Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Nira terbangun dari tidurnya, ia memperhatikan jam dinding di hadapannya yang menunjukkan pukul 02.20 dini hari.
“Ayah...” gumamnya.
Ia bermimpi dan rasa rindu kembali menyelubungi dirinya. Nira terisak, teringat kembali peristiwa setahun silam. Tragedi yang mengenaskan dialami oleh sang ayah hingga menghilangkan nyawa. Sejak kejadian tersebut, Nira merasakan sunyi yang tak berujung. Seminggu setelah ulang tahun Nira yang ke dua puluh satu, ia harus kehilangan sosok yang paling dicintai.
Ayah Nira, yang biasa di panggil Pak Aryo bekerja di sebuah bank terbesar di kota A dan memiliki jabatan sebagai direktur. Usai rapat pertemuan dengan para direksi, tiba-tiba ada sekelompok pria mengenakan pakaian serba hitam dengan penutup seluruh wajah hingga kepala, masuk ke dalam bank membuat keributan. Mereka mengeluarkan senjata tajam dan meminta karyawan-karyawannya untuk memberikan uang sebanyak sepuluh karung. Perampok-perampok itu sudah menyiapkan sepuluh karung kosong untuk tempat menyimpan uang.
Ketik Pak Aryo mengetahui ada keributan, ia langsung bergegas mengumpulkan petugas keamanan. Setelah itu langsung keluar menghadapi para perampok. Suasana tegang menyelimuti, karena sempat terjadi baku hantam para perampok dengan petugas keamanan. Hal yang tak terduga pun terjadi, salah satu perampok mengeluarkan senjata api dan peluru menembus bagian kepala Pak Aryo yang mengakibatkan nyawanya tak tertolong.
Karena ada yang celaka, cepat-cepat para perampok pergi dan tinggal satu orang yang masih diam terpaku di tempat. Dia adalah Bima. Tak lama kemudian datang polisi dan hanya Bima yang ditangkap, sedangkan perampok yang lain sudah tidak diketahui keberadaannya.
Yang Nira tahu, Bima telah menembak ayahnya. Sekarang, Bima sedang mendekam di dalam penjara.
Sambil memeluk boneka kesayangannya, Nira menangis tersedu-sedu. “Ayah, Nira rindu... mau peluk ayah, hiks... hiks...”
Sungguh perih rindu yang mendera Nira, rindunya seorang anak kepada ayah. Rindu yang tak akan pernah bisa direngkuh kembali. Nira menyingkap selimut dan beranjak berdiri menghadap foto-foto di dinding kamar bersama keluarga yang tampak ceria.
Di dalam benak Nira yang mulai dipenuhi dengan amarah berkata “ayah orang baik, orang yang lebih banyak mendengar daripada berbicara, ayah enggak punya musuh dan ayah juga orang yang gampang akrab sama orang lain. Tapi kenapa ayah pergi dengan cara seperti ini? Aku belum bisa terima kepergian ayah! Aku benar-benar kehilangan ayah dan sebentar lagi aku bakal wisuda... Aku berusaha selesaikan kuliah demi ayah, tapi ayah sudah enggak ada. Aku bakal balas orang yang bikin ayah pergi! Apa maunya dia? Selama ini aku diam karena aku fokus untuk selesaikan kuliah, sekarang sudah selesai. Aku bakal cari tahu tentang Bima. Kenapa dia melakukan ini? Kenapa dia bikin ayah pergi?”
Pagi-pagi, Nira sudah berada disalah satu lembaga pemasyarakatan tempat Bima mendekam. Ia mencari tahu tentang Bima dan membaca ulang semua perkara. Bima dijatuhkan hukuman penjara selama 10 tahun atas perampokan dan pembunuhan. Tapi ada temuan baru, bahwa ada delapan orang yang melakukan perampokan dan baru Bima yang dijatuhi hukuman. Dan Bima satu-satunya orang yang diam di tempat setelah kejadian penembakan, yang akhirnya terseret ke dalam penjara. Nira meminta untuk menemukan tujuh pelaku lainnya.
Nira menemukan alamat Bima dan nomor keluarga Bima. Dari sana, ia mulai mencari tahu tentang Bima dan untuk menentukan balasan yang tepat juga. Pulang dari LAPAS, Nira langsung mencari rumah Bima.
Alamat Bima sungguh susah untuk ditemukan. Walaupun Nira sudah punya nomor keluarga yang bisa dihubungi, ia memilih untuk bersabar setelah ia tahu keberadaan keluarga Bima. Karena lelah, Nira mampir ke warung kopi. Ada cukup banyak orang-orang di sana. Nira memesan segelas es teh manis dan mencomot pisang goreng. Usai mengunyah dan menyeruput minumannya, Nira mendapat ide untuk bertanya tentang Bima ke salah satu pembeli. Ada seorang yang cukup meyakinkan yang sedang menuangkan kopi panas ke lepek.
Tanpa basa-basi, Nira langsung bertanya. “Pak, tahu rumahnya Bima?”
“Bima yang mana?” tanya si bapak.
Nira menoleh ke kanan-kiri dan membentuk telapak tangannya seperti teropong ke arah telinga si bapak sambil berbisik “yang dipenjara gara-gara kasus pembunuhan.”
“Oh... itu, saya tahu. Tapi mbak siapa?”
“Saya anak dari korban yang dibunuh pak.”
Si bapak tampak terkejut. “Mbak, kita pindah tempat duduk ya. Saya mau kasih tahu sesuatu.”
Nira mengikuti.
Si bapak mulai berbicara kembali. “Begini mbak, saya tahu sekali dengan keluarga Bima dan saya yakin bukan Bima yang membunuh.”
“Maksud bapak?” Tanya Nira dengan nada tinggi.
Si bapak duduk menghadap ke arah Nira. “Sedari kecil, Bima berada di sini. Lahir sampai besar di lingkungan yang miskin dan penuh tekanan. Umur delapan belas tahun, ayahnya meninggal. Setelah itu, ibunya jadi sakit-sakitan. Akhirnya Bima yang menjadi tulang punggung keluarga. Adiknya ada dua, perempuan. Dengan pekerjaan yang tidak tetap dan penghasilan yang sangat minim juga, Bima sering kali harus melewatkan makan untuk memastikan adik-adiknya bisa makan. Kalau sehat, ibunya bisa kerja.
Nira terdiam mendengar penjelasan si bapak.
Si bapak melanjutkan cerita. “ Dan sampai akhirnya, ibu Bima tidak bisa lagi bekerja dan butuh perawatan medis yang mahal. Bima terpaksa mencari cara untuk mendapatkan uang cepat. Di sinilah dia bertemu dengan sekelompok orang yang menawarkan uang dengan syarat Bima harus ikut serta dalam aksi perampokan.
Bima awalnya menolak, tapi tekanan yang terus meningkat dan sakit ibunya semakin parah, dia merasa tidak punya pilihan lain. Dia yakin bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan ibu dan adik-adiknya dari kemiskinan.
Ada air mata yang menggenang di pelupuk mata Nira. Tapi, ia langsung tegas kembali dan bertanya. “Kenapa bapak bisa tahu sekali dengan Bima? Bapak tidak mengarang-ngarang cerita kan?”
“Hahaha... mengarang cerita apa mbak? Saya ini tetangga Bima, sekarang setiap hari istri saya bolak-balik rumah Bima. Kami mbak yang antar ibunya ke rumah sakit dan kasih makanan. Saya juga rutin membesuk Bima, dia itu sudah seperti anak saya sendiri. Kalau adiknya Bima yang pertama sudah bisa cari uang mbak, yang anak terakhir belum bisa karena masih sekolah tapi sering juga dia membantu kakaknya.”
“Waktu persidangan, kenapa bapak tidak menjadi saksi?” Tanya Nira.
“Percuma mbak kami melawan, kami ini orang kecil... enggak ada apa-apanya dengan orang-orang seperti mbak. Suara kami tidak didengar mbak, apalagi yang ada di lokasi kejadian hanya ada Bima. Otomatis dia tersangkanya, padahal tujuh orang yang lain sudah kabur. Eh, cuma si Bima yang masuk penjara.”
Si bapak menarik nafas panjang dan kembali bercerita “ Bima sendiri tidak pernah menyangka mbak, jika tindakannya bisa seperti ini. Dia merasa sangat menyesal, terutama ketika mengetahui dampak yang ditimbulkan pada keluarga mbak.”
Tanpa mengulur waktu, Nira langsung meminta nomor telepon si bapak dan ternyata dia sudah menyimpan nomornya sejak berada di LAPAS. Ia pun lega dan berjanji akan membantu Bima.
Keesokan harinya, Nira menjadi sering bolak balik ke LAPAS menjenguk Bima dan ia bersama ibu serta kakaknya membawa seorang pengacara juga untuk penangguhan masa Bima di penjara. Ia juga datang ke rumah Bima, biar bagaimana pun kondisi kehidupan Nira masih jauh lebih baik dibandingkan keluarga Bima.
Nira sudah ikhlas melepas kepergian ayah tercinta dan ia juga memaafkan Bima. Bahkan ikut membantu memberi pekerjaan untuk kehidupan yang lebih layak.