Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Aku mau kita pisah!"
Nara tak membayangkan bisa mengucapkannya didepan orang yang dianggapnya paling mencintainya.
Seperti tali tak kasat mata, "cinta dan ketulusan" laki-laki yang mencintainya dan kemudian berusaha untuk dicintainya itu seolah telah mengikatnya menjadi jerat yang menyakitinya. Tapi tak disadarinya dengan sepenuh rasa.
***
Entah mengapa perasaan mendalam itu tiba-tiba luruh seperti butiran rinai hujan. Jatuh satu-satu dan berlari kearah yang disukainya bebas tanpa peduli. Tiba-tiba hatinya menginginkan itu. Ingin pergi ke titik yang lain, bukan titik yang sama yang selalu membuatnya seperti tak punya arti apa-apa.
Rinai hujan di luar jendela terdengar seperti bisikan lirih, menenangkan, tapi juga terasa menusuk di waktu bersamaan.
Nara duduk di sofa di sisi jendela, memandangi genangan—tempat kenangan tentang dia yang ingin dilupakannya. Adra. Nama itu selalu memenuhi pikirannya, seperti embun di luar cermin yang tak pernah benar-benar bisa dihapus.
***
“Aku hanya ingin kamu bahagia,” nyaris setiap kali Adra mengulangnya. Kalimat yang harusnya menghangatkan hati, tetapi entah mengapa terasa seperti beban. Seolah bahagianya adalah tanggung jawab tunggal laki-laki bernama Adra itu, seolah-olah tanpanya, Nara hanyalah sesosok makhluk yang tak tahu arah. Seperti benang basah yang tak bisa tegak berdiri.
Nara memejamkan matanya, mengulang kembali potongan percakapan yang telah mengendap di memorinya selama bertahun-tahun.
“Kamu tahu kan, aku nggak pernah meminta banyak dari kamu? Aku cuma ingin kau tahu bahwa aku adalah rumahmu. Aku satu-satunya yang mengerti kamu, Nara. Orang lain nggak akan peduli sepertiku.”
“Bohong!” tiba-tiba hatinya membantah. Kamu hanya ingin menggunakannya sebagai jerat. Agar aku terus berharap.
Kalimat itu, entah kenapa, selalu membuatnya merasa kecil.
Saat pertama kali mendengarnya, ia merasa begitu istimewa – seolah ia adalah satu-satunya orang yang begitu dicintai dan paling dipedulikannya, tapi kemudian terasa menjadi kekang yang mengikatnya, sebuah koneksi yang tak bisa dijelaskan. Makin lama makin menjeratnya.
***
Mengulang seluruh waktu, Nara kini bisa merasakan ulang hubungan mereka yang dimulai seperti dongeng.
Adra, dengan karismanya yang tak terbantahkan, adalah pusat perhatian di mana pun dia berada. Dia punya cara berbicara untuk membuat orang ingin mendengarkan, bahkan ketika dia hanya bercerita tentang hal-hal sederhana.
Di sisi lain, Nara adalah gadis biasa tanpa riak gelombang, lebih suka mengamati daripada berbicara.
Nara ingat ketika awal jumpa di sebuah acara seni, tempat Nara memajang lukisan-lukisannya yang suram namun memikat.
“Lukisanmu seperti jendela ke dalam jiwa yang rapuh, tapi, aku melihat, sebuah harapan di sana,” kata Adra saat pertama kali melihat lukisan Nara.
Untuk pertama kalinya Nara merasa dilihat – benar-benar dilihat seseorang dari karyanya dengan begitu mendalam. Adra tak hanya memuji tapi juga membuatnya merasa hidupnya memiliki tujuan yang lebih besar. Seperti cahaya benderang dalam lorong suram.
“Kamu istimewa, Nara. Tapi aku tahu, kamu nggak menyadari itu,” begitu katanya waktu itu.
Nara tak hanya tersanjung, tapi juga melambung jauh.
Namun, seiring waktu, kata-kata Adra mulai terasa seperti belati yang diselipkan dengan hati-hati. Setiap pujian selalu diikuti oleh syarat-syarat yang tak terucap.
Sewaktu Nara ingin mencoba gaya melukis baru yang lebih cerah, Adra bilang, “Aku suka kamu apa adanya. Kamu nggak perlu berubah. Kalau kamu berubah, itu bukan kamu lagi.”
Ketika itu Nara berpikir, mungkin Adra benar. Itulah jati dirinya, mestinya dengan label itulah ia bisa menjadi seniman besar.
Begitu juga ketika Nara ingin mengambil pekerjaan tetap untuk mendukung dirinya sendiri, Adra juga bilang, “Kamu akan merasa terkungkung dengan rutinitas. Kalau kamu melakukan itu, kamu akan kehilangan bagian terbaik dari dirimu.”
Lagi-lagi Nara mengiyakan, karena ia merasa kalimat-kalimat itu selalu terdengar seperti dukungan, tetapi Nara mulai merasakan ada sesuatu yang salah. Adra tidak pernah benar-benar mendukung apa yang ingin ia lakukan, tapi hanya apa yang sesuai dengan keinginannya.
“Kamu tahu kan, aku cuma ingin yang terbaik buat kamu?” mantra yang selalu diucapkannya, seperti sebuah mantra magis yang membuat Nara terus bertahan meskipun hatinya mulai lelah.
***
Sore itu Nara memintanya bertemu, mereka duduk berhadapan di kursi bersisian dengan trotoar yang lenggang saat gerimis turun dengan lembut, dan aroma tanah basah memenuhi udara.
Di kejauhan gadis penjual bunga duduk termangu dalam tempias, dilewati pejalan kaki yang memilih pulang. Membuatnya makin sendiri dalam lalu lalang yang menghilang.
“Aku pikir, aku ingin mencoba tinggal sendiri untuk sementara,” kata Nara pelan. Kata-kata itu seperti batu yang dilempar ke danau tenang.
Adra menoleh, matanya memancarkan sesuatu yang sulit dijelaskan. Bukan marah, bukan kecewa, tetapi semacam perhitungan.
“Kenapa?” tanyanya, suaranya tenang namun mengandung ancaman yang samar.
“Aku merasa…perlu ruang untuk menemukan diriku sendiri,” ujar Nara mendesahkan napas yang ditahannya.
“Aku merasa seperti kehilangan arah.”
Adra tersenyum, tetapi senyumnya tidak sampai ke matanya.
“Aku mengerti. Kadang, kita memang butuh waktu untuk memahami diri sendiri. Tapi kamu tahu kan, aku selalu ada untuk kamu? Kalau kamu pergi, aku nggak yakin kamu akan menemukan apa yang kamu cari.”
Kata-kata itu, meskipun terdengar mendukung, tapi seperti tali mengikat erat di leher Nara.
“Kamu tahu, tanpa aku, kamu nggak akan jadi seperti sekarang. Aku yang selalu percaya sama kamu, bahkan saat kamu nggak percaya sama dirimu sendiri,” lanjut Adra. “Aku cuma nggak mau kamu tersesat, Nara. Aku hanya ingin kamu bahagia.”
Nara terdiam menyelami kata-kata itu. Tadi malam ia duduk sendiri di studio kecilnya. Memandangi kanvas kosong di depannya, merasa seperti dirinya sendiri adalah kanvas yang akan dilukis oleh tangan orang lain. Setiap warna, setiap goresan, adalah pilihan Adra. Dia mulai mempertanyakan siapa dirinya tanpa pengaruh Adra.
Dan sekarang ia mencoba membuktikan kata-katanya sendiri, bahwa menurutnya Adra tidak benar-benar mencintainya dengan tulus. Adra mencintai kendali yang dimilikinya atas dirinya. Semacam manipulasi halus yang dirancang untuk membuatnya tetap bergantung.
Dan pikiran itu seperti badai yang mengguncang dirinya. Selama ini, dia percaya bahwa Adra adalah penyelamatnya, tetapi sekarang dia menyadari bahwa Adra adalah orang yang membangun dinding di sekelilingnya.
“Aku ingin kita berpisah,” kata Nara dengan suara yang lebih tegas dari yang dia kira bisa diucapkannya langsung di depan Adra.
Adra menatapnya, tanpa senyum. “Kenapa kamu melakukan ini? Aku pikir kita saling mencintai.”
“Aku pikir juga begitu, tapi sekarang aku sadar, cinta kita lebih mirip kendali yang tersembunyi. Kamu bilang kamu ingin aku bahagia, tapi kamu hanya ingin aku bahagia dengan cara yang kamu mau, bukan karena mauku.”
“Tapi kamu bisa menolaknya, dan selama ini kamu memilih mengikuti apa yang aku katakan. Karena kamu tahu apa yang aku katakan itu benar kan?”
Adra terdiam sejenak sebelum Nara sempat menjawab, “Aku hanya ingin melindungi kamu, Nara. Dunia di luar sana kejam. Kamu tahu itu. Tanpa aku, kamu nggak akan tahu ke mana harus pergi,” lanjutnya.
Nara menggeleng. “Mungkin kamu benar. Tapi aku lebih baik tersesat sendirian daripada terus berjalan di jalan yang bukan pilihanku.”
Adra mencoba berbicara lagi, tetapi kali ini, Nara tak lagi mendengarkan. Dia berdiri, mengambil tasnya, dan melangkah keluar dalam rinai gerimis membiarkan rambutnya yang tergerai basah terbilas gerimis.
***
Malam ini, Nara berdiri di bawah langit dipenuhi gemintang, merasakan kebebasan untuk pertama kalinya setelah waktu yang sangat lama dipendamnya. Meski belum tahu ke mana harus pergi atau apa yang harus dilakukannya, tetapi untuk pertama kalinya, dia merasa langkah-langkahnya adalah miliknya sendiri.
Dan di kejauhan, di balik jendela apartemennya, Adra duduk sendirian. Menatap cangkir kopi di tangannya, menyadari tali yang dia gunakan untuk mengikat Nara kini telah putus. Tapi yang tidak dia sadari, tali itu sebenarnya telah lama melonggar; Nara hanya butuh keberanian untuk melepasnya sepenuhnya.