Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Tersesat di Utara
0
Suka
545
Dibaca

Malam itu aku tidak ingin pulang. Bukan karena tidak tahu arah, tapi karena aku tahu arah pulang dan tahu persis bahwa rumah sudah tidak lagi menjadi tempat kembali. Dindingnya mungkin masih berdiri, tapi kehangatan di dalamnya telah menguap entah sejak kapan. Aku butuh jeda, ruang kosong untuk tidak menjelaskan apa-apa. Maka ketika dua pria yang jauh lebih tua dariku mengajakku pergi ke Utara, aku hanya mengangguk dan masuk ke mobil mereka tanpa pikir panjang.

Mereka kupanggil ‘Om’—Om Wahab dan Om Openg. Dua teman ayahku dulu, yang entah sejak kapan jadi lebih mirip saudara tiri hidup malam. Wajah mereka santai tapi lelah. Katanya, malam ini kami hanya akan ‘jalan-jalan’. Tapi semua orang tahu, di Utara tidak ada yang sekadar jalan-jalan. Di sana, malam bukan untuk tidur. Di sana, orang-orang datang untuk lupa.

Kami menyusuri jalan kota kecil yang sepi. Lampu jalanan menggantung seperti senter tua yang lelah menyala. Di kiri-kanan, ruko-ruko sudah tutup, hanya beberapa minimarket yang masih terbuka, menyisakan terang seadanya.

“Ngapain ngelamun?” Om Wahab menoleh dari kursi depan. “Nggak,” jawabku singkat. “Kita ke tempat yang aman, tenang aja. Sekali-sekali minum, enggak bakal ngerusak hidupmu,” tambah Om Openg dari kursi sampingnya.

Aku tak menjawab. Bukan karena tidak setuju, tapi karena aku sudah tidak tahu lagi mana yang merusak dan mana yang menyelamatkan.

Kami berhenti di sebuah minimarket. Om Wahab turun membeli dua bungkus rokok dan sebotol minuman kecil yang diselipkan ke dalam jaketnya. Lalu kami lanjut, menembus jalanan gelap ke arah pantai Utara. Lampu-lampu kendaraan mulai jarang. Angin mulai membawa aroma laut. Aku menyandarkan kepala ke jendela. Udara asin masuk dari celah kecil dan menusuk kulitku yang dingin.

Mobil berhenti di depan sebuah bangunan yang dindingnya dilapisi kaca gelap. Kami memarkirkan mobil mengikuti arahan dari tukang parkir dengan peluit yang ditiupnya. Banyak kendaraan berjejer rapi tapi sepi. Kemana orang-orang? aku bertanya pada diri sendiri dalam hati. Hanya ada papan bertuliskan nama club, dan terlihat lampu neon merah muda yang berkedip pelan. Dari luar tampak biasa saja, tapi begitu pintu dibuka, dunia seolah berubah.

Lampu-lampu kelap-kelip menyambut seperti bintang-bintang palsu yang jatuh ke lantai dansa. Musik memukul dari segala arah. Bass-nya menghantam dada, mengusir pikiran-pikiran waras. Orang-orang menari dalam kabut lampu dan asap, tertawa terlalu keras, bicara terlalu dekat, minum terlalu banyak.

Om Wahab dan Om Openg langsung menyapa beberapa orang di meja tengah. Aku mengikuti dari belakang, mencoba tidak tersesat dalam lautan tubuh dan cahaya. Kami duduk di sofa bundar yang empuk, dikelilingi meja penuh gelas dan botol. Om Wahab memesan tiga botol minuman—masing-masing satu untuk kami.

“Ini kamu yang pilih,” katanya sambil mendorong satu botol ke arahku.

Aku mengangguk pelan, membuka tutupnya, dan meneguk sedikit.

Rasanya pedas, menusuk, seperti amarah yang belum sempat dimuntahkan. Tapi ada kelegaan aneh setelahnya—hangat yang palsu, tapi cukup meyakinkan.

Malam berlanjut. Musik semakin kencang. Orang-orang mulai menari tanpa irama. Di pojok ruangan, seseorang muntah ke lantai. Seorang perempuan menangis sambil tertawa. Seorang lelaki berbicara sendiri. Semuanya tampak seperti parade kekacauan yang dibalut lampu pesta.

Aku duduk sendirian di ujung sofa. Om Wahab sedang asyik bercanda dengan dua wanita setengah mabuk, dan Om Openg entah ke mana. Aku tidak ingin ikut. Aku hanya ingin hilang—tanpa harus dicari.

Lalu dia datang.

Seorang perempuan berdiri di sampingku. Rambutnya sebahu, bajunya hitam sederhana, tapi sorot matanya membuatku menoleh. Dia tidak bicara. Hanya duduk di sampingku, menaruh segelas air putih di meja.“Kamu kelihatan kosong,” katanya akhirnya. Aku tersenyum miris. “Mungkin karena emang kosong.” Dia tidak menertawakanku. Tidak mengasihaniku. Hanya mengangguk.“Aku juga pernah kayak gitu. Penuh tapi nggak isi.”

Kami duduk dalam diam. Di antara hiruk pikuk, kami seperti menciptakan ruang sendiri—ruang yang tidak butuh penjelasan.

Aku meneguk setengah botol terakhir sendirian. Entah sudah berapa kali aku tertawa tanpa tahu kenapa, memejamkan mata tapi tak bisa tidur. Dunia di sekitarku berputar lambat—lampu-lampu jadi garis-garis kabur, musik seperti gema dari jauh. Lalu semuanya berhenti.

Lampu club tiba-tiba menyala terang. Cahaya putih menyambar mata, menyapu habis ilusi malam. Musik mati. Orang-orang saling menoleh dengan mata menyipit, seperti baru sadar mereka ada di dunia nyata.

Jam menunjukkan pukul empat pagi. Waktu tutup.

Suasana berubah cepat. Yang tadi menari mulai mencari jaket. Yang tadi tertawa mulai diam. Club berubah jadi ruang tunggu penuh orang mabuk dan letih. Aku masih duduk, berat, dengan kepala seperti diisi pasir basah.

Om Wahab menghampiriku, wajahnya mulai kaku. “Om pulang dulu ya. Anak-anak pasti udah bangun jam segini.”Aku mengangguk pelan, tak mampu banyak bicara.

Om Openg datang menyusul, menepuk bahuku.“Kamu nggak mungkin bareng kita. Nggak enak, kamu cewek. Tapi tenang, kamu kami titipin.” Mereka menunjuk ke arah perempuan itu. Dia berdiri tidak jauh, tangan menyelip di saku jaket, mata masih memperhatikanku sejak tadi. “Dia bisa jagain kamu. Om kenal dia. Baik,” kata Om Wahab.“Titip, ya,” kata Om Openg.

Aku hanya mengangguk. Tak sempat bertanya apa-apa. Mereka pergi—kembali ke kehidupan mereka yang terang dan teratur. Sedangkan aku, masih berada di tengah bayangan yang tak bisa kusebut rumah.

Perempuan itu mendekat dan mengulurkan tangan. “Ayo. Kamu udah nggak kuat jalan sendiri.”Aku berdiri tertatih. Kakiku dingin. Udara subuh seperti menusuk tulang. Kami berjalan menyusuri trotoar, melewati toko-toko tutup dan lampu jalanan temaram.

Pantai ada di ujung jalan. Angin laut menerpa wajahku, bau garam masuk ke paru-paru seperti ucapan selamat datang.

Hotel kecil berdiri di dekatnya—dua lantai, dindingnya kusam, tapi lampunya masih menyala.

Perempuan itu berbicara singkat dengan resepsionis, lalu menerima kunci kamar tanpa banyak tanya. Kami naik ke lantai dua, menyusuri lorong yang sunyi. Lampu temaram memantul di lantai keramik. Langkah kami bergema lembut.

Begitu masuk kamar, aku langsung duduk di tepi ranjang. Duniaku masih bergoyang. Napasku pelan, tapi tak stabil.

Dia membuka jendela. Angin laut masuk, membawa debur ombak ke dalam kamar.

Dia tak banyak bicara. Melepaskan jaketku perlahan. Menarik selimut hingga ke daguku.“Tidur aja dulu,” katanya.

Aku ingin tanya siapa dia. Kenapa tetap di sini. Kenapa tidak pergi seperti yang lain. Tapi kelopak mataku terlalu berat. Aku menyerah pada kelelahan.

Sebelum semuanya gelap, aku masih bisa melihatnya duduk di kursi dekat jendela, memeluk lutut, menatap laut. Wajahnya tenang, seperti laut itu sendiri—tidak banyak kata, tapi dalam.

Aku tidak mati.

Aku hanya pingsan. Tubuhku menyerah pada alkohol dan malam yang panjang. Tapi jiwaku tidak hilang. Ia tetap ada, dititipkan pada seseorang yang tak kukenal namanya.

Saat fajar menyentuh jendela, mataku terbuka perlahan. Kepalaku sakit, tenggorokanku kering, tapi rasa sunyinya sudah berkurang.

Dia masih di sana, di kursi itu, menoleh ke arahku dengan wajah letih tapi tidak asing.“Pagi,” katanya. Aku tak menjawab. Hanya mengangguk.

Debur ombak terdengar jelas dari luar jendela yang terbuka. Matahari mulai muncul, menciptakan bayangan jingga di dinding kamar. Aku masih di kota kecil ini. Masih hilang. Masih berantakan. Tapi setidaknya, pagi ini aku tidak sendiri.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Tersesat di Utara
Gelato Cookies
Cerpen
Bronze
Mantra Untuk Yunan
N. HIDAYAH
Cerpen
Bronze
Kualat
Titin Widyawati
Cerpen
REKAM
Yutanis
Cerpen
Bronze
Transkrip
Muram Batu
Cerpen
Bronze
Satu Kali Lagi
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Mereka Bilang Aku Durhaka
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Apakah yang Kita Harapkan dari Hujan?
Habel Rajavani
Cerpen
KISAH DI BALIK HUJAN
Penulis N
Cerpen
Bird (Burung)
Celica Yuzi
Cerpen
Bronze
panana paapa nanaada panapapana
Marhaeny Benedikta Tinggogoy
Cerpen
Kamu Sudah Dicus
Mambaul Athiyah
Cerpen
JANGAN REBUT SENJA TERAKHIRKU
Rian Widagdo
Cerpen
Lost In Translation (Karena kamus saja tidak cukup)
Lada Ungu
Cerpen
Titik Jenuh
Rifa Asyifa
Rekomendasi
Cerpen
Tersesat di Utara
Gelato Cookies