Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Tersisa di Gaza
0
Suka
568
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Subuh di Gaza tidak pernah benar-benar gelap. Ada cahaya yang menggantung rendah di langit, seperti sisa mimpi yang enggan pergi. Suara azan mengalun dari kejauhan, lirih dan gemetar, seperti suara seseorang yang masih bertahan. Udara lembap, sejuknya menggigit lembut tulang, dan bau tanah basah masuk ke jendela rumah kami yang sedikit terbuka.

Aku duduk di tepi ranjang, menggenggam buku catatanku. Di halaman paling belakang, aku baru saja menulis satu kalimat:

“Kalau hari ini tenang, aku ingin berangkat sekolah tanpa takut.”

Itu harapanku pagi ini. Tidak lebih dari itu. Bukan harapan besar, bukan permintaan muluk. Hanya ingin berjalan ke sekolah tanpa suara drone di atas kepala. Ingin mendengar suara guru meski suaranya kerap tenggelam oleh derit besi dan dentum-dentum yang tak pernah diundang. Ingin melihat teman-temanku bercanda tanpa sembunyi di bawah meja.

Dan satu lagi harapan kecil yang paling kurindukan mendengar tawa adikku, Sami.

Sami baru lima tahun. Suaranya nyaring seperti burung kecil yang tak pernah lelah. Tapi sudah tiga hari ini ia lebih banyak diam. Matanya seperti lubang yang dalam dan tak bersuara. Kadang ia memeluk boneka robeknya, kadang hanya duduk memandangi pintu.

Ibu sedang menyiapkan roti. Tangannya cekatan, walau wajahnya pucat. Ia menyalakan kompor kecil yang nyalanya bergoyang oleh angin pagi. Ayah sudah keluar lebih dulu. Ia bekerja di toko roti di ujung jalan. Kadang pulang membawa dua roti bundar hangat dan sesekali senyuman yang lelah.

“Ayo, Ranim, cepat. Kau tak mau terlambat, bukan?” kata Ibu sambil menaruh roti di piring kaleng kami yang mulai penyok di pinggirnya.

Aku hanya mengangguk. Aku suka roti buatan ayah. Ada rasa hangat yang tidak bisa digantikan oleh apa pun. Aku tahu mungkin nanti tidak jadi berangkat sekolah. Tapi membayangkan hal itu saja sudah seperti seteguk air saat haus.

Sami duduk di pojok ruangan, menggambar dengan pensil yang sudah terlalu pendek. Aku melangkah mendekat dan mengusap kepalanya.

“Gambarin apa, Sam?”

“Langit,” jawabnya. “Tapi aku lupa warna birunya.”

Aku tercekat. Anak ini... bagaimana bisa mengucapkan hal sepedih itu dengan polos sekali?

Aku mendongak ke langit dari celah jendela. Warnanya bukan biru. Lebih seperti abu-abu yang capek. Langit di Gaza tidak pernah jernih. Tapi pagi ini lebih hening dari biasanya. Seperti sesuatu yang menahan napas.

Ibu mematikan kompor. “Kau sarapan dulu, Ranim. Aku mau siapkan baju adikmu.”

Aku mengangguk. Tapi kemudian aku menatap wajahnya lebih lama. Ada guratan cemas yang berusaha ia tutupi. Seperti seseorang yang tahu badai akan datang tapi tetap menyisir rambut anaknya dengan rapi.

Aku menyendok roti perlahan. Di luar, jalanan sepi. Hanya ada satu dua suara pintu yang dibuka dan ditutup tergesa. Aku memperhatikan daun pintu yang bergoyang tertiup angin. Rasanya seperti seluruh dunia sedang menunggu sesuatu. Bukan sesuatu yang baik.

Lalu suara itu datang.

Suara pertama gemuruh rendah, seperti dada langit berdeham keras. Diikuti dentuman. Aku tidak tahu dari arah mana. Tapi jendela bergetar, dan cangkir kecil di meja berdering sendiri.

Ibu berhenti. Ia memandang ke luar. Tak berkata apa-apa.

Sami berlari ke arahku dan memeluk kakiku. Aku membungkuk, memeluknya kembali.

Dentuman kedua datang, lebih dekat. Bumi seperti tersandung. Lemari tua di pojok ruangan mengeluarkan suara retak. Lampu yang menggantung di langit-langit bergoyang pelan.

Langit menyala. Bukan merah yang hangat seperti matahari terbit. Tapi oranye tajam, seperti luka yang terbuka. Cahaya itu datang dari timur laut. Dari arah sekolahku.

Ibu menarik Sami ke pelukannya. “Kita harus masuk ke bawah,” katanya. Ia menunjuk lorong sempit yang mengarah ke tempat perlindungan kecil di bawah tangga. Tapi bahkan suara ibu tak bisa mengalahkan detak jantungku sendiri yang makin keras.

Aku berlari ke kamarku, mengambil buku catatanku. Aku tak bisa pergi tanpa itu. Bukan karena penting tapi karena di dalamnya ada semua yang belum sempat aku katakan.

Saat aku kembali, dentuman ketiga terdengar.

Dunia seperti dilipat.

Langit menyala.

Dan pagi itu berhenti menjadi pagi.

***

Gelap itu bukan seperti malam. Ia lebih pekat, lebih berat, seperti sesuatu yang menindih dari segala arah. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku di sini. Di bawah batu-batu yang merapat seperti mulut yang tak mau lagi bicara. Di sela debu yang terasa seperti pasir di lidah. Dunia seperti dikecilkan menjadi ruang satu meter persegi yang pengap dan bau darah.

Aku tidak bisa banyak bergerak. Kakiku terjepit di antara dua balok beton. Satu sisi tubuhku kesemutan, sisi lain terasa seperti bukan milikku. Tapi aku masih hidup. Itu saja yang bisa kupastikan.

Ada suara lain di dekatku. Napas. Bukan milikku.

"Masih... di situ?"

Suara kecil, pecah. Laki-laki. Aku menoleh pelan, dan samar kulihat wajah bocah kecil dalam cahaya samar dari celah puing. Tangannya berlumur abu. Mata kirinya lebam.

"Iya... aku di sini," jawabku lirih.

Ia mengangguk. Pelan sekali. Lalu batuk. Darah keluar sedikit dari sudut bibirnya.

"Namaku Yusuf," katanya kemudian. "Aku... aku anaknya Om Saeed. Yang rumahnya di sebelah masjid."

Aku mencoba mengingat. Oh ya. Laki-laki tua yang suka mengusap kepala anak-anak yang lewat di gang. Rumahnya hancur duluan.

"Aku Ranim," kataku.

Kami tidak bicara lagi setelah itu. Mungkin karena tak ada yang bisa dikatakan. Mungkin karena kami berdua terlalu sibuk menahan sakit dan takut.

Di kejauhan, kudengar suara seperti langkah tergesa di atas reruntuhan. Tapi terlalu cepat lenyap. Tak ada yang berhenti. Tak ada yang memanggil nama.

Aku menutup mata dan mencoba memanggil bayangan ibu. Wajahnya pagi tadi. Tangannya yang menyisir rambutku. Suara rotinya yang dipanggang. Sami yang menggambar langit dan bilang lupa warna birunya.

Tuhan, apakah mereka selamat?

Aku ingin menangis, tapi air mataku sudah kering sejak dentuman pertama. Di bawah tanah begini, segalanya terasa seperti mimpi buruk yang tidak punya pintu keluar.

"Kak Ranim..." Yusuf menyentuh tanganku. Jemarinya dingin. "Kalau... kalau kita mati di sini, nanti kita bisa ketemu di surga, ya?"

Aku tidak langsung menjawab.

"Iya," kataku akhirnya, menahan suara yang ingin pecah. "Tapi belum sekarang. Kita harus nunggu. Mungkin ada yang dengar kita."

Ia mengangguk. Dan untuk sesaat, ada keheningan yang hampir seperti damai.

Lalu datang lagi. Suara lain. Retakan. Tanah yang bergeser.

Aku menahan napas. Batu di atas kepalaku bergeser sedikit. Debu jatuh ke wajahku. Tapi tidak ambruk. Tidak kali ini.

"Kalau boleh," Yusuf berbisik, "aku mau minta cerita."

"Cerita?"

"Iya. Kakak bisa ceritain apa aja. Biar aku nggak takut."

Aku menelan ludah. Lalu mulai bicara.

"Dulu... waktu aku kecil, Ayah suka ajak aku ke toko rotinya. Di sana ada oven besar. Kalau pagi, roti pertama keluar masih beruap. Ayah selalu kasih aku yang paling hangat. Katanya, roti pertama itu seperti harapan. Selalu baru. Selalu utuh."

Yusuf tersenyum samar.

"Dan Ibu... dia suka nyanyiin lagu pelan sambil nyisir rambutku. Lagu dari nenek. Tentang laut, tentang burung, tentang rumah. Aku dulu nggak mengerti artinya. Tapi sekarang aku hafal semua baitnya."

Aku diam sejenak. Lalu lanjut.

"Kalau kamu, suka cerita apa?"

"Kalau aku bisa keluar nanti," Yusuf berkata pelan, "aku mau tulis cerita tentang rumahku. Tentang semua yang hilang. Biar orang tahu, kami pernah ada."

Dadaku seperti diremas. Anak sekecil ini, sudah bicara tentang abadi.

"Bagus," kataku. "Nanti kamu tulis. Aku juga akan bantu. Kita bikin buku, ya?"

Yusuf mengangguk.

Tiba-tiba suara terdengar lebih keras dari atas. Langkah. Terburu. Lalu suara logam menghantam batu.

"Halo? Ada yang di bawah?"

Aku dan Yusuf saling pandang. Aku berusaha menjawab.

"Di sini! Kami di sini!" teriakku. Tapi suara serak, tak kuat.

Yusuf ikut berteriak. Lebih keras. Sampai dadanya batuk lagi.

Lalu terdengar suara lain. "Kami akan gali ke arahmu. Bertahan, ya!"

Air mata jatuh dari sudut mataku. Tapi aku tidak peduli. Aku menggenggam tangan Yusuf. Aku ingin percaya bahwa kami akan keluar.

Waktu berjalan lambat. Aku tidak tahu berapa menit atau jam. Tapi suara itu makin dekat. Senter kecil menyorot wajahku dari celah. Lalu bau tanah yang lebih segar. Cahaya yang mulai menembus.

"Ada dua di sini!" suara seseorang berkata. "Perempuan remaja dan satu anak laki-laki."

Lalu cahaya semakin terang. Batu-batu digeser. Lengan meraihku.

Seseorang menarik tubuhku keluar dari kegelapan. Cahaya menyambut seperti pukulan keras. Tapi itu cahaya yang hidup.

Saat aku melihat ke bawah, Yusuf digendong oleh seorang pria. Wajahnya pucat. Tapi matanya terbuka.

Kami dibaringkan di atas tikar darurat. Di sekeliling kami ada tangis, jerit, dan suara-suara relawan.

Langit di atas kami masih tidak biru.

Tapi untuk pertama kalinya, aku bisa bernapas lagi.

***

Langit dulu adalah rumah bagi harapan. Warna birunya pernah jadi teman masa kecilku, tempat aku menggambar impian dan mengejar bayangan awan. Tapi hari itu, langit menjelma menjadi wajah kematian. Aku ingat bagaimana warnanya berubah menjadi abu-abu tua, lalu merah pekat, lalu lenyap digulung debu dan amarah.

Aku tak ingat bagaimana tepatnya kami sampai di tempat pengungsian ini. Yusuf menggenggam tanganku erat tangannya kecil, kotor, tapi hangat. Kami seperti dua potong ranting yang hanyut bersama arus, tak tahu ke mana akan dibawa. Orang-orang berbicara, berteriak, meratap. Bau anyir dan obat tercampur dalam udara. Aku duduk bersandar pada tumpukan karung entah apa, masih mengenakan baju sobek penuh jelaga.

“Ran,” bisik Yusuf, suaranya parau. “Kakak… mereka… semua udah gak ada, ya?”

Aku menoleh. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatku tak bisa menjawab. Ia tidak bertanya, sebenarnya. Ia hanya sedang mencoba menerima.

“Langit tadi... kayak mau jatuh,” lanjutnya. “Aku kira, Tuhan marah. Apa Tuhan marah sama kita, Kak?”

Aku tak bisa menahan air mata. Tanganku membelai rambutnya yang lengket, kotor, penuh debu. “Bukan kamu yang bikin Tuhan marah, Suf. Bukan kita.”

Aku tahu kalimat itu tidak sepenuhnya benar. Tapi bagaimana menjelaskan kepada anak sekecil dia bahwa dunia kadang hancur bukan karena kita salah, melainkan karena orang-orang yang punya kekuasaan memilih melukai?

Ia mendekapku diam-diam. Tubuhnya kecil, tapi detak jantungnya terasa besar. Mungkin itu satu-satunya yang masih menyala dari rumah kami yang telah rata dengan tanah.

Malam itu dingin. Angin masuk dari sela-sela tenda lusuh yang didirikan tergesa-gesa. Aku mendengar suara batuk di sana-sini, rengekan bayi, derit tubuh menahan lapar. Dan di tengah semua itu, aku memandangi langit. Tidak ada bintang. Hanya gelap seperti terpal yang ditarik paksa ke atas.

Seseorang memberiku selimut. Perempuan tua dengan mata sembab dan tangan penuh luka. Ia tak berkata apa-apa. Hanya senyum kecil yang tak sampai ke mata.

“Terima kasih,” kataku lirih.

Ia mengangguk. Tapi ada yang kosong dari caranya memandangku. Seolah dunia telah mengambil terlalu banyak darinya, hingga tak ada lagi alasan untuk berharap. Dan barangkali aku pun sedang menuju ke sana. Ke titik di mana kita terus hidup bukan karena ingin, tapi karena belum mati.

Pagi menjelang. Tapi matahari enggan menyapa. Kabut dan debu masih menggantung di udara, seolah Tuhan pun belum sempat merapikan langit.

Ada kabar bahwa pengungsian akan dipindah. Tentara datang, memberi pengumuman yang terlalu formal untuk luka yang terlalu dalam. Yusuf memegang lenganku, tidak berkata apa-apa. Ia tahu bahwa setiap kali suara megafon terdengar, artinya harus kehilangan lagi tempat tinggal, teman, mungkin keluarga yang tersisa.

Saat kami mulai mengemas apa yang tersisa selimut, botol air, foto buram ibu yang sempat kuselamatkan aku menemukan sesuatu di kantong jaketku: serpihan cermin kecil.

Aku tak ingat menyelipkannya, mungkin milik ibu, mungkin pecahan dari kaca meja rias. Tapi saat kutatap bayanganku di sana, aku tercekat. Wajah yang kulihat bukan wajahku. Ia lebih tua, lebih keras, lebih kosong. Di mataku sendiri, aku melihat sisa api yang hampir padam.

Yusuf menyentuh bahuku. “Kak... kalau nanti kita pulang, rumah kita bakal sama lagi nggak?”

Aku menatapnya. “Langit pun udah nggak sama, Suf,” bisikku. “Tapi kita masih di sini. Masih hidup. Itu cukup buat sekarang.”

Dia mengangguk pelan. Tak mengerti sepenuhnya, mungkin. Tapi ia mempercayai suaraku. Dan aku, di tengah reruntuhan dan debu, hanya bisa berharap bisa menjaga kepercayaan itu.

Dalam perjalanan ke lokasi pengungsian baru, aku duduk di truk terbuka, bersama puluhan wajah lelah lainnya. Yusuf tidur bersandar di lenganku. Angin kering menerpa wajahku. Di kejauhan, aku melihat sekilas bayangan gedung yang pernah jadi sekolahku. Atapnya bolong, jendelanya retak. Tapi aku masih bisa mengingat suara canda tawa di lorong-lorongnya, aroma buku baru di awal tahun ajaran.

Aku memejamkan mata, mencoba menggenggam serpihan kenangan yang masih tersisa.

Langit memang tak lagi sama. Tapi aku masih bernapas.

Dan itu meski kecil adalah bentuk perlawanan yang paling jujur.

***

Pagi datang seperti kabar buruk yang datang terlalu awal. Tak ada matahari, hanya bias kelabu yang menyapu kanvas langit, seolah bumi dan langit sama-sama lelah untuk terang.

Aku duduk di dekat pagar kawat pengungsian, dengan Yusuf bersandar di pangkuanku, tertidur setelah semalaman batuk. Selimut tipis menutupi tubuhnya yang mengecil. Nafasnya masih ada. Itu cukup, pikirku. Untuk saat ini, itu cukup.

Di tanganku ada buku catatan. Kertasnya lembap dan usang, beberapa halamannya sudah robek. Tapi ini satu-satunya benda yang membuatku merasa masih utuh. Di dalamnya, aku mulai menulis lagi. Bukan untuk dunia, mungkin hanya untuk diriku sendiri. Tapi di suatu titik, aku ingin kata-kataku sampai ke luar pagar ini. Lewati batas. Lewati tembok.

Lewati langit yang tak lagi sama.

Pagi itu, sebuah truk berhenti di depan kamp. Relawan turun membawa makanan, pakaian, dan obat-obatan yang tak cukup untuk semua. Aku mendapat selembar roti, sebotol air, dan sepasang kaus kaki bekas untuk Yusuf. Aku memberikannya tanpa bicara.

Salah satu relawan, perempuan muda berkerudung abu-abu, menatapku lama. Ia menunjuk buku di tanganku dan bertanya, “Kamu menulis?”

Aku mengangguk.

“Boleh kubaca?”

Aku ragu sejenak. Tapi sesuatu dalam matanya membuatku percaya. Aku menyodorkan buku itu. Ia membacanya diam-diam di sudut tenda, dan ketika ia kembali, matanya berkaca.

“Bolehkah aku menyebarkan ini?” tanyanya pelan. “Agar dunia tahu?”

Aku tak menjawab. Aku hanya mengangguk pelan. Bukan karena ingin terkenal. Tapi karena aku ingin memastikan bahwa apa yang kami alami tidak hilang begitu saja dalam debu dan statistik.

Aku ingin dunia tahu bahwa kami bukan sekadar angka di layar. Kami punya wajah. Nama. Cerita.

Hari-hari setelah itu berjalan lambat. Yusuf mulai membaik, walau batuknya masih ada. Setiap sore, kami duduk berdua, memandang langit yang tidak pernah benar-benar cerah. Ia bertanya, “Kalau aku gede nanti, boleh nggak aku nulis kayak Kakak?”

“Tentu,” jawabku. “Bahkan harus.”

“Kalau aku nulis, aku mau cerita tentang Ibu. Sama tentang Kakak. Sama tentang hari langit jadi merah.”

Aku mengusap kepalanya. “Tulis semua. Jangan disimpan. Karena yang disimpan terlalu lama, bisa hilang.”

Ia mengangguk dengan kesungguhan yang hanya bisa dimiliki oleh anak-anak yang kehilangan terlalu cepat.

Beberapa pekan kemudian, kamp pengungsian mulai sepi. Sebagian dipindahkan. Sebagian pergi tanpa pamit. Sebagian lain, entah ke mana. Tapi aku dan Yusuf tetap. Mungkin karena tak tahu ke mana lagi harus pergi.

Pada suatu pagi yang sepi, relawan itu kembali menghampiriku. Kali ini ia membawa kertas cetakan. Katanya, “Tulisannya sudah sampai ke luar. Beberapa media membacanya. Orang-orang mulai bertanya siapa Ranim.”

Aku membaca cetakan itu. Di sana tertulis potongan kalimatku sendiri: “Aku masih di sini. Tidak utuh. Tapi ada.”

Melihatnya di kertas asing, dengan font dan warna yang bukan milikku, membuat hatiku bergetar aneh. Seperti melihat bayangan diri di cermin keruh.

Relawan itu berkata, “Ada yang ingin mengangkat ini jadi cerita pendek. Cerpen, katanya. Mewakili semua yang tak sempat bercerita.”

Aku tak tahu harus merasa bagaimana. Tapi kalau ceritaku bisa jadi suara untuk mereka yang bisu oleh perang, maka biarlah begitu.

Sore itu, aku kembali ke reruntuhan. Bersama satu relawan yang mengantarku. Aku ingin mengambil sesuatu yang dulu pernah kusembunyikan di sana bukan barang berharga, hanya potongan kain dari pakaian Ibu, dan gambar langit biru yang dibuat Sami.

Rumah kami hanya sisa lantai dan dinding patah. Tak ada apa-apa lagi, tapi aku mengenali puing-puing itu seakan mereka bagian dari tubuhku.

Di tengah reruntuhan, aku duduk. Menulis lagi.

“Tempat ini pernah penuh tawa. Pernah punya aroma roti. Pernah punya lagu yang dinyanyikan Ibu. Tapi kini tinggal debu. Namun dari debu ini, aku tetap menulis. Agar dunia tahu, kami pernah ada. Pernah hidup. Pernah bermimpi.”

Aku menyelipkan kertas itu di bawah batu. Entah siapa yang akan menemukannya. Tapi aku percaya, kertas lebih tahan dari peluru. Kata lebih tajam dari dentuman. Dan kenangan, jika ditulis, bisa bertahan lebih lama dari perang.

Malamnya, aku kembali ke kamp. Yusuf sudah tertidur. Aku duduk di luar tenda, memandangi langit.

Masih abu-abu. Masih hampa. Tapi di ujung sana, samar sekali, ada titik cahaya. Mungkin bintang. Mungkin hanya pesawat relawan. Tapi malam ini, aku ingin percaya itu bintang.

Karena yang membuat kita bertahan, bukan karena semuanya membaik.

Tapi karena kita memilih tetap ada, meski dunia tidak lagi ramah.

Dan aku Ranim masih di sini.

Tak utuh.

Tapi ada.

***

Beberapa hari berlalu sejak langit malam berhenti berpendar di atas Gaza. Tak ada bintang, hanya kepulan asap yang menutup harapan. Di balik reruntuhan dinding yang pernah menjadi rumahnya, Ranim masih duduk dengan luka yang tak kasat mata, membiarkan debu dan dingin menjadi selimutnya.

Aku menemukan selembar kertas kosong di bawah puing lemari tua satu-satunya yang tidak terbakar. Dengan ujung pensil yang patah, aku mulai menulis kembali. Bukan untuk siapa-siapa. Tapi untuk diriku sendiri. Untuk memastikan bahwa meski semuanya hilang, namun tetap ada.

"Namaku Ranim. Aku tinggal di Gaza. Atau dulu tinggal. Sekarang, tak ada rumah, tak ada sekolah, tak ada suara adik atau ibu. Tapi aku masih punya napas. Itu cukup."

Tanganku gemetar, bukan karena dingin, tapi karena menulis membuat segalanya terasa lebih nyata. Aku berhenti sejenak, menatap ke seberang jalan yang kini menjadi padang puing. Ada boneka kecil tergeletak, satu mata hilang, lengannya terbakar. Aku ingat itu milik adik ku.

Air mataku tak sempat jatuh. Mata terlalu kering untuk menangis.

"Aku masih di sini. Tidak utuh. Tapi ada."

Kertas itu ia lipat, lalu aku selipkan ke dalam botol air yang kosong. Botol itu ku ikat dengan tali sepatu dan letakkan di samping batu yang besar seperti nisan tanpa nama. Mungkin suatu hari, seseorang akan menemukannya. Mungkin dunia akan tahu bahwa aku pernah hidup, pernah berharap, dan pernah terluka.

Hari itu, relawan dari luar tiba. Mereka membawa tenda dan makanan. Tapi yang mereka temukan bukan hanya tubuh-tubuh yang diam. Mereka menemukan potongan cerita: di dinding yang tersisa, di mainan yang gosong, di kertas kecil yang terlipat rapi di dalam botol plastik.

Salah satu relawan membuka botol itu. Tangannya menggigil saat membaca tulisan Ranim. Ada keheningan yang tak bisa dijelaskan. Lalu, perlahan, suara tangis memecah senyap. Bukan karena kertas itu berisi keluhan atau kemarahan. Tapi karena ia berisi keberanian.

Cerita itu kemudian tersebar. Bukan di televisi besar, tapi di tangan-tangan kecil, di ruang kelas, di komunitas yang tak ingin buta dan tuli lagi.

Bersama nama-nama yang tak dikenal dunia, satu nama pun disematkan dalam ingatan:

Ranim yang tetap tinggal, meski langit tak lagi memayunginya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Skrip Film
Perihal Luka dan Waktu
Marantika Rizka Prasasti
Cerpen
Bronze
Sahabat Kemanusiaan
Aqil Azizi
Cerpen
Wanita Tiang Pancang
Chrstin
Cerpen
Tersisa di Gaza
Muhamad Irfan
Flash
Bronze
Marmoset karya Clarice Lispector penerjemah ahmad muhaimin
Ahmad Muhaimin
Cerpen
Bronze
Semutina Sahabatinu
Ron Nee Soo
Novel
Bronze
BATAS SENJA MENUJU PAGI
Ayu ambar asih
Novel
Selena Tsabina - I Just Believe You
Angela Ann
Flash
(Bukan) Pulang
iam_light.blue
Cerpen
Ketika Hujan Tak Lagi Menjadi Cerita
Herdi Riswandi
Novel
Aku Kehilangan Pulang
Salma Mufidah
Flash
Merpatinya Boleh Ikut Tidak?
Adinda Amalia
Cerpen
Bronze
Akhir Cerita Kita
Rara3
Cerpen
Semua Butuh Waktu
Rizki Mubarok
Skrip Film
BIDADARI UNTUK GUS(SCRIPT FILM)
Imajinasiku
Rekomendasi
Cerpen
Tersisa di Gaza
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Tidak ada Tempat untuk Kita Berteduh
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
24 Jam Yang Menghapusku
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Satu Kursi yang Kosong
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Jejak yang Hilang di Lorong 4
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Nyaris
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
JIKA RUMAH ADALAH LUKA
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Bunga yang Tak Pernah Ditaruh di Vas
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Jaket Merah yang Tak Pernah Dikembalikan
Muhamad Irfan
Cerpen
BISU
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Tak Terdengar
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Terlambat
Muhamad Irfan
Cerpen
Tak Layak
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Bayangan yang Tidak Pernah Pulang
Muhamad Irfan
Cerpen
Bukan Lagi Kita
Muhamad Irfan