Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Self Improvement
TERPERANGKAP JEJAK KELABU
0
Suka
23
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Gang Gulita, bahkan namanya pun terasa seperti bisikan iblis di tengah malam. Lebih dari sekadar lorong sempit yang minim cahaya, tempat ini adalah rahim kegelapan itu sendiri. Udara pengap terasa mengental, membawa serta jejak duka dan putus asa yang mengendap di setiap sudut. Kegelapan bukan hanya menyelimuti, tetapi juga merasuki, sebuah cengkeraman dingin yang membekukan senyum dan menyisakan tatapan kosong para penghuninya.

Sang surya pun sepertinya enggan menyapa Gang Gulita, seolah jijik dengan kegelapan yang bersemayam di sana. Udara pengap berbaur dengan samar aroma alkohol, menciptakan atmosfer suram yang mencekik gang sempit itu. Di tengah kubangan nestapa inilah aku dipaksa tumbuh. Dahulu, sebelum kegelapan merenggutku, mataku adalah jendela pagi penuh bara keingintahuan, dan senyumku mampu mencairkan hati paling beku. Namun, Gang Gulita bukanlah sekadar tempat tinggal; ia adalah sekolah kehidupan yang kejam, dengan kurikulum penderitaan dan ujian tanpa ampun, siap memangsa kepolosan dan memadamkan setiap secercah harapan.

Sebuah gubuk reyot milikku, bahkan nyaris tak pantas disebut rumah. Di sanalah, di antara dinding bambu yang lapuk, aku tinggal bersama ibuku yang bekerja sebagai buruh cuci. Bagiku, gubuk rapuh itu adalah duniaku, satu-satunya tempat berlindung yang aku kenal. Tak jauh dari gubuk kumuhku, tepat di seberang, terdapat sebuah gubuk kosong dengan pencahayaan lirih bagai kunang-kunang, menjadi oase bagi anak-anak nakal. Sejak kecil, aku akrab dengan pemandangan anak seusia yang alih-alih membaca buku-buku lusuh yang mengantar pada gerbang cita-cita, yang aku lihat justru kartu-kartu remi di tangan mereka, asap rokok yang mengepul membentuk kabut kelabu di benak mereka, dan botol-botol minuman keras yang mengkilap dingin, menjanjikan pelarian semu dari kerasnya kenyataan. Tawa mereka bukan riang, melainkan hampa, sering kali pecah diiringi umpatan kasar yang membahana di sepanjang gang sempit itu, menusuk gendang telingaku dan meracuni hari-hariku. Perlahan, kabut kepolosan itu menipis. Tak jarang, aku menyaksikan mata merah dan langkah sempoyongan orang-orang yang keluar masuk gubuk tersebut.

Rasa ingin tahu membakar benakku. Mataku terpaku ketika Rey, bocah seusiaku yang juga penghuni gang, menghilang di balik remangnya gubuk tersebut. Tak lama, Rey muncul kembali, menarik paksa aku ke dalam lingkaran setan pertemanan itu. Rey, dengan penampilannya yang urakan dan sorot mata liar, adalah representasi sempurna dari kebebasan semu. Dialah yang menyodorkan sebatang rokok pertama padaku, sebuah 'coba-coba' yang sayangnya berujung pada ketergantungan. Rasa ingin tahu yang keliru membawaku mencicipi minuman keras, awalnya hanya seteguk kecil, namun kemudian menjadi kebiasaan yang tak terkendali. Aku menyaksikan bagaimana orang-orang di sekitarku mencari pelarian semu dalam dunia khayal narkoba, berupaya meraih kebahagiaan sesaat di tengah kerasnya kenyataan. Tanpa sadar, aku pun ikut terseret arus, terhisap ke dalam pusaran kehancuran yang sama.

Di sudut gubuk kosong yang pengap, aku meringkuk, asap rokok mengepul membentuk lingkaran hampa di sekelilingku. Mataku nanar menatap dinding yang penuh coretan tak berarti. Rasa bersalah sesekali menyelinap di antara kabut nikotin, membayangi wajah ibuku yang penuh harap. Namun, bayangan itu segera terusir oleh desakan candu yang lebih kuat.

"Ibu..." batinku getir. "Setiap hari seperti ini. Gelap... bukan hanya di luar, tapi juga di matanya. Ayah? Siapa dia? Hanya hantu dalam cerita sedih Ibu. Datang, merenggut... lalu hilang. Meninggalkan luka yang sama menganga di hati kami berdua."

Napasku terasa berat. "Rumah itu... dingin sekali. Bukan hanya karena dindingnya yang rapuh, tapi karena tidak ada kehangatan. Hanya sunyi yang mencekam. Aku mencari... mencari sesuatu yang berbeda di luar sana. Kehidupan luar memang keras, tapi setidaknya... di sini ada 'sesuatu'. Di sana... hanya ada kehampaan yang menelanku perlahan."

Aku yang dahulunya lincah dan penuh tawa, kini meredup menjadi sosok pendiam dengan bara amarah yang mudah tersulut. Bangku sekolah tak lagi menggugah minatku. Hari-hariku kini lebih sering dihabiskan di gubuk kosong yang remang dan sunyi. Uang pemberian ibuku, yang diperoleh dengan susah payah untuk sekolahku, ludes untuk asap rokok dan cairan haram yang membakar tenggorokanku. Kebohongan menjadi tameng, semua itu aku lakukan demi hasrat candu yang kian mencengkeramku.

##

Malam itu, rembulan pucat menggantung di langit kelabu Gang Gulita, menjadi saksi bisu pemandangan yang menghujam nuraniku.

"Mau ke mana, manis? Sendirian saja?" Rey menyeringai jijik, mencengkeram lengan gadis itu.

Gadis itu gemetar ketakutan. "Lepaskan saya... jangan ganggu saya..."

Rey tertawa kasar. "Jangan ganggu katamu? Di Gang Gulita ini, tidak ada yang namanya 'jangan'!" Ia menyeretnya lebih kuat.

"Tolong! Tolong siapapun!" Gadis itu berteriak tertahan.

Suara itu... suara ketakutan yang sama yang sering kudengar di gang ini. Tapi ini... ini berbeda. Ini lebih buruk.

Tidak! Jangan lakukan itu, Rey! Ini salah! Sangat salah! Batinku menjerit, namun bibirku kelu, suaraku tertahan di tenggorokan.

"Diam! Jangan berteriak!" Sayup-sayup terdengar dari dalam gubuk.

Aku harus melakukan sesuatu... aku harus menghentikannya... tapi bagaimana? Dia... dia akan menyakitiku jika aku ikut campur. Aku pengecut... aku benar-benar pengecut. Air mataku semakin deras.

Sebelum Rey berhasil menyeret gadis itu sepenuhnya ke dalam gubuk, ia menatapku dengan mata penuh permohonan. "Tolong... kamu lihat kan? Tolong saya..."

Aku menunduk semakin dalam, tidak berani membalas tatapannya.

"Jangan harap ada yang menolongmu di sini!" Rey membentak, mendorong gadis itu kasar ke dalam gubuk kosong.

Mata itu... tatapan putus asa itu akan terus menghantuiku. Aku melihatnya... dan aku tidak melakukan apa-apa. Aku membiarkannya terjadi.

Dulu, aku akan marah melihat ini. Dulu, aku mungkin akan mencoba membantu. Tapi sekarang... rasa takut telah menggerogoti semua keberanianku. Aku hanya bisa melihat... dan merasakan sesuatu mati di dalam diriku. Setiap kejahatan di gang ini... sedikit demi sedikit mengikis kemanusiaanku. Sebentar lagi... aku mungkin tidak akan merasakan apa-apa lagi.

Jeritan tertahan gadis itu bagai serpihan kaca yang menusuk-nusuk nuraniku. Aku hanya bisa tertunduk dalam remang malam, membiarkan air mata kepedihan mengalir tanpa suara, berpura-pura tuli dan buta terhadap kejahatan yang merobek kesucian di depan mataku. Malam itu, bukan hanya kehormatan gadis itu yang dirampas, melainkan juga sisa-sisa cahaya terakhir dalam jiwaku, yang meredup dan sekarat dalam kegelapan penyesalan.

###

Gelap mencekam gubuk reyot kami saat aku kembali dari kerasnya hari. Langkahku terhenti di ambang pintu, kerutan lelah menghiasi wajahku. Hening. Gio, buah hatiku, tak menyambutku seperti biasa. Mana keceriaan yang selalu mengisi ruang sempit ini?

Gelombang kecemasan menerjang benakku. Aku berlari keluar, mencari sosok mungil Gio di antara rembulan yang samar. Pertanyaan pilu meluncur dari bibirku kepada tetangga yang kebetulan melintas. "Di mana Gio? Apakah kalian melihatnya?"

"Coba lihat di gubuk kosong seberang, Bu."Jawaban tetangga itu bagai petir di siang bolong.

Jantungku mencelos. Gubuk kosong itu... sarang anak-anak nakal, tempat tawa riang sering bercampur umpatan kasar dan bau asap menyesakkan. Benakku berkecamuk. Mungkinkah malaikat kecilku, Gio yang polos dan ceria, kini terperangkap dalam kegelapan sana? Ketakutan mencengkeram hatiku lebih kuat dari dinginnya malam.

Dengan langkah gemetar, aku menyeberangi jalan setapak yang berdebu. Pintu gubuk reyot itu terbuka dengan engsel berkarat yang menjerit pilu. Kegelapan pekat menyambutku, hanya samar diterangi celah cahaya bulan yang mengintip dari atap bocor.

Kemudian, pekikan histeris memecah keheningan malam. Suara pilu dari kerongkonganku menggema di antara dinding-dinding lapuk gubuk itu. Di sudut ruangan yang pengap, tergeletak tubuh Gio tak berdaya. Darah merah pekat mengalir deras dari pergelangan tangannya, menodai lantai tanah yang dingin.

Napas ku tercekat. Mataku nanar menatap pemandangan mengerikan di sekeliling Gio. Bau alkohol yang menyengat menusuk hidungku, bercampur dengan aroma tembakau yang menyesakkan. Di lantai berserakan bungkus rokok kosong dan botol-botol hijau yang tergeletak tanpa isi.

Duniaku runtuh seketika. Air mata membanjiri wajahku yang pucat pasi. Aku mendekap tubuh Gio yang dingin, meratapi nasib tragis buah hatiku. Malam itu, bukan hanya kegelapan yang merenggut Gio, tetapi juga mimpi-mimpiku tentang masa depan cerah anakku.

"Gio!!!" Suaraku tercekat, antara teriakan dan tangisan.

"Oh, Gusti... apa ini? Anakku... mengapa jadi begini?" Aku meratap histeris, tubuhku bergetar hebat.

Remuk redam hatiku mendapati buah hatiku terbaring tak berdaya dalam genangan darah. Di tengah isak tangis yang memilukan, aku bergegas mencari pertolongan tetangga sembari menyalahkan diriku sendiri karena terlalu sibuk mencari nafkah untuk kami berdua tanpa memperhatikan buah hati kecilku. Dengan bantuan seadanya, Gio dilarikan ke puskesmas terdekat. Kehilangan banyak darah, namun takdir berkata lain, Tuhan masih memberinya kesempatan untuk bernapas.

###

Kelopak mataku terbuka perlahan. Hal pertama yang kulihat adalah wajah Ibuku yang basah oleh air mata. Tapi hatiku, yang sudah membeku entah sejak kapan, seolah tak lagi bisa merasakan kesedihan itu. Aku merasa sudah terlalu jauh terperosok ke dalam jurang kegelapan, dan tak ada keinginan sedikit pun untuk kembali ke cahaya. Diriku telah menyatu dengan lingkungan yang penuh kerusakan ini, menjadi pantulan suram dari orang-orang di sekitarku. Senyum cerah masa laluku sudah lama terkikis, digantikan oleh seringai sinis seorang anak yang kehilangan kompas, terperangkap dalam pekatnya bayang-bayang Gang Gulita.

"Cahaya...?" batinku mencibir pedih. "Cahaya macam apa yang bisa menembus pekatnya Gang Gulita dalam diriku? Cahaya hanya akan membutakan mataku yang sudah terbiasa dengan remang. Hanya akan membakar kulitku yang telah menyatu dengan dinginnya kegelapan ini. Di sini... di dalam jurang ini... aku menemukan 'rumah'-ku. Aku mengerti bahasa bisu bayangan, aku hafal setiap sudut kelamnya. Di sini, aku tidak perlu berpura-pura. Senyum... senyum itu sudah lama mati. Tinggal seringai dingin yang menjadi topengku. Kenangan tentang tawa riang itu... bagai mimpi buruk yang samar, sesuatu yang hilang dan tak mungkin kembali. Aku bukan lagi anak itu. Anak itu sudah terkubur di bawah reruntuhan Gang Gulita."

Malam-malam di Gang Gulita menjadi saksi bisu perubahanku. Setelah keluar dari puskesmas, bukannya kembali ke rumah, aku malah semakin dalam menyelami kegelapan gang itu. Tatapan mataku yang dulu penuh binar kini meredup, digantikan oleh sorot dingin yang menyimpan bara dendam tersembunyi. Kebencian tumbuh setiap kali aku melihat Ibuku. Di mataku, Ibuku adalah simbol dari kehidupanku yang malang. Jika saja Ibuku tidak terlalu sibuk mencari nafkah, membanting tulang dari pagi hingga malam, mungkin aku tidak akan terlantar dan berakhir menjadi korban di Gang Gulita ini.

Bukan takdir yang menjerumuskanku ke dalam jurang kegelapan. Aku lahir tanpa membawa benih kejahatan, sebersih kanvas yang siap dilukis dengan warna-warni dunia. Namun, Gang Gulita, dengan atmosfer pengap dan aroma keputusasaan yang menyesakkan, menjadi 'seniman' yang kejam. Lingkungan itu perlahan merenggut setiap inchi keluguanku, seperti air bah yang mengikis tebing harapan. Tawa riangku yang dulu bagai lonceng pagi, kini hanya menjadi gema samar yang menyakitkan di telinga Ibuku. Aku adalah cerminan buram dari kegelapan Gang Gulita, seorang anak yang kehilangan arah dan terperangkap dalam labirin keputusasaan tanpa jalan keluar.

###

Napas tersengal, aku terbangun. Sekujur tubuhku basah oleh keringat dingin, jantung berdebar seperti genderang perang. Samar-samar, cahaya pagi menyelinap dari celah tirai lusuh. Bau alkohol dan tembakau yang mencekik tadi hanyalah ilusi, digantikan oleh aroma tanah basah sehabis hujan semalam. Aku meraih ponsel di nakas, layarnya menunjukkan pukul 06.30.

"Mimpi," bisikku, suara serak. Mimpi buruk itu, selalu sama, selalu menghantuiku sejak insiden di Gang Gulita beberapa tahun lalu. Setiap detailnya terasa begitu nyata, terlalu nyata untuk sekadar bunga tidur. Aku bangkit dari ranjang, langkahku goyah menuju cermin. Di sana, pantulan Gio yang dulu, si anak ceria penuh bara keingintahuan, sudah tak ada. Yang terpantul hanyalah sosok asing dengan mata lelah dan bekas luka tipis di pergelangan tangan kiriku, pengingat abadi akan malam terkelam itu. Aku menghela napas panjang, mencoba mengusir sisa-sisa kengerian mimpi yang masih melekat. Namun, aku tahu, itu bukan hanya mimpi. Itu adalah bayangan masa laluku yang enggan pergi, pengingat tentang Gang Gulita yang telah membentukku menjadi siapa aku sekarang. Dan pertanyaan besarnya adalah, mungkinkah aku bisa benar-benar keluar dari bayangan itu, ataukah aku ditakdirkan untuk selamanya terperangkap di dalamnya?

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Self Improvement
Cerpen
TERPERANGKAP JEJAK KELABU
Yuni Aderiyanti
Cerpen
Pemuda Di Kamar 17
Sucayono
Cerpen
Langit Tak Pernah Menutup Jalan
Muhammad Hairul Umam
Novel
Antara mesin produksi dan hati yang remuk
Bang Jay
Cerpen
Bronze
Bahasa Luka yang Tak Kembali
Shavrilla
Cerpen
Bronze
Sukses Berbudidaya Tomat
Putut Dwiffalupi Sukmadewa
Flash
KEGELISAHANKU KARENA PANDEMI BELUM BERLALU
Liza Pratama
Flash
Langkah Pertama
Penulis N
Cerpen
Bronze
APA ITU CINTA?
Retchaan
Flash
Kesunyian mawar merah
sk_26
Flash
Noises Inside My Head
Steffi Adelin
Flash
Dansa Diketiadaan
Ninazyn
Novel
Rungkad: Jalan Terjal Menuju Sukses Sebagai CEO
Arka Zayden
Cerpen
Bronze
Bukan Lagi Kita
Muhamad Irfan
Komik
Hidup Sehat ala Haryanto dan Teman-teman
Miftah Faturrachman
Rekomendasi
Cerpen
TERPERANGKAP JEJAK KELABU
Yuni Aderiyanti