Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ketika ditanya aku siapa, aku tidak bisa menjawabnya. Alasannya adalah aku memang tidak tahu siapa aku sebenarnya. Sampai perempuan yang mengenakan baju rajut warna abu datang bersama seseorang yang berpakaian serba putih. Aku tidak perlu mengetahui namanya siapa, tapi aku sudah mengetahui bahwa dia adalah seorang dokter.
Itulah pertanyaan yang pertama diberikan kepadaku. Tapi maaf, aku tidak bisa menjawabnya dengan baik. Lalu pertanyaan kedua adalah bagaimana keadaanku. Aku kali ini bisa menjawab. Aku baik-baik saja. Rasanya tidak ada yang aneh dengan diriku. Meskipun aku berada di rumah sakit terlihat dari alat-alat yang berada di sekitarku, aku merasa hanya bangun tidur biasa. Mungkin tidur yang terlalu lama karena ketika aku meregangkan sedikit tubuhku, suara tulang yang bergemeletuk terdengar beriringan.
Pertanyaan yang diberikan ketiga adalah dari perempuan itu. Apakah aku mengenalnya. Tapi maaf nona, aku bahkan tidak mengenal diriku sendiri, apalagi orang lain. Perempuan itu menundukkan kepala mendengar jawabanku. Matanya sembab coba disembunyikan dariku, tapi aku masih bisa dengan jelas melihatnya. Hanya ada 3 orang di ruangan ini. Mana mungkin aku bisa tidak menyadari itu.
Setelah, dia menghilangkan ekspresi sedihnya, barulah perempuan itu menjelaskan kepadaku. Namaku adalah Reihan. Perempuan yang memakai baju rajut abu itu adalah adikku yang bernama Rani. Lalu dokter itu, dia tidak mengenalkan dirinya, tapi dia menjelaskan keadaan kenapa aku bisa berada di sini.
Penyebabnya adalah sebuah kecelakaan mobil. Aku bersama teman-temanku bepergian ke daerah puncak. Karena sopir yang adalah pemilik mobil itu belum terlalu familiar dengan medannya, dia tidak sengaja mengambil jalan yang salah sehingga mobil itu masuk ke dalam jurang. Tidak ada korban jiwa, tapi hampir semua penumpangnya dibawa ke rumah sakit. Aku adalah yang paling parah karena sempat koma selama satu bulan.
Ya, itu yang diceritakan oleh dokter. Karena hanya itu informasi yang aku punya, pun perempuan yang mengaku sebagai adikku ini tidak menyangkalnya, aku anggap itu benar.
“Apa kamu tidak apa-apa kak? Apa kamu butuh sesuatu?” tanya Adikku khawatir.
Aku tidak merasa kurang suatu apapun dan tidak membutuhkan hal lain. Mungkin hanya satu. “Aku ingin tidur lagi,” kataku sambil membaringkan diri.
Saking khawatirnya adikku, dia menolehkan kepada kepadaku dan kepada dokter secara terus menerus. Mempertanyakan apakah aku boleh istirahat lagi.
“Tidak masalah dia istirahat lagi agar badannya bisa sedikit segar. Sambil menunggu, kamu bisa hubungi keluarga atau teman dekatnya mengabari kalau kakakmu sudah sadar,” saran dokter itu. Kamu yang dimaksud tentu bukan aku. Aku mana punya smartphone. Kamu yang dimaksud adalah kepada adikku. Kenapa aku harus menjelaskannya ya, padahal sudah jelas. Karena kemungkinannya hanya dia yang dimaksud.
Sudahlah, aku mau tidur kembali.
. . .
Cahaya oranye dari matahari sore yang menerobos jendela kaca mengganggu mataku. Aku yang sedang asik tidur terbangun karenanya. Saat aku membuka mata, tiba-tiba ruangan ini ramai akan orang.
Di kiri, di kanan, di sofa yang ada di depanku. Ada banyak orang ternyata yang datang selama aku tertidur. Kenapa kalian tidak membangunkanku. Kan malu aku kalau tidurku dilihatin sama orang lain.
“Selamat pagi nak?” sapa orang dewasa yang disampingnya berdiri adikku. Jika dia memanggilku begitu, berarti dia adalah orang tuaku. Aku masih memiliki orang tua lengkap ternyata. Wajahnya masih tampak muda. Mungkin usia 45-an. Atau mungkin lebih tua tapi mereka masih tampak muda.
“Ini sudah sore,” kataku melihat keluar jendela yang ditutupi oleh orang yang berdiri menghalangi.
“Iya, ini sudah sore. Kalau begitu aku ralat. Selamat sore nak,” balas orang yang sepertinya orang tuaku.
“Selamat sore, Bu,” jawabku singkat. mendengar jawabanku, wajah orang yang ada di sini tiba-tiba terkejut. Matanya membelalak tidak percaya. Memang apa yang aku lakukan sehingga mereka seperti itu.
“Kamu mengingatku?” Oh rupanya itu.
“Maaf, aku masih tidak mengingatnya. Tapi karena kamu memanggilku nak, aku kira kamu adalah ibuku,” jawabku jujur.
“Benar nak. Ini adalah Ibu dan Ayahmu. Senang melihatmu sadar kembali,” Ibuku tidak bisa menahan air matanya. Kolam itu jatuh setelah dia menyelesaikan kalimatnya itu. Menunggu Ibu menenangkan diri, Ayahku yang tampak tegar mendekatiku dan mengelus kepalaku dengan halus. “Kami merindukanmu,” ucapnya.
Tampaknya kelopak mata Ayah juga sudah menggenang air mata, tapi dia mencoba sekeras mungkin agar tidak jatuh. “Orang-orang yang ada di sini merindukanmu. Teman-temanmu bahkan rela datang setelah pulang sekolah untuk melihat keadaanmu,” ucap ayah.
Aku menengok ke kiri dan kanan. Semuanya memberikan senyuman kepadaku. Aku membalasnya dengan senyuman tapi cukup canggung. Aku tidak mengenal mereka semua, jadi, maaf.
Teman-temanku hanya tersenyum dari jauh. Apakah tidak ada yang ingin mulai berbicara sehingga suasananya tidak canggung seperti ini. Atau apakah mereka hanya teman kelas dan aku tidak benar-benar memiliki teman yang sangat dekat yang akan berbicara pertama kali ketika dalam keadaan seperti ini.
“Bagaimana keadaanmu Rei. Apa kamu baik-baik saja?” untungnya ada seseorang yang memulainya. Dia adalah perempuan dengan rambut hitam lurus yang diikat dengan gelang ikat bemotif bunga besar.
Apakah dia pacarku. Tidak-tidak. Jangan menyimpulkan terlalu jauh. Mungkin dia tetanggaku yang kebetulan satu kelas denganku sehingga kami dekat. Lalu siapa Rei. Oh, itu aku. Aku lupa namaku sendiri.
“Aku baik-baik saja. Terima kasih telah mengkhawatirkanku,” ucapanku menjadi lembut ketika perempuan yang bertanya. Bukankah aku belum mengatakan terima kasih kepada keluargaku. Apakah aku akan dianggap tidak sopan jika seperti ini. Sebaiknya aku harus memperbaikinya selagi bisa.
“Terima kasih dik, Ibu, dan Ayah,” ucapku dengan tulus.
Wajah mereka tampak kebingungan. Mereka menatap satu sama lain dan kemudian kepadaku. Apakah aku tidak pernah mengatakan kata itu selama hidupku. Bodoh sekali kamu Reihan. Apa yang sudah kamu lakukan selama hidupmu.
Aku kembali tenang ketika melihat wajah mereka bertiga senyum dengan halus. Tampaknya ucapan terima kasih tiba-tiba itu mengejutkan mereka.
Beberapa detik telah berlalu. Apa yang harus aku lakukan. Mengapa suasananya tiba-tiba canggung begini. Tolong seseorang pecahkan esnya.
Pintu geser ruangan terbuka dan yang datang adalah dokter yang pertama kali aku lihat tadi.
“Pak, putra bapak sudah bisa pulang jika berkenan. Nanti akan kami berikan resep obat dan jadwal rehabilitasinya jika berkenan untuk pulang sekarang,” jelas dokter itu.
Tidak langsung menjawab, Ayah justru bertanya balik kepadaku. “Apa kamu mau pualng sekarang atau menginap untuk sehari dua hari lagi?”
“Aku ingin pulang ke rumah,” jawabku jelas. Aku penasaran bagaimana tempat tinggalku dan kamar tidurku. Mungkin aku bisa mengingat sesuatu kembali. Jika tidak pun tidak masalah. Aku hanya perlu melanjutkan hidupku yang masih panjang.