Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tetangga itu bisa dikatakan seperti lagu "Balonku" yang memiliki rupa-rupa warna. Ada rupa ramah dan baik, tidak peduli dengan lingkungan, tukang gosip di abang sayur, atau hobi meminjam barang.
Seperti yang terjadi malam ini di apartemen seorang mahasiswa pengangguran. Entah sudah berapa kali ia menghela napas saat tetangga rese' itu bolak-balik meminjam barang. Suara pintu berderit seakan didobrak itu membuatnya kesal.
“Helo, gue pinjam PS lo, ya?”
“Bang—”
Belum selesai bicara, pria kekar dengan setelan serba hitam langsung memboyong PlayStation sambil berlari kecil. Ia yang sedang meminum susu jadi membatu menatap pintu terbuka.
“Kalau bisa keluar, gue mau pindah dari sini,” gerutunya, sambil membuka sweater putih.
Ia segera kembali menatap laptop di meja belajar dan membiarkan pintu terbuka karena belum lima menit pria itu datang lagi. Seperti biasa, seolah terburu-buru dikejar tukang kredit.
“Helo, helo! Mahavir, gue pinjam XBOX, ya?”
Mahavir spontan menoleh. “Bang—”
“Oke, makasih!”
Lagi-lagi belum selesai bicara, pria itu membawa kabur XBOX milik Mahavir. Tampaknya sebentar lagi urat kesabaran akan putus karena terlihat dari wajahnya yang kesal.
Akibat pria yang semena-mena itu, Mahavir jadi tidak fokus mengerjakan tugas kuliah. Sehingga ia memilih untuk menunggu tetangganya yang pasti datang lagi.
“Eh, iya, gue lupa. Sekalian Nintendo gue—”
“Tunggu sebentar, Bang Dareen.”
Mahavir berdiri. Tidak seperti sebelumnya yang hanya diam menyaksikan perampokan massal di apartemennya. Pria bernama Dareen, tetangga menyebalkan yang seenaknya, spontan menggaruk kepala.
“Kenapa tunggu sebentar?”
Saat itu Mahavir tidak langsung mengutarakan apa yang ingin dikatakan, ia justru meminum kembali susu sambil berkacak pinggang.
“Apaan, sih? Kok malah minum susu?” gerutu kesal Dareen.
“Ya, tadi gue bilang sebentar, kan? Mau minum susu dulu maksudnya, Bang.”
“Nggak ada hubungannya sama gue. Cepetan gue mau pinjam Nintendo sekarang!” Dareen menggerakkan tangan seolah meminta.
“Tunggu sebentaaaaar!”
“Kalau bukan tetangga, gue chidori lo!”
“Lah, kenapa jadi galakan yang pinjam, sih?”
“Buruan gue pinjam, dih!”
Mahavir meletakkan kotak susu lalu menunjuk wajah. “Lihat muka gue baik-baik kalau perlu di zoom, Bang!”
Dareen mengerutkan alis. “Apaan, sih? Emangnya gue pakar BMKG?”
“Abang pikir muka gue gempa?”
“Buat apaan, sih? Gue datang ke sini niatnya mau pinjam Nintendo doang, buruan!”
Mahavir menepuk jidat, kemudian menggeleng pasrah. Percuma rasanya bicara secara terselubung pada orang yang tidak peka seperti Dareen. Padahal saat dulu Dareen pertama pindah, Mahavir merasa senang karena tidak kesepian.
Akan tetapi, sekarang rasanya Mahavir menyesal pernah berkata seperti itu karena membuat Dareen jadi seenaknya keluar masuk.
“Stres gue tetanggaan sama Abang, sumpah deh demi tujuh turunan! Rasanya mau pindah ke Merkurius aja gue biar nggak diganggu sama spesies macam Abang!”
Dareen bukan merasa bersalah, justru salah tingkah seperti cacing kepanasan. “Em, aduh, gimana, ya? Jangan bilang gitu, jadi malu.”
“Nggak usah salteeeeng! Nggak ada yang muji, Abang! Benci bat gue!”
“Ya, udah. Buruan mana Nintendo, nih?”
“Emang Abang nggak bisa beli sendiri? Kenapa gitu always pinjam ke gue?”
Ketika melihat Mahavir teriak-teriak seperti kesetanan, Dareen sempat tersenyum paksa lalu berlari ke kamar secepat kilat. Dareen membawa kembali barang-barang mewah milik Mahavir dengan raut muram.
“Habisnya gue nggak mungkin beli ginian. Mana liburan cuma dikasih empat bulan di sini.”
“Itu liburan apa kena PHK? Kok bisa empat bulan?”
“Bukan urusan lo,” celetuk Dareen, “pokoknya gue intinya cuma mau pinjam.”
Mahavir langsung merebut semua barangnya. “Aduh, Bang! Kalau pinjam itu tahu manner dong. Masa main dobrak di saat ada anak muda lagi belajar, ganggu!”
“Lo tadi minum susu, bukan belajar,” jawab Dareen santai, sambil mengupil.
“Gue tadi belajar, ya! Minum susu karena haus doang! Gitu aja dipermasalahkan, sih? Herman.”
Dareen menutup kedua telinga. “Ya, tak usah teriak macam-tulah. Abang jadi benar-benar merasa bersalah karena menyusahkan kau.”
Andai saja tangan Mahavir tidak penuh barang, mungkin sudah melayang untuk menampar Dareen karena terdengar makin menyebalkan.
“Abang itu yang bener kalo ngomong, mau Melayu apa Batak, sih?”
Dareen menghela napas. “Oke, deh.”
“Oke apaan?”
“Bilang aja lo minta ditemanin, kan? Lo minta gue main di sini, kan? Oke, karena gue baik, gue bakal main di sini kok.” Dareen menepuk pundak Mahavir sambil mengangguk.
Mahavir spontan meletakkan barang di lantai, kemudian mengambil ponsel dari saku jeans. Ia menekan beberapa tombol sebelum akhirnya diperlihatkan kepada Dareen.
“Anjir, matikan! Heh!”
Rupanya Mahavir sedang menelepon panggilan darurat polisi. Dareen spontan ingin merebut ponsel itu, tapi dihalangi olehnya.
“Ya, udah. Gue balik kandang aja kalau gitu.” Dareen berbalik dengan wajah suram.
Tidak ditegaskan salah, ketika sudah tegas Mahavir merasa bersalah juga melihat tampang jelek Dareen. Sehingga ia menarik kaus oblong sobek-sobek milik Dareen.
“Dah, masuk aja gih. Makin pusing gue kalau polisi datang beneran,” ujar Mahavir, lalu menutup panggilan telepon.
“Dih, tumben baik sama gue, nih.”
“Mau gue panggilin lagi?”
“Iye, iye, gue masuk sekarang.”
Akhirnya, pertikaian dengan tetangga selesai dan untung saja tetangga lain tidak ada yang peduli. Walau mungkin terganggu dengan suara keras mereka.
Dareen dengan wajah riang duduk di depan televisi sementara Mahavir kembali ke meja belajar. Antara fokus dan tidak saat matanya berada di depan laptop karena Dareen berisik sekali memainkan stik PlayStation.
Terkadang Dareen asyik bicara sendiri seakan layar televisi adalah teman terbaiknya, bahkan sering berseru ketika mendapat barang baru untuk karakter permainan.
Mahavir bertanya-tanya dalam hati. Spesies yang sedang main game di depan gue ini terlalu gampang beradaptasi atau nggak tahu malu?
Sesaat bernapas, Mahavir masih memikirkan pertanyaan lain. Apa benar makhluk menjengkelkan bernama Dareen ini keluar masuk apartemen miliknya demi Nintendo, PlayStation, dan XBOX?
Semua pertanyaan yang dikumpulkan Mahavir seperti membulatkan satu pertanyaan.
Apa jangan-jangan Bang Dareen adalah intel? Tapi, nggak ada gerobak bakso yang tinggal di apartemen.
Mahavir masih terdiam saat menggaruk kepala. Apa sebenarnya Dareen pengangguran? Di PHK seperti apa yang ia katakan.
Sambil berpikir begitu, Mahavir terus melempar tatapan menusuk pada punggung Dareen. Laptop dan tugas bukan lagi jadi topik utama, melainkan pria mencurigakan di depannya.
“Duh, jangan tatap gue kaya gitu, dong. Punggung gue kaya ditusuk-tusuk jarum.”
“Bang, alasan lo apa nggak bisa beli ginian?”
“Udah gue bilang tadi, kan?”
“Jujur atau polisi?”
“Hadeh, iya gue bilang. Gue nggak punya duit soalnya buat dua bulan ke depan. Kalau bulan depan ada sedikit. Jadi, dua bulan setelah bulan depan.”
Mendengar pernyataan tersebut, Mahavir spontan berdiri lalu memukul meja sampai laptop dan tempat pensil bergetar.
Area ruang tamu yang menjadi satu dengan dapur dan ruang makan seketika diliputi perasaan marah dari Mahavir.
Dareen tersentak sampai menjatuhkan stik PlayStation, kemudian permainan itu kalah. Dareen tidak kesal, tapi hanya ingin bermain dengan tenang seperti sebelumnya.
“Apaan, sih? Bikin jantungan aja main gebrak meja! Gue jadi kalah tahu!”
“Abang nggak punya uang? Ya, gimana mau dapat uang kalau Abang kerjaannya main mulu? Emangnya Abang bisa keluarin telur emas? Gimana coba semua tagihan apartemen Abang? Apa jangan-jangan beneran di PHK?”
“Ya, bisa dibilang gitu, sih. Tapi, kenapa jadi lo yang panik? Gue juga lagi cari banyak kerjaan buat nyambung hidup.”
Mahavir berkacak pinggang. “Udah dapat?”
“Ya, belumlah! Gue bilang baru cari, kan?”
Mahavir kembali duduk, mencoba mengatur napas agar tensinya tidak naik gara-gara Dareen.
“Terus, uang sewa bulan ini udah dibayar? Tenggat waktu sampai tanggal 20 kemarin, sih. Sekarang sudah tanggal 24 Februari.”
Tiba-tiba suasana menjadi hening. Dareen tidak menjawab sama sekali, malah sibuk memilih kaset permainan di kabinet televisi. Entah pura-pura atau memang sengaja, Mahavir langsung bersedekap sambil menatap tajam kepada Dareen.
Makin lama ditatap, Dareen pun merasa gerah dan banjir keringat. Namun, Mahavir justru begitu kesal karena tahu apa jawaban Dareen dalam diam itu.
“Dasar makhluk pengerat!”
Mahavir mendekati Dareen lalu mematikan televisi, merebut stik PlayStation, dan menarik telinga Dareen sampai memerah. Dareen mulai teriak kesakitan.
“Apaan, sih? Lepasin kuping gue ege! Sakit!”
“Bayar dulu uang sewa bulan ini! Katanya masih ada duit, kan?”
Dareen menghela napas. “Ya, ada. Cuma gue hemat duitnya buat bertahan hidup di kerasnya Ibukota.”
Sudah sampai pada taraf gemas, sampai Mahavir ingin menukar dengan harta jika ada perampok di sekitar sana. Dibandingkan memelihara tetangga kurang ajar, lebih baik dapat hasil rampokan yang bisa diuangkan.
Sambil terus menarik telinga Dareen, Mahavir segera menelepon bagian pelayanan pelanggan di lantai dasar untuk naik menagih uang sewa.
Tanpa menunggu lama, muncul satu orang pria paruh baya bongsor dan berkumis tebal. Bisa dikatakan mirip orang India dengan kulit eksotis.
Karena tidak bisa menghindar lagi, mau tak mau Dareen harus mengeluarkan uang untuk membayar sewa kepada bapak tersebut.
“Terima kasih sudah membantu. Saya setiap hari datang kemari, tapi nggak pernah dibukain pintu. Bahkan dia kalau keluar suka naikin pagar belakang. Padahal baru saja mau saya pecat dari sini.”
Mahavir seketika menyadari kesalahannya dan langsung menunduk lemas. “Sebenarnya, saya suka ide Bapak buat mengusir makhluk itu, tapi sayangnya dia sudah bayar dan itu kesalahan saya, Pak.”
“Sabar, Nak. Mantapkan mentalmu aja, ya.”
Setelah selesai mengobrol dengan rasa kecewa mendalam, Mahavir masuk ke apartemen dan melihat Dareen meringkuk. Mungkin menyesal karena melepaskan uang begitu banyak.
Mahavir ikut duduk di sebelah Dareen dan menyapanya pelan.
“Bang ...,”
“Apa? Puas lo sekarang? Dasar manusia kaos kotak-kotak dan celana jeans! Meski gue terusir dari sini, gue bisa tinggal di apartemen temen gue yang lebih bagus dan adem tahu!”
Mahavir menggeleng sambil menepuk-nepuk pundak Dareen. “Sialan bener lo, Bang. Ternyata bukan karena mau menghemat, ya. Abang bohong terus sama gue.”
“Lo yang sialan!” seru Dareen, selagi berpura-pura menangis.
“Sebenarnya, gue juga menyesal kenapa nggak biarin Abang diusir secara paksa. Sumpah, Bang.”
“Sabar banget gue sama bocil kaya lo,” celetuk Dareen.
“Harusnya gue yang sabar!”
Setelah itu, keadaan mulai kondusif dan sepertinya Mahavir ingin berbicara serius tentang sesuatu pada Dareen. Namun, ia pikir-pikir, apa bisa Dareen diajak serius?
“Abang tahu di mana yang buka lowongan pekerjaan?”
“Kenapa tanya? Nggak dikasih duit lagi sama Kakak lo? Beasiswa dicabut?”
“Asal ceplos aja pengen gue jepret pake karet. Gue tuh tanya tentang Abang.”
“Bilang dong. Tapi, lo nggak perlu mikirin gue karena gue tahu di mana pun lowongan itu berada. Jangan bikin gue berbinar-binar.”
Mahavir seketika membuang muka karena kesal. “Nyesel gue tanya kaya begitu. Tapi, Abang cari kerja yang bener.”
“Udahlah, tenang aja. Nggak bakal juga aneh-aneh misal jadi intel.”
“Padahal baru aja gue mikir lo intel, Bang.”
Dareen malah mengangguk bangga dan itu sudah menjadi kebiasaan yang dianggap biasa oleh Mahavir sesekali.
“Iya, gue tahu, gue cocok emang jadi intel karena keren, kan?”
“Suka-suka lo aja, Bang. Muak gue.”
Malam itu pun ditutup setelah Dareen menyelesaikan permainan di level seratus tepat tengah malam, sekaligus menemani Mahavir yang begadang mengerjakan tugas menumpuk.
Mahavir bingung, sebenarnya ia harus lebih merasa bersyukur atau tidak karena kehadiran Dareen. Pria berusia 28 tahun yang wataknya seperti anak kecil, tidak berpendirian tegas, bahkan seenaknya.
Dareen seolah tidak mempermasalahkan masa depan dan kehidupan selanjutnya, padahal tidak memiliki pekerjaan. Berbeda dengan Mahavir yang selalu serius dengan masa depan, mengejar apa yang ia inginkan.
Mereka seperti dua kutub magnet yang saling tarik-menarik atau kadang jauh-menjauh.
Menit berganti menit, jam berdetak di dinding menuju pukul sembilan pagi keesokan hari. Mahavir yang telah bangun dari jam delapan pagi tiba-tiba mengetuk pintu apartemen Dareen dengan semangat.
“Bang!”
Pintu akhirnya terbuka lebar, tapi Mahavir masih membelakangi pintu sambil menyisir rambut potongan curtain haircut hitam miliknya.
“Kaset PS balikin semua dong, quickly quickly. Nggak mau koleksi gue ada yang rusak atau hilang di tangan Abang dan kalau nggak dibalikin, gue cepuin ke ibu-ibu geng apartemen.”
“Sabar kenapa, sih? Gue ini lagi sibuk kirim lamaran lewat e-mail. Ganggu aja lo.”
“Bodo amat,” tukas Mahavir.
Dareen secepat kilat mengumpulkan kaset permainan dari segala penjuru ruang tamu bernuansa monokrom itu. Kemudian, diberikan pada Mahavir yang tersenyum puas di ambang pintu.
“Nih, buat Abang.” Mahavir memberikan tumpukan kertas.
“Apaan?”
“Itu daftar lowongan, cobain aja lagi. Semangat!”
Setelah Mahavir pergi, Dareen segera menutup pintu dan ingin tidur. Karena sekembalinya dari kamar Mahavir, Dareen berkutat dengan laptop sampai detik itu juga.
Mahavir sendiri menghadiri kelas online setelah mendapatkan kaset permainan dengan tenang dan damai dalam tiga jam. Ketika selesai, ia tiba-tiba mendapat panggilan telepon dari seseorang dan membuatnya panik setengah mati.
“Aduh, kenapa dadakan banget, sih?”
Mau tak mau, Mahavir berlari keluar dan mendatangi Dareen. Ia segera mengetuk berulang kali sambil terus menyeka keringat dengan kaos hitamnya karena keadaan siang itu sangat panas, terutama berdiri di lorong tanpa pendingin.
Mahavir terus mengetuk, tapi tak ada jawaban dari Dareen. Ia pun tak bisa menunggu lama dan langsung membuka pintu dengan keras.
Dareen yang rupanya masih tertidur pulas di sofa ruang tamu terkejut, bangun dari tidur dalam keadaan linglung.
“Apaan, sih? Bisa buka pintu pelan-pelan nggak? Gue masih ngantuk tahu!”
“Bang, gawat banget! Gawat darurat!” Mahavir segera duduk dengan wajah panik.
“Gawat apaan? Perlu duit? Nggak ada gue.”
Dareen tampak sabar mengusap kedua mata padahal Mahavir mengguncang bahunya begitu kuat. Sampai langit-langit ruangan terasa berputar. Dareen merasa tumben sekali Mahavir masuk tiba-tiba, padahal biasanya selalu sopan.
“Lo free, kan, Bang? Bantuin gue sejam aja. Nanti kalau beres gue kasih pinjam semua permainan sekalian traktir makan siang, gimana?”
Dareen si tukang makan tentu saja langsung melek karena ditampar rejeki nomplok. Ia tidak akan melewatkan kesempatan dengan label gratis.
“Oh, ya bisa dong. Emang bantuin apaan?”
“Bersih-bersih!”
“Hah, bersih-bersih?”
Tanpa menjawab pertanyaan itu, Mahavir segera menarik lengan Dareen sekuat tenaga karena badannya lebih kecil. Dareen justru tersenyum miring dan segera berdiri.
“Makanya olahraga.”
“Nggak jadi gue traktir, nih,” ancam Mahavir.
“Sensitif amat kaya pembalut.”
“Emang ada mereknya?”
“Mana gue tahu, adanya tempe gejrot.”
Mahavir menyipitkan matanya. “Susah ngomong sama spesies preketek macam lo, Bang.”
Tak lama kemudian, mereka sudah berada di apartemen Mahavir. Dareen tak menyangka di balik penampakan bersih dan kinclong, rupanya banyak sampah bersembunyi di kolong meja dan kursi. Bahkan debu-debu banyak menempel di perabotan selain daerah ruang tamu.
“Vir, dengan wujud rumah lo sekotor ini, apa bisa sejam?”
“Jangan banyak cakap, kerjain aja, Bang.”
Dareen menggaruk kepalanya. “Siapa yang mau datang, sih?”
“Kakak gue, Bang.”
“Oh, emang Kakak lo semengerikan apa?”
“Kakak gue itu sangat menakutkan dan bukan manusia biasa, Bang.”
“Oke, semangat.”
Mahavir berdecak kesal sambil meraih sampah dengan sapu di bawah meja. “Apaan tiba-tiba bilang sejam lagi bakal sampai di sini, padahal dia tuh orangnya nggak biasa dadakan. Dan biasanya gue yang nginap di kosan Kakak. Aneh, kan?”
“Hm ... iya juga, sih.”
Menjawab asal dengan kepastian nol persen itulah keahlian Dareen yang lain. Namun, Mahavir tidak memikirkan itu lagi, sekarang yang harus ia hadapi adalah sang kakak.
“Pasti Kakak gue tuh menghitung debu di semua tempat, makanya gue langsung bersih-bersih. Pokoknya dia kakak yang aneh, kaya medusa.”
“Oke, semangat.”
“Dengerin gue curhat nggak, sih, Bang?”
“Lho, gue kasih feedback malahan. Masa kurang? Gini-gini gue pendengar setia.”
“Cih, gue berasa kaya radio,” gerutu Mahavir.
Satu jam berlalu, seluruh ruangan telah bersih sampai jendela. Mahavir merasa tenang melihat pekerjaan Dareen sambil menikmati pizza dan kola di ruang tamu.
Mereka yang selalu kompak memakai pakaian serba hitam, mulai dari kaus oblong dam celana jogger selutut, tiba-tiba merasakan kantuk luar biasa.
“Mana ini Kakak lo? Udah jam dua lebih.” Dareen menguap lebar.
“Tau, nih. Tunggu aja sambil habisin ini semua.” Mahavir menegak kola sampai habis, kemudian menatap Dareen. “Bang, mending buka jasa bersih-bersih rumah. Lumayan dapat duitnya tuh dibanding jadi budak karyawan. Kerjaan Abang bersih banget.”
“Ya, gue mau-mau aja, tapi nggak punya tabungan untuk modal. Duit kerja gue sebelumnya ludes buat berobat Mama.”
“Oh, gitu. Sekarang Mamanya Abang gimana? Udah baikan?”
“Nggak baikan, tapi balikan dengan Maha Kuasa.”
Mahavir seketika meletakkan kaleng kola, menatap dengan penuh kasihan. Padahal Dareen sendiri santai sambil mencomot potongan daging dari pizza.
“Sorry, Bang. Gue turut berduka cita.”
“Santai aja, udah lama juga Mama meninggal sekitar lima tahun lalu. Gue udah nggak apa-apa.”
“Bapak lo mana, Bang?”
“Nggak tahu ke mana. Semenjak Mama sakit, dia pergi ninggalin kami berdua.”
Mahavir menghela napas. Ternyata benar kata sang ibu dulu, bahwa orang yang terlihat santai dan membuat orang lain tertawa rupanya sedang menyembunyikan luka di hati.
Maka dengan begitu, Mahavir membulatkan tekad untuk membantu Dareen dalam mencari pekerjaan. Siapa tahu usaha yang diinginkan Dareen bisa terwujud.
“Berarti gue nggak salah bantuin cari loker, Bang. Biar cepat dapat kerjaan, sekalian biar nggak gangguin gue terus.”
“Makasih, ya. Meski lo kadang nyebelin, ternyata baik juga.” Dareen tertawa pelan.
“Harusnya gue yang ngomong gitu kali, Bang.”
Dareen tiba-tiba berdiri dan mengambil kotak pizza serta kaleng kola yang kosong, hendak dibuang ke tempat sampah di dapur. Sedang berjalan ke sana, suara bel berbunyi berulang kali sehingga membuat Mahavir berdiri panik.
“Waduh, Kakak gue kayanya datang!”
“Ya, udah. Sambut aja sana,” ucap Dareen santai.
“Abang sembunyi aja dulu di dapur, bisa curiga dia kalau Abang bantuin gue bersih-bersih!”
“Lah, emang gue bantuin, kan?”
“Dia nggak suka, Bang!”
Mendengar kepanikan itu, Dareen berusaha sembunyi di balik tirai berisi peralatan bersih-bersih. Dareen seperti dejavu mendengar sifat-sifat kakak Mahavir karena mirip dengan seseorang. Pacarnya dahulu.
Namun, tidak mungkin orang itu adalah orang yang sama dari masa lalunya. Sudah dua tahun mereka tidak pernah bertemu bahkan mengucap kata putus.
Sambil merapikan kemeja kaos oblong putih polos, Mahavir mencoba menghilangkan ketegangan dengan meregangkan tubuh. Setelah siap, ia membuka pintu dengan antusias. Namun, yang dilihatnya bukan sang kakak, tetapi satpam bongsor berpakaian putih biru yang meminta iuran.
Mahavir spontan bernapas lega dan memberikan satu lembar lima ribu. Pak satpam tiba-tiba mengibaskan rambut gondrong yang tersembunyi di balik topi, seperti sedang syuting iklan sampo. Sedetik kemudian, begitu pak satpam pergi, ia menyuruh Dareen keluar dari persembunyian.
“Asem, bukan Kakak gue,” celetuk Mahavir.
“Lah, nggak jadi datang?”
“Bentar, gue coba telpon dulu.”
Dengan rasa tidak percaya, mau tidak mau Mahavir pergi ke luar apartemen untuk menelepon sang kakak. Berharap agar Dareen tidak macam-macam atau merampok sesuatu di apartemen.
“Halo, Kak, jadi ke sini nggak?”
“Eh, nggak jadi, temen gue ngajak jalan dan penting banget katanya. Lain kali gue ke sana, deh. Dadah!”
Belum saja dijawab, suara perempuan itu lenyap. Sang kakak mematikan panggilan telepon secara sepihak. Mahavir hanya berdecak kesal, kemudian terburu-buru masuk. Baru membuka pintu, ia melihat Dareen sedang asyik tidur-tidura di sofa seakan apartemen itu miliknya.
“Enak banget, ya.”
“Eh ... empunya datang. Gimana? Kakak lo jadi datang?”
“Nggak jadi.” Mahavir merebahkan diri di sofa. “Sudah buru-buru gue padahal. Jadi, enaknya ngapain?”
“Tidur. Katanya ngantuk?”
“Itu kan lo, Bang!”
“Ya, udah. Kita buka sesi tanya jawab aja. Katanya penasaran sama gue.”
“Iya, sih. Gue mulai tanya, deh.” Mahavir berubah posisi menjadi duduk, seakan mengajukan pertanyaan interview. “Abang pernah kerja di mana?”
Dareen berdeham dahulu sebelum menjawab, sok menjadi seorang ahli mencari pekerjaan dengan banyak pengalaman.
“Dulu gue pernah kerja di tempat gym karena hobi workout, jadi taulah step by step. Sebelum pindah kemari.”
“Terus gimana, Bang? Habis ngelamar langsung diterima?”
“Ya, diterima dong, tapi itu pas gue nggak sengaja jatohin korek api bentuk pistol.”
Mahavir menepuk jidat. “Itu namanya Abang diterima karena HRD takut! Aduh ... kesel gue sama lo, Bang!”
“Tapi, bener dong habis ngelamar langsung diterima.”
Dareen tersenyum bangga sampai kedua matanya berbentuk bulan sabit. Padahal tidak ada yang memujinya dan tidak ada yang perlu dibanggakan.
“Aish, cepet ceritain kenapa Abang nggak lagi di sana?”
“Setelah gue kasih tugas ke cowok yang ikut kelas gue. Awalnya, lima kali push-up ditambahin beban sepuluh kilo. Karena dia masih sanggup, gue naikin terus tuh sampe lima kali lipat. Eh, pas dia berhenti gue nyolot dong.”
“Kaya dejavu gue dengernya,” ucap Mahavir, sambil membuang muka.
“Eh, cowok itu nangis dan langsung pulang karena nggak bisa angkat beban 60 kilo. Besoknya gue dipecat, deh.”
Mendengar curhatan terselubung itu, Mahavir menarik telinga Dareen dengan kekuatan penuh. Ia sudah menduga kalau tetangganya tidak becus dalam pekerjaan, bahkan terdengar main-main.
“Bang, kerja yang bener, dong! Gimana mau bertahan hidup dan punya duit modal kalau hidup seenaknya gitu! Padahal yang gue denger dari ibu-ibu, Abang itu lulusan sarjana!”
Dareen memukul-mukul tangan Mahavir. “Habisnya nggak ada yang nyuruh gue ngapain gitu.”
“Ya, bisa tanya, kan? Aduh, pusing banget dengkul gue!”
Mahavir makin kuat menarik telinga Dareen, sampai empunya berteriak seolah kesurupan setan.
“Iyeeeee ... gue nggak bakal kaya gitu! Lagi pula udah lama juga itu! Tapi, lepasin dulu tangan lo!”
Saat merasa puas, Mahavir melepas tangannya. “Kalau gitu, tadi udah kirim lamaran ke mana?”
“Ke banyak tempatlah, tapi yang balas e-mail saat itu juga salah satu minimarket dekat sini. Katanya gue besok disuruh datang interview. Doain gue, ye.”
“Ya, kalau gue ditraktir pizza yang mahal pas gajian.”
“Deal! Masalah itu sih kecil. Eh, kenapa lo nggak kuliah?”
“Online dong. Kenapa? Mau ngajak gue main PS?”
Tanpa meminta jawaban, Mahavir sudah tahu dari sudut bibir Dareen yang tersenyum. Akhirnya ia tahu bahwa Dareen adalah orang bermasalah dari dulu kala, tapi ia merasa tak perlu menjaga jarak. Entah mengapa ada rasa aman bersama pria satu itu.
“Berarti gue nggak perlu carikan lagi, dong.”
“Ya, coba aja cari lagi soalnya rejeki nggak ada yang tahu. Bahkan lowongan yang lo kasih udah gue pilihin juga. Thanks!”
“Iya, sama-sama. Tumben nggak nge-jokes.”
“Gue tahu kali masa-masanya becanda sama serius. Semua manusia sih pasti paham itu, tapi belum tentu bisa menerapkan. Seringkali bikin bahan becandaan di momen nggak tepat, bahkan menyakiti lawan bicara.”
Mahavir menahan tawa. “Udah, deh. Mode motivatornya kapan-kapan aja.”
“Sialan bener lo, gue serius.”
“Iye, ya, ampun. Gue paham maksud Abang kali.”
Hari itu pun berlalu seperti biasa. Belajar, makan, mandi, lalu nongkrong bareng di lorong apartemen bersama Dareen. Mereka tidak jalan keluar karena sedang menghemat uang.
Aroma esok hari akhirnya tercium juga, di mana Dareen datang ke minimarket untuk interview. Namun, saat jam menunjukkan pukul empat sore, Mahavir belum mendapatkan kabar dari Dareen.
Spesies itu masih hidup, kan? Nggak ngaco lagi, kan?
Mahavir tiba-tiba terdiam menatap layar ponsel. Lah, ngapa gue jadi mikirin hidup orang, sih? Dia bukan siapa-siapa gue.
Meski berkata begitu dalam hati, Mahavir menuju lokasi di mana Dareen mendapat undangan interview. Minimarket yang cukup dekat, hanya berada di ujung jalan setelah melewati empat gedung apartemen.
Akan tetapi, saat tiba di minimarket, Mahavir merasakan ketakutan luar biasa melihat segerombolan pemuda seumurannya. Ia memindai satu per satu dan mengenali mereka.
Anjir, kenapa ada mereka? Aduh.
Saat bersembunyi di balik vending machine, salah satu dari mereka berperawakan ceking mengetahui keberadaan Mahavir saat melintas. Pemuda ceking itu lantas merangkul dan membawanya menuju gerombolan di depan minimarket.
“Eh, ini adik tingkat kita, kan?” tanya pemuda ceking itu.
“Iya, bener. Kebetulan ketemu di sini,” jawab salah satu pemuda jangkung di sebelah Mahavir.
Mahavir meneguk ludah, mencoba melenyapkan rasa takut. “Jangan ganggu gue sekarang.”
“Oh, mentang-mentang di luar kampus lo jadi berani?”
Mahavir melepas rangkulan pemuda ceking itu dengan kasar. “Nggak puas malakin gue tadi siang di kampus? Nggak puas selalu dan setiap hari begitu?”
“Wah, berani juga.”
Saat mereka berdua memasang wajah galak dan siap memukul Mahavir, ada seseorang datang mendorong mereka dari belakang. Spontan mereka semua berbalik, menatap sosok yang berpakaian hitam putih.
“Oh, ternyata kalian anak berandalan yang malakin adek gue?”
Mahavir membulatkan mata melihat orang itu. “Bang Dareen?”
“Oh, eh, dia adeknya Abang?” tanya gugup si pemuda jangkung, sambil mengusap dahi yang bercucuran keringat.
“Iya, adek gue. Kenapa? Kenapa emang? Hah?”
Dareen berkacak pinggang seperti kebiasaan Mahavir jika marah, menantang segerombolan itu dengan tatapan tajam. Mereka semua terlihat menciut karena aura bisep dan trisep milik Dareen dikeluarkan juga.
“Kalian nggak tahu kalau dia punya kakak cowok yang ganteng ini? Dan apa bedanya kalau dia nggak punya kakak?”
Dareen menunjuk dada pemuda di antara mereka sampai mundur secara teratur, tersudut di depan jendela.
“Kalian juga yang dari tadi ribut di sini sambil mengumpat, kan? Bahkan kalian juga berani gangguin nenek-nenek lagi lewat, ya, kan? Kalian berani sama yang lemah, tapi menciut sama gue? Kenapa, hah?”
Ketika Dareen menarik hoodie dua orang pemuda di gerombolan itu, Mahavir ketar-ketir karena takut terjadi hal yang tidak-tidak. Sehingga ia segera menarik tangan Dareen.
“Bang, udah.”
“Gue belum selesai.” Dareen menguatkan cengkeraman. “Kalian tahu nggak, kalau gue bisa bikin kalian babak belur sampai masuk rumah sakit.”
“I-iya, Bang,” ucap pemuda jangkung.
“Satu hal lagi, kalau kalian berani memalak, mengganggu, bahkan melukai Mahavir ... gue langsung habisin lo di tempat. Ngerti nggak?”
Kedua pemuda itu mengangguk kencang. “I-iya, ngerti kok, Bang!”
“Sekarang minta maaf sama Mahavir yang bener, jangan pura-pura.”
Tak hanya dua pemuda itu, mereka semua menghadap Mahavir sambil menunduk. Meminta maaf berulang kali dengan terbata-bata. Ia yang mendengar itu langsung memaafkan karena bukan tipe pendendam.
Mahavir adalah pemuda baik hati, rajin menabung, dan sangat sabar. Buktinya mampu menghadapi tingkah Dareen dari mode yang paling mudah hingga sulit.
“Nah, kalian cepet pergi sebelum kesabaran gue hilang.”
Sebenarnya tidak perlu diusir, mereka dengan senang hati akan pergi karena tidak mau dihabisi oleh Dareen yang sedang mengaktifkan mode seram. Mahavir malah menahan tawa selepas kakak tingkat itu kabur.
“Wah, sesekali bisa ber-damage juga, ya. Bisa gue manfaatin, nih.”
Dareen bersedekap. “Ini bocah, udah dibantuin itu makasih, dong. Malah kepikiran buat dimanfaatin lagi.”
“Hehe, makasih, Bang. Kalau nggak ada Abang gue pasti dipalakin dan digangguin terus.”
“Lo setiap hari digangguin?”
“Ya, gitu. Tapi, Kakak gue nggak tahu dan nggak bakalan gue kasih tahu. Ntar mereka di apa-apain sama Kakak gue.”
“Serem juga Kakak lo, ye.” Dareen menepuk pundak Mahavir. “Nah, lain kali lebih berani aja ngadepin anak-anak kaya gitu.”
Mahavir mengangguk. “Eh, tapi, Abang kok tahu gue sering dipalakin?”
“Lah, lo sendiri yang bilang tadi dan gue denger. Gimana, sih?”
“Oh, iya.” Mahavir terkekeh. “Jadi, gimana interview Abang?”
Dareen menunjuk dadanya, memberitahu kalau pakaian serba hitam putih itu adalah pertanda sesuatu. Mahavir yang mempunyai sifat peka itu langsung memahami maksud Dareen.
“Oh, udah diterima kerja? Selamat kalau gitu dan jangan lupa pizza gue. Kalau bisa sekalian beliin isi kulkas gue, Bang.”
“Sialan lo. Disangka gue ngelamar jadi juragan minimarket?”
“Ya, siapa tahu dan bisa bikin usaha itu ... yang waktu itu, Bang.”
“Itu masih lama, jangan diomongin dulu. Kejauhan amat.”
Mahavir tersenyum, menepuk-nepuk punggung Dareen seperti seorang kakek yang bangga pada sang cucu. Kemudian, Dareen mengernyit heran. Baru kali itu melihat pemuda berjaket abu-abu begitu senang.
Terkadang hidup bertetangga itu penuh kejutan seperti dadu yang dilemparkan. Bisa mendapat angka beruntung atau tidak. Sama seperti takdir Mahavir bertemu Dareen yang ternyata tidak buruk juga.
Mahavir berharap ke depannya mereka bisa terus seperti ini. Menjadi tetangga yang sering ribut, tapi saling bahu-membahu.
“Bang, kenapa lo nggak kabarin gue? Gue pikir ada apa-apa makanya mau coba tengok.”
“Ehem ... kenapa? Kangen? Khawatir? Tenang, bentar lagi pulang dan bakal main PS sama lo.”
Mahavir mendecih. “Halah, selalu aja gue menyesal setelah ngomong sama makhluk ini.”
Saat Dareen tertawa, entah rasanya Mahavir juga ingin tertawa. Seakan mereka tahu pribadi masing-masing padahal baru mengenal. Mungkin, inilah yang disuka Mahavir dari sisi Dareen selain tingkahnya yang menyebalkan.