Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Ternyata Oh Ternyata
0
Suka
1,151
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Gadis itu sibuk menarikan jari - jari lentiknya diatas keyboard, menuliskan berbagai kata pada sesuatu yang ia kerjakan. Namanya Tama, saat ini ia sedang berada di perpustakaan milik salah satu kampus yang terletak di Depok. Sebenarnya ini bukanlah kampusnya, tetapi karena sahabatnya ada yang melakukan sidang hasil. Ia pun datang untuk memberikan dukungan. Tama datang terlalu cepat sehingga ia menghabiskan waktu ditempat ini terlebih dahulu. Salahkan Jeha sahabatnya yang salah mengirim jadwal, tidak tanggung - tanggung Jeha membuat Tama datang lima jam sebelum waktu asli sidangnya.

Cukup lama melakukan kegiatannya, Tama pun mengalihkan pandangan dari layar laptopnya. Hitung - hitung beristirahat sejenak. Melirik ke sekitar, Tama melihat sosok yang ia kenali sebagai Zen mendekat ke tempatnya saat ini. Zen adalah teman SMA-nya dulu sekaligus laki - laki yang membuatnya jatuh cinta hingga sekarang. Dirinya dan Zen jarang berinteraksi bahkan Tama ragu Zen masih mengingat dirinya karena hubungan mereka yang sebatas ‘nice to know’ saja. 

Bermaksud menghindari kontak, Tama buru - buru fokus ke laptopnya lagi. Namun, sepertinya Zen telah lebih dulu menyadari keberadaannya. 

“Tama ya?” tanya Zen begitu melewati meja tempatnya berada.

“Iyaa, Zen ya? Halo, apakabar?” Tama menjawab pertanyaan Zen dengan kikuk.

“Iya bener, gue baik, lo sendiri gimana? lo ngapain disini? Setau gue, lo ga disini kampusnya,” Zen kembali melanjutkan percakapan bahkan pemuda itu menarik bangku disebelah Tama lalu duduk disana dengan santai.

“Gue baik dan gue emang ga disini kampusnya, gue cuma mau datengin simpronya Jeha, cuma masih agak sorean dan gua datang kecepatan. Jadi daripada planga plongo gue memutuskan kesini sekaligus coba perpusnya,” sesantai mungkin Tama menjawab sembari mengontrol hatinya yang berdetak kencang. Dia tidak pernah mengobrol sedekat ini dengan Zen sebelumnya. 

“Ooo I see, seperti biasa lo selalu rajin dan multitasking dimanapun,” komentar Zen.

“Perasaan lo aja kali tuh, gue mah gini - gini aja, lo sendiri ada kegiatan apa hari ini? Sidang juga ya? Soalnya rapih banget,” Tama balik bertanya, mumpung bisa berinteraksi ia ingin memanfaatkannya karena tidak tau kapan lagi kesempatan ini datang.

“Iya gue semhas juga , sekitar dua jam lagi, doain lancar. Btw lo mau ikutan nonton ga?” sebuah respone tak terduga dilontarkan oleh Zen.

“Ngga enak ihh maaf, orang luar gini nonton kan pasti ada kenalan lo yang lain,” Tama sungkan, sebenarnya sih mau banget, tetapi akal sehatnya menghentikan dirinya. 

“Santai aja kali, gua ngga ngundang siapa - siapa juga, dan gada teman yang datang juga,” terang Zen.

“Kok bisa?” Reflex tama berkata demikian karena Zen dulu sangat eksis, agak tidak mungkin tidak ada yang berniat datang, sadar itu tidak sopan dia langsung menutup mulutnya. Zen terkekeh dengan reaksi Tama.

“Gua ga memberitahu siapa - siapa, pertemanan diperkuliahan terlalu hambar, banyak yang kenal, tetapi gua ngga merasa perlu untuk mengundangnya. Tapi mumpung lo disini gabut mending nonton gue, kalau gamau gapapa juga sih,” Zen menjelaskan lagi. 

“Oke kalau gitu, gua ikut deh,” awalnya Tama ragu, tetapi dia paham bahwa sendirian itu tidak enak sehingga ia mengikuti Zen dan kapanlagi ia bisa ada dimomen penting Zen. Disana Tama membantu Zen untuk menyiapkan ruangan ujiannya. Untungnya tidak banyak karena Zen telah menyiapkan secara mandiri. Setengah jam kemudian, dua sosok paru baya masuk, Tama berpikir itu adalah penguji Zen sehingga ia memberi salam lalu duduk dan menepikan diri karena pasti sidang hasil Zen akan dimulai.

“Halo mah pah, makasih udah datang ya, doain abang lancar,” Zen menyapa kedua orang tua itu, Tama melotot kaget. Ia tidak tahu, orang tua Zen akan datang menonton sebab orang lain biasanya mengundang orang tuanya saat sudah selesai sidang. 

“Oiya mah pah, aku mau kenalin teman aku. Ini Tama, tadi dia yang bantu - bantu aku persiapan,” sembari mengajak orang tuanya duduk. Zen mengenalkan Tama pada mereka, meski malu, mau tak mau Tama pun menyalami mereka dan memperkenalkan diri. 

“Yaampun Zen inimah cantik banget, mama baru tau kamu punya temen cantik gini, yakin gamau dideketin aja? Mumpung kamu lagi pinter cari kenalan nih,” goda mama Zen setelah melihatnya. Tentunya, Tama merasa dirinya diterbangkan ke langit ketujuh. 

“Betul mah, tumben mata anak ini benar, Tama mau ngga sama anak Om,” Ayah Zen menimpali, membuat Tama mati kutu karena malu. 

“Mama sama papa jangan dibecandain gitu nanti Tama ngga nyaman,” Zen menengahi godaan orang tuannya itu, menyudahi rangkaian godaan yang di dapat Tama. Oleh karena sudah dekat dengan dimulainya ujian Zen, mereka pun duduk diposisi masing - masing. Sebelum pergi, Zen mendekatkan diri ke Tama dan berbisik.

“Kaget ga? Gue emang ga undang temen - temen gue tapi undang ortu gue,” ujar Zen dengan nada meledek yang hanya bisa dibalas dengan pelototan oleh Tama mengingat mama Zen yang tampak ingin tahu karena Zen dan Tama yang tiba - tiba berbisik. 

Setelah menunggu dengan bercengkrama bersama orang tua Zen, seminar hasil Zen akhrinya dimulai. Tama ikut merasakan tegangnya karena tampak penguji Zen sangat detail. Zen sendiri tampak santai menjawabnya, untuk hasil penelitian Zen sendiri Tama tidak bisa berkomentar banyak sebab dia tidak memahami bidang teknik yang didalami Zen karena dirinya sendiri berkecimpung di dunia kesehatan. Setelah melalui serangkaian tanya - jawab akhirnya hasil penelitian Zen diterima dan dia mendapatkan gelar sarjana. Tama pun berperan menjadi juru foto baik dengan penguji maupun dengan orang tua Zen.

“Eh Tama sama Zen belum foto, foto dong kalian berdua buat kenang - kenangan,” pinta mama Zen. Tama enggan karena merasa bukan siapa - siapa. Namun, Zen mendekatkan diri padanya. Disanalah foto pertama mereka berdua terpotret. Selesai berfoto - foto, Tama pun berpamitan karena sudah dekat dengan waktu ujian sahabatnya, Jeha. Sebelumnya, ia menyodorkan sebuah paperbag pada Zen.

“Selamat sidang, semoga dilancarkan segala proses selanjutnya selamat mendapatkan gelar sarjana. Ini sekadar dari gue maaf kalau kurang suka. Babai,” Tama berpamitan. Setelah itu, melangkahkan kakinya pergi.

Tama melanjutkan agendanya hari itu, ia mendatangi sidang sahabatnya. Tentunya hari itu dia tutup dengan berfoto - foto merayakan temannya yang akhirnya mendapat gelar sarjana strata satu.

Tama sampai dirumahnya ketika matahari telah berpulang. Sebelum sampai dirumah, ia menyempatkan diri untuk berkeliling kampus sahabatnya itu, mengingat lingkungannya yang luas membuat Tama penasaran apa saja yang ada disana.  

Gadis itu mengistirahatkan badannya sejenak dengan membuka sosial media miliknya. Sejak siang tadi ia tidak menyentuh ponsel pintarnya itu. Entah apa saja yang ia lewatkan, semoga tidak ada yang berbahaya. Begitu membuka instagram, Tama tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Disana, Zen memposting foto yang diambil tadi, sebenarnya ini bukanlah masalah karena sebuah budaya ketika orang baru selesai sidang dan rangkaian lainnya memposting pada aku pribadinya. Namun, disini Zen memampangkan wajahnya, bahkan fotonya yang hanya berdua saja dengan Zen ikut dia posting. Mimpi apa Tama semalam, bahkan ketika mereka satu sekolah saja hal itu tidak pernah terjadi. 

Banyak comment yang tertera disana, kebanyakan menunjukkan kekagetan karena mereka sebelumnya tidak pernah terlihat dekat sisanya mereka yang memberi selamat. Berusaha untuk tidak berpikir aneh - aneh, Tama langsung saja memberikan like . Tidak berselang lama, sebuah DM masuk ke akunnya yang berasal dari Zen.

ZenRex : Oi 

Tamago : Hi, ada apa ? 

ZenRex: Akhirnya direspone trus dilike 

juga, gue pikir lo marah 


Tamago : Ha? Kenapa harus marah 

ZenRex : Takut lo ngga nyaman foto kita.  

bedua gue posting 

ZenRex : Maaf tapi gue gamau kehilangan. 

kesempatan lagi


Tamago : Ohh itu, santai aja kali, kan itu akun lo dan lo posting juga untuk merayakan pencapaianya lo. So, it’s okey 

Tamago : Kesempatan apa yang ilang ? 

ZenRex : Bukan apa - apa, dulu kita 3

tahun lebih satu SMA tapi gapernah

ngobrol mumpung ada momentnya ya

lumayan ngobrol - ngobrol 


Tamago : Ohh itu, iya betul, dulu gue ngerasa lo orang yang gaakan mau berbaur dengan gue 


ZenRex: Enak aja, lo kali tuh terlalu serius 

Tamago : wkwkwkwk bener ugha 

ZenRex : ternyata bener , kita gaboleh

judge buku dari sampulnya 


Tamago : kita ? Lo aja kali wkwkw 

ZenRex : Typingan lo mengundang

amarah 

ZenRex : Tapi seriusan gapapa ga posting

foto bedua? Nanti cowo lo marah lagi 


Tamago : ketikan lo kek buaya darat 🐊

Tamago : Mana jurusan lo tehnik lagi 

Tamago : merinding 😖😖

ZenRex : Rewel banget si calon istri 🤪


Tamago : idih serem , kabur dah 🏃🏻‍♀️🏃🏻‍♀️

ZenRex : sapa suruh bawa jurusan

Begitulah percakapan mereka, pertemuan itu membuka komunikasi keduanya. Jangan ditanya lagi kondisi Tama bagaimana, pikiran gadis itu sudah terbang dan kakinya menendang - nendang kasur. Hanya akal sehat yang menahannya untuk tidak menelpon wedding organizer sekarang. Keesokannya, reaksi tak kalah heboh ditunjukkan oleh sahabat, Jeha. 

Jh: send a screenshot

Jh : Apaboleh seugal - ugalan inin ? 

Jh: Pantasan kemarin hawa lo bukan hawa

kematian, habis disiramin cinta ternyata

Jh : wajib, kudu ceritain detailnya sih 

Tamago : bejir gue pribadi masih

shock loh

Tamago : send voice record 


Jh: ANJ ANJ ANJ 

Jh : drama banget loh 

Jh :Kek seorang Zen tiba - tiba gitu 

Jh : Fix dia suka sama loh , yakin banget

gue 

Tamago : enggalah , itu keknya respone  

normal orang yangketemu teman lama aja 


Jh : denial babi 🐽

Tamago : 🤡🤡


Semenjak itu, sejujurnya tidak ada yang spesial. Hanya saja, Tama dan Zen saat ini berhubungan baik, beberapa kali mereka bertukar pesan bahkan hangout bersama. Namun, tiidak ada yang mengarah ke romansa. Tama yang awalnya terbang pun kini sudah mendarat sebelum jatuh. 

ZenRex : Oi, dimana ini? 

Suatu hari, zen me-reply story instagramnya. Hari itu, Tama sedang mengebut skripsinya di suatu cafe bersama overprice kopi disampingnya . Ia sedang merapikan revisi terakhirnya, jika ini lolos dia akan maju ke sidang akhir. Dengan resah, ia mem-posting story itu sebagai pelipur lara karena saat itu ia mumet sekali. Siapa sangka direspone oleh Zen. 

Tamago : Di cafe XX


ZenRex : lagi apa ? 


Tamago : menyelesaikan revisi skripsi 

dengan kecepatan kilat sama habis ini mau 

nguber - nguber dosen ke RS 

ZenRex : OTW, gue temenin 


Tamago : boong bat 

Respone Tama sekadarnya, tidak percaya pemuda itu akan repot - repot. Lagipula untuk apa dia mendatangi Tama. Tak mau ambil pusing gadis itu memilih menenggelamkan diri dalam skripsinya. 

“Anjay kusut amat neng,” ucap suara yang Tama kenali sebagai Zen meledeknya. Tama kaget melihat kehadiran pemuda tersebut, selain karena dari tadi dia menyangkal Zen akan menghampirinya, kedatangan pemuda itupun terbilang cepat hanya beberapa saat setelah keduanya bertukar pesan. Seolah rumah Zen ada dibalik cafe ini. 

“Tuntutan hidup mau gimana lagi,” suara pasrah Tama merespone perkataan Zen. 

“Ternyata lu tuh belum sidang ya, gua dari kemarin - kemarin bertanya - tanya. Ini orang udah selesai dari lama apa gue emang ga diundang,” Zen membuka - buka buku menu sambil berkata demikian.

“Memang belum, tapi gue harap hari ini gue bisa acc buat sidang,” Tama menuangkan harapannya sambil terus mengerakkan kursornya. Ia sedang finishing terakhir kalau - kalau ada yang masih salah. 

“Gua yakin lo bisa, gabisa bantu banyak si karena kita beda jurusan, cuma dengan diri lo yang pantang menyerah dan selalu mengusahakan segala kemungkinan meskipun lu terdesak. Pasti bisa ngetuk hati pembimbing lo. Kalau lo butuh apa - apa sabilah ramein chat gue. Gue siap sedia ngasih bahu gue,” ucap Zen terdengar serius. Hal itu membuat Tama tertegun, bahkan jarinya membeku diatas layar keyboard. 

“Gimana pick up line gue, bisa berhasil mengetarkan hati ngga,” lanjut Zen mengesalkan sambil menaik turunkan alisnya bermaksud menggoda Tama. Langsung saja gadis, memberikan bombastic side eye-nya pada pemuda tersebut. 

“Gejalanya udah lama pak ngomong ngelantur gitu ? Keluarga udah tau?” Tama balik meledek Zen melampiaskan kedongkolan hatinya pada mulut ajaib laki - laki itu.

“Kejam banget si ibu, tapi gapapa tetap cantik tidak tertandingi. Gini deh, sebagai permintaan maaf gue anterin lo ke RS mumpung udah disini juga ya kan,” Zen mengarahkan percakapan mereka ke rute yang kembali tak terduga oleh Tama.

“Tujuan utama lo itu kan dari tadi?” Tama bermaksud untuk sarkas demi menutupi dirinya yang saat ini salah tingkah. Ia tidak ingin hilang kendali dihadapan seorang Zen. 

“Nah itu tau, kan enak sehati begini. Tau gitu dari dulu aja,” Zen lagi - lagi berbicara setengah - setengah.

“Dari dulu apa ? Kebiasaan ya lo pasti kalau ngomong dibuat ambigu. Keren kah begitu,” Tama jengkel.

“ Kepo aja atau kepo banget,” jawab Zen yang membuat Tama makin darah tinggi. 

“Udah yuk berangkat, mau ngejar dosen kan. Kalau ngobrol nanti ga kekejar,” Zen mengalihkan fokus mereka. Salah siapa coba bikin marah gerutu Tama dalam hati. 

Sementara Zen, Pemuda itu dengan sigap mengambil totebag Tama seolah itu hal biasa. Meski sejak tadi bertengkar dengan Zen, Tama berhasil menyelesaikan agendanya saat itu dan sempat merapikan seluruh barang bawaanya. Tama yang mendadak lola karena perlakuan Zen mematung ditempat. Ia pun tertinggal dari Zen yang sudah berjalan lebih dulu. 

“Ckckck, mba yuk ketinggalan kereta nih, jadi anak ilang lo ntar,” Zen kembali lagi ketika menyadari Tama tidak ikut berjalan bersamanya. Pemudah itu meraih tangan Tama dan menariknya lembut agar ikut berjalan. Saat itu dunia Tama berhenti, ia tidak tau apa lagi yang terjadi bagaimana ia naik kemobil Zen, jalan mana yang mereka yang lalui, apa yang ia lakukan saat berdua saja dimobil Zen. Ia lupa semua 

Kesadarannya kembali ketika terasa bagian ulu hatinya nyeri, tampaknya asam lambungnya naik menandakan mereka sudah sampai dimedan pertempuran. 

“Gue pergi dulu, makasih sudah ngantarin gue dan maaf ngerepotin. Lu pulang duluan aja gua gatau dospem gua lama atau engga. Gue gapapa nanti pulang sendiri aja. Nanti gue kabarin hasilnya gimana,” pamit Tama pada Zen dari luar jendela mobil Zen. Gadis itu tidak ingin merepotkan lebih jauh lagi. 

“ Engga gue tunggu, gue di toko kopi itu. Telepon gue kalau udah selesai,” jelas Zen, Tama ingin melobi Zen kembali agar pemuda pulang tetapi tidak bisa, pemuda itu langsung pergi tidak memberi Tama kesempatan. 

Tama baru bertemu sang dosen saat matahari berpulang ke tempat ia beristirahat. Maklum, ia harus menunggu selesainya dua operasi CITO yang harus dilakukan dosen pembimbingnya. Beruntung dosen pembimbingnya masih mau menemuinya.

“Maaf ya nunggu lama karena saya operasi dulu. Mana skripsinya , revisi yang saya kasih kemarin udah dikerjakan semua ?” To the point dr. Iman selaku dospemnya langsung membahas skripsinya.

“Izin dokter, sudah saya kerjakan dan saya sudah konsul ke dospem 2 yaitu dr. Aki dan beliau sudah mengiyakan dan mengizinkan untuk naik ke sidang hasil dok,” jelas Tama, dr. Iman pun menganguk - angguk dan membolak - balik setiap halaman yang sudah Tama kerjakan . Bunyi kertas yang dibolak balik tersebut membuat Tama harap - harap cemas.

“Hmm, sudah baik , kamu boleh naik ke sidang hasil ya ,bangga saya, kamu anak bimbingan saya yang paling cepat sejauh ini,” perkataan dr. Iman tersebut membuat mata Tama berbinar.

“Terima kasih dokter,” sambutnya cepat. Setelah itu, Tama menerima beberapa instruksi dari dosen pembimbingnnya, mencatat, dan bertanya ketika bingung. Ketika selesai, Tama langsung saja mencari Zen. 

Tama menemukan Zen dikedai kopi yang pemuda itu katakan tadi. Dengan semangat mengebu - ngebu, Tama pun menghampirinya. 

“Zen gue bisa sidang, yeay yeay lalalala, yeay yeay lalala,” Tama mengumumkannya didepan Zen sambil bertingkah layaknya penonton bayaran dahsyat dizaman dulu. Sangking bahagiannya gadis itu memegang tangan Zen lalu mengerakkannya. Respone lelaki itu tentu saja mendadak bengong sebab gadis yang ia kenali sangat serius itu jarang menunjukkan ekspresi bahagianya. 

“Selamat, you deserve it,” dengan tulus Zen menatap mata Tama sambil berkata demikian. Tatapan itu membuat gadis itu kembali ke dunia nyata.

“Sorry tangannya gue pinjem,” cepat Tama melepaskan tangan Zen .

“Ngga papa diterusin juga gue iklas,” tidak lelah Zen tetap mencari celah untuk mengoda gadis itu. 

“Bener - bener ye lo tetap ya ada aja menyebalkannya,” Tama mengeluh walau dalam dirinya ia ingin salto sekarang untuk membebaskan rasa malunya.

“Menyebalkan gini tetap lucu kan?” Zen tetap tidak berhenti yang dihadiahi cubitan oleh Tama.

“Untung lo baik hari ini kalau engga kesel banget gue, btw lo masih punya waktu luang engga? Kalau masih mau ajak makan itung itung mau apresiasi. Makasih udah nemenin gue hari ini kalau engga ada lo kayaknya gue udah nyerah dikafe tadi dan ngesot kesini,” Tama bertanya pada Zen.

“Wah banyak banget waktu luang gua mah, apasi yang engga buat neng Tama hari ini pokoknya khusus buat elo deh, ayok lanjut jalan lagi” Zen lagi - lagi menjawab dengan jenaka yang kembali mendapat cubitan dari Tama.

“Bisa engga gapake nyebelin,” omel Tama kesekian kalinya.

Setelah Zen setuju, walau masih berdebat, mereka melanjutkan perjalanan lagi, Tama ingin mentraktir Zen di cafe yang dekat dengan taman kota. Yang pada ujung - ujungnya ditraktir Zen juga membuat mereka berdebat kesekian kalinya.

“Perasaan gue udah bilang gue traktir deh,” kesal Tama pada Zen yang sudah menguasai bill mereka.

“Ngga denger, ngga denger, lo ngayal gue ga ngeiyain ditraktir gue bilang ayo jalan lagi wlee. Mba ini bayarannya yang itu gausah didengerin makasih mba semoga harimu selalu weekend,” Zen membayarkan pesanan merek.

“Lo nyebelin,” entah kebarapa kalinya Tama mengucapkan kata itu.

“Iya gue tau dan gue nyebelin sama lo doang kok,” Zen tak pantang menyerah untuk membuat tama sebal.

“Yaudah kalau mau nyebelin gitu terus setidaknya izinin gue ambil foto lo,” pinta tama memahami bahwa Zen akan terus menyebalkan. Ide gila itu muncul begitu saja dibenak Tama, biarlah dia malu asal ia bisa menunjukkan bahwa pemuda itu sudah berperan besar.

“Idih ngefans lo apa modus baru?” Tama yang gondok mendengar Zen menjawab seperti itu menjitaknya.

“Gue tau lo ngeselin, tapi biarin gue apresiasi lo biarkan gue menujukkan rasa terima kasih gue. Gue seneng ditemenin lo ya walau lo nyebelinnya ga kira - kira. Tapi kalau gamau gapapa,” akhirnya Tama merengut. Zen yang tak pernah melihat Tama demikian lantas panik.

“Sorry, aku gamaksud begitu, sebenarnya gausah ditraktir atau diapresiasi gapapa kok karena seperti kamu yang seneng ditemenin aku juga senang nemenin kamu. Gini deh, kita foto bareng habis itu terserah kamu mau apain fotonya tapi biarin aku bayar billnya soalnya aku gabisa biarin cewe yang bayar. Gimana? Deal.,” Zen melunak dan berusaha menenangkan Tama 

Tama pun mengangguk “lo ga cocok anjir pake aku-kamu berasa digoda playboy gue,” komentar Tama sarat akan hinaan. Kali ini, Zen yang memasang side eye-nya.

Tama cekikikan dan mengarahkan kameranya kearah Zen. Langsung saja Zen mengambil alih hp tama dan mengarahkan kameranya ke keduanya, tidak lupa menarik tama agar mendekat. Malam itu, foto keduanya kembali terukir. Tama pun mempostnya di sosial medianya dan mengungkapkan terima kasihnya disana. 

“Owh jadi itu fungsi fotonya?” tanya Zen pada Tama 

“Iya hehehe habis lo gamau ditraktir setidaknya kebaikan lo harus ditau dunia. Gapapa kan?” Tama memastikan.

“Gapapa gue mah seneng kapan lagi dipost di ig lo yang hening itu. Post cuma satu itu juga udah lama, jarang post story, sekalinya post muka lo pun ga keliatan. Bikin bingung masih dipake apa engga,” Zen entah mengapa misuh misuh sendiri.

“Review lo udah kek orang yang mantengin ig gue 24 jam per hari,” pernyataan Tama itu membuat Zen gelagapan.

“Pede gila lo, keliatan aja dari tabiat lo,” jawab Zen berusaha santai. Entah tolol atau memang tidak peka Tama pun mengangguk seolah itu adalah hal yang wajar. 

Selesainya urusan traktir mentraktir , mereka pun menyudahi perjalanan panjang mereka hari itu. Oleh karena hari yang sudah malam, Zen pun mengantar Tama pulang.

“Lo tuh punya pacar ga si?” tanya Zen dalam perjalan mereka tiba - tiba, tidak ada angin tidak ada hujan.

“ Engga sih gua gadibolehin ortu juga, gada yang deketin juga. Kenapa nanya gitu tiba - tiba?” Tama keheranan.

“Engga, tampang lo udah kayak jomblo karatan soalnya.” 

“Kok anjing ya?” 

“Lo sendiri udah punya?” Tama balik nanya.

“Ngga punya si, tapi gue lagi ngejer seseorang. Cuma agak lemot aja orangnya,” Zen menjawab dengan enteng.

“Semangat yah, semoga doi segera dibukakan jalan pikirnya,” Tama menyemangati, meski hatinya terenyuh mendengar pernyataan Zen. Dia pikir dia masih punya kesempatan karena kedekatan mereka akhir- akhir , ternyata tidak demikian. Dalam hati, Tama menerka - nerka siapa cewe beruntung itu. 

“Iya cepet sadar ya Tama” Zen membalas dengan sangat amat jelas 

“Eh?” Tama kebingungan sendiri, membuat Zen menarik napas panjang 

“Emang ya kalau orang kepinteran pasti ada satu part dimana dia jadi tolol banget,” Zen menyentil dahi Tama. 

“Kok jadi ngehina gue,” Tama menjadi sebal.

Zen tertawa mendengar respone Tama, mengikhlaskan kebodohan gadis itu untuk kesekian kali. Obrolan mereka pun berlanjut ke topik lain. Tanpa terasa mereka telah sampai dirumah Tama.

“Makasih udah dianterin, hati - hati ya dijalan, kalau udah sampai jangan lupa berkabar,” pamit Tama sopan yang dijawab dengan anggukan oleh Zen.

“Btw jangan lupa undang gue pas jadwal sidang lo udah keluar dong,” pinta Zen 

“Siap kalau itu mah,” Tama pun melambaikan tangannya kearah Zen. Pemuda itu melajukan mobilnya semakin menjauhi rumah Tama. Keduanya malam itu kembali berpisah, dengan harapan masih bisa melanjutkan kembali kedekatan mereka seperti hari ini. Dirumah mereka masing - masing tiba - tiba ada yang menghubungi. 

Zen dan Jeha Personal Chat 

Jh: send a photo 

Jh : Umpan apakah termakan kapten ? 

Jh : apakah gue sudah bisa menaiki kapal

ini 

Jh : apakah sudah berlayar? 


ZenRex : Lo kalau ngegosip cepet ya ? 

Jh : wesh wesh galak banget 

Jh : lupa ya jasa gue ? 

ZenRex : pamrih banget anj 

Jh : biarin pamrih 

Jh : daripada ybs sama - sama mendem

betaon- taon 

Jh : chuaks 


ZenRex : bct 


Jh : ga mksd ikut campur si 

Jh : tp ini ikut campur 

Jh : cuma mendingan lo tembak dalamwkt

dkt 

Jh : klo emg lo suka 

Jh : gue gamau temen gue jd mainan lo ya 

Jh : dia mau sidang kan 

Jh : kalau ampe dia masuk koas 

Jh : mampus lo makin gabisa deketin 

Jh : ditambah sapa tau dia kecantol koas

univ lain atau resident 

Jh : temen gue cantik loh bang 

Jh : banyak yang mau 

Jh : minus agak tolol aja kalau disuruh

omongin romansa

ZenRex : repot bgt ni emak - emak 


Jh : Anjing lah 

Jh : pokoknya ampe temen gue lo mainin

liat aja 🫵 

Tamago dan Jeha room chat 

Jh: asik asik josh 

Jh : prikitiw

Tamago : ada orgil 

Jh : jahat banget 

Jh : gimana lelaki idaman lo 

Tamago : salting si berduaan aja dalam waktu yang lama 

Tamago : Tapi dia udah ada cewek yang disuka

Tamago : dan lagi ngejer

Tamago : gue udah gada kesempatan

Tamago : 🥲🥲🥲

Jh : Turut prihatin gue ama Zen🪦

Tamago : Kok lo malah kasihan ama Zen sih yang prihatin disini gue 

Jh : eh telor dadar, gue ajak mikir sini. Lo

pernah nonton serial “Hospital Playlist”

kan

Jh : Inget ga lo salah satu dialognya “kalau

dia suka, dia pasti datang” 

Jh : terus lo bandingin ama apa yang Zen

lakuin 

Jh : Ampe lo ga nyadar juga sekarang, gue

tempeleng bolak - balik dah.


Tamago : Ya kan bisa aja dia tipe friendly 

yang semua orang dibaikin, lagipula itu 

tabiat mahasiswa akhir ga si baikin lawan jenis 

Jh: Tamaku sayang 

Jh: Gini deh, misal nih si Zen emang

playboy

Jh : Ngapain di up lu di sosmednya dia

Jh : Kalau dia punya asrama putri

bubaryang ada

Jh : Ngerti sekarang ? 

Tamago : 😳

Tamago : Lu ngerti banget deh ama Zen 

Tamago : Kek bestie dari orok 

Jh : ya kalau itu gue emang pinter nilai

orang aja 

Jh : stop bahas tentang gue 

Jh : pokoknya lo ngga boleh raguin

perasaan lu dan perasaan orang


 Tamago: 🫡🫡🫡

Ada yang aneh dalam percakapan Jeha dan Tama, ia merasa Jeha sangat mengebu - gebu untuk menyakinkan bahwa Zen menyukai Tama. Walau secara logika, apa yang dijelaskan Jeha sangat masuk akal. Bahkan, Tama tidak bisa menahan merah dipipinya bahwa memang Zen suka padanya. Kalau dipikir-pikir semua pernyataan ambigu Zen memang mengarah ke romansa. Tama saja yang selalu berpikir itu candaan sebab perilaku Zen yang menyebalkan. Ia sebenarnya takut untuk mempercayainya, takut hanya khayalan semata. Akan tetapi, untuk saat ini Tama ingin mempercayainya.

sekian hari terlwati setelah sesi wejangan dari Jeha, tibalah hari sidang hasil Tama. Gadis itu mencicil segala persiapannya, hal itu membuatnya sibuk tetapi tidak menghapuskan perasaan campur aduknya disatu sisi ia senang sekali akhirnya gelar S.ked sudah didepan matanya disatu sisi lain menghadapi penguji membuat dirinya tidak bisa tenang. Selain mempersiapkan keperluan sidangnya, ia mengundang keluarga dan beberapa temannya. Tidak banyak, hanya beberapa yang memang menurutnya berjasa dalam proses kehidupannya.

Salah satunya adalah Zen. Meski mereka dekat akhir - akhir ini saja, tetapi Tama rasa ia perlu menghargai kedekatan itu. Zen dan Tama sendiri masih tetap bertukar pesan seperti biasa hanya saja Tama dengan segala pikirannya dan sikap malu - malu kucingnya masih sering tarik ulur sebab ia malu mengingat kemungkinan Zen suka padanya.

Tamago : ehem 

Zen : siapa ya ? 

Tamago : sialan 

Zen : lagi tumben ngechat biasanya gue

juga dianggurin

Zen : lo gatau gue lumutan nunggu chat lo

Zen : dichat duluan juga hilang timbul


Tamago : maaf 😔

Tamago : takut ganggu kesibukan lo jadi ya secukupnya aja 

Zen : after all the time we spend masih

mikir begini bocil ini ? 

Zen : bener - bener harus kerja keras gue 

Zen : Ngga bisa secukupnya gue 🙄


Tamago : ini ngomong apaa si kerja keras apa dan kenapa ga bisa secukupnya kenapa

Zen : gapapa 

Zen : Besok deh gue ceritain, besok lo

sidang kan ? Ngechat gue mau ngundang

kan ? Siap besok gue datang dengan

senang hati 


Tama : kok lo tau 

Zen : lo sopan banget 

Zen : biasanya ada maunya 


Tama : ga gitu 😐😐😐


Zen : canda 

Zen : besok dimana sidangnya 

Tama : share location 

Tama : jam 11 diruang sidang lt 3 


Zen : sip, nanti w dateng 

Esoknya Tama sudah siap diruangannya 2 jam sebelum sidang dimulai. Dia sudah menata seluruh keperluan sidangnya. Tempat ini masih sepi hanya ada teman - temannya yang jadi panitia. 

“Mending lo makan dulu deh tama, jangan sampai nanti pas semhas lu pingsan kan ga lucu,” tegur Ara, salah satu teman kuliah Tama yang berada disana melihat wajah pucat Tama.

“Duh gamood makan, mau baca - baca ppt aja , nanti deket sidang gue makan kue aja udh gue siapin,” Tama yang memang tidak pernah mood makan saat ada ujian menolak. Ara tidak nenyerah disana, berbagai cara ia lakukan agar gadis itu mau makan. Namun, hasilnya nihil Tama tidak dapat digoyahkan membuat Ara menyerah. 

Disisi lain, seorang pemuda berdiri disudut lobby menenteng bunga dan paperbag ditanganya. Tampak banyak perempuan yang berlalu lalang sengaja melambatkan diri untuk memperhatikan sosok asing, tetapi memikat mata yang pertama kali mereka lihat. Dia adalah Zen memang hari itu dia tampil amat segar dengan pakaian batiknya. Dia menunggu disana karena telah berjanji dengan Jeha untuk ke tempat seminar hasil Tama berhubung dirinya tidak pernah ke kampus tama sebelumnya. Namun, Jeha yang ditunggunya tak kunjung terlihat membuatnya menunggu dengan akward dikampus orang. 

“Oi Zen, udah lama?” suara yang familiar terdengar menghampirinya. Itu adalah Jeha yang datang bersama Arfin, pacarnya, yang mana adalah teman Zen juga. 

“Baru bentar si tapi awkward banget,” terang Zen mengemukakan keluh kesahnya.

“Hmm bener juga, keknya gua terlambat dikit lo udah dikerubungi semut,” ujar Jeha memperhatikan sekitar.

“ apaan si lo pikir gue gula?” Kesal Zen pada Jeha.

Mereka bertiga pun menaiki tangga ke lantai 3, begitu menyentuh lantai tersebut Jeha ngos ngosan sementara Arfin dan Zen biasa saja. Maklum, Jeha kurang aktivitas fisik 

“Lemah lo,” Zen mengejek Jeha yang membuat gadis itu tantrum. Arfin dengan sigap menenangkan. 

Zen meninggalkan Jeha yang masih mengumpulkan pundi - pundi oksigen, ia melangkahkan kakinya ke tempat semhas Tama yang sudah ditangkap matanya. Ia masuk mendapati beberapa orang disana. 

Zen tidak memedulikan mereka, matanya hanya tertuju pada satu orang yang terlihat paling pusing disini. Dia adalah Tama , kaki Zen bergerak mendekatkan diri pada gadis itu. Tama kala itu sedang fokus membaca - baca ulang skripsinya membuatnya ia tidak menyadari dunia sekitarnya. 

Lama Zen menunggu, hingga akhirnya gadis itu menengok. Tentunya, Tama terperanjat menyadari kehadiran Zen.

“Sejak kapan?” Tanya Tama 

“Sejak lo mulai komat kamit membaca tiap slide lo itu. Gue tau lo rajin, tapi mending udahan, ngeri banget gue liat wajah lo sekarang. Inget otak lo juga butuh tenaga, percuma banyak ilmunya tapi gada tenaga buat nyampeinnya. Ini makan,” Cecar Zen langsung

“Tapi…,” Tama ingin mengelak lagi tapi sudah keburu terpotong Zen yang menyodorkan paperbag berisi makanan yang dibawanya tadi.

“Makan, atau gue suapin biar ditontonin temen lu,” tegas Zen. Dengan sedikit merengut, Tama pun akhirnya memakan makanan itu. Pemuda - pemudi itu pun tenggelam dalam dunian mereka, Tama yang tampak rileks mulai berbicara A-Z ke Zen. Pandangan penasaran tidak bisa dielakkan dari orang - orang diruangan tersebut melihat interaksi tersebut. 

“Oii kita juga disini,” Jeha masuk dalam interaksi antara Zen dan Tama itu setelah sebelumnya menyapa teman - teman Tama yang ada disana. 

“Eh halo jeha dan Arfin, masih langgeng aja lo ama mahluk itu, makasih udah dateng,” Sapa Tama ramah

“Halo Tama, iya nih masih bareng, alhamdulilah kalau kata orang bener. Tadi kita juga bareng Zen kesininya,” jelas Arfin yang membuat Tama mendelik tajam dan penuh kecurigaan kearah Jeha yang mana gadis itu sekarang pura - pura tidak melihat. Tama tidak pernah tahu Arfin dan Jeha berteman dengan Zen selama ini. Tama penasaran, tetapi memilih tak ambil pusing terlebih dahulu. Ia akan menanyakan satu dua hal pada sahabat karibnya itu nanti. 

Tak terasa, waktu sidangnya tinggal 15 menit lagi. Orang tuanya pun sudah datang. Entah bagaimana, Zen duduk ditengah - tengah kedua orang tuanya . Ketiganya tampak membicarakan banyak hal. Tama pun panas dingin sendiri melihatnya, tetapi dirinya tidak bisa mengulik percakapan mereka karena sidangnya yang akhirnya dimulai.

Sidang tersebut berlangsung selama dua jam, sebenarnya lama tetapi berlalu amat cepat bagi Tama. Setelah melewati berbagai pernyataan. Akhirnya, gelar S.Ked sudah ditangannya. Ia pun melakukan sesi dokumentasi dengan para pembimbing dan penguji lalu orang tuanya. 

Disela - sela , foto ibunya berbisik padanya.

“Mama baru tau kamu pinter cari cowo? Nemu dimana? Gitu kalau nyari cowo berani ngadep ke orang tua ngga cuma berani dibelakang,” sempat - sempatnya sang ibu bergosip saat sesi foto.

“Mama sotoy dari mana itu?” Tama mengungkapkan keherenannya pada orang tuanya.

“Itu yang ganteng pakai batik, kamu suka kan sama dia, mama tau dari Jeha, si Zen juga tadi minta izin sama mama buat pacarin kamu. Mama sama papa si setuju,” terang sang ibunda membuatnya menganga. Selain Jeha yang bibirnya benar - benar bisa dikunci, siapa yang tidak panik saat tau Zen mau menembaknya. Dengan sekuat tenaga, Tama memasang muka tenang.

“Akhirnya anak mama laku, mama udah khawatir kamu pacaran ama buku tau, ” mamanya lanjut meledek.

“Salah siapa yang ngga bolehin deket - deket ama cowo,” sarkas Tama.

“Bukan gaboleh, komoditinya harus bagus,” Ucap ibunya lagi, Tama masih mau memprotes tetapi ibunya sudah keburu ngerumpi dengan teman - temannya menyudahi percakapan mereka. 

Setelah sesi foto tersebut , orang tuanya berpamitan terlebih dulu membiarkan dirinya merayakan bersama teman - temannya. 

Tibalah saat dimana tinggal Jeha, Arfin, dan Zen sebagai orang yang terakhir berada disana. Entah mengapa, dia jadi malu sendiri mengingat perkataan ibunya tadi. 

Zen menghampirinya membuatnya tak bisa menahan rasa salah tingkahnya. Pemuda itu menyodorkan bunga dan diterima oleh Tama.

“Makasih udah dateng,” Tama mendadak kikuk.

“Karena lo udah s.ked gue mau ngomong sesuatu. Sebenernya gue udah mau ngomong ini dari lama , tapi gue rasa momen ini yang paling pas” Zen tiba - tiba serius. Tama bisa merasakan hawa panas menjalar ke pipinya juga jantungnyavyang mulai bekerja keras hingga berbunyi deg deg deg. Ada jeda yang panjang sebelum pemuda itu melanjutkan pembiacaraannya. 

“Sebelumnya Selamat sudah S.Ked dan selamat belajar lagi habis ini. Gue tau jalannya pasti makin susah tapi gue yakin kalau itu lo, lo pasti mampu karena lo sehebat itu. Tapi disini gue juga mau ngomong. Pasti disana lo ketemu banyak orang lain dan mungkin banget ada orang - orang yang berhasil membuat lo fokus sama dia. Dan jujur gue gamau itu terjadi, karena gue suka sama lo sejak kita SMA . Tapi karena terlalu gengsi gue kehilangan jejak lo. Gue gamau lagi jadi orang yang buang - buang kesempatan jadi kali ini gue mau bilang sebelum ada orang lain yang bilang, mau ngga lo jadi sosok pendamping gue dihari - hari gue selanjutnya?”ucap Zen to the point membuat pikiran Tama seketika kosong sejujurnya ia sudah mengetahuinya, tetapi ternyata ketika kejadian rasanya sangat berbeda. 

Rasanya seperti kupu - kupu memenuhi perutmu membawamu ikut terbang bersamanya. Dengan mantap, Tama pun menganggukan kepalanya karena seperti Zen yang tidak ingin menyesal begitu pula Tama. Mendapati respone Tama, Zen pun meraih tangannya dan megecup telapak tangannya membuat gadis itu terkaget dan memukul bahu pemuda itu pelan. 

“Ingat tempat woy,” Tama mengingatkan yang disambut kekehan Zen.

“ASIK KAPAL YANG GUE PERJUANGKAN BERLAYAR HIP HIP HURA,” teriakan berisik Jeha memecah suasana membuat Tama mendelikan matanya. 

“Owh makasih banget Jeha, tapi jangan seneng dulu. Bisa jelasin ke gue kenapa lo bisa temenan baik ama Zen? Perasaan dari dulu kalian stranger gamungkin langsung sedeket itu,” selidik Tama , membuat Jeha bergidik. Temannya ini kalau sudah pake logika bahaya banget. Siasat mak comblangnya langsung bisa tercium.

“Iya emg gakenal, lo tau gue cegil kan suatu hari gue lagi nyamperin Arfin pas lagi berantem ke tempat mainnya dia. Ga sengaja gue ketemu si Zen. Apes dia ama gue ketahuan lagi buka screen shoot story IG lo. Habislah ini mahluk gue introgasi. Turn out dia suka sama lo udah lama dan karena kalian boro - boro interaksi jadilah lost contact. Jadi ibu peri ini, yang mengetahui dua pihak saling suka pun membuka jalan dengan menyalahkan waktu sidang gue dan memberitahu ke Zen waktu dirimu sedang dikampus gue. Selebihnya skill ybs yang menentukan dan untungnya happy ending. Puas lo?” Jeha menyerah dan mengakui semuanya 

“Yah kalau kayak gitu, Gue gatau harus marah apa gimana” Tama menjadi dilematis, tak menyangka Jeha serepot itu untuk mengusahakan rasa sukanya, tetapi ia tidak suka dibohongi. Tama merasakan tangannya digengam oleh Zen.

“Udah lepasin aja si Jeha dari amukan lo karena dia juga kan kita bisa sama - sama. Anggep aja white lie,” saran Zen yang akhirnya meluluhkan hati Tama. Jeha sujud syukur karena tidak jadi bertengkar dengan sahabatnya itu.

Seperti itulah akhir cerita Zen dan Tama. Moral dari cerita ini adalah perasaan yang sama pun takkan bisa bersatu jika keduanya pasif. Haruslah ada keberanian mengambil langkah untuk saling mendekat dan diantara semuanya tetap saja ada faktor “X” yang membuat jalannya cerita lebih berwarna.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Ternyata Oh Ternyata
Seraphine Alana
Novel
Gold
Yasa
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
UGLY HUSBAND
LSAYWONG
Novel
Bronze
FALLING STAR
Noficha Priyamsari
Novel
Koev Halev
Cindy Callysta
Novel
Bronze
EVERYDAY IS CHOCOLATE
Febilia revidawati pane
Novel
Serendipity
Hesti Yekti Ningsih
Novel
Bronze
Bayi Skripsi
Annida Yasti Sari
Novel
Bronze
Me and this Pandemic
Eunike Mariyani
Novel
Gold
The Dinner (Indonesian Edition)
Bentang Pustaka
Cerpen
SEHIDUP SEMATI
Elsa Setyawati Sumule
Novel
Bronze
I'm First
Karin Vayra
Novel
Bronze
Two Writers
Nurul Lathiffah
Cerpen
Bronze
Cinta Pertama dan Terakhir
Aneidda
Novel
Bronze
Nuansa 5 Dara
don silalahi
Rekomendasi
Cerpen
Ternyata Oh Ternyata
Seraphine Alana
Flash
Lebih Baik Jangan
Seraphine Alana
Flash
Panik Kecil
Seraphine Alana
Novel
CHÈRI
Seraphine Alana
Novel
You"re My Yellow
Seraphine Alana