Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Aksi
TERSESAT DI HUTAN
0
Suka
78
Dibaca

---

TERSESAT DI HUTAN

Langit sore berwarna oranye keemasan ketika Rina memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya ke dalam hutan pinus di pinggir desa Sukamerta. Ia datang ke sana untuk menenangkan pikiran — jauh dari bisingnya kota, rapat-rapat yang tak ada habisnya, dan tekanan hidup yang kian berat. Sejak kehilangan ibunya tiga bulan lalu, hidup terasa hampa. Hutan, pikirnya, akan memberi ketenangan.

Ia hanya membawa ransel kecil berisi air mineral, sepotong roti, dan sekantong plastik permen. “Aku cuma mau jalan sebentar,” gumamnya ketika penjaga homestay memperingatkan agar tidak pergi terlalu jauh.

Namun, langkahnya yang awalnya santai berubah menjadi semangat penuh rasa ingin tahu. Semakin jauh ia berjalan, semakin indah pemandangan di hadapannya: sinar matahari yang menembus dedaunan, suara burung, dan angin lembut yang berdesir di antara pepohonan. Ia merasa seolah dunia luar lenyap — hanya ada ia dan alam.

Tapi waktu berjalan cepat. Saat ia menengadah ke langit, warna jingga telah memudar, digantikan oleh bayangan kelabu. Ia berhenti sejenak, mencoba mengingat arah datangnya, tapi semuanya tampak sama — pohon, rumput, semak. Jalur tanah kecil yang tadinya jelas kini menghilang di antara dedaunan kering.

Rina menarik napas dalam.

“Tenang, Rina. Kamu cuma tersesat sedikit. Ikuti arah matahari terbenam, pasti ketemu jalan.”

Ia berjalan lagi, menembus pepohonan yang semakin rapat. Tapi semakin ia melangkah, semakin asing suasananya. Udara mulai dingin, dan suara burung yang tadi riuh kini lenyap. Yang tersisa hanyalah suara langkahnya sendiri dan desir angin yang anehnya terdengar seperti bisikan.

Beberapa menit kemudian, ia mendengar sesuatu dari belakang.

“Krak!”

Suara ranting patah membuatnya menoleh cepat. Tidak ada siapa-siapa. Ia menelan ludah, memegang botol airnya seolah itu bisa melindunginya. “Hanya hewan,” katanya pelan. Tapi langkahnya jadi lebih cepat.

Setelah hampir satu jam berjalan tanpa arah, Rina mulai panik. Ia mencoba menelepon seseorang, tapi ponselnya tanpa sinyal. Baterainya juga tinggal sedikit. Ia menatap langit yang mulai gelap, lalu berlari kecil mencari tempat berlindung. Di kejauhan, ia melihat sebuah gua kecil di balik semak. Dengan sisa tenaga, ia menuju ke sana.

Di dalam gua, udara lembap dan dingin. Rina duduk di sudut, memeluk lutut, dan membuka permen satu-satunya yang bisa menenangkannya. Ia menggigit pelan sambil memandang keluar, menatap hutan yang kini diselimuti malam.

“Kenapa aku seceroboh ini…” bisiknya. Air matanya jatuh tanpa ia sadari. Hujan mulai turun, menambah suram suasana. Ia mencoba tidur, tapi tidak bisa. Bayangan-bayangan gelap seakan menari di luar gua, membuat jantungnya berdebar. Ia hanya bisa berdoa dalam hati agar malam segera berlalu.

---

Pagi Pertama

Cahaya matahari yang menembus mulut gua membangunkan Rina. Tubuhnya pegal, tenggorokannya kering, dan perutnya perih karena lapar. Ia meneguk sisa air yang hanya tinggal setengah botol. Setelah itu, ia berdiri dengan langkah gontai, bertekad untuk mencari jalan keluar.

Ia menandai pohon-pohon dengan batu agar tidak berputar ke tempat yang sama. Di setiap langkahnya, ia berusaha mengingat pelajaran bertahan hidup yang pernah ia lihat di televisi: jangan panik, cari sumber air, dan ikuti arah sungai karena biasanya sungai mengalir menuju perkampungan.

Selama berjam-jam ia berjalan, hanya ditemani suara kicau burung dan desir angin. Terkadang ia merasa seperti sedang diawasi. Sekali waktu, ia melihat seekor kijang melintas cepat di depannya, membuatnya hampir menjerit kaget. Tapi kehadiran makhluk itu setidaknya membuktikan bahwa ia tidak sendirian di dunia ini.

Saat siang tiba, matahari terasa terik. Rina beristirahat di bawah pohon besar, membuka roti terakhirnya, dan memakannya perlahan. Setiap gigitan terasa berharga. Ia menatap pepohonan di sekelilingnya, lalu berkata pelan,

“Kalau aku bisa keluar dari sini, aku janji akan lebih menghargai hidup.”

Setelah beristirahat, ia melanjutkan perjalanan. Sore hari, ia mendengar gemericik air. Dengan semangat baru, ia berlari ke arah suara itu dan menemukan sungai kecil dengan air jernih yang mengalir deras. Ia berlutut dan minum sepuasnya. Rasa segar air itu seperti anugerah dari langit.

Namun, di seberang sungai, ia melihat sesuatu — asap tipis membubung ke udara. Matanya membulat. “Itu pasti manusia!” katanya girang. Tanpa berpikir panjang, ia menyeberangi sungai, meski arusnya cukup kuat. Pakaian dan sepatunya basah kuyup, tapi ia tak peduli. Ia mengikuti arah asap, menembus semak dan akar pohon yang menjalar di tanah.

Setelah berjalan sekitar lima belas menit, ia tiba di depan sebuah pondok kayu kecil. Di depannya, seorang lelaki tua sedang menyalakan api unggun. Rina hampir menangis lega.

“Pak! Tolong! Saya tersesat!” serunya terbata-bata.

Lelaki itu menoleh kaget, lalu segera berdiri. “Ya Tuhan, Nak, kamu dari mana saja? Duduk dulu, sini!” Ia menuntun Rina masuk ke pondoknya, memberinya air hangat dan roti.

Sambil menangis, Rina menceritakan bagaimana ia tersesat selama dua hari. Lelaki itu — yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Pak Darma, seorang penjaga hutan — mendengarkan dengan sabar. Wajahnya penuh empati.

“Kamu beruntung, Nak. Hutan ini bisa sangat berbahaya kalau malam. Banyak hewan liar, dan jalan di sini berputar-putar. Tidak semua orang bisa keluar hidup-hidup kalau tersesat sendirian,” ujar Pak Darma.

Rina menunduk. “Saya… cuma ingin tenang. Tapi malah bodoh.”

Pak Darma tersenyum lembut. “Kadang, ketenangan justru kita temukan setelah kita tersesat. Alam punya caranya sendiri untuk mengajarkan kita.”

Malam itu, Rina tidur di pondok Pak Darma. Api unggun di pojok ruangan menghangatkan tubuhnya, sementara suara jangkrik di luar menenangkan pikirannya. Untuk pertama kali sejak lama, ia tidur nyenyak tanpa mimpi buruk.

---

Hari Ketiga: Jalan Pulang

Keesokan paginya, Pak Darma menepati janjinya. Dengan tongkat kayu di tangan, ia memandu Rina melalui jalur sempit yang ternyata tidak jauh dari jalan besar. “Biasanya orang-orang takut lewat jalur ini,” katanya sambil tersenyum. “Tapi kalau tahu arah, hutan ini sebenarnya ramah.”

Selama perjalanan, Pak Darma menceritakan banyak hal tentang hutan itu — tentang burung-burung yang hanya muncul di pagi tertentu, tentang air terjun yang tersembunyi di sisi timur, dan tentang legenda pohon tua yang dianggap sebagai penjaga hutan. Rina mendengarkan dengan kagum.

Dalam dua jam, mereka sampai di jalan tanah yang lebar. Di kejauhan, terdengar suara mobil dan orang-orang berteriak. Saat mereka muncul dari balik pepohonan, sekelompok warga desa berlari menghampiri.

“Rina! Syukurlah kamu selamat!” teriak seorang wanita muda, pemilik homestay tempat Rina menginap. Ia langsung memeluk Rina erat.

Beberapa petugas dari tim pencarian juga hadir. Mereka mengatakan bahwa Rina telah dicari selama dua hari dua malam.

“Kalau kamu tidak ditemukan hari ini, kami akan perluas pencarian ke sisi utara,” kata seorang petugas. “Kamu benar-benar beruntung.”

Rina menatap Pak Darma dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Pak. Kalau bukan karena Bapak, saya mungkin tidak akan keluar dari sana.”

Lelaki tua itu tersenyum. “Ingat, Nak. Hutan bukan tempat yang jahat. Ia hanya menguji apakah kita cukup sabar dan rendah hati untuk belajar darinya.”

---

Beberapa Minggu Kemudian

Rina kembali ke kehidupannya di kota. Tapi sesuatu dalam dirinya telah berubah. Ia tidak lagi terburu-buru mengejar kesempurnaan atau takut sendirian. Ia mulai berjalan pagi di taman kecil dekat apartemennya, menikmati udara, dan sesekali memejamkan mata untuk mendengar suara angin — mengingatkannya pada suara hutan.

Ia juga mulai membaca buku-buku tentang alam dan bertahan hidup. Setiap malam, ia menulis di buku catatan kecilnya, merenungkan pelajaran dari pengalamannya. Salah satu catatannya berbunyi:

> “Ketika tersesat, aku baru menemukan arah.

Alam bukan hanya tempat untuk dilihat, tapi untuk didengar, dirasakan, dan dihormati.”

Suatu sore, ia menerima surat dari desa Sukamerta. Isinya singkat, dengan tulisan tangan yang rapi:

> “Jika suatu hari kamu kembali ke hutan, bawalah hati yang tenang.

Aku akan menunggu di pondok kecil itu. — Pak Darma.”

Rina tersenyum. Ia menatap keluar jendela, melihat langit yang mulai jingga — warna yang sama seperti hari ia tersesat. Tapi kali ini, ia tidak takut. Ia tahu bahwa tersesat bukan selalu berarti kehilangan arah; kadang itu adalah cara semesta menuntun kita menemukan diri sendiri.

---

Pesan dari Hutan

Sejak hari itu, Rina sering merenung tentang perjalanan hidupnya. Ia menyadari bahwa ketakutan, kesepian, dan rasa putus asa yang ia alami di hutan justru mengajarinya hal-hal paling berharga — tentang ketabahan, kepercayaan, dan arti kehidupan.

Ia menulis ceritanya dan menamainya “Tersesat di Hutan.” Cerita itu tidak hanya tentang perjuangan bertahan hidup, tapi juga tentang bagaimana seseorang bisa berubah karena pengalaman yang nyaris mematikannya. Cerita itu menjadi pengingat bahwa setiap manusia pasti pernah tersesat — entah di hutan, dalam hidup, atau di dalam dirinya sendiri.

Namun, seperti kata Pak Darma, hutan — seperti kehidupan — selalu punya jalan keluar. Hanya saja, kita harus berani berjalan dengan hati yang tenang dan pikiran yang jernih.

---

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Aksi
Cerpen
TERSESAT DI HUTAN
cralisssa
Novel
KEMBALI
rizky al-faruqi
Novel
Bronze
The Justice
djangles
Flash
Bronze
Berburu Harimau
Afri Meldam
Novel
Bronze
Sholat Yo
Hermawan
Skrip Film
Godwin Agency (script)
FS Author
Novel
Gasing Bambu
bomo wicaksono
Novel
I AM A HUMAN
Maria Ulfa
Flash
Bronze
Gandewa
Ravistara
Cerpen
Bronze
Sesaat Sebelum Bom Itu Meledak
Habel Rajavani
Skrip Film
Pada Akhirnya Waktu Akan Datang (Script)
Anisah Ani06
Novel
Bhairava
Ghozy Ihsasul Huda
Flash
Selamatkan Rabit
Sulistiyo Suparno
Flash
Two Killers
Noer Eka
Flash
Bronze
JIKA BOTOL BISA BERPENDAPAT...
Shabrina Farha Nisa
Rekomendasi
Cerpen
TERSESAT DI HUTAN
cralisssa