Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
TERTAWAN SANG KETOS
0
Suka
1,063
Dibaca

Matahari siang membakar ubun-ubun, mengirimkan gelombang panas yang memuakkan ke setiap sudut sekolah. Hiruk pikuk Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah, atau yang lebih akrab disebut MPLS, mencapai puncaknya. Ratusan murid baru, berseragam putih-abu, tumpah ruah di lapangan basket, antre mengular panjang demi selembar tanda tangan dari para ketua OSIS dan ketua ekstrakurikuler. Suara riuh rendah memenuhi udara, bercampur tawa dan rengekan lelah.

Di tengah semua kekacauan itu, Fano, si Ketua OSIS berwibawa yang namanya sudah melegenda, mencoba mempertahankan ketenangannya. Kemeja putihnya sedikit lepek oleh keringat, namun rahangnya tetap terkatup rapat, menampilkan aura kepemimpinan yang tak tergoyahkan. Tangan kanannya bergerak lincah membubuhkan tanda tangan di buku-buku MPLS yang disodorkan. "Nama?" tanyanya berulang kali, suaranya mantap, walau di dalam benaknya ia merutuk lelah. Rapat OSIS semalam suntuk telah menguras energinya, dan pagi yang melelahkan ini terasa tak ada habisnya.

Sejenak, di antara puluhan wajah baru yang bersemangat namun kelelahan, pandangannya terhenti. Di sudut lapangan, di bawah rindangnya pohon mangga yang daunnya rimbun, ada seorang gadis. Ia duduk bersandar santai, kakinya disilangkan, seolah tak terganggu sedikit pun oleh keramaian. Rambut hitamnya tergerai melewati bahu, memantulkan kilau matahari. Wajahnya yang mungil dan imut terkesan cuek, matanya menatap entah ke mana, sama sekali tidak ikut berebut tanda tangan seperti siswa lain. Di sebelahnya, seorang gadis lain yang lebih tinggi dan lebih ramai, sepertinya kakaknya, ChaCha, sibuk tertawa terbahak-bahak sembari memainkan ponsel.

Fano merasakan sesuatu menghantam dadanya. Bukan lelah, tapi sebuah sensasi aneh yang menggelitik, menjalar hangat di pembuluh darahnya. Jantungnya berdebar, sedikit lebih cepat dari biasanya. Ia mencoba mengalihkan pandangan, kembali fokus pada tumpukan buku di depannya, tetapi matanya seolah terpaku pada sosok gadis pendiam itu. Rayya. Nama itu terlintas begitu saja di benaknya, entah mengapa ia yakin sekali.

"Fano, lo kenapa bengong?" Suara Devan, Wakil Ketua OSIS, membuyarkan lamunannya.

"Eh, nggak apa-apa. Lanjut, lanjut," Fano berdeham, pipinya sedikit memanas. Ia merasa canggung, seperti seorang bocah yang tertangkap basah melamun di tengah pelajaran. Aura wibawa yang susah payah ia bangun seolah runtuh begitu saja hanya karena tatapan seorang gadis.

Rayya sendiri, yang sedang menikmati semilir angin sepoi-sepoi di bawah pohon, sebenarnya menangkap sekilas tatapan Fano. Ia merasa sedikit terusik, seperti ada sepasang mata elang yang mengawasinya. Gadis itu lantas menunduk, pura-pura tidak peduli, sibuk dengan pikirannya sendiri. "Cih, Fano itu kaku banget kayak kanebo kering. Dingin. Nggak usah ikutan desak-desakan, deh," gumamnya dalam hati. Ia memang sengaja tidak ikut mengantre. Baginya, Fano si Ketua OSIS populer itu terlalu formal, terlalu sempurna, dan karenanya, terasa jauh dan membosankan.

ChaCha yang sedari tadi cekikikan melihat konten lucu di ponselnya, akhirnya melirik adiknya. "Rayya, lo nggak mau ikutan ngantre, tuh? Nanti nggak dapat tanda tangan Fano, lho. Padahal dia ganteng banget, lho."

Rayya mendengus. "Ngapain? Nggak penting banget. Mending duduk di sini, adem." Dia menggeliat, mencari posisi duduk yang lebih nyaman. Meskipun dalam hati ia mengakui kalau Fano memang memiliki karisma. Namun, karisma itu terasa seperti lapisan es yang sulit ditembus.

Fano di sisi lain, masih terus menandatangani buku MPLS, namun otaknya bekerja lebih keras. Ia ingin tahu lebih banyak tentang gadis pendiam berparas ayu itu. Siapa namanya? Kelas berapa? Ia merasakan dorongan kuat untuk mendekati, untuk bicara dengannya. Namun, bayangan statusnya sebagai Ketua OSIS dan reputasinya sebagai cowok berwibawa membuatnya ragu. Terlalu banyak mata yang mengawasi.

Keramaian di lapangan perlahan mereda. Murid-murid baru berangsur bubar setelah mendapatkan tanda tangan yang mereka buru. Fano menghela napas lega. Devan menepuk pundaknya.

"Kita balik ke ruang OSIS, Fan. Capek banget sumpah," ujar Devan.

"Duluan aja, gue mau ambil minum dulu di kantin," Fano beralasan, padahal ia hanya ingin melihat ke arah pohon mangga sekali lagi. Namun, ketika ia menoleh, tempat Rayya duduk sudah kosong. Gadis itu sudah pergi, meninggalkan jejak kekaguman yang membara di hati Fano. Kekaguman yang kini berubah menjadi penasaran. Ia bertekad, ia harus tahu siapa gadis itu.

Beberapa hari kemudian, sekolah kembali ke rutinitas normalnya. MPLS sudah selesai, dan kegiatan belajar mengajar dimulai. Hari itu, jam pelajaran Sejarah di kelas X1 tiba-tiba saja digantikan. Sebuah pengumuman dadakan dari guru piket membuat seluruh siswa bertanya-tanya. Siapa yang akan mengajar?

Pintu kelas terbuka, dan di sana, berdiri Fano. Bukan sebagai Ketua OSIS dengan seragam lengkap, melainkan sebagai pemateri yang rapi, membawa setumpuk buku dan laptop. Wajahnya memancarkan aura percaya diri yang memukau. Suara gumaman antusias menyambutnya. "Wah, Kak Fano!" bisik beberapa siswi.

Rayya yang semula sibuk mencoret-coret buku catatannya, mengangkat kepala. Matanya membelalak kaget. Fano? Di kelasnya? Ia merasakan detak jantungnya berpacu lebih kencang. Dalam hati, ia mendesah. Kenapa harus Fano? Ia masih tak nyaman dengan tatapan “elang” pria jangkung itu.

Fano melangkah maju, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Selamat pagi semuanya. Saya Fano, Ketua OSIS, dan hari ini saya akan membantu kalian dalam pengenalan mata pelajaran. Kita mulai dari Sejarah." Suaranya terdengar berwibawa, namun juga ramah. Ia menjelaskan materi dengan gaya yang interaktif dan mudah dipahami, sesekali melempar lelucon ringan yang disambut tawa seluruh kelas.

Rayya mendengarkan dengan saksama. Jujur, ia terkesan. Fano memang pantas menjadi Ketua OSIS. Ia cerdas, cara bicaranya runtut, dan pengetahuannya luas. Sedikit demi sedikit, kesan "dingin" yang ia cap pada Fano mulai meluntur. Ada percikan kagum yang tumbuh, meski ia mati-matian menampiknya. Ia melihat Fano bukan hanya sebagai sosok berwibawa, tapi juga seorang pribadi yang menarik.

Saat sesi tanya jawab dimulai, Fano berkeliling kelas, matanya menyapu setiap wajah. Ia berhenti sejenak, tatapannya jatuh pada Rayya yang duduk di bangku ketiga dari depan, di dekat jendela. Gadis itu, yang sedari awal diam seribu bahasa, kini terlihat sedikit tersipu. Ada rona merah tipis di pipinya.

Fano merasakan dadanya kembali berdesir. Ini dia, Rayya. Gadis yang terus menghantuinya sejak MPLS.

"Ada pertanyaan?" tanya Fano, suaranya sedikit lebih lembut dari sebelumnya, seolah hanya ditujukan kepada gadis itu.

Rayya yang merasa tertangkap basah, langsung menundukkan kepalanya. Ia tidak berani membalas tatapan Fano, sepasang mata elang yang kini terasa menelanjangi pikirannya. Rasanya ada jutaan kupu-kupu beterbangan di perutnya. Malu, sangat malu. Ia memilin ujung pulpennya, berharap bisa menghilang saja dari muka bumi.

Fano melihat reaksi Rayya. Ia sedikit kecewa. Kenapa gadis itu selalu menghindarinya? Kenapa ia begitu pendiam? Apakah ada yang salah dengan dirinya? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi benaknya, membuatnya semakin penasaran dan sedikit gelisah. Ia ingin Rayya berinteraksi, mengeluarkan suaranya, menunjukkan bahwa ia juga tertarik.

Beberapa siswa lain mengangkat tangan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar mata pelajaran Sejarah. Fano menjawabnya dengan sabar dan lugas, namun sebagian dari pikirannya masih tertuju pada Rayya. Sesekali, ia melirik gadis itu, berharap Rayya akan mengangkat kepalanya dan menatapnya. Namun, Rayya tetap menunduk, seperti patung yang diukir dengan kesabaran.

"Baik, kalau tidak ada pertanyaan lagi, saya rasa cukup sekian untuk hari ini," Fano menutup sesinya. Senyum tipisnya kembali merekah. "Semangat belajar, adik-adik."

Ketika Fano berjalan keluar kelas, langkahnya terasa berat. Ia masih memikirkan Rayya. Ia ingin mendekati gadis itu, setidaknya untuk berbasa-basi. Tapi bagaimana? Aura wibawanya di depan siswa lain seolah menjadi dinding pembatas yang tak bisa ia lewati saat berhadapan dengan gadis itu. Ia harus mencari cara lain. Sebuah cara yang tidak terkesan formal atau mengintimidasi.

Rayya, setelah Fano benar-benar keluar dari kelas, baru berani mengangkat kepalanya. Ia menghela napas lega, namun hatinya masih berdebar kencang. Tatapan Fano tadi... rasanya begitu intens. Ia tidak bisa menyangkal kalau Fano memang memiliki daya tarik yang kuat. Namun, rasa malu dan canggungnya lebih dominan. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk sebisa mungkin menghindari Fano.

Bel pulang sekolah berdering nyaring, memekakkan telinga, pertanda berakhirnya aktivitas hari itu. Seperti lautan yang tiba-tiba pasang, siswa-siswi berhamburan keluar kelas, berebutan menuju gerbang, seolah dikejar setan. Koridor yang tadinya sepi, kini penuh sesak dengan tawa, teriakan, dan langkah kaki tergesa-gesa.

Rayya, seperti biasa, agak tertinggal. Ia tidak suka terburu-buru. Setelah merapikan buku-bukunya, ia bangkit dari kursi, melirik teman-temannya yang sudah melesat keluar. "Dasar," gumamnya, tersenyum kecil. Ia bergegas menyusul, namun di pertengahan koridor, ia menyadari sesuatu. ChaCha, kakaknya, sudah lebih dulu pulang. Pasti sudah dijemput pacarnya, Haris. Rayya menghela napas panjang. Ia harus menunggu angkot, atau mungkin bis.

Kelasnya kini kosong melompong. Rayya melangkah pelan, memandangi bangku-bangku yang ditinggalkan. Ada rasa sepi yang tiba-tiba menyergap. Ia merogoh ponselnya, berniat mengirim pesan pada ChaCha, namun sinyal ponselnya entah mengapa sangat lemah.

Tiba-tiba, sebuah bayangan tinggi menutupi ambang pintu kelas. Rayya mengangkat kepalanya, jantungnya langsung melompat ke tenggorokan. Di sana, berdiri Fano, bersandar santai di kusen pintu, dengan seulas senyum tipis yang tak biasa ia perlihatkan di sekolah. Sorot matanya yang biasanya tajam, kini tampak lebih lembut.

"Belum pulang, Rayya?" tanya Fano, suaranya rendah dan sedikit bergetar. Ia berusaha mati-matian agar suaranya terdengar normal. Fano sendiri sengaja menunggu Rayya di koridor, berharap bisa menemukan kesempatan emas seperti ini. Ia melihat ChaCha pulang bersama Haris, dan tahu bahwa Rayya akan sendirian. Ini adalah kesempatannya.

Rayya terkejut bukan kepalang. Ia merasa canggung, kelu, lidahnya mendadak terasa keluh. "Eh, i-iya Kak," jawabnya tergagap. "Kak ChaCha udah pulang duluan."

Fano melangkah mendekat, perlahan, seolah tak ingin membuat gadis di hadapannya terkejut. "Mau bareng?" tanyanya, menunjuk ke arah gerbang sekolah dengan dagunya. "Aku mau pulang juga. Kebetulan searah."

Rayya mematung. Pikirannya kalut. Bareng? Dengan Fano? Ketua OSIS yang paling populer? Ia membayangkan bagaimana rasanya duduk di samping Fano, berdua saja. Pasti sangat canggung. Tapi... ia juga tidak punya pilihan lain. Angkot akan sangat lama, dan bus biasanya penuh. Apalagi saat jam pulang sekolah.

"Gimana?" Fano mengulangi pertanyaannya, senyumnya kini sedikit lebih lebar, berusaha menyembunyikan kegugupan yang melandanya. Tangannya sedikit gemetar saat ia memasukkan kedua tangannya ke saku celana.

Rayya menghela napas. Ia menatap wajah Fano, mencari celah keraguan. Tapi yang ia lihat hanyalah ketulusan. "B-boleh deh, Kak," jawabnya, suaranya nyaris berbisik, diakhiri dengan anggukan malu-malu. Pipinya sudah merah padam.

Fano merasakan gelombang kebahagiaan menyelimuti dirinya. Ini adalah kemajuan! "Oke, yuk," ajaknya, gesturnya menunjukkan agar Rayya jalan duluan.

Mereka berjalan beriringan menuju parkiran. Suasana canggung menyelimuti keduanya. Fano mencoba memulai percakapan. "Gimana pelajaran hari pertama? Seru?"

Rayya mengangguk. "Seru, Kak. Walaupun agak kaget Kak Fano jadi pemateri," ia mengakui, matanya melirik sekilas ke arah Fano, lalu kembali menunduk.

"Oh ya?" Fano tersenyum. "Kenapa kaget?"

"Kirain Kak Fano galak banget," Rayya menggigit bibirnya, menyesali ucapannya.

Fano tertawa kecil. Tawa yang jarang ia dengar. Tawa itu membuat Rayya sedikit terkesiap. "Aku nggak segalak yang kamu kira, kok. Cuma berusaha profesional aja," ujarnya.

Mereka tiba di parkiran. Fano mengeluarkan kunci motornya, sebuah motor sport hitam yang mengkilat. Ia menawari helm pada Rayya. Rayya memakainya dengan sedikit kesulitan. Fano dengan sigap membantu mengencangkan tali pengikatnya, jari-jari mereka bersentuhan sesaat. Sengatan listrik kecil terasa. Rayya langsung menarik tangannya, pipinya semakin merona.

"Udah, pegangan aja," Fano menyuruh, sedikit tersenyum saat Rayya melingkarkan tangannya dengan malu-malu di pinggangnya.

Perjalanan pulang terasa begitu singkat, namun begitu penuh makna. Meskipun hanya ada sedikit percakapan, keberadaan Fano di sampingnya, sentuhan tangannya yang membantu mengencangkan helm, dan tawaran tumpangan, telah mengubah pandangan Rayya. Fano tidak sedingin yang ia kira. Justru ada kehangatan yang tak terduga.

Fano mengantar Rayya sampai depan rumahnya. "Makasih ya, Kak," ucap Rayya, suaranya lebih percaya diri.

"Sama-sama. Hati-hati ya," Fano tersenyum tulus. Ia melihat Rayya masuk ke halaman rumahnya, lalu gadis itu melambaikan tangan sebelum menutup pintu. Fano balas melambaikan tangan. Di dalam benaknya, ia sudah merencanakan langkah selanjutnya. Ia harus mendapatkan nomor telepon Rayya.

Sejak kejadian pulang bareng tempo hari, pikiran Fano dipenuhi oleh satu tujuan: mendapatkan nomor telepon Rayya. Ia tahu harus segera bertindak sebelum momentum kebersamaan itu hilang begitu saja. Setiap malam, ia membayangkan bagaimana cara terbaik untuk meminta nomor itu tanpa terkesan terlalu agresif atau canggung. Gugup? Tentu saja. Fano si Ketua OSIS yang berani berpidato di depan ribuan orang, yang bisa memimpin rapat dengan puluhan anggota, mendadak jadi pengecut saat berhadapan dengan Rayya.

Akhirnya, ia memutuskan untuk menggunakan jalur "orang dalam". Siapa lagi kalau bukan ChaCha, kakak Rayya yang terkenal supel dan jahil.

Fano mencari ChaCha di kantin sekolah saat jam istirahat. Gadis itu sedang asyik makan bakso dengan teman-temannya, tawanya riuh rendah.

"ChaCha," Fano mendekat, suaranya berusaha santai.

ChaCha mendongak, matanya memicing. "Eh, Kak Fano. Tumben mampir ke sini? Cari siapa?" Ia sudah tahu arah pembicaraan ini akan kemana. Rayya sudah bercerita tentang insiden pulang bareng itu, dan ChaCha tahu adiknya mulai merasakan sesuatu terhadap Ketua OSIS yang *cool* itu.

"Ini, aku mau nanya," Fano menggaruk tengkuknya yang tak gatal, sedikit salah tingkah. "Nomornya Rayya..."

ChaCha tersenyum lebar, senyum penuh arti yang membuat Fano makin gugup. "Nomor Rayya? Wah, udah maju juga ya, Ketua OSIS. Pulang bareng, sekarang ngejar nomor telepon." ChaCha sengaja menggoda, menikmati ekspresi Fano yang memerah.

"Bukan gitu, Cha. Ini buat koordinasi aja, kan Rayya junior baru. Jadi biar gampang kalau ada info penting dari OSIS," Fano berusaha mencari alasan yang masuk akal, meskipun ia tahu ChaCha tidak akan semudah itu percaya.

ChaCha mengangkat sebelah alisnya. "Oh ya? Yakin cuma buat koordinasi? Bukan karena kamu terpikat sama adek aku yang imut itu?"

Fano terdiam. Pipi Fano semakin memerah. Ia menghela napas. "Oke, jujur. Aku... tertarik sama Rayya." Akhirnya ia mengakui perasaannya.

ChaCha mengulum senyum. "Nah gitu dong, jujur. Tapi maaf ya, Kak Fano. Aku nggak bisa kasih sembarangan nomor adekku."

Fano terkejut. "Lho, kenapa?"

"Ya karena itu, Kak Fano harus berani dong! Kalau mau sesuatu, harus usaha sendiri. Minta langsung sama Rayya. Buktikan kalau kamu memang serius," ChaCha menantang, matanya berbinar jahil. "Lagipula, kan kamu ketua OSIS. Masa minta nomor telepon aja nggak berani?"

Fano merasa tertohok. ChaCha benar. Ia harus lebih berani. Tapi, meminta langsung pada Rayya? Jantungnya mendadak berdebar kencang lagi.

"Oke," Fano menghela napas. "Oke, aku coba."

Sepanjang sisa jam istirahat dan beberapa jam pelajaran berikutnya, Fano terus memikirkan cara untuk mendekati Rayya. Ia melatih dialog di kepalanya, mencari momen yang tepat. Jantungnya berdebar-debar seperti genderang perang setiap kali ia melihat Rayya di koridor. Ia merasa ini seperti misi rahasia yang paling berbahaya.

Akhirnya, kesempatan itu datang saat jam pulang sekolah. Rayya sedang bercanda ria dengan beberapa teman barunya di depan loker. Tawa kecil Rayya terdengar renyah, membuat hati Fano sedikit melunak. Ia merasa inilah saatnya. Sekarang atau tidak sama sekali.

Fano menarik napas dalam-dalam, mengencangkan genggaman pada ranselnya. Dengan langkah mantap yang dibuat-buat, ia mendekati mereka. Teman-teman Rayya langsung terdiam, menyadari kehadiran Fano. Rayya sendiri, yang sedang tertawa, langsung berhenti, senyumnya memudar, digantikan ekspresi terkejut dan sedikit malu.

"Rayya," sapa Fano, suaranya entah mengapa terdengar agak serak.

"I-iya, Kak Fano?" jawab Rayya, menunduk, pipinya merona.

"Bisa minta nomor telepon kamu?" Fano bertanya langsung, tanpa basa-basi lagi. Ia memutuskan untuk tidak memakai alasan "koordinasi OSIS" lagi. Keberanian ChaCha telah membakar semangatnya.

Rayya mematung. Teman-temannya saling melirik, tersenyum jahil. Ia tidak menyangka Fano akan seberani ini. Fano sang Ketua OSIS yang selama ini terkesan kaku dan dingin, kini meminta nomor teleponnya secara terang-terangan.

"Um..." Rayya gugup, matanya berkeliaran, mencari jalan keluar.

"Biar kalau ada apa-apa bisa minta bantuan, atau aku bisa kabarin kalau ada info penting," Fano menambahkan, kembali menggunakan alasan yang lebih "aman," tapi kini dengan nada yang lebih tulus.

Rayya menatap mata Fano. Tatapan mata elang itu tidak lagi mengintimidasi, justru penuh harap. Ia melihat ketulusan di sana. Rasa malu masih menyelimutinya, namun ada kelegaan yang tiba-tiba datang. Fano ternyata tidak sedingin yang ia kira. Ia merasakan degup jantungnya sendiri.

"Oke," Rayya akhirnya mengangguk, lalu menyebutkan deretan angka ponselnya dengan suara pelan. Teman-temannya cekikikan.

Fano mencatatnya cepat di ponselnya, berusaha mati-matian menutupi kegirangan luar biasa yang meledak di dalam dadanya. "Makasih, Rayya," ucapnya, senyumnya merekah tulus. Senyum yang jarang sekali ia tunjukkan di hadapan umum.

Setelah mengucapkan salam, Fano segera berbalik dan melangkah pergi, berusaha mempertahankan ketenangannya sampai ia berada cukup jauh. Begitu ia berbelok di sudut koridor, ia langsung meluapkan kegirangannya. Ia mengepalkan tangannya di udara, melompat kecil, nyaris berteriak kegirangan. "Yes! Akhirnya!"

Nomor telepon Rayya kini ada di genggamannya. Jembatan penghubung itu sudah terbangun.

Malam harinya, di rumah Rayya, suasana terasa damai. Lampu ruang tamu meredup, hanya menyisakan cahaya lembut dari lampu meja. Rayya sedang duduk di sofa, asyik membaca novel fantasi kesukaannya, sementara ChaCha menonton drama Korea di televisi, sesekali tertawa terbahak-bahak.

Tiba-tiba, ponsel Rayya yang tergeletak di meja berdering nyaring. Getarannya terasa hingga ke sofa. Rayya melirik layar, matanya membelalak kaget. Nama Fano terpampang jelas di sana. Jantungnya langsung berpacu, berdegup tak karuan. Ia merasakan sensasi geli di perutnya.

"Siapa, Rayya?" tanya ChaCha, tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi.

Rayya tergagap, "Itu... Kak Fano."

ChaCha langsung menoleh, senyum jahil langsung tersungging di bibirnya. "Oh, Kak Fano. Sini, biar Kakak yang angkat." Sebelum Rayya sempat menolak, ChaCha sudah meraih ponsel itu dan menekan tombol hijau.

"Halo?" ChaCha membuka percakapan, suaranya sengaja dibuat melengking.

Di ujung telepon, Fano terdiam sejenak. Suara perempuan itu bukan Rayya. "Eh, ChaCha ya? Ini Fano."

"Iya, Kak Fano. Rayya lagi sibuk banget, nih," ChaCha menjeda, matanya melirik Rayya yang sudah pucat pasi. "Sibuk keselek biji salak, sampai batuk-batuk nggak berhenti."

Rayya melotot pada kakaknya, namun ChaCha hanya mengedipkan mata, menahan tawa.

Fano di seberang sana tergelak. "Astaga, seriusan, Cha? Ada-ada aja. Sini biar aku ngobrol sama Rayya sebentar."

ChaCha tertawa kecil. "Oke deh, kalau gitu. Bentar ya, Kak Fano." Ia memberikan ponsel pada Rayya. "Nih, adek cantik. Ada yang mau ngomong sama kamu."

Rayya menerima ponsel itu dengan tangan gemetar. Ia menempelkannya ke telinga, wajahnya panas dingin. ChaCha sengaja duduk tak jauh, telinganya dipasang lebar-lebar.

"Halo?" Rayya berbisik, suaranya nyaris tak terdengar.

"Halo, Rayya. Kamu baik-baik aja? Nggak beneran keselek biji salak, kan?" Fano bertanya, masih ada sisa tawa di suaranya.

Rayya merasa sedikit lega. "Nggak, Kak. Kak ChaCha cuma iseng aja," jawabnya, sedikit lebih berani.

"Oh, syukur deh. Aku kira beneran. Aku cuma mau nanya, tugas kelompok Bahasa Inggris udah mulai belum?" Fano memulai percakapan, mencoba terlihat santai.

Dan dari sanalah, percakapan mereka mengalir begitu saja. Dari tugas sekolah, obrolan mereka merambah ke hal-hal yang lebih pribadi. Mereka berbicara tentang pelajaran yang paling disukai dan yang paling dibenci, tentang makanan favorit, tentang lokasi liburan impian, bahkan tentang kegiatan apa yang mereka lakukan di akhir pekan. Fano menceritakan kesibukannya di OSIS, dan Rayya berbagi cerita tentang hobinya membaca novel dan menggambar sketsa.

Fano, yang awalnya gugup, merasa senang luar biasa. Rayya ternyata bukan gadis pendiam yang kaku. Ketika ia mulai nyaman, suara Rayya menjadi lebih ceria, tawanya renyah, dan ia bahkan sesekali melempar lelucon. Fano bisa mendengar senyum di suara Rayya.

"Aku suka banget deh masakan Mama. Apalagi sambal terasinya," Rayya bercerita, suaranya antusias.

"Wah, kebetulan aku juga suka pedes. Nanti kapan-kapan boleh dong cobain masakan Mama kamu," Fano menimpali, tawanya renyah.

"Boleh aja, Kak," Rayya tersipu, membayangkan Fano makan masakan ibunya.

ChaCha, yang sedari tadi mengupin dari balik dinding, tersenyum lebar. Ia melihat adiknya, yang biasanya tertutup dan pemalu, kini berbicara dengan bebas dan nyaman dengan Fano. Senyum Rayya terlihat begitu tulus. ChaCha tahu, inilah saatnya Rayya membuka diri.

Lebih dari satu jam mereka berbicara. Percakapan itu terasa begitu singkat, namun begitu penuh makna. Fano tidak lagi merasa Rayya dingin. Di balik sikap cuek dan malu-malunya, ada gadis yang hangat, cerdas, dan menyenangkan. Koneksi yang ia harapkan akhirnya terbentuk. Ia merasa lega dan bahagia.

"Udah malem nih, Ray. Jangan tidur terlalu larut, ya," Fano mengakhiri percakapan. "Besok sekolah."

"Iya, Kak Fano. Kakak juga ya. Makasih udah nelpon," ucap Rayya, suaranya kini penuh kehangatan.

"Sama-sama, Rayya. Sampai ketemu besok," Fano membalas.

Setelah panggilan terputus, Rayya masih memegang ponselnya, senyum manis terukir di bibirnya. Ia merasa melayang. Fano tidak hanya berwibawa, ia juga perhatian, dan obrolannya sangat menyenangkan. Kesan "dingin" itu sudah sepenuhnya pudar. Ia menyadari, ia mulai tertarik pada Fano. Ketertarikan yang membuat hatinya berdebar-debar setiap kali nama pria itu disebut.

Setelah obrolan telepon yang panjang dengan Fano, Rayya masih diselimuti perasaan campur aduk. Ada kegembiraan yang membuncah, tapi juga kegelisahan yang menggerogoti sudut hatinya. Ia melangkah ke kamar ChaCha, kakaknya yang sedang sibuk memilih baju untuk besok.

"Kak ChaCha," panggil Rayya pelan, duduk di tepi tempat tidur kakaknya.

ChaCha menoleh. "Kenapa, Dek? Habis telponan sama Kak Fano kok mukanya kayak udang rebus?" Ia menggoda, sambil melempar sepotong kaus ke keranjang cucian.

Rayya mendesah, wajahnya semakin merona. "Aku... aku mau nanya sesuatu."

ChaCha berhenti dari aktivitasnya, menatap adiknya serius. Ia tahu ini bukan pertanyaan biasa. "Nanya apa? Kok serius banget?"

Rayya menunduk, memainkan ujung bantal. "Kak Fano... dia kan dulu pernah pacaran sama Putri Duta Besar, ya?"

ChaCha mengangkat sebelah alisnya. "Oh, itu. Iya, emang kenapa? Kamu denger dari mana?"

"Dari anak-anak di sekolah. Jadi, aku... aku takut aja, Kak," Rayya berbisik, suaranya dipenuhi keraguan. "Aku takut cuma jadi pelarian Kak Fano. Aku kan bukan siapa-siapa, cuma murid baru biasa. Dia kan Ketua OSIS, populer banget." Ia merasa *insecure*, perbandingan antara dirinya dan mantan Fano yang seorang Putri Duta Besar terasa begitu jauh.

ChaCha tersenyum lembut, lalu menggeser tubuhnya mendekati Rayya, merangkul bahu adiknya. "Dengerin Kakak baik-baik, Rayya. Kakak kenal Fano udah cukup lama. Dia itu tipe cowok yang nggak main-main kalau udah sayang sama seseorang."

Rayya mengangkat kepala, menatap ChaCha dengan mata penuh harap.

"Dia memang punya masa lalu sama Putri Duta Besar itu, tapi itu kan udah lama banget. Udah bertahun-tahun yang lalu. Dan dari yang Kakak tahu, Fano itu cowok yang punya perasaan halus. Kalau dia deketin kamu, itu karena dia memang benar-benar tertarik sama kamu, bukan buat main-main atau pelarian," jelas ChaCha, suaranya menenangkan. "Dia bukan tipe cowok yang suka mempermainkan perasaan orang lain. Kalau udah sayang, dia serius."

Rasa lega menjalar di dada Rayya. Kata-kata ChaCha seperti embun di tengah gurun kekhawatiran. "Tapi... aku kan pendiam, Kak. Aku takut dia bosan."

ChaCha menggeleng. "Justru itu yang bikin dia penasaran sama kamu, Dek. Fano itu orangnya observatif. Dia suka hal-hal yang otentik. Kamu apa adanya aja. Nggak perlu pura-pura jadi orang lain buat dia." ChaCha mengelus rambut adiknya. "Lagipula, Kakak liat Fano itu tulus banget. Cara dia ngelihat kamu, cara dia ngomong sama kamu, itu beda sama pas dia ngobrol sama cewek lain."

Rayya memejamkan mata sejenak, mencerna setiap kata kakaknya. Keraguan yang tadi menghantui perlahan sirna, digantikan oleh keyakinan yang menguat. ChaCha selalu bisa melihat hal-hal yang tidak ia lihat. ChaCha adalah jembatan penghubung yang sempurna.

"Kamu jangan menyakiti hati Fano, ya, Dek," pesan ChaCha lagi, nadanya sedikit lebih srius. "Dia cowok baik. Kalau kamu memang punya perasaan juga, jangan ragu untuk menerimanya. Jangan sampai kamu menyesal nanti."

Rayya membuka mata, menatap ChaCha. Senyumnya kini tulus, tanpa beban. "Makasih, Kak. Aku jadi lega banget." Ia memeluk kakaknya erat.

Malam itu, Rayya tidur dengan hati yang jauh lebih tenang. *Insecure*nya tentang mantan Fano dan kekhawatirannya akan dijadikan pelarian telah lenyap. Kata-kata ChaCha memberinya kekuatan. Ia percaya pada penilaian kakaknya. Fano memang tulus. Dan ia, Rayya, tidak perlu takut lagi. Ia siap membuka hatinya untuk pria berwibawa namun canggung itu.

Keesokan harinya, koridor sekolah terasa lebih cerah. Rayya berjalan dengan langkah yang lebih ringan, senyum tipis sesekali tersungging di bibirnya. Percakapan semalam dengan ChaCha telah mengangkat beban berat dari pundaknya. Ia kini tahu apa yang harus ia lakukan, dan hatinya terasa jernih, penuh keyakinan.

Saat jam istirahat, ponsel Rayya bergetar di dalam tasnya. Sebuah pesan masuk dari Fano.

*Fano: Rayya, nanti siang ada waktu nggak? Aku mau ngomong sesuatu.*

Jantung Rayya berdebar, namun kali ini bukan karena gugup, melainkan karena antusiame. Ia membalas pesan Fano, mengatakan bahwa ia ada waktu.

Mereka bertemu di kantin yang agak seepi. Fano terlihat sedikit lebih rap dari biasanya, rambutnya disisir ke samping, kemejanya licin tanpa kerutan. Ia berdiri di hadapan Rayya, kedua tangannya mengepal di samping tubuhnya, jelas terlihat gugup.

"Rayya," Fano memulai, suaranya sedikit gemetar. "Aku... aku mau ngajak kamu jalan."

Rayya menatapnya, bibirnya membentuk senyuman kecil. "Jalan kemana, Kak?"

"Aku mau ajak kamu *double date*," Fano menjelaskan, "sama Nina dan Haris. Mereka mau ke Pantai Cemara akhir pekan nanti. Gimana, kamu mau ikut?"

Rayya merasakan kebahagiaan menyeruak. Ini adalah ajakan kencan. Sebuah langkah maju yang jelas. Setelah semua keraguan dan *insecure*nya, setelah percakapan panjang yang meyakinkan dengan ChaCha, Rayya merasa siap. Ia tidak lagi ingin menghindar. Ia ingin menerima Fano, menerima perasaannya sendiri.

Tanpa keraguan sedikit pun, Rayya mengangguk. Matanya berbinar cerah. "Iya, Kak Fano. Aku mau."

Senyum Fano langsung merekah lebar, senyum tulus yang selama ini jarang ia perlihatkan. Aura wibawanya seolah melunak, digantikan oleh ekspresi kelegaan dan kebahagiaan yang tak terbendung. "Seriusan?"

"Iya, serius," Rayya membalas, tawanya renyah. "Aku mau."

Fano merasa seperti memenangkan lotre jutaan dolar. Hatinya berbunga-bunga. Ini adalah jawaban yang ia impikan. "Oke, nanti aku kabarin detailnya ya. Pasti seru banget!"

Rayya mengangguk, ikut merasakan antusiasme Fano. Ia menantikan kencan itu. Ia yakin, Fano akan menyatakan perasaannya di Pantai Cemara nanti. Dan kali ini, ia tidak akan ragu lagi. Ia akan menerima Fano, sepenuhnya, dengan segala sisi berwibawa, canggung, dan tulusnya. Ini adalah awal dari sebuah kisah baru, kisah cinta pertamanya yang akan ia jalani dengan sepenuh hati.

Fano menatap Rayya, senyum di wajahnya tak pudar. Di balik tatapan elang yang selama ini selalu ia kenakan, kini tersimpan harapan. Harapan akan masa depan yang cerah bersama gadis pendiam yang telah berhasil meluluhkan hatinya. Sebuah kisah yang baru saja dimulai, menunggu untuk ditulis. 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Flash
Bronze
Kalau Air Bisa Bernyanyi untukmu...
Shabrina Farha Nisa
Cerpen
TERTAWAN SANG KETOS
ari prasetyaningrum
Flash
Bronze
Kenangan di Tepi Pantai
Mochammad Ikhsan Maulana
Cerpen
Bronze
Aku Mencintaimu Karena Allah
Sri asrianti
Novel
SANTRI SESAT dan TIGA BIDADARI
Dimas Midzi
Skrip Film
Ex-One
Catur SD
Flash
Serenade
Roy Rolland
Cerpen
Bronze
Kupu-kupu Kertas
Firmansyah Slamet
Novel
Bronze
Cinta Sekolah Menengah Pertama
Arumi Sekar
Novel
One Night Secret : Jodoh Untuk Sakina
Apple Cherry
Flash
Bronze
Cerita Kita
Nisa Amalia
Cerpen
Bronze
GADIS BALI DITANAH PASUNDAN (Kisah Cinta Yang Terulang)
MUCHAMAD FADHLI
Novel
REDIN
Salwa Shofiyatud Daliyah
Novel
V
Meidella Syahni
Flash
Balada Rindu Rahwana
Nur Rama Data Kapentas
Rekomendasi
Cerpen
TERTAWAN SANG KETOS
ari prasetyaningrum
Cerpen
PATAH HATI DI UJUNG ADAT
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
RAHIM TERLARANG
ari prasetyaningrum
Cerpen
ANTARA ANDIKA, ANNISA DAN AMALIA
ari prasetyaningrum
Cerpen
RESEP KEDUA AYU
ari prasetyaningrum
Cerpen
PAHIT GETIR CINTA
ari prasetyaningrum
Cerpen
BERLIAN YANG TERCAMPAK
ari prasetyaningrum
Cerpen
PELANGI USAI BADAI
ari prasetyaningrum
Cerpen
KASIH PUTIH DARI HINDUSTAN
ari prasetyaningrum
Cerpen
PERSAHABATAN YANG CULAS
ari prasetyaningrum
Cerpen
MENCINTAI KEKASIH KAKAK
ari prasetyaningrum
Cerpen
BERKHIANAT DEMI SI BULE
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
PETAKA BONEKA TERKUTUK
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
JALAN HIDAYAH DI BALIK SENJA
ari prasetyaningrum
Cerpen
KASIH TERPAUT DI DERMAGA CINTA
ari prasetyaningrum