Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Terror Anggia
0
Suka
1,930
Dibaca

Waktu hampir menunjukkan pukul lima sore. Para karyawan shif pagi sudah berhamburan pulang. Memang saatnya ganti shif. Delina, si gadis berwajah oriental itu tampak berdiri di depan loker miliknya. Untuk kemudian meraih ponsel dan baju ganti. 

Dan di sebelah Delina ada gadis lainnya. Melakukan aktifitas yang sama seperti dirinya.

"Hooaamm." Delina menguap lebar sekali. 

Sangat melelahkan sekali pekerjaan untuk hari ini. Oh, tidak! Tapi untuk hari ini dan seterusnya. Mana ada, sih kerja yang gak capek? Apalagi untuk rakyat jelata seperti dia dan lainnya. Kerja diperas tenaganya habis-habisan, bak kerja rodi zaman Belanda.

Syukuri yuk syukuri. Yang penting transferan gaji lancar jaya.

"Andai gue jadi bos besar. Tinggal duduk manis dan nyuruh-nyuruh bawahan," ucap Delina sembari membayangkannya. 

"Khayalan tingkat tinggi," balas Hani, masih berdiri di depan lokernya. Tepat di samping Delina persis.

"Gak apa-apa lagi. Hidup tanpa mengkhayal, tuh gak seru."

"Iya gue tahu. Tapi yang harus lu ingat. Jangan ketinggian banget lah. Kalo gak kesampaian auto nyesek lu." Hani mencoba memberikan pencerahan. Dengan maksud supaya si teman sadar diri.

"Kalo gak sampai melekat dalam pikiran, ya gak masalah, sih. Lagian gak ada salahnya juga berangan-angan kayak gitu. Buat menghibur diri juga. Hehehe," terang Delina sambil cengengesan.

"Kayak gak ada hiburan lain aja," ucap Hani. Kini, ia beralih ke ponsel di tangannya.

Delina dan Hani bekerja di pabrik obat. Mereka berdua bagian Quality Control (QC). Kerja di bagian itu harus benar-benar teliti dan jeli. Karena pada akhirnya obat-obat tersebut akan di edarkan dan di konsumsi oleh semua lapisan masyarakat.

Kedua gadis itu kerasan kerja di sini. Tempatnya super bersih, bertemu rekan kerja yang baik-baik dan ini, nih point pentingnya. Yaitu, nyaman. 

Lagi lagi soal kenyamanan. Mau gaji segede apa pun, tapi lingkungan kerja bikin tidak nyaman. Untuk apa? Kerja jadi ogah-ogahan. Pun gak bersemangat.

So, kenyamanan dalam bekerja itu penting ya. Bukan hanya dalam konteks hubungan percintaan saja.

"Buruan woi buruan! Di sini cuma kita berdua aja. Semua karyawan udah pada mulai kerja," panik Delina. Matanya mengawasi sekitar. Benar-benar sunyi.

"Santai aja kali. Lagian kita gak akan kena usir. Masa mau ngusir karyawan sini," jawab Hani santuy. Ia belum selesai dengan urusannya.

"Bukan itu masalahnya."

"Terus apa?"

"Emang lu belum tau, Han?"

Hani menatap sebentar ke arah Delina. "What?" tanyanya datar.

"Urband Legend di pabrik ini," balas Delina, matanya tetap awas.

"Urband Legend apaan, dah?"

"Wah, parah. Ternyata lu ketinggalan berita. Makanya pas jam istirahat ikutan nimbrung sama para senior di sini."

"Males, ah kalo isi perbincangannya gibahin orang," jawab Hani, suudzon. Ia paling menghindari suatu perkumpulan yang sukanya ngomongin keburukan orang lain. 

"Ya tapi, kan gak melulu bahas itu. Nih, buktinya gue tahu cerita horor turun temurun pabrik ini." Delina justru cari-cari pembenaran.

Hani memutar malas bola matanya. "Emang sepenting itu, ya cerita horor legend yang lu maksud?"

"Penting, dong. Bahkan, semua karyawan udah pada tahu."

"Coba kasih tahu gue," pinta Hani, meski tidak kepo-kepo amat.

Delina tersenyum singkat. Tapi, sebelum memulai cerita, ia sekali lagi mengamati sekitar. Lalu merapatkan tubuhnya ke sang teman.

"Kenapa harus dempet-dempet?" tanya Hani, heran sendiri.

"Gak apa-apa." Delina tersenyum kecil. Padahal kini dirinya tengah merinding ketakutan tanpa sang teman sadari.

"Jadi, namanya Hantu Loker," katanya kemudian dengan suara pelan.

"Aneh."

"Udah dari sananya. Udah, deh mending lu nyimak aja." Delina sedikit kesal.

"Oke."

Delina lanjut cerita lagi. "Jadi begini ceritanya…"

______

Peristiwa itu terjadi puluhan tahun silam. Bahkan, sampai menyebabkan pabrik berhenti beroperasi selama tiga bulan. 

Ada seorang karyawati bernama Anggia. Ia masih muda, berparas cantik dan body nya aduhai bak bintang model. Ia baik dan ramah kepada siapapun. Tidak pernah neko-neko. Pun tidak berminat pacaran, meski banyak sekali pria naksir padanya. 

Hari itu Anggia dan rekan-rekannya kebagian shif malam. Selesai bekerja sekitar pukul empat pagi. Yang lain sudah pada balik. Karena sakit perut Anggia memutuskan ke kamar mandi terlebih dahulu. Seorang diri.

Setelah menuntaskan hajatnya Anggia hendak beranjak pulang. Baru akan keluar dari toilet tiba-tiba dirinya di hadang oleh seorang pria. Anggia mengenali sosok pria tersebut. Pria itu membawa parang. Karena takut Anggia tidak berani teriak. Ia mengikuti kemauan si pria. Mereka balik masuk ke toilet lagi.

Pria itu merudapaksa Anggia. Lalu menghabisi nyawanya. Kepala Anggia ia penggal. 

Dan tubuh Anggia tanpa kepala itu dibuang ke sungai supaya hanyut terbawa derasnya air sungai. 

Sementara, kepala Anggia di masukkan ke dalam loker miliknya, yakni loker nomor 13. Dan pria itu menguncinya kembali. 

Tujuannya supaya jasad tanpa kepala Anggia tidak dapat di kenali.

Sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga. Yang artinya sepandai-pandai menyimpan bangkai pada akhirnya akan ketahuan juga.

Teman satu kamar dan keluarga Anggia melapor ke pihak berwajib. Beberapa polisi mulai melakukan penyelidikan. 

Tak sampai berhari-hari polisi menemukan titik terang. Si pelaku akhirnya mau mengakui perbuatannya ketika berkali-kali di desak.

Jenazah Anggia di bawa oleh pihak berwajib ke rumah sakit untuk di autopsi. Dan kepalanya juga di evakuasi. Sontak tragedi naas itu menggegerkan seluruh para pekerja dan atasan di pabrik obat tersebut. Mereka tak menyangka Anggia tewas mengenaskan di tangan orang yang notabenenya mereka semua kenal baik orang tersebut.

Pelaku di jatuhi hukuman 20 tahun penjara. Mau tahu dia siapa?

Si pelaku adalah office boy di pabrik tersebut. Usianya 45 tahun. Sudah bertahun-tahun bekerja di sana. Maka dari itu, ia bisa tahu nomor loker Anggia.

Setelah 3 bulan terlewati, pabrik beroperasi kembali. Tapi hawanya jadi berbeda. Tiap hari para pekerja seperti melihat penampakan Anggia berjalan di mana-mana.

Mereka juga pernah beberapa kali melihat wanita tanpa kepala berdiri di depan loker nomor 13. Anggia menampakkan dirinya tak kenal waktu. Siang bolong pun ia muncul.

Para pekerja ketakutan bukan main. Akhirnya pihak pabrik inisiatif mengadakan pengajian di pabrik tersebut. Ngefek, sih tapi cuma sampai satu Minggu saja. Jin menyerupai Anggia usil kembali.

Para pekerja yang tidak kuat lagi dengan teror-teror itu memutuskan resign berjamaah. Alhasil pihak pabrik membuka lowongan kerja besar-besaran. 

Namun sebelum itu, pihak pabrik sudah mengganti semua loker dengan yang baru. Eh, bukannya teror berhenti malah makin menjadi.

Loker nomor 13 tidak pernah di pakai para karyawan hingga detik ini. Karena angker. Mereka menyaksikan sendiri di dalam loker itu ada kepala manusia. Ya namanya juga tipuan jin. Tujuannya membuat manusia ketakutan. 

______

"Serem amat, Del." Hani menggeliat takut.

"Iya," ujar Delina, singkat.

"Pantesan loker 13 selalu kosong."

"Rugi, kan lu gak ikut nimbrung. Mulai besok ikut kita nimbrung biar lu up to date." Delina menyarankan.

Hani tidak menanggapi. 

Tiba-tiba lampu ruangan kedip-kedip dengan sendirinya. Bulu kuduk Delina dan Hani meremang hebat.

"Del, gue takut," bisik Hani dengan bibir bergetar.

"Sama woi," balas Delina, lirih.

"Jangan-jangan dia tahu kalau lagi kita omongin," prasangka Hani.

"Hush ! Sembrono. Udah yuk, buruan keluar dari sini," ajak Delina kemudian, nada suaranya di buru-buru.

Hani lekas mengunci loker miliknya. Kemudian mereka berdua bergegas melaju pergi dengan langkah cepat.

🍁🍁🍁🍁🍁

Kini, kedua gadis itu sudah berada di luar area pabrik. Keadaan jauh lebih baik ketimbang tadi. Mereka jalan bersisian. Sore ini mendadak mendung.

Tiba-tiba perut Delina berbunyi. Karena jalanan agak lengang suara perut keroncongan gadis itu terdengar jelas di telinga Hani.

"Lu laper, Del?" tanya Hani.

"Iya," jawab Delina jujur di iringi senyum lebar.

"Gimana kalau kita mampir dulu ke warung mie ayam Pak Jayadi?" usul Hani.

Tentu saja langsung di sambut riang gembira oleh Delina.

"Ayo. Ayo." Delina nampak antusias.

"Tapi lu yang traktir, ya, Han," imbuhnya, tanpa canggung.

"Okey. Kurang baik apa coba gue sebagai teman." Hani mengiyakan permintaan sang teman.

"Lu itu teman ter- the best," puji Delina sambil merangkul bahu Hani.

Warung mie ayam Pak Jayadi bertempat tak terlalu jauh dari pabrik obat tersebut. Naik darat hanya membutuhkan waktu beberapa menit.

Warung mie ayam paling enak dan murah meriah. Pantas saja pelanggannya banyak.

*****

"Mie ayam bakso dua porsi, Mbak. Pangsit sama ayamnya banyakin, ya. Terus minumnya es teler sama es jeruk," sebut Delina apa saja yang di pesannya.

Hani sampai tercengang.

"Oke." Mbak Ayu mencatat semua pesanan Delina.

"Kalau adek mau pesan apa aja?" Kini, giliran Mbak Ayu menanyai Hani.

"Mie ayam satu porsi, Mbak. Untuk minumnya es jeruk aja," sebut Hani. Dirinya tidak se-barbar sang teman.

"Oke. Mohon tunggu." Mbak Ayu beranjak pergi.

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya pesanan yang di nanti-nantikan datang jua.

"Terima kasih, Mbak," ucap kedua gadis itu bersamaan.

"Masama, Dek," balas Mbak Ayu, kemudian kembali ke tempatnya.

"Del, lu yakin abis?" tanya Hani, sedikit ragu.

"Habis, dong. Kayak gak kenal gue aja lu. Gue, kan si paling banyak makan. Hehe," ujar Delina, terkesan cuek bila di ledek gemukan.

"Oke. Oke."

"Han, semisal lu gak abis, perut gue siap tampung, kok."

"Astaghfirullah." Hani beristighfar seraya mengelus dada.

"Sebelum makan baca do'a dulu, biar pas makan gak di recokin sama setan." Hani mengingatkan sang teman.

"Dah pasti itu mah," kata Delina sembari menuang saos dan sambal super banyak. Sampe merah tuh kuah.

Diam-diam Hani memerhatikan.

"Astaga. Gue punya temen gini amat," batin Hani.

Sebelum makan, kedua gadis itu berdo'a terlebih dahulu.

"Dia gak akan datengin kita, kan, Del?" tanya Hani di sela-sela mengunyah mie ayam.

"Anggia?" Delina berbalik nanya.

"Hu um."

"Gak lah. Ngaco lu."

"Tapi kita, kan habis ngomongin dia, Del."

"Yang ngomongin dia banyak. Gak cuma kita aja. Udah, deh gak usah panik. Slow." Delina masih bisa sesantai ini setelah apa yang mereka alami tadi.

Hani mendadak berhenti menyuapkan mie ayam ke mulutnya. "Tapi, gue takut, Del."

"Gak akan terjadi hal-hal aneh. Percaya sama gue." Delina mencoba meyakinkan sang teman.

Hani berharap demikian.

*****

"Makasih, ya Han atas traktirannya," ucap Delina setelah kenyang menghabiskan semuanya.

"Sama-sama," balas Hani di iringi senyum kecil.

"Nanti pas gajian gantian, deh gue yang traktir lu."

Pasalnya dalam beberapa Minggu ini Hani mentraktir Delina sebanyak empat kali. Delina jelas tidak enakan. Namun, di samping itu, ada untungnya juga punya teman seroyal Hani.

Selesai membayar semua pesanan, kedua gadis itu berjalan keluar dari warung. Sampai depan warung Hani dan Delina berpisah. Hani pulang ke rumah, sedangkan Delina ke kosan. Arah mereka berlainan.

"Dah, Hani!"

Delina mengucap salam perpisahan saat Hani sudah di dalam angkutan umum.

"Dah!" seru Hani.

"Hati-hati di jalan!"

Angkutan umum yang di tumpangi Hani telah jauh melaju. Sementara, Delina terus melangkah. Kosannya dekat dari sini. Jalan kaki juga sampai.

Setibanya di kosan, Delina bersegera mandi. Seharian bekerja membuat badannya terasa lesu. Faktanya mandi bisa menyegarkan tubuh.

Pukul 17.30 WIB.

Delina tampak sedang bersantai di kasur sembari ngemil keripik singkong. Perut gadis itu seperti karet. Muat menampung banyak makanan.

"Kak Naomi, kok belum nyampe kosan, ya?" Delina bermonolog.

Kak Naomi adalah sepupu Delina. Wanita itu bekerja di pabrik kosmetik. Biasanya jam setengah enam sore sudah sampai rumah.

"Telpon aja, deh."

Delina berinisiatif menelepon sang sepupu guna menanyakan kapan kepulangannya.

Ponsel sudah di genggaman, Delina mulai menghubunginya. Beberapa detik kemudian panggilan tersambung.

"Hallo, Del! Kenapa nelpon gue?"

"Lu, kok tumben beloman sampe?"

"Habis nganterin pulang temen gue. Kasian dia lagi kurang sehat."

"Oh. Pantes lama."

"Makin sore makin macet."

"Bukan Jakarta kalo gak macet mah."

"Iya. Untung gue jago nyalip."

"Hati-hati bawa motornya. Masih kredit, kan."

"Iya tau! Udah, ya gue jalan lagi."

"Iye. Iye."

Perbincangan via telepon di akhiri. Bersamaan dengan itu, Delina bersendawa cukup panjang.

"Kenyang banget gue hari ini," ungkapnya.

"Hooaamm."

Delina mendadak di serang rasa kantuk yang hebat. Sebelum rebahan ia menengok sebentar jam di ponselnya. 

Pukul 17.40 WIB.

"Udah mau Maghrib. Tidur bentar gak apa lah. Ngantuk banget."

Delina memutuskan untuk tidur. Padahal ia tahu pamali tidur menjelang Maghrib. Namun, malah ia langgar.

*****

Sepuluh menit terlewati. Dengan mudahnya Delina terlelap dalam tidur.

Kriet…

Pintu kamar membuka pelan dengan sendirinya. Sesosok wanita berdiri mematung di bibir pintu.

"Delina. Delina."

Sayup-sayup Delina mendengar namanya di sebut. Suara itu lirih nan serak. Pun, hawa dalam kamar mendadak begitu dingin.

Delina membuka kelopak matanya dengan tempo pelan. Suara itu masih terdengar.

Kelopak mata Delina telah membuka sempurna.

"Di sini," ucap sosok itu.

Tatapan Delina langsung tertuju ke arah pintu kamar yang terbuka lebar. Dan kalian tahu? Delina melihat wujud seorang wanita berdiri di situ. Wajahnya cantik namun pucat bagai mayat. Sosok itu tersenyum cukup lebar sambil melotot tajam ke arah Delina.

Tatapan sosok itu tajam nan dingin. Sontak saja Delina terperangah.

"Ka—kamu siapa ?" tanya Delina tergagap.

"Aku Anggia. Kamu habis ngomongin aku, kan? Hihihihihi." Sosok wanita itu menjawab dan di akhiri tawa melengking.

Delina cermati lagi sosok itu. Yang di kenakannya bukan gaun putih lusuh, melainkan seragam kerja. 

Seragam itu sama persis seperti punya Delina.

Delina kali ini percaya bahwa wanita itu adalah Anggia, Si Hantu Loker.

"Hah!" Bibir Delina menganga lebar.

"Nggak. Ini pasti cuma mimpi," tuturnya, berusaha menampiknya.

Anggia secara tiba-tiba melepas kepalanya dan menentengnya. Menyaksikan momen ekstrim itu jelas saja Delina makin terkaget-kaget sekaligus ketakutan.

"Aku adalah wanita yang kalian bicarakan," ucap Anggia dengan nada datar nan dingin.

Anggia mulai melayang menghampiri Delina yang masih terbaring di ranjang tidur.

Pada saat itu, Delina hendak kabur. Namun, sialnya seluruh tubuhnya mendadak kaku. Ia berusaha berteriak meminta tolong. Tetapi, suaranya tidak mau keluar. Layaknya orang gagu.

Sementara, tubuh wanita tanpa kepala itu kian dekat ke arah Delina berada. Delina tidak bisa berkutik. Akhirnya pasrah saja.

Kini, jarak mereka berdua hanya terpaut satu meter. Anggia duduk di tepi ranjang kemudian meletakkan kepalanya di atas perut Delina.

Wajah Anggia yang semula cantik seketika berubah menjadi sangat mengerikan. Dengan mulut dan lubang mata yang mengeluarkan banyak sekali ulat, belatung, cacing dan kelabang. Sungguh kolaborasi yang luar biasa.

Ketakutan serta kengerian yang berpadu jadi satu di wajah Delina terpancar jelas nan nyata. Sosok itu justru senang melihat Delina seperti itu.

Hewan-hewan kecil dan menggelikan itu mulai merambat naik ke atas. Delina mendelikkan mata.

Tak butuh waktu lama hewan-hewan melata itu mengerubungi batok kepala Delina. Hingga, menutupi wajahnya.

"Hahahahaha!!" Sosok wanita itu tertawa nyaring.

Lamat-lamat terdengar suara seorang pria melantunkan Surah Al Baqarah.

Aaaaaaa!!!"

Jeritan kesakitan sosok itu mengakhiri semua peristiwa mengerikan ini.

Sosok Anggia melesat hilang bagai angin.

*****

"Hah! Hah! Hah!"

Delina terbangun dengan napas tersengal-sengal. Bulir-bulir keringat sebesar biji jagung menyerbu wajahnya yang putih bersih.

"Alhamdulillah." Semua mengucap syukur.

Delina kebingungan, mengapa banyak sekali orang mengerubunginya di ruang tamu kosan? Dan juga mengapa dirinya di baringkan di atas karpet?

Delina tatap mereka semua yang duduk di lantai. Di dekat dirinya ada Kak Naomi yang dari gestur dan air mukanya tampak sangat cemas.

Tak jauh dari Kak Naomi ada Pak Rusli beserta istrinya.

"Ada apa, ya?" Delina bertanya-tanya.

"Jam enam sore begitu gue sampai kosan, gue masuk kamar dan mendapati lu kejang-kejang sambil melotot. Terus gak lama lu teriak-teriak kayak orang kesurupan," papar Kak Naomi. Masih ngeri membayangkan adegan tersebut.

"Ya ampun." Delina membatin, syok.

"Berarti tadi itu cuma mimpi. Tapi, kenapa berasa nyata banget." Ia masih membatin.

"Nak Delina, minum dulu. Ini air sudah bapak do'akan."

Pak Rusli, selaku pemilik kosan menyuruh Delina agar meminum habis air do'a tersebut.

Delina menggapai gelas itu dari tangan Pak Rusli. 

"Baca Bismillah dulu, Del." Bu Hanna mengingatkan.

"Bismillah," ucap pelan Delina. Lalu ia meneguk air itu hingga tandas.

"Gue bingung pada saat itu harus ngapain. Terus terbesit pikiran buat minta tolong Pak Rusli sama Bu Hanna. Udah gitu anak-anak kos pada kepo sekaligus ikutan panik. Ya udah beberapa dari mereka ngegotong badan lu untuk di baringkan di ruang tamu kosan." Kak Naomi meneruskan kronologinya secara urut.

"Badan lu berat amat pas kita gotong, Del," ungkap Sisy, si pemilik badan tinggi besar.

"Kata Pak Rusli, lu di ganggu makhluk halus," timbrung Agatha.

Pak Rusli adalah dokter psikolog. Di samping itu, beliau juga mendalami ilmu ruqyah syar'iyyah.

"Nak Delina tahu gak kenapa bisa di ganggu?" Pak Rusli melempar pertanyaan sembari tersenyum.

"Nggak, Pak," jawab Delina seraya menggeleng.

"Karena Nak Delina tidur menjelang Maghrib." Pak Rusli memberitahu penyebabnya.

"Pas itu saya ngantuk banget, Pak. Gak bisa di tahan," ungkap Delina.

Ia tak menyangka akan berdampak parah seperti itu. Di tambah lagi, sewaktu di pabrik ia bersama Hani membahas Anggia. Makin menjadi, deh gangguannya.

"Dari segi kesehatan memang gak baik tidur pas mau Maghrib. Rentan juga di ganggu oleh makhluk tak kasat mata," terang Pak Rusli, tanpa bertele-tele.

Delina menunduk dalam. "Maaf, Pak, Bu, teman-teman. Udah merepotkan kalian semua," ucapnya, merasa bersalah.

"Lain kali jangan di ulangi lagi, ya." Pak Rusli mengingatkan. Tidak ada tanda-tanda kemarahan di wajahnya.

"Berlaku juga untuk yang lainnya," sambungnya, kali ini di tujukan kepada semua penghuni kos putri.

"Lebih baik di isi dengan sholawatan, ngaji atau kegiatan positif lainnya sambil nunggu adzan Maghrib berkumandang." Bu Hanna angkat bicara.

"Bener, tuh kata Bu Hanna. Paham, ya?" tanya Pak Rusli.

"Paham, Pak," jawab mereka serempak.

"Allahu Akbar… Allahu Akbar…"

Terdengar azan Isya berkumandang.

"Alhamdulillah," ucap Pak Rusli.

"Nak Delina, sudah membaik?" tanyanya kemudian.

"Udah, Pak," balas Delina, singkat.

"Bapak mau ke masjid dulu. Kalau ada apa-apa langsung temui Bu Hana saja," pesan Pak Rusli. Mengingat beliau bisa berjam-jam di rumah Allah.

"Baik. Terima kasih banyak, Pak atas semuanya," tutur Delina.

"Sama-sama," jawab Pak Rusli, tak hentinya tersenyum.

Pak Rusli dan Bu Hana beranjak pergi. Di ikuti anak-anak kos.

Di ruang tamu menyisakan Delina dan Kak Naomi saja.

"Kak, emang gue pingsan selama ini, ya?" tanya Delina, bingung.

"Iya. Lu kesurupan terus pingsan, deh."

"Perasaan gue baru merem bentaran doang ?"

"Menurut lu itu mah. Kan, lu lagi gak sadar."

"Iya kali, ya."

Delina tidak menceritakan perihal mimpinya yang terasa nyata dan mengerikan itu kepada Kak Naomi.

"Udah, yuk balik ke kamar," ajak Kak Naomi.

"Gue masih lemas," manja Delina.

"Lu mau gue beliin apa?" Kak Naomi menawari.

"Nasi goreng kambing sama martabak telor spesial," sebut Delina dengan cepat.

Kak Naomi mengembuskan napas pelan. "Oke. Gue beliin."

"Maacih kakak cantik," ucap Delina di sertai pujian.

Keduanya pun kembali ke kamar.

*****

Setelah peristiwa itu, Delina mengalami sakit selama satu Minggu lamanya. Untung tidak parah. Jadi, tidak perlu opname di rumah sakit.

Gadis itu di antar pulang ke rumahnya di daerah Lampung. Kak Naomi sudah pasti sedih.

Tujuh hari terlewati. Delina balik lagi ke Jakarta dan mulai bekerja seperti biasanya.

Saat jam istirahat Delina dan Hani saling bertukar cerita. Tentunya menyangkut soal Anggia.

"Gue juga di datengin lewat mimpi sama dia. Tapi gak sampe separah lu, Del. Asli serem dan serasa nyata banget. Hih!" cerita Hani, berulangkali mengusap tengkuk lehernya.

Mereka berdua mengalami mimpi yang sama. Namun, di waktu yang berbeda. Kalau Hani sekitar jam dua dini hari.

"Kayaknya dia marah, deh, Han kita omongin."

Memang sebaiknya jangan membicarakan orang yang telah tiada.

"Hu um. Kata ustadz kirimin Al Fatihah aja supaya tenang," info Hani.

"Ya udah nanti abis salat zuhur kita kirimin do'a buat Mbak Anggia."

Sejak kejadian mimpi menyeramkan dan kesurupan itu, Delina dan Hani kapok ngomongin hal-hal berbau horror. Apalagi menyangkut orang yang sudah meninggal dunia.

*****

-Tamat-

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Terror Anggia
Amelia Purnomo
Skrip Film
Sugih
Refy
Komik
TOLONG KAMI
Andrianto
Novel
Boneka Petaka
Eve Shi
Cerpen
Bronze
Lilo Main Dengan Siapa
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Cerita Ratna, Seorang Pengarang, dan Sebuah Novel
Habel Rajavani
Cerpen
BONEKA KAYU
Rian Widagdo
Cerpen
Bronze
Ketika Malam
Refy
Novel
RUMAH: Ada Aku di Sana!
Dea Ayusafi
Flash
Rebonding
Anna Asa'ari
Flash
Kuyang
Rina F Ryanie
Flash
Bronze
Pemakaman Jhon Mortonson karya Ambrosr Bierce penerjemah : ahmad muhaimin
Ahmad Muhaimin
Skrip Film
Mauliate Gendis (ScreenPlay)
Fitri Handayani Siregar
Cerpen
TUSELAK
Marion D'rossi
Novel
Kering
D. Andar
Rekomendasi
Cerpen
Terror Anggia
Amelia Purnomo
Cerpen
Pengajian
Amelia Purnomo
Cerpen
Besuk
Amelia Purnomo
Cerpen
Langkah Sepatu Bot
Amelia Purnomo
Cerpen
Dendam Barbie
Amelia Purnomo
Cerpen
Bronze
Ulang Tahun
Amelia Purnomo
Cerpen
Boneka Terkutuk
Amelia Purnomo
Cerpen
Video Call
Amelia Purnomo
Cerpen
Numpang Ke Kamar Mandi
Amelia Purnomo
Cerpen
Mau Pulang
Amelia Purnomo
Cerpen
Cosplay Jadi Guling
Amelia Purnomo