Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Terpaksa Merampok
9
Suka
1,234
Dibaca

Nira terbangun dari tidurnya, ia memperhatikan jam dinding di hadapannya yang menunjukkan pukul 02.20 dini hari.

“Ayah ....”

Ia bermimpi dan rasa rindu kembali menyelubungi dirinya. Nira terisak, teringat kembali peristiwa setahun silam. Tragedi mengenaskan yang dialami oleh sang ayah hingga merenggut nyawanya. Sejak kejadian tersebut, Nira merasa sunyi yang tak berujung. Seminggu setelah ulang tahun Nira yang ke dua puluh satu, ia harus kehilangan sosok yang paling dicintai.

Ayah Nira, yang biasa di panggil Pak Aryo bekerja di sebuah bank terbesar di kota A dan memiliki jabatan sebagai direktur. Usai rapat pertemuan dengan para direksi, tiba-tiba ada sekelompok pria mengenakan pakaian serba hitam dengan penutup kepala, masuk ke dalam bank membuat keributan. Mereka mengeluarkan senjata tajam dan meminta karyawan-karyawannya untuk memberi uang sebanyak sepuluh karung. Perampok-perampok itu sudah menyiapkan sepuluh karung kosong untuk tempat menyimpan uang.

Ketik Pak Aryo mengetahui ada keributan, ia langsung bergegas mengumpulkan petugas keamanan. Setelah itu langsung keluar menghadapi para perampok. Suasana tegang menyelimuti, karena sempat terjadi baku hantam para perampok dengan petugas keamanan. Hal yang tak terduga pun terjadi, salah satu perampok mengeluarkan senjata api dan peluru menembus bagian kepala Pak Aryo yang mengakibatkan nyawanya tak tertolong.

Karena ada yang celaka, cepat-cepat para perampok pergi dan tinggal satu orang yang masih diam terpaku di tempat. Dia adalah Bima. Tak lama kemudian datang polisi dan hanya Bima yang ditangkap, sedangkan perampok yang lain sudah tidak diketahui keberadaannya.

Yang Nira tahu, Bima telah menembak ayahnya. Sekarang, Bima sedang mendekam di dalam penjara.

Sambil memeluk boneka kesayangannya, Nira menangis tersedu-sedu. “Ayah, Nira rindu ... mau peluk ayah, hiks ... hiks ....”

Sungguh perih rindu yang mendera Nira, rindunya seorang anak kepada ayah. Rindu yang tak akan pernah bisa direngkuh kembali. Nira menyingkap selimut dan beranjak, berdiri menghadap foto-foto dinding kamar bersama keluarga yang tampak ceria.

Di dalam benak Nira yang mulai dipenuhi dengan amarah berkata, “Ayah orang baik, orang yang lebih banyak mendengar daripada bicara, ayah enggak punya musuh dan ayah juga orang yang gampang akrab sama orang lain. Tapi, kenapa ayah pergi dengan cara seperti ini? Aku belum bisa terima kepergian Ayah. Aku benar-benar kehilangan dan sebentar lagi aku bakal wisuda ... Aku berusaha selesaikan kuliah demi ayah, tapi ayah sudah enggak ada. Aku bakal balas orang yang bikin ayah pergi. Apa maunya dia? Selama ini aku diam karena fokus untuk selesaikan kuliah, sekarang sudah selesai. Aku bakal cari tahu tentang Bima. Kenapa dia melakukan ini? Kenapa dia bikin Ayah pergi?”

Pagi-pagi, Nira sudah berada disalah satu lembaga pemasyarakatan tempat Bima mendekam. Ia mencari tahu tentang Bima dan membaca ulang semua perkara. Bima dijatuhkan hukuman penjara selama 10 tahun atas perampokan dan pembunuhan. Tapi ada temuan yang baru Nira ketahui, bahwa ada delapan orang yang melakukan perampokan kala itu dan hanya Bima yang dijatuhi hukuman.

Nira mendatangi salah satu Petugas dan bertanya, "Pak kalau perampoknya ada 8, kenapa cuma 1 yang dipenjara?"

"Itu karena, perampok yang lain sudah kabur Mbak dan hanya Bima yang masih berada di tempat kejadian." Jawab Petugas.

"Saya mohon Pak, temukan 7 pelaku lainnya!" Pinta Nira.

"Ya Mbak, sampai sekarang kami masih mencari para pelakunya."

"Terima kasih Pak. Saya doakan, para pelakunya cepat ketemu."

Nira menemukan alamat Bima dan nomor telepon keluarga Bima. Dari sana, ia mulai mencari tahu tentang Bima. Pulang dari LAPAS, Nira langsung mencari rumah Bima.

Alamat Bima sungguh susah untuk ditemukan. Walaupun Nira sudah punya nomor keluarga yang bisa dihubungi, ia mau tahu keberadaan keluarga Bima dulu. Karena lelah, Nira mampir ke warung kopi. Ada cukup banyak orang-orang di sana. Nira memesan segelas es teh manis dan mencomot pisang goreng. Usai mengunyah dan menyeruput minumannya, Nira mendapat ide untuk bertanya tentang Bima ke salah satu pembeli. Ada seorang yang cukup meyakinkan yang sedang menuangkan kopi panas ke lepek.

Tanpa basa-basi, Nira langsung bertanya. “Pak, tahu rumahnya Bima?”

“Bima yang mana?” tanya si bapak.

Nira menoleh ke kanan-kiri dan membentuk telapak tangannya seperti teropong ke arah telinga si bapak sambil berbisik “yang dipenjara gara-gara kasus pembunuhan.”

“Oh ... itu, saya tahu. Tapi Mbak siapa?”

“Saya anak dari korban yang dibunuh Pak.”

Si Bapak tampak terkejut. “Mbak, kita pindah tempat duduk ya. Saya mau kasih tahu sesuatu.”

Nira mengikuti.

Si Bapak mulai berbicara kembali. “Begini mbak, saya tahu sekali dengan keluarga Bima dan saya yakin bukan Bima yang membunuh.”

“Maksud Bapak?” Tanya Nira dengan nada tinggi.

“Sedari kecil, Bima berada di sini. Lahir sampai besar di lingkungan yang miskin dan penuh tekanan. Umur delapan belas tahun, ayahnya meninggal. Setelah itu, ibunya jadi sakit-sakitan. Akhirnya Bima yang menjadi tulang punggung keluarga. Adiknya ada dua, perempuan. Dengan pekerjaan yang tidak tetap dan penghasilan yang sangat minim juga, Bima sering kali harus melewatkan makan untuk memastikan adik-adiknya bisa makan. Kalau sehat, Ibunya juga bisa kerja.

Nira terdiam mendengar penjelasan si bapak.

Si Bapak melanjutkan cerita. “ Dan sampai akhirnya, Ibu Bima tidak bisa lagi bekerja dan butuh perawatan medis yang mahal. Bima terpaksa mencari cara untuk mendapatkan uang cepat. Di sinilah dia bertemu dengan sekelompok orang yang menawarkan uang dengan syarat Bima harus ikut serta dalam aksi perampokan.

Bima awalnya menolak, tapi tekanan yang terus meningkat dan sakit ibunya semakin parah, dia merasa tidak punya pilihan lain. Dia yakin bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan ibu dan adik-adiknya dari kemiskinan.

Ada air mata yang menggenang di pelupuk mata Nira. Tapi, ia langsung tegas kembali dan bertanya. “Kenapa bapak bisa tahu sekali dengan Bima? Bapak tidak mengarang-ngarang cerita kan?”

Hahaha ... mengarang cerita apa Mbak? Saya ini tetangga Bima, sekarang setiap hari istri saya bolak-balik rumah Bima. Kami Mbak yang antar Ibunya ke rumah sakit dan kasih makanan. Saya juga rutin membesuk Bima, dia itu sudah seperti anak saya sendiri. Kalau adiknya Bima yang pertama sudah bisa cari uang, yang anak terakhir belum bisa karena masih sekolah tapi sering juga dia membantu kakaknya.”

“Waktu persidangan, kenapa bapak tidak menjadi saksi?” Tanya Nira.

“Percuma Mbak kami melawan, kami ini orang kecil ... enggak ada apa-apanya dengan orang-orang seperti mbak. Suara kami tidak didengar mbak, apalagi yang ada di lokasi kejadian hanya ada Bima. Otomatis dia tersangkanya, padahal tujuh orang yang lain sudah kabur. Eh, cuma si Bima yang masuk penjara.”

Si Bapak menarik nafas panjang dan kembali bercerita, “ Bima sendiri tidak pernah menyangka, jika tindakannya bisa berakibat seperti ini. Dia merasa sangat menyesal, terutama ketika mengetahui dampak yang ditimbulkan pada keluarga Mbak.”

Tanpa mengulur waktu, Nira langsung meminta nomor telepon si Bapak dan ternyata dia sudah menyimpan nomornya sejak berada di LAPAS kemarin. Nira menjadi lega dan berjanji akan membantu Bima.

Keesokan harinya, Nira menjadi sering bolak balik ke LAPAS menjenguk Bima dan ia bersama Ibu serta kakaknya membawa seorang pengacara untuk penangguhan masa Bima di penjara. Mereka juga datang ke rumah Bima, karena biar bagaimana pun kondisi kehidupan Nira masih jauh lebih baik dibandingkan keluarga Bima.

Nira sudah ikhlas melepas kepergian Ayah dan dia juga memaafkan Bima.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Terpaksa Merampok
Putri Rafi
Cerpen
Bronze
Sepatuku Bukan Sepatumu, Sepatumu Bukan Sepatuku
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
Keputusan Abah
T. Filla
Cerpen
Janji Manis Penguasa dan Caleg
Yovinus
Cerpen
Perhatikan Rani (Part 2)
Cassandra Reina
Cerpen
Bronze
Sipanggaron
Muram Batu
Cerpen
Klung!
Zaki S. Piere
Cerpen
Harus Bersama
Mariana Sibuea
Cerpen
Genggaman Makanan
Talita Shafa Arifin
Cerpen
Bronze
OH MY BOSS
ELI WAHYUNI
Cerpen
Api Luka Dan Kesuksesan
LISANDA
Cerpen
TIGA LUKA TARI,
Indira Raina
Cerpen
Bronze
Magdhalena dan Topengnya
ANINZIAH
Cerpen
Dari Ketinggian - Aku Mengerti Aku Tidak Mengerti
Firlia Prames Widari
Cerpen
Bronze
Sam dan Mawar Kutukan
Arina Maulidia
Rekomendasi
Cerpen
Terpaksa Merampok
Putri Rafi
Flash
Antara Jeda Titik Koma dan Tanda Seru
Putri Rafi
Flash
Aku Lihat Surga di Mata Ibu
Putri Rafi
Flash
Sekejap Senja, Selamanya Rasa.
Putri Rafi
Flash
Koin Odong-odong
Putri Rafi
Flash
Rumah Kunci
Putri Rafi
Cerpen
Tukang Sayur Kehilangan Motor
Putri Rafi
Skrip Film
Hilangnya Juru Masak Bebek Peking
Putri Rafi
Novel
Si Kecil di Dalam Diriku
Putri Rafi
Flash
Kala Hujan
Putri Rafi
Flash
Bronze
Gara-Gara PR sekolah
Putri Rafi
Novel
1 Jejak Rasa
Putri Rafi
Flash
Bayang Pengkhianat
Putri Rafi
Flash
Bronze
Mobil Lampu Merah
Putri Rafi
Cerpen
Sekolah Orang Dalam
Putri Rafi