Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tidak akan menunda-nunda lagi untuk menceritakan ini kepada kalian. Sebab situasinya benar-benar telah meresahkan. Bukan hanya aku dan keluargaku, tetapi seluruh warga di sekitar rumahku.
Mengapa sepertinya gawat sekali? Bahkan hingga hukumnya wajib lapor kepada kalian kali ini. Adakah yang masuk ke rumah tetangga, lantas mencuri barang? Atau mungkin ia yang dengan sengaja meneror warga lainnya? Bukan, bukan itu yang ingin aku ceritakan.
Mending bila orang tersebut melakukan aksi nyata, ada bukti, kemudian bisa dilaporkan ke pihak yang berwajib. Tapi sayangnya, ini tidak ada bukti konkret, namun fakta berkata demikian.
Jadi begini, akan aku berikan gambaran terlebih dahulu tentang lingkungan tempat tinggalku dan bagaimana kami sebagai masyarakat saling berbisik-bisik tetangga. Namun kalian tidak akan aku beri tahu nama daerah asli dan siapa-siapa yang berperan akan kusamarkan.
Aku lahir dan besar di perkampungan padat penduduk, sebuah daerah yang berlokasi di pinggir pantai dengan masyarakat yang didominasi oleh nelayan, pedagang ikan dan pengusaha kapal. Bukankah selalu begitu gambarannya menurut ilmu Sosiologi yang kupelajari dulu sewaktu SMA? Pantai dan nelayan.
Namun daerah kami tidak berada di pelosok kabupaten, tetapi tepat di pusat kota, pusat keramaian dan penuh dengan hiruk pikuk manusia. Secara geografis strategis, tidak heran beberapa investor melirik pembangunan disini untuk bisnis kuliner.
Sayangnya, ada cerita turun temurun yang terjadi di lingkungan kami, tentang ilmu guna-guna. Aku baru menyadari dan mempercayainya selama sekitar dua bulan terakhir ini. Sebelumnya aku benar-benar tidak peduli meskipun tetangga-tetangga lain kerap membicarakan perihal itu.
Tiga rumah kekanan dari rumahku, dihantui dengan mereka yang tak kasat mata. Keluarga itu terkenal kaya di lingkunganku tinggal, punya satu toko kelontong yang dibangun sejak dulu, putra dan putri yang sukses dan tidak pernah terdengar berselisih. Tampak luar begitu sempurna.
Keluarga ini cukup dekat dengan keluargaku, maka pada suatu hari ba’da magrib, salah satu putrinya datang ke rumah meminta tolong bapak untuk mencari keberadaan ‘orang pintar’ atau kalian boleh menyebutnya dukun.
“Lho, kenapa kok tiba-tiba cari dukun, nduk?” tanya bapak kepada Mbak Rani. Aku menyebutnya demikian.
“Jadi, paklik, papa ini sepertinya kena guna-guna,” jawab Mbak Rani dengan tangan yang tampak resah. Aku melihatnya seperti itu, karena dia terus-menerus seolah menguliti ibu jari dengan telunjuk.
“Astagfirullah, tahu dari mana? Kok keburu memutuskan kalau ini kena guna-guna. Apa nggak sebaiknya ditanyakan ke dokter dulu?”
“Papa ini ngeluh bagian perutnya nyeri. Paklik tahu sendiri kalau papa memang sakit gangguan jantung. Tapi bukan itu kan gejala penyakit jantung? Ini tiba-tiba perutnya nyeri dan mual. Jadi sampun saya periksakan ke Dokter Ilham.
Tapi pas diperiksakan, dokter bilang kondisi papa ini sehat. Tekanan darah normal, gula darah normal, jantungnya berangsur membaik dan semuanya oke secara medis."
"Anekhnya paklik, Dokter Ilham tiba-tiba saja bilang kalau papa kena guna-guna.” Mata kecil Mbak Rani sesekali melebar seperti seseorang yang gergetan. Ia melanjutkan lagi ceritanya.
“Setelah dari sana, lalu saya bawa ke tempat terapi dan pengobatan alternatif. Anehnya paklik, Koko yang menangani ini tiba-tiba saja ngomong kalau papa kena guna-guna.”
“Hmmm, tapi gini lho Ran, paklik ini nggak pernah ke dukun-dukun, jadi kurang tahu mana yang bisa ngobati papamu. Tapi nanti coba paklik tanya ke teman.” Bapak sendiri masih bertanya-tanya apakah benar demikian yang dibicarakan oleh Mbak Rani tentang papanya yang terkena guna-guna. Aneh saja, di zaman yang sudah modern ini, masih ada orang yang menggunakan cara kuno untuk menyakiti orang lain.
Tapi jika mengingat kotaku ini terkenal dengan magisnya, tentu soal guna-guna sudah biasa. Ibaratkan seperti mengirimkan pesan lewat aplikasi WhatsApp, tanpa menunggu 24 jam.
Aku dengarkan saja cerita Mbak Rani dari dalam kamar. Cukup lama berbincang dengan bapak. Sepanjang itu, aku mulai memecahkan teka-teki sendiri tentang siapa pelakunya. Meskipun tidak sepenuhnya percaya, namun aku paham arah pembicaraan Mbak Rani menuju siapa.
“Paklik tahu siapa yang sudah mengirimkan guna-guna untuk papa? Koko bilang dua orang perempuan kakak beradik, wajahnya lonjong dan rumahnya menghadap ke timur,” lanjut Mbak Rani.
“Lho Ran, kok mengarah kesana ya?” Bapak tahu siapa yang dimaksud oleh Mbak Rani. Memang desas desus sejak dulu beredar bahwa salah satu anggota keluarga di lingkunganku sudah lama bermain dengan ilmu guna-guna. Sayangnya, tidak ada bukti selama ini. Hanya obrolan tetangga yang kata katanya.
Sejak Mbak Rani bercerita tentang papanya yang sudah dikirimi guna-guna, bapak kemudian mencari ‘orang pintar’ melalui temannya. Mulai malam itu pula, bapak, Mbak Rani dan suaminya sibuk mondar mandir ke rumah ‘orang pintar’ untuk meminta pengobatan.
Sayangnya usaha itu tidak membuahkan hasil. Justru ‘orang pintar’ yang menangani itu mengatakan bahwa korban telah diguna-guna oleh perempuan tua, dua orang, rumah menghadap ke timur dan menggunakan jin macan putih. Hampir sama dengan clue yang diberikan Koko pengobatan alternatif.
Papa Mbak Rani bahkan mengalami rasa sesak di bagian perut, leher, hingga kaki. Bentuk pergelangan kaki seperti diikat, sehingga tampak ceking. Menurut cerita turun temurun di daerahku, kondisi ini sudah termasuk sihir tali pocong. Parah dan tidak bisa disembuhkan lagi hingga menyebabkan korbannya meninggal dunia.
Sebelum akhirnya papa Mbak Rani tidak tertolong lagi usai menjalani pengobatan selama sebulan, bapak pernah mendengarkan cerita dari almarhum. Dulu saat toko kelontongnya belum direnovasi menghadap ke barat, ia pernah mengalami suatu hal yang mengejutkan.
Siang hari saat tengah menunggu toko kelontong, ada suara Mbah Min seolah ingin membeli sesuatu,”Beli-beli”. Hanya begitu katanya. Saat almarhum menoleh, anehnya wajah Mbah Min seperti seekor monyet, penuh bulu. Sontak ia terkejut dan beristigfar.
Hingga akhirnya Mbah Min berubah wajah lagi menjadi manusia dan seolah tidak merasa ada apapun. Satu kata yang keluar dari mulutnya, “Kenapa?”
Menurut cerita dari Mbak Rani juga, bahwa sebelum papanya merasa nyeri dan kurang enak badan sempat menerima makanan dari Mbah Min. Sebelumnya bila Mbah Min dan keluarga mengantarkan makanan untuk mereka, Mbak Rani dan orang-orang di rumahnya bahkan tidak pernah memakan itu. Tentu saja karena kabar beredar bahwa Mbah Min dan suaminya adalah aktor utama dari teror guna-guna di kampung.
Tapi entah mengapa saat itu papa Mbak Rani menyantap saja makanan tersebut, hingga menyebabkan almarhum masuk dalam perangkap guna-guna.
***
Kematian papa Mbak Rani cukup membuat gempar kampung. Awalnya kami menutupi semuanya, bahkan bapak yang diberitahu sejak awal juga tidak mengatakan kepada siapapun. Sebab Mbah Min yang diduga mengirimkan guna-guna masih termasuk sanak famili dari Mbak Rani.
Di sisi lain kami juga tidak ingin suasana semakin keruh karena warga di kampung percaya bahwa Mbah Min dan suaminya mendalami ilmu guna-guna. Bukan hanya dalam waktu setahun dua tahun, melainkan sudah turun temurun sejak nenek moyangnya.
Perihal ini akan aku ceritakan bagaimana bisa ilmu guna-guna diturunkan dan harus memiliki penerus. Ini juga kudapatkan dari banyak sumber, para tetangga tentunya.
Sebenarnya otak dari semua ini adalah suami Mbah Min, Mbah Darmo. Mbah Darmo terkenal rajin beribadah, tidak pernah absen menjadi imam di musola. Tidak ada yang menyangka bahwa ia pintar membuat orang celaka tanpa menyentuh. Dan memang demikian, katanya justru orang yang rajin ibadah dan pandailah yang bisa menurunkan ilmu guna-guna.
Aksi Mbah Darmo ini pernah dipergoki oleh Mbak Sisi, kakak sepupuku. Sebab rumahnya memang bersebelahan persis dengan si empunya sihir.
Suatu malam pukul 1 dini hari, Mbak Sisi tidak bisa tidur. Ia memang sering keluar malam untuk mencari angin. Namun apesnya, di saat itu ia dikejutkan dengan Mbah Darmo yang telanjang bulat menghadap ke barat sambil membaca mantra-mantra.
Bukan hanya Mbak Sisi yang terkejut, Mbah Darmo pun demikian. “Kenapa kamu disini?!” tanya Mbah Darmo setengah membentak.
“Astagfirullah! Ini rumah saya, njenengan yang ngapain disini?!”
Sontak Mbah Darmo terkejut , kemudian mengenakan kembali pakaiannya dan beranjak pulang dengan wajah kesal. Namun semenjak itu, ia tidak pernah terlihat lagi, dan dikabarkan sakit hingga akhirnya meninggal dunia.
Dalam kepercayaan di masyarakat kami, ketika seorang pemilik ilmu guna-guna tertangkap basah maka ‘barang’ yang akan dikirimkan kepada orang lain kembali ke dirinya sendiri atau “Wes ketemon, mbali ndek awake dewe”. Artinya, sudah ketahuan, kembali ke dirinya sendiri. Sebagian lagi menyebutnya “Ketemu kapesane” atau bertemu apesnya.
Ilmu guna-guna juga harus diturunkan, entah kepada anak, cucu, menantu, ipar, bahkan istri atau suaminya sendiri. Sebab sudah dari ajarannya, jika tidak diturunkan maka akan menjadi bencana bagi diri sendiri dan keluarganya.
Tepat sekali! ilmu guna-guna Mbah Darmo diturunkan kepada istrinya Mbah Min dan ipar perempuannya, Mbah Fat. Keduanya berwajah lonjong, tinggal di rumah menghadap timur, arah pantai. Persis seperti yang disebutkan oleh Koko pengobatan alternatif dan ‘orang pintar’ yang mengobati papa Mbak Rani.
***
Sepeninggalan papa Mbak Rani yang disebut-sebut terkena ilmu guna-guna, warga di kampungku yang awalnya diam dan hanya sekadar tahu mulai membuka obrolan. Mereka bahkan menemukan sisi-sisi ganjal dari Mbah Min yang semakin hari semakin menjadi.
Para tetangga mengatakan, “Wes ora ono mangsa maneh, mangkane golek-golek”. Artinya, sudah tidak ada mangsa lagi, makanya mencari-cari.
Sudah berapa kali Mbah Min kepergok warga saat tengah berkeliling kampung. Pukul 12 malam ke atas adalah saat ia mulai memantau calon mangsa selanjutnya. Usut punya usut, ia berkeliling sambil membawa bunga yang disembunyikan dalam kantong plastik berwarna hitam.
Lagi-lagi Mbak Sisi yang berpapasan dengan si empu guna-guna. Saat itu ia sedang menidurkan keponakan yang dianggapnya sebagai anak sendiri. Ketika anak kecil tantrum dan susah tidur, maka satu-satunya jalan adalah menggendong dan mengajaknya berkeliling.
Mbak Sisi berputar-putar di jalanan gang yang sempit, tepat di belakang rumahku. Ketika ia berhenti di ujung jalan gang, terdapat rumah yang cukup besar milik Mas Edwin. Titik ini kerap kali menjadi tempat berkumpul ibu-ibu saat siang hari karena memiliki pelataran luas dan angin semilir. Tapi berbeda saat malam hari, suasana sepi, penerangan minim dan cukup membuat bulu kuduk berdiri.
Disinilah Mbak Sisi berpapasan dengan Mbah Min dari arah timur. Sontak keduanya terkejut. Untuk sepersekian menit saling diam dan menatap.
“Dari mana Mbah malam-malam?” hanya itu pertanyaan yang keluar dari Mbak Sisi saking terkejutnya.
“Dari beli nasi di selatan,” jawabnya singkat kemudian berlalu begitu saja ke arah utara menuju rumahnya.
Mbak Sisi terheran. Sebetulnya jika benar Mbah Min membeli nasi di arah selatan, ia bisa mengambil lajur jalan raya timur karena hanya tinggal lurus untuk menuju rumahnya. Mengapa ia malah berbelok ke kiri, masuk ke jalanan gang yang sempit, gelap dan sepi?
Belum usai cerita soal Mbah Min ini, salah seorang tetangga bahkan lagi-lagi berpapasan dengannya saat pukul 12 malam. Kali ini si empu tampak berjalan dari arah barat menuju rumahnya ke timur melewati jalanan gang yang sempit dan gelap.
Saat ditanya dari mana, jawabnya kali ini “Dari membeli rinso”. Logikanya lagi, kenapa membeli detergen harus malam hari? Apakah tidak ada hari esok? Satu-satunya toko yang buka 24 jam berada di ujung selatan, tapi mengapa lagi-lagi Mbah Min memilih lewat lajur jalan raya barat lalu ke timur?
Ini bukan terakhir kalinya cerita mengenai Mbah Min yang suka berkeliaran malam hari. Rasanya aneh bila menyebutnya sleepwalking, padahal jelas-jelas ia sadar dan lagipula orang kampung disini tidak ada yang tahu tentang istilah itu.
Disuatu malam lagi, Alvian salah seorang tetangga belakang rumahku asik bermain game dari smartphone bersama teman-temannya di rumah kosong milik buliknya. Rumah itu di sebelah barat persis tempat tinggal Mbah Min.
Sudah pukul 1 malam, tapi bujang-bujang itu masih tidak tidur juga. Mumpung besok hari Minggu, dipikirnya inilah waktu yang tepat untuk begadang menghabiskan malam. Namun sesuatu terjadi disini, mereka dikejutkan dengan suara seseorang sedang berjalan, tap tap tap. Semakin dekat, semakin dekat.
Penasaran akan bunyi itu, mereka lantas mengintip melalui celah kecil bekas AC. Siapa tahu ada perampok atau seseorang yang berniat jahat.
Ternyata kejutan! Mbah Min berjalan berkeliling kampung dengan kulit di sekitar matanya yang menghitam layaknya panda. Seperti seseorang yang sedang mencari sesuatu. Sepersekian menit Alvian dan teman-temannya berhasil merekam kejadian itu, Mbah Min sadar ada yang memperhatikan. Ia lantas menuju ke celah kecil itu sambil menatap mata-mata yang sudah memperhatikannya.
Alvian dan teman-temannya terkejut dan jatuh saat tahu bahwa mata mereka bertemu dengan sepasang mata Mbah Min di celah kecil. Sejak kejadian itu, cerita terus berkembang. Setiap malam warga waswas dengan terror guna-guna.
***
Mendengar banyaknya cerita warga tentang Mbah Min yang suka berkeliling kampung saat tengah malam, lantas ibuku mulai membuka pembicaraan. Beliau bukan satu-satunya orang yang selama ini tahu namun memilih bungkam.
Kejadian ini terjadi pada tahun lalu, jauh sebelum berita menghebohkan tentang papa Mbak Rani. Pada suatu malam, hampir pukul setengah 12, ibuku masih terjaga. Beliau duduk di kursi kayu sambil menjahit pakaian pelanggan yang segera diambil keesokan harinya.
Posisi ibu duduk selalu menghadap ke jalan raya, arah barat. Jendela dan pintu rumah juga masih terbuka lebar. Bahkan ada satu dua sepeda motor lewat memecah keheningan malam. Padahal dua lampu jalan yang mengapit rumah kami dalam keadaan mati.
Ketika sedang asik mengayuh mesin jahit bermerek Butterfly, tiba-tiba saja ibu dikejutkan dengan kehadiran Mbah Min dari arah selatan. Aku yakin, Mbah Min pun tidak akan menyangka bahwa di tengah malam yang gelap begini masih saja ada saja orang beraktivitas.
“Dari mana mbah malam-malam?” tanya ibu tanpa prasangka apapun saat itu.
“Dari beli mie goreng, tapi tutup,” jawab Mbah Min lirih, kemudian berlalu begitu saja ke arah utara, lalu berbelok ke gang rumahnya, ke arah timur.
Tidak ada dugaan apapun saat itu. Hanya saja ibu bertanya-tanya, kenapa malam hari begini beli mie goreng? Terang saja tutup. Tapi belakangan ini setelah terror guna-guna, beliau baru sadar mungkin malam itu adalah salah satu aksinya.
Belum cukup sampai di sana, meskipun cerita mengenai guna-guna ini tidak memiliki bukti seperti halnya pencurian yang bisa dilacak, tetapi warga di lingkunganku begitu mempercayai itu setelah banyak kejadian terjadi.
Salah seorang sepupuku lainnya, empat tahun yang lalu mengalami luka bakar secara tiba-tiba di wajahnya. Ia terus mengatakan kepada orang-orang terkena guna-guna dari tetangga sebelahnya, yang tidak lain Mbah Min. Sayangnya tidak ada yang mempercayainya saat itu sebab tidak ada bukti.
Pun termasuk aku yang saat itu sama sekali tidak mempercayai cerita seperti itu. Aku bahkan takut untuk menceritakan itu kepada lainnya, siapa tahu fitnah, bukan?
Baru-baru ini sepupuku tersebut bercerita lagi kepada ibu dan saudara lainnya kalau yang ia alami beberapa tahun lalu benar adanya. Separuh wajahnya seperti luka bakar, menghitam, tanpa sebab. Ia bahkan malu untuk keluar rumah, sehingga harus mengunci diri.
Salah seorang anaknya kala itu mengantarkannya ke ‘orang pintar’ di sebuah desa berawalan G. Tahu apa yang ‘orang pintar’ itu katakan? Terkena guna-guna dari tetangga sebelah utara, rumah menghadap timur, seorang perempuan tua berusia sekitar 80 tahun.
Sepertinya ceritanya saat itu bukanlah bualan, mengingat saat ini lingkunganku heboh dengan terror guna-guna itu dan kami sebagai tetangga sangat tidak tenang. Apakah ada cerita lainnya terkait itu? Tentu saja!
Lagi-lagi saudara sepupuku lainnya, kusebut saja Mbak Risa. Pada tahun 2009, ia kehilangan ibu angkatnya dikarenakan sakit keras yang tidak kunjung sembuh.
Mbak Risa menceritakannya baru-baru ini setelah mendengar cerita dari Mbak Rani. Sebelum ibu angkatnya jatuh sakit, ia bermimpi ada monyet yang menyerangnya. Dipikirnya saat itu hanya bunga tidur, jadi dia mengabaikan. Tapi nyatanya, monyet dalam mimpi itu adalah pertanda jika salah satu anggota keluarganya sedang tidak baik-baik saja.
Selang beberapa hari, sang ibu sakit. Tidak kunjung sembuh, semakin parah setiap harinya. Anehnya, Mbah Min dan anak perempuannya sering melewati rumah korban setiap magrib datang. Entah apa yang dilakukan, namun seperti seseorang yang menaruh sesuatu di sekitar rumah Mbak Risa.
Lambat laun terbukti, ketika ibu angkat Mbak Risa berobat secara alternatif. Ada benda halus bersarang di tubuhnya. Tugasnya menyiksa setiap hari, apalagi kala magrib datang. Sampai si korban benar-benar tidak berdaya.
Di lain waktu ketika korban sudah tidak berdaya, sempat mengeluarkan paku dan benda tajam lainnya seperti silet dari dubur. Perihal ini kakak kandungku sendiri saksinya. Ketika keesokan harinya, ibu angkat Mbak Risa mengaji sebelum magrib, Mbah Min dan sang anak kebetulan sedang beraksi melaksanakan tugasnya.
“Bali wes yuk mak, uwonge ngaji soale, “ kata anak Mbah Min. Kira-kira artinya begini, pulang saja yuk mak, orangnya mengaji soalnya.
Kejadian ini bahkan disaksikan dan didengarkan sendiri oleh Mbak Risa yang kala itu tengah berada di dapur. Ia segera bergegas menuju ibunya untuk memastikan tidak ada yang terjadi.
Mbah Min disebut-sebut sebagai ahli guna-guna yang diam-diam bisa mematikan korbannya tanpa menyentuh sama sekali. Pun demikian dengan kali ini. Akhirnya, Mbak Risa harus sedih karena ibu yang telah merawatnya meninggalkan ia selama-lamanya. Namun ia tidak pernah melupakan apa yang dilakukan oleh keluarga guna-guna. Di balik diamnya, dia masih menyimpan perasaan dendam.
Bukti demi bukti sepertinya bukanlah sebuah kebetulan saja. Jika aku menceritakan semuanya disini, mungkin akan menjadi sebuah buku berbab-bab. Menarik tapi menakutkan. Sayangnya dari semua cerita itu, tidak ada satupun yang bisa membuktikan secara nyata bahwa Mbah Min adalah pelaku utamanya.
***
Ketika aku bertamu ke rumah Mbak Rani bersama Mbak Risa, keduanya sama-sama menaruh dendam pada keluarga Mbah Min. Aku tidak menyalahkan itu, sebab mereka sudah kehilangan orang yang dicintai untuk selama-lamanya dengan cara yang tidak wajar.
Sudah dua bulan ini warga di lingkunganku membicarakan perihal Mbah Min yang suka keliling kampung saat malam hari. Aku sendiri sebenarnya resah, sebab katanya orang yang memiliki ilmu guna-guna akan terus mencari mangsa siapapun itu tanpa pandang bulu agar guna-guna tidak kembali ke tubuhnya sendiri.
Perlu kuberitahu kepada kalian bahwa Mbah Min memiliki perawakan yang kecil dan kurus. Usianya sekitar 80 tahun. Orangnya pendiam dan lirih jika berbicara. Aku bahkan tidak pernah melihat dan mendengarnya marah, berteriak, bertengkar seperti tetangga lainnya. Tubuhnya selalu dibalut dengan kebaya kancing depan dan kain jarik batik.
Bahkan ketika aku masih kecil, rumah Mbah Min adalah tempatku untuk bermain. Aku masuk ke kamar-kamarnya tanpa menaruh curiga. Mungkin saat itu aku masih berusia 5 tahun, jadi aku tidak mengerti apa-apa.
Mbah Min tidak pernah marah saat anak-anak kecil seusiaku masuk ke dalam rumahnya, tidur di tempat tidurnya hingga memborbardir perabotannya. Dia cenderung malu untuk menjawab pertanyaan orang, saat berjalanpun menunduk. Oleh sebab itu, aku juga masih menaruh rasa antara percaya dan tidak.
Tapi ada satu hal yang harus kalian tahu tentang Mbah Min di masa sekarang. Selain semakin menua, mata dan tatapannya semakin tajam seperti seseorang yang siap menerkam mangsa. Kulit disekitar matanya juga menghitam. Para tetangga tidak berani melihat secara langsung pandangannya itu.
Mereka berspekulasi bahwa area di sekitar mata yang menghitam adalah akibat dari tidak pernah tidur saat malam hari. Tentu itu adalah waktu bagi si ahli guna-guna untuk memanjatkan mantra-mantra agar korbannya benar-benar tersiksa.
Kini semua tetangga lebih terang-terangan mengatakan bahwa Mbah Min dan adik perempuannya adalah pelaku guna-guna ulung. Awalnya mereka tidak berani koar-koar, tetapi karena situasi sudah semakin tidak kondusif , kami pun mulai ramai membicarakan itu.
Ketika malam aku tidak berani tidur lebih awal sekarang. Setidaknya aku baru berangkat ke pulau mimpi pukul 2 dini hari. Sebab aku ingin memastikan bahwa keluargaku baik-baik saja, tanpa diganggu oleh ilmu guna-guna dari tetangga.