna biru nampak selaras dengan latar bukit-bukit hijau di sekelilingnya. Sementara corak dindingnya yang berwarna merah kecokelatan dipadukan dengan pilar-pilar dari kayu warna merah.
Aku mengabadikannya dalam beberapa jepretan kamera ponselku. Begitu merasa foto yang kudapatkan sudah cukup untuk mengurangi kartu memori, aku langsung beranjak melanjutkan perjalanan. Banyaknya turis yang mengisi spot-spot strategis membuatku enggan untuk ikut berdesakan di tempat yang sama.
Kakiku terus membawaku ke sebuah jembatan kayu yang melintang di atas sebuah sungai. Namun, tak ada air yang mengalir di sana. Hanya tersisa bebatuan yang sudah memutih karena terlalu lama tak tersentuh air. Aku menyandarkan diri di pembatas jembatan, menyapukan pandang ke ranting-ranting pepohonan kering yang baru mulai ditumbuhi dedaunan. Mereka nampak kontras dengan tanah tempat mereka tumbuh yang berwarna cokelat terang.
Aku memejamkan mata dan menghirup napas dalam-dalam. Cahaya matahari yang mengenai wajahku sama sekali tak membuatku merasa terbakar. Aku hanya merasa sedang disoroti lampu besar berwarna kuning yang membuat mata kesilauan. Angin gunung berembus membuat bulu tengkukku meremang. Refleks, aku meraba leherku. Dan saat itu aku baru sadar telah kehilangan sesuatu.
Syal!
Aku langsung berbalik dan mengedarkan pandang dengan gelisah. Bagaimana bisa aku tak menyadarinya? Dengan kalut aku kembali menyusuri jejak tempat yang tadi sempat kulewati. Tanpa syal itu aku pasti tak akan tahan menaiki cable car nanti. Bisa-bisa aku sudah jadi patung es begitu sampai di puncak tebing.
Di tengah rasa panik karena pencarian yang belum menemukan titik terang, aku hampir saja menabrak orang. Sepasang sepatu kets pria warna biru gelap membuatku mendongak dengan cepat. Seorang pria bermata cokelat cemerlang balas memandangku. Aku otomatis mundur dan menundukkan kepala. “I’m sorry, Sir.”
Laki-laki itu tak menjawab.
Apa dia bukan turis? Suara dalam kepalaku berbisik. “Joesonghamnida (saya minta maaf),” tambahku cepat-cepat.
Pria itu berdeham.
Dan tanpa terlintas di benakku, dia mengulurkan sehelai syal rajut warna krem padaku. Aku langsung mengenalinya sebagai benda yang sedang kucari. Tapi rasa tercengang yang menjalar di hatiku tak langsung membuatku menerimanya. Aku hanya terdiam seribu bahasa menatap pria berhidung mancung di depanku.
Selama beberapa saat kami hanya saling diam. Perlahan aku mengambil syal itu dari tangannya.
“Ah, itu dia!”
Teriakan membahana yang tertangkap telingaku membuatku hampir terlonjak.
“Ya ampun, Karin! Kirain kamu ilang, tahu enggak?” Lyana dan Jeny berlari-lari mendatangiku, membuat suasana canggung menguar seketika.
“Habis ini giliran kita naik. Ayo!” Tanpa aba-aba Jeny langsung menyeret tanganku.
“Kamsahamnida (terima kasih). Thank you,” ujarku sekenanya pada pria yang masih menatapku tanpa suara. Dan sebelum aku menerima jawabannya tubuhku sudah terseret oleh tangan Jeny.
......
Aku mengedipkan mata, membuyarkan ingatan yang baru saja terlintas di kepala. Pria itu sudah tak lagi ada. Aku memutar kepala dengan cepat ke arah belakang. Pemandangan di sekitarku telah berubah. Tempat penyeberangan terlihat tertinggal jauh di belakang.
Sial! umpatku dalam hati. Lagi-lagi aku terlalu lama bengong.
***
Akhirnya setelah sempat mengomel, kami pun keluar dari sebuah toko kosmetik. Kedua temanku yang doyan belanja itu memang sekali-kali harus diberikan pengertian. Telapak kakiku sudah kesemutan beberapa kali gara-gara mengantarkan Lyana naik turun underground market. Itu semua demi mengikuti kemauannya yang ingin mencoba liptint keluaran terbaru. Tapi ujungnya tak ada satu pun dari liptint-liptint itu yang cocok dengannya.
Dan sekarang, Lyana dan Jeny mengajakku masuk ke sebuah kafe. Aku tahu dia melakukannya agar aku tidak marah. Begitu sampai di dalam, wangi mentega yang menyatu dengan wafel sukses membuat rasa kesalku meleleh. Lyana memang paling tahu seleraku. Setelah memesan di meja barista, kami pun dipersilakan naik ke area duduk di lantai dua.
“Jadi malem ini mau makan apa?” Jeny membuka obrolan, begitu kami meletakkan pantat di meja yang dekat dengan jendela.
Kami bisa melihat orang-orang yang lalu lalang di sepanjang jalan dengan jelas dari tempat kami duduk. Myeongdong memang tak pernah sepi. Suasana sesak masih sangat terasa sejak aku mendaratkan kaki tiga jam yang lalu.
“Samgyetang boleh juga,” sambar Lyana bersemangat.
Jeny menjentikkan jari sambil mengedipkan sebelah mata tanda setuju.
Aku menatap kedua temanku dengan tatapan tajam. “Awas ya, kalau sampai teler lagi,” sindirku terang-terangan.
Jeny mengernyitkan kening. “Kok teler? Emang makan sup ayam bisa bikin mabuk?”
Aku menghela napas, berusaha sabar. “Kalian mau makan di tempat yang kemarin, kan? Yang arak ginsengnya kata kalian maknyus itu?”
Jeny dan Lyana saling lirik lalu meledak tertawa.
Jeny menyeka matanya yang berarir di sela tawanya. “Ya sori, Rin. Lagian apa salahnya, sih? Nikmatinlah selagi jauh dari rumah. Besok kita udah balik lho ke Surabaya.”
Benar juga, waktuku hanya tinggal sehari saja. Aku mengalihkan pandang ke jendela, merasa frustrasi. Adakah petunjuk untuk mengobati rasa penasaranku?
Tiba-tiba satu titik yang tertangkap mataku di bawah sana membuatku langsung bangkit tanpa berpikir dua kali.
“Loh, Rin? Mau ke mana?” seru Lyana.
Tapi aku sama sekali tak menggubrisnya. Aku tak akan melewatkan kesempatan kali ini. Secepat kilat aku menuruni anak tangga dan menghambur keluar dari kafe. Detak jantungku terasa semakin keras membentur tulang rusukku.
Derap langkah kakiku membuat segerombolan burung merpati yang sedang berjemur di depan gedung seberang kafe beterbangan menjauh. Aku memelankan langkah untuk mempertajam pandangan. Dia masih di sana. Tepat di dekat area penyeberangan. Pria yang telah membuatku penasaran setengah mati itu tengah berbicara dengan kawannya.
Tak ingin kehilangan jejak, aku kembali berlari untuk membuntutinya menyeberang jalan. Tapi apa daya, kakinya yang panjang itu telah melangkah lebih cepat ke seberang jalan. Dan saat aku sampai di depan zebra cross, lampu merah telah menyala lebih dulu. Ya Tuhan! Cobaan apa lagi ini? Suara dalam hatiku mulai meraung.
Dia terus berjalan menuju halte bus dekat pintu keluar stasiun Myeongdong. Tanpa sadar aku menggigiti kuku jariku sambil mondar-mandir gelisah. Tamatlah sudah jika kesempatan kali ini terlewatkan. Begitu lampu berganti warna, aku langsung meloncat ke tengah jalan.
Dan tepat saat itu, bus berwarna putih berhenti di halte di mana dia tengah berdiri menunggu. Mataku semakin membelalak lebar ketika dia melangkahkan kakinya ke dalam bus Namsan Sunhwan. Andwae (tidak)!
Dengan tangan mengepal aku menambah kecepatan berlariku secepat angin. Tidak peduli paru-paruku mengempis karena kehabisan napas.
Dewi fortuna masih memihakku. Aku berhasil masuk tepat sebelum pintu bus menutup. Syalku langsung merosot hingga ke sepatu begitu aku sampai di barisan kursi terdepan. Tanganku buru-buru merogoh saku celana jinku untuk mencari T-money. Setelah kartu berhasil terpindai, mataku kembali mencari-cari di mana pria itu berada.
Itu dia!
Jaraknya hanya dua kursi dari tempatku berdiri. Otomatis aku langsung berbalik memunggunginya. Dengan gemetar aku merapikan syalku sambil mengatur napas yang tersengal-sengal. Entah apa yang merasukiku hingga bisa senekat ini mengejar seorang pria asing. Sesekali kulirik dia yang sedang bercengkerama dengan rekan prianya. Fiuh! Untung dia tak melihat ke depan.
Beberapa menit kemudian bus memelankan laju kecepatannya. Aku mengendurkan cengkeraman pada pegangan bus seraya memandang ke luar jendela. Namsan Seoul Tower telah di depan mata. Bersamaan dengan itu sekelebat bayangan terasa melewatiku, membuat hatiku kembali berdesir. Pria itu bersiap menuruni bus. Aku pun bersiap diri mengikutinya.
Jantungku semakin berdetak tak keruan saat aku melangkah keluar dari bus. Haruskah kuhentikan dia sekarang? Dia terus berjalan tanpa menoleh ke belakang. Sementara aku mengatur langkah sepelan mungkin selagi membulatkan niat. Aku mencoba memandang berkeliling untuk menenangkan diri.
Cherry blossom yang tumbuh berderet di kanan dan kiriku sudah mulai menampakkan kelopak merah mudanya. Mereka bergoyang-goyang indah diterpa semilir angin sore yang berembus dari arah gunung Namsan. Kupejamkan mata sejenak dengan satu tekad. Aku harus mengajaknya bicara atau tidak sama sekali. Dan dengan sisa-sisa keberanian, aku melangkah cepat mengejarnya.
“Excuse me,” seruku. Tanganku terulur menepuk punggungnya.
Pria yang hari ini memakai mantel warna hitam itu menoleh. Dari tatapannya, sepertinya dia tertegun melihatku tiba-tiba muncul di belakangnya.
"Can I talk to you for a minute?” tanyaku sambil memberi isyarat dengan mengacungkan jari telunjuk.
Dia menatap temannya sejenak. Lelaki di sampingnya mengangguk lalu berjalan duluan. Kini matanya fokus memandangku. Karena kondisi jalan yang menanjak aku jadi semakin terlihat pendek di hadapannya.
Aku berdeham, berusaha memilih kalimat yang tepat. Tapi sebelum aku bicara pria itu membuka mulut lebih dulu. “Iya, Mbak?”
Alis mataku bertaut. Dia orang Indonesia? Lidahku langsung kelu seketika karena tak menyangka.
Pria itu celingak-celinguk mencari seseorang. “Mbake sendirian?”
Aku benar-benar tak bisa memahami situasi ini. 'Mbake' dia bilang?
“Tunggu sebentar. Anda orang Indonesia?” Aku berusaha mengeluarkan suaraku.
Pria itu tersenyum. “Lho Mbake lupa? Kopernya wis ndak ilang lagi to?”
Logat bicara ini sama sekali tak asing di telingaku. Aku pasti salah dengar.
“Maksudnya koper?” ulangku tak percaya.
Pria di depanku masih menyunggingkan senyuman geli. Dia mengeluarkan topi dan masker dari saku mantelnya, lalu memakainya.
Bagai disambar petir menggelegar, aku langsung memekik kaget, “Gisa-nim (Pak Sopir)?!”
Mata pria itu melebar takjub. Buru-buru dia menurunkan maskernya. “Itu sudah tahu nama saya Gisan.”
Sambil menekap mulut aku langsung berbalik. Sungguh ini mimpi buruk. Rasa panas mulai membakar mukaku. Tidak mungkin! Dia pasti bukan orang yang waktu itu kusuruh-suruh menurunkan koper di depan hotel karena salah masuk bus. Jadi dia wisatawan dari Surabaya juga?!
“Mbake, jadine mau ngomong apa?” tanyanya polos.
Karena sudah kepalang malu, aku memutuskan untuk tak mengindahkannya. Kakiku memilih mengambil langkah seribu, meninggalkan pria yang menatapku penuh tanya itu.