Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Seperti biasa di minggu pagi ini tidak ada yang spesial. Selain beredar kabar panas yang berubah menjadi viral di komplek tempat tinggalku. Aku sedang bermalas-malasan menuruni anak tangga menuju dapur. Kemana perginya istriku? Itulah yang sedang aku cari-cari dari tadi. Ini udah kedua kalinya aku ke dapur, tapi tetap tidak ada. Di rumah ini tidak ada orang yang bisa ditanya, Ibu Ijah yang biasa berada di dapur pun tidak ada, adik perempuan istriku yang biasanya duduk di sofa sambil menonton televisi juga tidak ada di sana. Kemana perginya semua orang? Terlebih lagi istriku ini. Cuma ada seekor kucing oren sedang tertidur begitu nyaman di karpet merah di depan sofa.
Aku pergi keluar rumah, dan kelihatan Fara, adiknya Karin (istriku) yang sedang senyum-senyum sendiri. "Fara, kamu kenapa? lihat kakak kamu, gak?"
"Biasa, karna tetangga baru depan rumah. Kak Karin ikut Buk Ijah ke kedai beli gula, tapi sebenarnya dia mau mengintip tetangga baru yang bule itu."
Aku hanya mendengus pelan mendengarnya, berani-beraninya Karin mengintip laki-laki bule itu, yang baru saja pindah tiga hari yang lalu. Tanpa banyak obrolan, aku pun pergi menyusul Karin ke kedai buk RT di ujung jalan mawar ini. Sebelum itu, aku menoleh ke rumah tetangga baru yang begitu sepi dari luar. Bagaimana sih rupa wajahnya? Sampai-sampai ibu-ibu yang udah beranak tiga pun terkagum-kagum dengannya, apalagi anak gadis semakin tergila-gila mereka.
Dari kejauhan, terlihat Karin yang sedang asik bergosip ria dengan Buk Ijah di sampingnya. Aku pun segera menyusul dan memanggil Karin, lalu menyuruhnya pulang. Karin sangat terkejut melihatku dan ibu-ibu komplek langsung menatapku keheranan.
"Aduh, ternyata Faiz, saya pikir siapa." Ujar Buk Ita, disusul dengan tawa mereka, serempak. Aku pun hanya pura-pura tertawa, menaggapinya. Mereka kembali asik melakukan kegiatan yang terhenti, kembali bergosip, memilih sayur-sayuran, dan dengan jelas aku mendengar mereka lagi membicarakan tetangga baru yang super keren itu, katanya.
Aku dan istriku udah sampai di rumah, Buk Ijah langsung ke dapur meletakkan belanjaan. Aku mengekori Karin dari belakang, lihatlah istriku ini, semua tempat dijelajahinya, mulai dari dapur, ke kamar yang letaknya di lantai atas, ke kamar Fara dan sekarang dia mau keluar menenteng sekantong sampah untuk dibuang. Aku pun yang udah capek mengikutinya melulu, meminta Karin untuk ke kamar setelah membuang sampah.
Terdengar suara pintu yang terbuka, menampilkan Karin yang begitu antusias. Gak tau kenapa, Karin yang baru menutup pintu kamar, tiba-tiba kegirangan. Dia mengamit tanganku untuk duduk di atas ranjang dan aku hanya mengikutinya saja dengan buku yang tidak sempat diletakkan kembali ke meja.
Istriku bercerita tentang tetangga baru, yang baru saja dia temui saat membuang sampah di depan rumah. Istriku bilang, tetangga baru itu ternyata memang betul bule, dia tinggi dan berewokan tipis, kulitnya gak terlalu putih seperti bule kebanyakan. Aku pun langsung menyuruh istriku untuk diam, sebelum dia menjelaskan lebih detail lagi tentang laki-laki kebule-bulean itu. Seperti, hidungnya mancung kayak perosotan anak TK, mempunyai lesung pipi, atau kepalanya botak, tidak, aku sungguh gak mau mendengarnya lebih jauh lagi.
"Aku lagi enak ngomong, malah kamu potong," ucap istriku dengan wajah yang super cemberut. Malah istriku yang menjadi marah, aku pun langsung berujar.
"Gak usah bahas tetangga bule itu lagi, panas telingaku mendengarnya." Semenjak itu, aku dan Karin marahan, hanya karna tetangga baru yang tidak tau apa-apa itu.
***
Di sore hari yang terasa sangat sepi, karna dari tadi pagi, aku dan Karin gak pernah mengeluarkan sepatah kata pun. Aku dan Karin menjalin bahtera rumah tangga udah hampir lima tahun, dan baru kali ini masalah tetangga baru menjadi masalah yang benar-benar serius. Apa rumah tangga di lingkungan komplek ini mengalami masalah yang sama? Ntah lah.
Aku sedang mencari Karin, yang seperti biasa, dia selalu hilang, padahal baru tadi aku melihatnya di kamar selesai mandi. Aku pergi ke luar rumah, ternyata dia di sini sedang duduk di teras depan sendirian. Dia gak bergeming seperti memang tidak ada orang, mengacuhkanku. Aku berdehem untuk mengalihkan perhatiannya, karna Karin terus memandang rumah tetangga baru yang persis menjulang di depan rumahku.
"Karin, jangan melihat rumah itu terus, lama-lama aku tinggikan juga pagar rumah ini."
Tanpa aba-aba Karin langsung memukul lenganku cukup keras. Aku tersentak keget lalu mengaduh sambil mengelus lenganku yang dipukul.
"Bisa gak sih, sesekali jangan membuatku kesal." Aku yang mendengarnya, tak terima, padahal dia juga sering membuatku kesal. Tiba-tiba karin membahas tetangga baru lagi, yang membuat hari ini benar-benar sangat muram.
Berita tetangga baru sangat cepat tersebar ke seluruh lingkungan komplek, membuat grup chat whatsApp yang diberi nama "RT 5 warga yang rukun" ditutup oleh pak RT (hanya admin yang bisa mengirim pesan). Karna istri pak RT adalah salah satu yang paling heboh membicarakan tetangga baru. Jadi grup itu sekarang sepi, biasanya baru satu jam hampir seribu pesan baru muncul, seolah-olah para ibu-ibu dan anak muda tidak pernah melihat orang bule di sepanjang umur mereka.
"Faiz..." panggil Karin, karna suaminya itu tampak tak acuh mendengar omongannya. Aku hanya menoleh ke Karin dengan tatapan malas. Kami memang hanya memanggil nama dalam panggilan sehari-hari, walaupun tak jarang kata 'sayang' terlontar dalam memanggil, kalau suasana dalam keadaan baik, tapi tidak dengan sekarang.
"Kamu tau, gak? Tetangga baru kita itu, baru ditinggal istrinya."
Aku langsung menatap Karin, bingung, "ditinggal istri gimana?"
"Istrinya baru saja meninggal, setelah melahirkan anak pertama mereka."
Aku cukup terkejut, sungguh yang terakhir itu, mendatangkan rasa sedih di saat aku mendengarnya. Yang seharusnya, suami istri berbahagia menangis haru dengan datangnya malaikat kecil, tapi malah kedukaan mendalam yang datang menyambut. Pantas rumah itu kelihatan begitu sepi, ternyata pemilik rumah baru saja menerima kenyataan yang begitu sulit untuk diterima, perihal ditinggalkan.
"Lihatlah sayang, tetangga baru kita keluar, dia lagi menggendong anaknya, sepertinya bayi kecilnya menangis." Aku pun langsung menoleh ke depan, melihat laki-laki bertubuh tinggi sedang berusaha menghentikan tangis anaknya.
"Ayok kita samperin," Ujar Karin, sambil menarik tanganku, agar aku berdiri tegak. Aku hanya diam mengikuti langkah Karin yang pelan. Semakin dekat, suara tangisan bayi mulai jelas kedengaran, sangat nyaring tangisnya. Kelihatan wajah sang ayah mulai kelihatan cemas, dia pun semakin menimang-nimang anaknya sambil menepuk-nepuk pantatnya pelan.
Aku mulai menyapanya dengan ramah, laki-laki itu tampak terkejut, kemudian dia tersenyum, lalu melanjutkan aksinya lagi untuk menghentikan tangis anaknya. Aku mencoba mendekat, karna Karin tampak belum puas jika hanya sekedar menyapa begini, Karin mendorong-dorong lenganku pelan. Dari pada terjadi hal-hal yang tak diinginkan lebih baik aku samperin tetangga baru ini untuk lebih saling mengenal.
"Berapa umur anaknya, mas?"
Dia menoleh, lalu menjawab, "lima hari lagi genap dua bulan, mas."
Aku mengangguk, dia begitu paham dengan umur anaknya. Bayi kecil ini udah berhenti menangis, matanya terpejam dengan kedua tangan mengepal di dadanya, bibirnya yang merah terbuka sedikit. Aku sangat gemas melihatnya dan aku tau Karin dari tadi udah sangat gatal ingin menyentuh pipinya yang bulat.
"Dari tadi Alya nangis terus, waktu kalian datang baru dia berhenti menangis." Ucapnya sambil menimang-nimang anaknya yang sudah terlelap. Dia kelihatan capek, tampak jelas dari matanya yang agak memerah. Mengurus anak tanpa ditemani seorang istri pasti sangat sulit, belum lagi rasa kehilangan yang harus ditanggung.
Aku tiba-tiba teringat kejadian dua tahun silam, di mana aku dan Karin dikaruniai seorang anak yang masih berada di dalam kandungan. Kami sangat bahagia mendapatkan nikmat yang begitu besar dari tuhan, tapi tuhan berkehendak lain, Karin mengalami keguguran ketika umur kandungannya baru empat bulan. Kami berdua sedih, terlebih Karin yang sangat terpukul.
Perihal Ikhlas yang seharusnya berteman akrab dengan manusia, karna ditinggal dan meninggalkan adalah hal pasti, tapi tidak ini perkara sulit. Kami mencoba untuk akrab dengan rasa ikhlas. Sampai sekarang kami belum dikasih kesempatan kembali untuk memiliki anak. Harapan yang benar-benar kami inginkan, aku selalu menanti, mendapatkan manusia mungil yang akan melengkapi kehidupanku dan istriku.
"Kehilangan adalah hal yang sangat sulit untuk diterima dan aku mengalaminya, rasa sesak yang sulit dihilangkan. Perpisahan itu pasti, tapi aku gak tau waktu sangat cepat merenggutnya dariku.” Kata-kata itu terlontar dari seorang laki-laki berwajah bule, ia begitu tegar dari luar, tapi dari dalam gak ada yang tau.
Ia tiba-tiba tersentak, “Maaf aku enggak tau kenapa tiba-tiba ngomong seperti itu. Senang bertemu dengan kalian, tetangga depan rumah.” Ujarnya sambil tersenyum ramah.
Kata-kata tetangga baru yang tidak sengaja diucap itu masih terngiang-ngiang di kepalaku, aku menggenggam tangan Karin erat. Aku berjalan pelan dengan Karin di sampingku, setelah pamit dengan tetangga bule yang baru masuk ke rumahnya. Kami berdua terdiam, merasakan kesedihan tetangga baru yang sudah merasuk di hati. Dia begitu kuat dan tegar dan aku belum tentu bisa setegar itu dan berteman akrab dengan yang namanya ikhlas.