Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pagi hari itu aku sedang menjemur pakaian. Meskipun setiap hari mencuci pakaian, tetapi tetap saja untuk cucian tetap menumpuk. Sehingga kadang aku dan ibuku meminjam tempat jemuran punya tetangga karena tidak muat, dikarenakan pakaian yang dicuci itu sangat banyak. Namun, kali ini aku mencuci pakaian tidak terlalu banyak dan tidak begitu menguras tenaga.
Hingga tiba di akhir baju yang akan aku jemur, terlihat nun jauh di sana seorang wanita yang usianya sedikit lebih muda dari ibuku masuk ke dalam gang rumahku. Seorang ibu rumah tangga yang sedang membawa sebuah mikrofon, aku pun terkejut melihatnya. Pakaian yang baru saja aku peras dan akan aku gantung itu pun tak sengaja aku abaikan, dibiarkan berada di tanganku. Karena sontak melihat tingkah wanita itu yang mengundang gelak tawa. Aku pun tertawa melihat tingkahnya itu.
"Bu Kina ada-ada saja," ucapku sambil menggelengkan kepalaku.
"Ibu-ibu ayo kita nyanyi! Saya sudah bawa speakernya nih!" teriak wanita itu dengan santai membawa speaker yang berada di tangannya dan melangkahkan kakinya sambil memanggil para tetangga lainnya.
"Bu Ani mana nih? Ayo nyanyi, Bu!" tutur Bu Kina memanggil salah satu penghuni rumah yang ia lewati itu.
"Bu Ani ada di posyandu!" sahut penghuni rumah yang lainnya. Aku mendengar suara itu, karena memang jarak rumah yang berdekatan. Bahkan menempel. Rumah aku pun berdekatan dengan Bu Kina, yang membawa mikrofon itu. Aku menyebutnya selebrita. Karena memang sering bernyanyi.
Sekarang memang jadwalnya posyandu yang di mana dekat sekali dengan rumahku. Bahkan berhadapan, yang jaraknya sekitar satu meter saja dari teras rumahku ke teras rumah tetangga. Lagi-lagi suara bisingan posyandu terdengar begitu riuh. Suara anak kecil yang menangis karena telah disuntik, dan lain sebagainya. Ditambah suara salon bluetooth yang telah disambungkan oleh tetangga selebrita itu. Sungguh pagi hari yang riuh.
Tak ada yang menegurnya satu orang pun, semua sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Termasuk para ibu pengurus posyandu, mereka fokus dengan pekerjaannya. Sementara aku hanya takut saja untuk menegurnya.
Namun, meskipun begitu aku tak henti-hentinya tertawa menertawakan tingkah wanita baya itu sambil membenarkan jemuran pakaian. Wajahnya yang lucu bak seorang pelawak itu sudah cukup buatku tertawa. Dia tak segan-segan untuk menyebut dirinya sebagai artis. Lagi-lagi sebutan itu membuatku menggelengkan kepala sambil mengulum senyum menahan tawa.
"Huh! Ayo ibu-ibu tarik suaranya!" Suaranya terdengar keras karena memakai mikrofon, ia mulai bernyanyi. Ibu-ibu yang lainnya pun ikut bergabung dan mengobrol di sana, lagi-lagi terdengar riuh karena gelak tawa mereka. Aku hanya menghela nafas sambil menelan ludah. Aku melihat bu Kina yang ternyata sudah dengan menari-nari berlagak bak seorang biduan. Tentu dengan membawakan sebuah lagu dangdut yang aku tak tahu judulnya. Sementara ibu-ibu yang lainnya duduk di lantai dengan alas karpet biru. Ternyata sudah ramai, panggilan dari bu Kina memang manjur untuk memanggil ibu-ibu.
"Gang rumah ini selalu ramai," ucapku bergumam. Lalu, aku masuk ke dalam rumah, aku merebahkan tubuhku di sofa panjang rumahku seraya menggelengkan kepala. Diiringi tertawa lepas. Tentu tertawa menertawakan tingkah Bu Kina tadi.
"Bu Lila mana nih!!!" teriak wanita itu memanggil nama ibuku. Ya, ibuku pun kadang ikut-ikutan dengannya hanya sekedar menghilangkan rasa jenuh saja dengan bernyanyi bersama. Lalu, ibuku pun keluar dari rumah dan menghampiri bu Kina untuk bergabung dengan ibu-ibu yang lainnya.
"Besok kita sewa aja organ tunggal, jadi biar kerasa aja lagi dangdutannya," pekik ibu-ibu yang lainnya. Aku di sini masih mendengar dengan jelas suara ibu-ibu itu, bahkan suaranya pun sudah kukenal. Termasuk ciri fisiknya, yaitu bertubuh gempal.
"Iya benar tuh bu! Nanti saya yang bawa makanannya," sahut ibu-ibu yang lainnya. Aku memutar bola mataku, dan bantal sofa yang berada di pinggir ku pun segera aku pindahkan pada telingaku. Agar tidak terdengar suara riuh itu. Karena berpindah ke kamarku pun tetap saja terdengar.
"Ibu Narna siap bawa kopi? Kopi sama kuenya tentunya, hahaha!" sahut ibuku sambil diiringi gelak tawa. Yang di mana ibu-ibu yang lainnya pun ikut tertawa.
"Tenang aja, nanti saya siapin dong! Apa sih yang enggak buat ini. Ha ha ha!" jawab bu Narna.
"Sebentar deh, saya punya kue di rumah. Fiana kue yang baru dibeli sama ibu di mana?" teriak bu Kina pada anaknya---Fiana.
"Kamu nanya?" Sahutan suara anaknya itu lagi-lagi membuat gelak tawaku semakin menjadi. Bisa-bisanya bocil kelas enam SD jawab seperti itu pada ibunya.
"Pasti terkena syndrom Dilan kw, hahaha!" ucapku sambil tertawa bebas di dalam rumah. Di sini, tidak ada yang mendengar. Karena saat ini hanya ada aku dan ibuku saja di rumah. Sisanya ada yang bekerja dan sekolah.
"Eh apaan si lu! Buruan sini, kue punya ibu mana?" Bu Kina menyahut dengan suaranya yang seperti seorang pelawak. Ibu-ibu yang berada di sekitarnya pun hanya bisa tertawa melihat tingkah ibu dan anak itu.
"Iya-iya bentar!" sahut Fiana dengan terdengar sedikit kesal. Sementara aku hanya bisa tertawa puas saja melihat tingkah itu.
Aku menyangka bahwa ibuku akan memanggilku karena ada makanan di tempatnya. "Neng! Sini! Ada makanan nih ... Mau gak?" kata ibuku sedikit berteriak. Karena ibuku jarang berteriak. Benar dugaanku, pasti ibuku akan berteriak dan memanggil namaku.
Karena aku tidak mau dianggap dingin dan cuek lagi, jadilah aku keluar tentu untuk memenuhi panggilan ibuku. Saat berada di teras rumah bu Kina, aku melihat Fiana si bocah kelas enam SD itu tengah membawa sebuah keripik pisang kesukaanku. Yang padahal, sudah ada keripik pisang lainnya di dalam toples.
Ibuku tahu betul apa kesukaanku. "Ini ibu ingat kamu pas lihat keripik pisang. Makanya ibu manggil kamu. Ya udah sana ambil tuh,"
"Iya, Neng ambil aja keripiknya, banyak di sini mah," pekik bu Kina wanita yang aku tahu baik orangnya. Tetapi, saking baiknya ia menjadi semena-mena terhadap keadaan. Seperti sering menyetel lagu dengan volume yang besar. Sehingga membuatku merasa terusik dengan hal itu.
Salon bluetooth itu sedari tadi terus menyambung dan mikrofon menganggur.
"Jangan keras-keras, lagi ada posyandu," ujar ibuku memberi saran.
"Iya benar, bentar lagi zuhur. Mending lanjut besok saja," sahut ibu Narna.
"Ya sudah kita lanjut besok saja dan sekarang mending kita ngopi. Bu Narna, kopinya bawa dong! Gimana sih ah donaturnya," pekik bu Kina.
"Artis nih harus disiapin segalanya. Besok harus ada sawerannya," tuturnya dengan diiringi gelak tawa.
"Artis apaan lu! Kagak terkenal gitu. Sekuter kali! Selebriti kurang terkenal." Seorang ibu-ibu bertubuh gempal itu menimpali bu Kina. Lagi-lagi ucapannya itu membuat yang lainnya tertawa.
Seorang pria baya yang seusia dengan ayahku pun ikut bergabung dan menimpali. "Eh tenang aja Bu Kina, nanti saya yang nyawer pakai uang ini," ucap seorang pria baya sambil merogoh kocek celananya dan mengambil uang koin 500 rupiah.
"Eh ini lagi duda gak laku ngikutin aja," sahut bu Kina yang membuatku menahan tawa. Karena ada makanan yang berada di mulutku. Jika tertawa maka aku akan tersedak.
Lagi-lagi bu Kina merayuku untuk ikut tertawa. "Neng kalau mau ketawa ya ketawa aja gak usah ditahan," ucapnya sambil diiringi gelak tawa. Ibu-ibu yang lainnya pun ikut menatapku. Karena tak tahan, akhirnya tawa yang sudah aku usahakan untuk ditahan itu terlepas pula. Bu Kina telah membuatku tersedak sehingga mungkin wajahku memerah.
Hingga keesokan harinya, Bu Kina memang benar-benar menyiapkan semuanya. Bahkan ini masih pagi. Salon bluetooth telah disambungkan. Aku yang sedang menyapu teras pun hanya bisa diam saja. Dan memaklumi, jika aku telah mempunyai seorang tetangga selebrita.
"Kina! Ini masih pagi! Orang-orang masih sibuk!" teriak salah seorang warga.
"Justru ini bu ... Biar makin semangat jalanin aktivitasnya. Kita sambil nyanyi aja," sahut bu Kina. Sementara aku masih terus menyapu teras rumah, dan hanya bisa diam saja. Bu Kina menyalakan sebuah lagu yang sedang populer saat ini. Yakni sebuah lagu Sunda yang berjudul "Runtah". Lagu itu memang membuatku terngiang-ngiang di telingaku. Bahkan, karena ini adalah hari Minggu di mana anak kecil sudah terbangun dari tidurnya dan bebas dari sekolah, mereka menghampiri rumah Bu Kina dan ikut bernyanyi bersama. Karena lagu yang dibawakannya begitu mengundang mereka untuk ke rumah Bu Kina.
Anak-anak kecil itu bernyanyi bersama dengan tetangga selebrita.
Kulit kelir konéng cangkang cau
Huntuna bodas tipung tarigu
Biwir beureum-beureum jawér hayam
Panon coklat kopi susu
Ya beginilah hidup bertetangga. Ada suka, ada duka. Apalagi jika jarak rumah kita dengan tetangga itu sangat berdekatan. Tak jarang sekali terjadi pertikaian karena hal-hal lain. Termasuk bertetangga dengan selebrita ini. Tentu ada suka dan dukanya.