Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Komedi
Testosteron
1
Suka
328
Dibaca

Ayahku berusia 58 tahun, telah lama ia pensiun dari militer. Di ruang tamu masih ada beberapa fotonya semasa muda, foto-foto saat ia menempuh pendidikan infanteri, piagam penghargaan atas tugasnya di Irian Jaya, fotonya ketika akan berangkat tugas ke Ambon, fotonya di Pelabuhan Tanjung Perak dengan sweater hijau pupus menggendongku yang baru berusia 1 tahun dengan sweater merah menyala—merah dan hijau pakaian kami, serupa hiasan pohon Natal ketika ia akan berangkat ke Aceh, sampai fotonya saat menempuh pendidikan intelijen. Foto mudanya mengenakan seragam dinas berdampingan dengan Ibuku yang kala itu masih 25 tahun—tampak anggun dengan rambut sebatas dagu pendek lurus, pipi tirus, gigi serapih biji timun, mata sejernih sungai yang tak pernah terjamah manusia, dan di sebelahnya ada Ayah dengan potongan cepak rapih, mata besar tajam seperti kelereng yang menyelamatkannya dari serangan musuh di medan tugas sebab matanya cukup awas, kulitnya yang masih kencang, tanpa kumis, gagah, dan tampan. Kini kulit tangannya telah kendor dan keriput. Perutnya buncit, lengannya bergelambir oleh lemak, lututnya suka pegal sehingga harus diolesi minyak kutus-kutus khas Bali tiap malam, matanya masih awas namun sayu, pendengarannya tak setajam dulu, dan ia lebih sering melamun sebab di masa muda sedikit sekali kau punya waktu untuk itu—kau sibuk bekerja keras untuk punya uang dan kawin. Tahun pertama ketika ia pensiun, ia sadar bahwa ia tak lagi mengenakan seragam dan bekerja di kantor rayon militer seperti biasa, ia sadar bahwa ia telah pensiun, maka dari itu ia lebih banyak melamun, memikirkan kegiatan apa yang akan ia lakukan untuk tetap cukup menghidupi keluarga.

Selama dua tahun ia tak mencari pekerjaan tambahan seperti menjadi satpam di bank layaknya kebanyakan temannya yang telah pensiun, ia masih mengurusi tiga burung perkutut dan dua lovebird di rumah, sesekali mengajaknya bicara, dan membetulkan apa saja yang bisa ia betulkan di rumah. Lampu habis daya akan ia ganti, kran macet akan ia perbaiki, genteng bocor akan ia lapisi cairan anti bocor, membuat perangkap untuk tikus-tikus di rumah yang ampun banyaknya, membersihkan rumah, dan belajar membuat patung tak untuk dijual, hanya untuk mengasah kemampuannya, masih bisakah ia membuat patung dari semen. Patung itu mangkrak setengah jadi, baru berupa kerangka Burung Jatayu, sebab ia akhirnya memilih untuk membuka toko kelontong dengan menyewa bekas kios toko kue di pinggir jalan yang harga sewanya termasuk murah—sepuluh juta tiga tahun, kecil, tapi ada kamar mandi. Ia mulai mengisi kios itu dengan barang-barang yang akan dijual bersama Ibuku setelah dipanggilkan pendeta dan melakukan selamatan, tiap pagi ia berangkat jam tujuh dan pulang jam tujuh malam, kegiatan itu terus berulang sampai setidaknya toko kelontong kami telah lima tahun berjalan dan pelanggan kami bertambah sehingga di tahun keempat, Ayah bisa membeli bangunan itu, menjadikannya hak milik, dan membangunnya menjadi tingkat dua.

Jadilah kini kios kecil itu dipugar menjadi sedemikian rupa seperti ruko. Jaraknya tidak jauh dari rumah kami, hanya 30 puluh menit pakai motor. Di seberang jalan ada bengkel, apotek, konter hape, dan bank. Dan di sebelah bank ada beberapa rumah dan toko bangunan, sebelum akhirnya kantor polsek berdiri. Di deretan sebelah toko kelontong kami ada toko buah, sebelahnya barber shop, sebelahnya lagi toko jamu, dan sebelahnya lagi dihuni oleh ibu dan anak perempuannya yang menjual beraneka ragam masakan rumahan—semacam warteg mini, dan di sebelah warung makan itu ada rumah-rumah berderet di pinggir jalan. Letaknya strategis. Sesekali teman-teman Ayahku mampir di sana, sekadar untuk nongkrong dan beli apa saja yang mereka butuhkan, mengobrol sekilas, kadang juga mereka mengeluh—bingung apa yang harus dilakukan ketika nanti pensiun seperti Ayah, sedang tak semua tentara punya modal untuk buka bisnis dan berasal dari keluarga kaya atau setidaknya punya tabungan semasa ia masih dinas untuk dinikmati di hari pensiun.

Dan karena sudah dilengkapi dengan dapur kecil dan sepetak ruangan untuk menaruh ranjang dan lemari pakaian, Ayah jadi jarang pulang ke rumah. Ia jadi lebih sering tidur di toko untuk menjaga barang-barangnya dari tikus—supaya bisa buka lebih awal dan tutup lebih akhir. Sementara Ibu pulang naik motor tiap jam lima sore. Seringnya di rumah ini hanya kami bertiga. Aku sibuk menyelesaikan skripsi, adikku sibuk dengan kegiatan anak SMA—nongkrong, main, dan belajar.

Ayah dan Ibu memang sudah lama pisah ranjang. Kata Ibu: titit Ayah tak bisa ngaceng lagi, dan itu tidak apa-apa, katanya. Yang penting anak-anakku dibiayai sampai sukses jadi orang, ia bilang lagi suatu ketika. Yah, aku lihat memang mereka tidak mengalami apa yang orang lain bilang sebagai “puber kedua” dan kurasa itu hanyalah mitos belaka. Bagaimana pun, manusia hanya mengalami masa pubertas sekali ketika ia beranjak remaja dengan ditandai oleh mimpi basah dan menstruasi. Sekalipun tidak seranjang, mereka berdua baik-baik saja, walau kadang ada saja perdebatan kecil yang menjadi besar. Dua-duanya suka ngomel. Ayah dan Ibuku itu.

Kusadari perubahan pada Ayah bukan hanya pada fisik yang tampak menuju renta, tapi ia yang sekarang lebih pendiam. Dulu aku pernah dimarahi karena menjemur hasduk di dekat pakaian dalam—ia berkhotbah tentang perjuangan para veteran yang mati demi bendera itu bisa dikibarkan, mengejekku sebagai mahasiswi Sejarah yang tak punya nasionalisme, memarahiku ketika lupa mengibarkan bendera setengah tiang pada tanggal 30 September tiga tahun yang lalu, ia marah ketika aku lupa isi bensin sepulang dari kampus, mengomel karena ada kelas malam-malam, marah besar lalu menjebloskanku ke kamar mandi di bawah guyuran air kran kemudian memotong cepak rambutku dengan gunting yang tak tajam karena tahu aku ikut demo memprotes pemerkosaan yang dilakukan oleh salah satu dosen di fakultasku pada delapan mahasiswi dan dua mahasiswa berkedok bimbingan skripsi dan penelitian—ia makin marah karena tahu dosen itu tidak mengajar di jurusanku dan hanya dosen yang satu fakultas, dan membuatku nyaris didepak dari rumah karena ikut demo memprotes rektor kampusku yang terbukti korupsi dana pembangunan auditorium yang digadang-gadang akan jadi ikon kampus kami sebab kampus kami telah lama tak punya auditorium yang luas untuk mengadakan acara-acara kampus yang butuh kapasitas ruangan besar.

Ia tak pernah di rumah ketika bekerja sebagai intel, tapi telinga dan matanya ada dimana-mana di kota kecil itu, sehingga aku melakukan sesuatu yang tampak salah di matanya sekalipun di lubang semut, ia tetap akan tahu. Tak basa-basi. Begitu ia pulang, aku langsung diseret ke ruang tamu untuk dibentak-bentak. Kalau aku masih tidur, ia akan bangunkan dengan menyiram segayung air—tak peduli kasurku basah kuyub.

Dan kini ia berubah nyaris seratus delapan puluh derajat menjadi sosok yang betulan bapak-bapak. Menghabiskan waktu berjam-jam untuk sembahyang dan berinteraksi dengan burung-burung peliharaan yang makin hari makin bertambah banyak, dulu sebelum tidur yang ia tonton adalah berita, kini adalah ceramah-ceramah pendeta di youtube tentang pentingnya memelihara keyakinan kepada Sang Pencipta, meyakini bahwa Ia adalah satu-satunya yang akan menyelamatkan kita dari jurang penderitaan apabila kita sabar dan ikhlas, dan menjauhkan diri dari tipu muslihat duniawi yang bisa bikin senewen dan abai pada kehidupan setelah mati. Ia tak pernah baca kitab suci dulu, walaupun selalu memerintah kami dengan keras dan ketat untuk paham agama lebih daripada ia—supaya ia bisa numpang pahala sebab ia yakin anak-anak dan istri yang berbakti kepada Sang Pencipta akan membawanya pada pembebasan penderitaan di dunia dan alam kematian nanti. Kini ia membuka kitab suci, membacanya terbata-bata, sampai akhirnya lancar.

Kuceritakan keanehan ini pada temanku, ia bercanda dengan bilang: sebentar lagi bapakmu akan jadi pendeta dan kau sebagai anaknya tak boleh tak meyakini Tuhan. Kubilang padanya: sialan kau. Kemudian kami terkekeh dan merokok diam-diam. Temanku juga punya cerita yang hampir sama—ia tak baik dengan bapaknya. Bapaknya kasar, suka memukul dan menempeleng, dan tukang habiskan makanan tanpa beri nafkah. Untung ia punya abang bongsor, yang selalu siap jadi tameng kalau Bapaknya tiba-tiba pulang dalam keadaan mabuk dan meracau tak jelas lalu mengacau. Ibunya bukan lagi wanita penyabar. Tahu lakinya pulang dalam keadaan mabuk berat, ia langsung lucuti semua pakaiannya dan menyemprot lakinya dengan air dari selang. Ia akan biarkan lakinya tergeletak di halaman rumah dengan hanya berselimutkan sarung. Dan secara ajaib lakinya tak pernah ngamuk mendapati ia tidur di luar, nyaris telanjang, bentol-bentol karena gigitan nyamuk, hanya berselimutkan sarung, dengan kepala pening dan mulut bau miras oplosan.

Dan bapak temanku juga alami perubahan sama drastisnya dengan bapakku. Ia makan lebih sedikit, bahkan seringnya melakukan puasa, lebih banyak menghabiskan waktu di kamar untuk melamun, merenung, menulis, sembahyang, dan membaca kitab suci. Di kamarnya hanya ada buku-buku agama, ia telah membanting ponselnya, memindahkan TV dari kamarnya ke ruang tengah supaya tak ada benda-benda duniawi di sana. Ia telah meninggalkan sabung ayam, main gaple, karaoke, dan minum miras oplosan di pos kamling. Ia bahkan tak makan ikan. Ia hanya makan sedikit nasi dan sayur. Suatu ketika kubilang pada temanku: kata dosenku, orang yang banyak makan sayur akan lebih penyabar. Lalu ia menyahut: omong kosong. Ibuku doyan makan sayur, tapi ia tetap pemarah dan jago mengomel. Kubilang lagi: yah, kalau Ibu-Ibu sih, nggak usah terlalu banyak berharap. Dia adalah ras terkuat di bumi. Katanya: sekarang aku paham kenapa perempuan dianggap sebagai makhluk yang selalu benar. Kami berdua tertawa—kemudian mengalirlah cerita tentang kekonyolan sekaligus tingkah ajaib Ibu-Ibu kami dan Ibu-Ibu kompleks yang lain, yang semakin meyakinkan bahwa pepatah bahwa Ibu adalah ras terkuat di bumi nyatanya memang benar.

Meski begitu, ia tetap makan tanpa penyesalan, kata temanku ketika ia kembali lagi menceritakan tentang Bapaknya. Tak lagi usaha cari kerja setelah bisnisnya bangkrut, tetap tak beri nafkah istrinya, tak bicara bahkan pada anak-anak dan bininya, tak menegur dan menyapa, ia benar-benar seonggok daging bernyawa yang hidup seperti pertapa. Tak ada nasehat, tak ada makian, yang ada hanya hening dan permenungan yang lama dan lamat.

Semua orang tua akan begitu juga akhirnya, kata temanku yang lain. Ah, tidak juga. Ibuku walaupun sudah 55 tahun tetap bertenaga saat mengomeliku anak-anaknya, kataku. Perempuan mungkin bertaubat secara terlambat dibanding lelaki, kata temanku si Utra yang bapaknya suka mabuk miras oplosan.

Iseng aku bertanya, apa kiranya yang bikin mereka seolah taubat begitu? Apa dia sadar perbuatannya dulu? Kalau sadar kenapa tak minta maaf?

Temanku yang suka membaca dan paling pintar di antara kami, menjawab dengan santai, “Ah, jangan berlebihan. Testosteron mereka cuma turun, bukan karena ingin dekat dengan Tuhan, apalagi sadar kesalahannya yang dulu-dulu.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Komedi
Cerpen
Testosteron
Ida Ayu Saraswati
Komik
BEBEH DAN BEBIH (Lika-liku laki bini)
Andy widiatma
Flash
Bronze
Pesawat Terbang Pembawa Kejutan
Siti rokhmah
Cerpen
Bronze
Nenek ku Super
Novita Ledo
Flash
A Girl and A Thief
Fann Ardian
Flash
Perguruan Silat
Nunik Farida
Flash
Ghina, Ayo Move On!
Yooni SRi
Flash
Bronze
06:10
Sunarti
Cerpen
Bronze
Bos 100 Dolar
hidayatullah
Cerpen
Bronze
Tetangga Berisik
Rama Sudeta A
Cerpen
Dinul Making Love
Annisa Putry
Flash
Asap Rokok, Kopi dan Pisang Goreng
Aneidda
Flash
Bronze
Salome
Sunarti
Komik
AdVentuRama
khusnul rahmawati
Flash
Gema Piano di Rumah Tua
Lukitokarya
Rekomendasi
Cerpen
Testosteron
Ida Ayu Saraswati
Cerpen
Risalah Cinta
Ida Ayu Saraswati
Cerpen
Smoke
Ida Ayu Saraswati
Cerpen
Tamu yang Tak Pernah Datang
Ida Ayu Saraswati
Cerpen
Undressed
Ida Ayu Saraswati
Cerpen
Guess The Next
Ida Ayu Saraswati
Cerpen
Di Balik Kacamata Hitam
Ida Ayu Saraswati
Cerpen
Love at Second Sight
Ida Ayu Saraswati
Cerpen
Riak Berjarak
Ida Ayu Saraswati
Cerpen
The Sketch
Ida Ayu Saraswati