Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Bungkusan Pertama
Udara Makassar di pagi hari biasanya membawa kehangatan yang lembut, aroma kopi yang menguar dari warung-warung sudut jalan, dan suara riuh kendaraan yang memulai hari. Namun, bagi Aditya, rumah warisan orang tuanya yang berlokasi di Jalan Anggrek, sebuah jalan sepi dengan pohon-pohon tua yang rimbun, terasa seperti dunia lain. Dinding-dindingnya yang kusam, dengan cat yang mulai mengelupas di beberapa bagian, seolah menyimpan bisikan masa lalu, bisikan yang hanya dia, sebagai satu-satunya penghuni, yang mendengarnya.
Aditya hidup dalam rutinitas yang nyaris monoton sejak orang tuanya meninggal empat tahun lalu. Ayahnya, seorang kolektor barang antik, pergi mendahului ibunya karena komplikasi jantung, meninggalkan rumah penuh kenangan dan barang-barang kuno yang tak terhitung jumlahnya. Setahun kemudian, ibunya menyusul, akibat depresi yang tak kunjung pulih. Sejak itu, rumah ini menjadi benteng sunyinya, dunianya yang terisolasi dari hiruk pikuk kota. Pekerjaannya sebagai ilustrator lepas memungkinkan dia untuk jarang keluar, menghabiskan sebagian besar waktunya di depan meja gambar, ditemani tumpukan buku-buku lama dan keheningan yang memekakkan telinga.
Pagi itu, hari Selasa yang cerah, langit biru bersih membentang luas. Aditya turun dari kamarnya di lantai dua, langkah kakinya memecah kesunyian tangga kayu yang berderit. Dia mengenakan kaus oblong longgar dan celana pendek, rambutnya sedikit acak-acakan bekas tidur. Tujuan pertamanya adalah dapur, untuk menyeduh kopi hitam pekat, ritual pagi yang tak pernah dia lewatkan. Saat melintasi ruang tamu yang luas, matanya menangkap sesuatu yang tidak biasa di balik pintu utama. Sebuah gumpalan gelap, kontras dengan ubin teras yang cerah.
"Apa itu?" gumamnya, mendekat dengan sedikit rasa penasaran.
Saat pintu terbuka, bau busuk langsung menyeruak, menusuk hidung Aditya. Ia terkesiap. Di atas keset lusuh yang bertuliskan "Welcome Home", tergeletak sebuah bungkusan kain lusuh berwarna cokelat gelap, seukuran telapak tangan orang dewasa. Kain itu tampak kotor, seperti bekas terinjak lumpur. Dengan perasaan jijik yang samar, Aditya membungkuk. Bungkusan itu tidak diikat, hanya dilipat asal. Saat ujung kainnya sedikit tersibak, mata Aditya membelalak. Di dalamnya, terbaring seekor bangkai tikus yang sudah kaku, matanya melotot kosong, giginya menyeringai mengerikan.
"Sialan!" umpatnya refleks, melompat mundur. Bau anyir dan busuk itu semakin kuat, seolah merasuki udara pagi yang segar.
Jantung Aditya berdebar kencang, bukan karena takut, melainkan karena rasa jijik dan keheranan. Siapa yang akan melakukan hal seaneh ini? Anak-anak iseng? Mustahil. Anak-anak di kompleks ini tidak pernah sejauh ini kenakalan mereka. Apalagi rumahnya berada di ujung jalan buntu, jarang dilewati orang. Ia melongok ke kanan dan kiri, hanya ada gerbang tinggi rumah tetangga dan tembok kusam yang membentang. Jalanan sepi.
Dengan napas tercekat, Aditya mengambil sarung tangan plastik dari dapur, membungkus bangkai tikus itu dengan beberapa lapis koran, lalu memasukannya ke dalam kantong plastik hitam. Ia segera membuangnya ke tempat sampah umum di ujung gang, berharap baunya cepat hilang. Sepulangnya, ia menyemprot disinfektan di teras dan mencuci tangannya berkali-kali, berusaha menghilangkan sisa rasa jijik dan bayangan bangkai tikus yang terus melekat di benaknya.
"Ulah orang iseng paling," gumamnya, mencoba meyakinkan diri sendiri. "Atau mungkin kucing liar bawa mangsa." Meski begitu, ada perasaan ganjil yang mengganjal di hatinya. Tikus mati dibungkus kain? Itu bukan kebetulan atau ulah binatang.
Beberapa hari berikutnya berlalu tanpa insiden. Aditya kembali tenggelam dalam pekerjaannya, mencoba melupakan kejadian pagi itu. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya di studio kecilnya di lantai dua, ruangan yang dulunya adalah kamar kerja ayahnya. Aroma khas kertas tua dan tinta masih melekat, memberinya rasa nyaman sekaligus kesepian yang dalam.
Namun, perlahan, hal-hal kecil mulai terjadi.
Awalnya, itu hanya hal-hal sepele, sesuatu yang bisa dengan mudah disalahkan pada kelupaannya sendiri. Suatu pagi, setelah selesai menggambar semalaman, Aditya meletakkan pensil favoritnya di atas meja, di samping sketsa yang belum selesai. Ketika ia kembali setelah mengambil minum, pensil itu sudah berpindah tempat, tergeletak di lantai, di bawah meja.
"Aneh," gumamnya, memungut pensil itu. Ia yakin s...