Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Terjebak dalam Kenangan
1
Suka
40
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di sebuah kota kecil yang dikelilingi oleh pegunungan, ada seorang perempuan bernama Cindy. Lima tahun sudah berlalu sejak kepergian Abimanyu, kekasihnya yang sangat dicintainya. Namun, rasa kehilangan itu masih terasa begitu kuat, mengikatnya pada kenangan-kenangan manis yang sering menghantui pikirannya.

Cindy tinggal di sebuah rumah kecil yang dikelilingi oleh kebun bunga yang ia rawat sendiri. Setiap pagi, ia bangun dengan harapan baru, tetapi harapan itu selalu sirna saat ingatan akan Abimanyu menghampirinya. Hanya ada satu foto di dinding ruang tamunya, foto mereka berdua dalam pelukan penuh kasih, diambil pada hari ulang tahunnya yang ke-17. Senyuman Abimanyu dalam foto itu seakan hidup, seakan mengingatkannya akan semua momen indah yang telah mereka lalui.

Setiap sudut rumahnya dipenuhi dengan barang-barang yang mengingatkan Cindy pada Abimanyu. Dari buku-buku yang mereka baca bersama, hingga tiket konser yang mereka hadiri. Semua benda itu seperti jembatan ke masa lalu, membuat Cindy tidak bisa lepas dari bayang-bayang cinta yang pernah ada. Meski sahabat-sahabatnya mencoba mengajaknya untuk move on, Cindy merasa bahwa melupakan Abimanyu berarti menghapus bagian terpenting dari hidupnya.

Suatu hari, saat duduk di teras, Cindy melihat langit mendung dan merasakan hujan akan segera turun. Ia teringat saat pertama kali Abimanyu mengajaknya bermain hujan. Mereka berlari keluar, tertawa lepas, dan berputar-putar di tengah hujan. Kenangan itu kembali membanjiri pikirannya, dan air mata pun mengalir tanpa bisa ditahan. Ia tidak bisa memahami mengapa rasa sakit itu masih begitu mendalam, seolah luka itu baru saja terbuka.

“Cindy, kau tidak bisa terus seperti ini,” suara sahabatnya, Masha, mengganggu lamunannya. Masha adalah satu-satunya orang yang sabar menghadapi kesedihan Cindy. “Kau harus mulai membuka diri pada dunia luar. Abimanyu pasti ingin melihatmu bahagia.”

“Tapi, bagaimana bisa aku bahagia tanpa dia?” Cindy menjawab dengan suara bergetar.

“Ada banyak hal di luar sana yang menunggumu. Ingat, hidupmu tidak berhenti di sini. Kau harus menemukan dirimu kembali,” Masha berkata lembut. Namun, setiap kali Cindy mencoba melangkah maju, kenangan tentang Abimanyu selalu menariknya kembali ke titik awal.

Seiring waktu, Cindy mulai merasakan kesepian yang lebih dalam. Ketika malam tiba, dia sering terjaga dan mengingat bagaimana Abimanyu membisikkan kata-kata cinta di telinganya, bagaimana tatapan mata mereka bertemu, dan bagaimana dunia terasa sempurna ketika mereka bersama. Cindy tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu, tetapi langkah pertama terasa sangat sulit.

Suatu sore, ketika matahari terbenam, Cindy memutuskan untuk berjalan-jalan ke taman tempat mereka sering menghabiskan waktu. Di sana, di bangku yang sama, ia duduk dan mengenang kembali masa-masa itu. Dia menutup matanya, membayangkan Abimanyu duduk di sampingnya. Tiba-tiba, sebuah suara memecah kesunyian.

“Apakah kamu baik-baik saja?” Seorang pemuda dengan senyum hangat berdiri di depannya. Namanya Adimas, seorang seniman yang sering melukis di taman itu. Cindy sedikit terkejut, tetapi dia tersenyum kembali.

“Ya, saya baik-baik saja. Hanya sedikit melamun,” jawab Cindy.

“Melamun sambil mengenang seseorang?” Adimas bertanya, penasaran.

Cindy merasa ada sesuatu yang nyaman dalam percakapan ini. Dia bercerita tentang Abimanyu, tentang cinta mereka, dan tentang kesedihan yang mengikutinya selama ini. Adimas mendengarkan dengan seksama, tidak menghakimi, hanya memberikan dukungan.

“Rasa sakit itu memang tidak akan hilang, tetapi kamu bisa menemukan cara untuk merayakan kenangan itu,” Adimas berkata. “Mungkin dengan menciptakan sesuatu yang indah, seperti melukis atau menulis.”

Cindy terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Adimas. Dia memang pernah menulis puisi, tetapi setelah kepergian Abimanyu, semua kata-kata itu seakan menghilang. Namun, ada sesuatu dalam diri Adimas yang membuatnya merasa ingin mencoba lagi.

Beberapa minggu berlalu, dan pertemuan mereka semakin sering. Adimas mengajaknya untuk melukis bersama di taman. Mula-mula Cindy merasa ragu, tetapi perlahan dia mulai menikmati aktivitas itu. Setiap goresan kuas di kanvasnya membawanya ke dunia baru, di mana ia bisa menuangkan rasa hatinya tanpa merasa tertekan.

Satu hari, Adimas mengajak Cindy ke sebuah pameran seni. Saat melihat karya-karya seniman lain, Cindy merasa terinspirasi. Dia ingin menggambar Abimanyu, bukan untuk mengenang kesedihannya, tetapi untuk merayakan cinta mereka. Dalam perjalanan pulang, Adimas tersenyum. “Kamu memiliki bakat, Cindy. Karyamu bisa membuat orang merasakan apa yang kau rasakan.”

Cindy merasa semangat baru dalam hidupnya. Dia mulai menulis puisi lagi, menggabungkan kata-kata dengan lukisan yang dia buat. Setiap karya yang dihasilkan menjadi pengingat bahwa cinta tidak harus hilang hanya karena seseorang pergi. Cinta itu bisa diabadikan dalam seni.

Namun, seiring semakin dekatnya hubungan mereka, Cindy merasa cemas. Dia takut jika Adimas akan menggantikan posisi Abimanyu di hatinya. Rasa bersalah itu menggerogoti pikirannya. Adimas, yang merasakan ketidaknyamanan itu, berusaha memberi ruang tanpa memaksakan diri. Dia tahu bahwa proses penyembuhan Cindy tidak bisa dipaksakan.

Suatu malam, saat mereka duduk di tepi danau, Cindy mengungkapkan ketakutannya. “Aku tidak ingin melupakan Abimanyu. Dia adalah bagian dari diriku yang tidak bisa dihapus.”

Adimas tersenyum lembut. “Melupakan tidak berarti melepaskan. Kamu bisa menyimpan kenangan itu di hatimu dan tetap membuka diri untuk hal-hal baru.”

Cindy menyadari bahwa Adimas benar. Dia tidak perlu memilih antara cinta lamanya dan cinta baru. Keduanya bisa berdampingan dalam hatinya. Malam itu, Cindy menggenggam tangan Adimas, merasakan kehangatan yang membuatnya berani melangkah maju.

Waktu berlalu, dan Cindy mulai terbiasa dengan kehidupan barunya. Dia mulai mengikuti pameran seni, menjual lukisannya, dan mengekspresikan dirinya lebih bebas. Adimas selalu ada di sampingnya, mendukung setiap langkah yang diambilnya. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal di hatinya, dia belum pernah kembali ke tempat terakhir kali Abimanyu berada.

Suatu hari, Cindy memutuskan untuk mengunjungi makam Abimanyu. Setelah lima tahun, perasaannya campur aduk. Dia ingin berbicara dengannya, tetapi merasa canggung. Di tengah kesunyian, Cindy menaruh bunga di atas makam dan mulai berbicara.

“Abimanyu, aku merindukanmu. Rasanya sulit untuk melanjutkan hidup tanpa mengingatmu. Tetapi aku berjanji, aku tidak akan membiarkan kenangan kita menjadi penghalang untuk mencari kebahagiaan baru.”

Saat berbicara, Cindy merasa beban di hatinya sedikit berkurang. Dia memahami bahwa kehadiran Abimanyu tidak akan pernah benar-benar hilang, tetapi dia bisa membiarkan cinta itu tumbuh dalam bentuk yang berbeda. Cindy merasa lebih ringan saat meninggalkan makam Abimanyu, seakan bisa melanjutkan hidup dengan izin darinya.

Kembali ke rumah, Cindy menemukan Adimas sedang menunggu dengan secangkir teh hangat. Mereka duduk bersama di teras, dan Cindy menceritakan tentang kunjungannya. Adimas mendengarkan dengan seksama, wajahnya memancarkan dukungan.

“Kau sudah mengambil langkah besar hari ini. Aku bangga padamu,” Adimas berkata. “Kamu sudah siap untuk melangkah ke masa depan.”

Cindy tersenyum. Dia menyadari bahwa meskipun rasa kehilangan tidak akan hilang sepenuhnya, dia telah belajar untuk merayakan cinta yang pernah ada dan membuka hati untuk cinta baru. Dalam perjalanan hidupnya, Cindy menemukan bahwa cinta tidak hanya milik satu orang, tetapi bisa mengalir dalam berbagai bentuk.

Seiring waktu berlalu, Cindy mulai menghadiri lebih banyak acara seni, melukis, dan menulis. Setiap karya yang dihasilkan menjadi bagian dari perjalanan penyembuhannya. Adimas menjadi inspirasi baru dalam hidupnya, dan Cindy belajar untuk mencintai tanpa rasa bersalah.

Di suatu malam yang tenang, saat mereka berdiri di tepi danau, Adimas menatap Cindy dengan serius. “Aku ingin bertanya, apakah kau bersedia untuk menjadi lebih dari teman?”

Cindy menatap Adimas, jantungnya berdegup kencang. Dia tahu apa yang harus dilakukan. “Dimas, aku ingin, tetapi aku juga ingin memastikan bahwa aku tidak melupakan Abimanyu.”

Adimas meraih tangannya. “Kau tidak perlu melupakan Abimanyu untuk membuka hati untukku. Cintamu padanya akan selalu ada, dan aku ingin menjadi bagian dari perjalananmu, tidak sebagai pengganti, tetapi sebagai teman yang mendukungmu.”

Cindy mengangguk, merasakan ketenangan dalam kata-kata Adimas. “Aku akan mencoba, Dimas. Aku ingin belajar mencintai lagi, dan aku merasa nyaman bersamamu.”

Malam itu, di bawah sinar bulan yang cerah, Cindy dan Adimas saling berpelukan. Mereka tahu bahwa perjalanan ke depan tidak akan selalu mudah, tetapi mereka siap menghadapinya bersama.

Beberapa bulan berlalu, dan hubungan mereka tumbuh semakin dalam. Cindy belajar untuk berbagi hidupnya dengan Adimas, sambil tetap mengenang Abimanyu dengan cara yang positif. Setiap kali Cindy menciptakan karya seni baru, ia selalu menyertakan elemen yang terinspirasi dari cinta dan kenangan Abimanyu, menjadikannya bagian dari proses penyembuhannya.

Suatu hari, Adimas mengajak Cindy untuk mengadakan pameran seni. Ia tahu bahwa Cindy memiliki banyak karya yang luar biasa, dan ini bisa menjadi kesempatan untuk merayakan perjalanan hidupnya. Cindy merasa gugup, tetapi Adimas selalu ada untuk memberinya dukungan.

Saat malam pameran tiba, Cindy berdiri di samping Adimas, mengamati para pengunjung yang menghargai karyanya. Setiap lukisan menceritakan kisah, mulai dari kenangan indah bersama Abimanyu hingga harapan baru yang ia temukan bersama Adimas. Di tengah keramaian, Cindy merasa damai. Ini adalah langkah besar baginya untuk mengakui semua aspek dalam hidupnya, baik suka maupun duka.

Ketika acara selesai, Cindy merasa lelah tetapi bahagia. Banyak orang yang mengagumi karyanya dan memberikan pujian. Adimas mengulurkan tangan, menggenggam tangannya dengan erat. “Kau luar biasa, Cindy. Aku bangga padamu.”

Cindy tersenyum, merasakan rasa syukur yang mendalam. “Ini semua berkat dukunganmu. Tanpamu, aku tidak akan berada di sini.”

Malam itu, Cindy pulang dengan perasaan penuh. Dalam perjalanan pulang, dia merasa ada sesuatu yang berbeda. Seakan beban yang selama ini dipikulnya semakin ringan. Dia sudah siap untuk memulai babak baru dalam hidupnya.

Namun, perjalanan tidak selalu mulus. Beberapa minggu setelah pameran, Cindy menghadapi tantangan. Tiba-tiba, ia menerima pesan dari ibu Abimanyu, yang mengajaknya untuk bertemu. Cindy merasa cemas. Dia tidak tahu bagaimana menghadapi ibunya Abimanyu, mengingat semua kenangan pahit yang masih membekas.

Namun, Adimas meyakinkannya. “Ingat, pertemuan ini bisa jadi kesempatan untuk menemukan penutupan. Aku akan bersamamu.”

Hari pertemuan tiba, dan Cindy berusaha menenangkan diri. Saat bertemu dengan ibu Abimanyu, perasaannya campur aduk. Wanita itu terlihat lebih tua dan lelah, tetapi matanya tetap memancarkan kasih sayang yang dalam.

“Cindy, terima kasih sudah datang,” kata ibu Abimanyu dengan suara bergetar. “Aku merindukan Abimanyu setiap hari, dan aku tahu betapa beratnya kehilangan itu bagi kita semua.”

Cindy merasa terharu. “Saya juga merindukannya, Bu. Dia adalah bagian penting dalam hidup saya.”

Ibu Abimanyu mengangguk, lalu mengambil napas dalam-dalam. “Aku datang untuk memberitahumu bahwa aku ingin mendukungmu, Cindy. Aku tahu Abimanyu sangat mencintaimu, dan dia pasti ingin kau bahagia. Melihatmu terus terpuruk membuatku sedih.”

Air mata mengalir di pipi Cindy. “Saya merasa bersalah, Bu. Saya ingin melanjutkan hidup, tetapi saya tidak ingin melupakan Abimanyu.”

“Tidak perlu merasa bersalah. Cintamu padanya adalah sesuatu yang indah. Sekarang, izinkan dirimu untuk merasakan kebahagiaan baru. Abimanyu pasti akan mendukung keputusanmu,” ujar ibu Abimanyu, memberikan pelukan hangat.

Setelah pertemuan itu, Cindy merasa lega. Dia bisa merasakan dukungan dan cinta dari ibu Abimanyu, dan itu membantunya untuk melanjutkan hidup tanpa rasa bersalah. Sejak saat itu, hubungan antara Cindy dan ibu Abimanyu semakin erat, dan mereka sering bertemu untuk berbagi cerita dan kenangan tentang Abimanyu.

Cindy semakin terinspirasi untuk berkarya. Dalam setiap lukisan dan puisi yang ia buat, ia mulai menambahkan elemen yang menggambarkan perjalanan hidupnya—bagaimana dia mengatasi kesedihan dan menemukan cinta baru. Karya-karyanya mulai mendapatkan perhatian yang lebih besar, dan Cindy merasa senang bisa berbagi kisahnya dengan dunia.

Dimas selalu ada di sampingnya, mendukung setiap langkah yang ia ambil. Di satu malam yang tenang, saat mereka duduk di tepi danau, Dimas berkata, “Aruni, aku ingin mengajakmu ke tempat yang spesial. Tempat di mana kita bisa menciptakan kenangan baru.”

Dengan semangat, Aruni menjawab, “Di mana itu?”

Dimas tersenyum. “Ke pantai. Kita bisa menghabiskan waktu bersama, merayakan hidup dan cinta.”

Hari itu, mereka berangkat ke pantai. Suara ombak dan angin sepoi-sepoi menyambut mereka. Aruni merasa bahagia, seolah semua beban yang selama ini menahannya sudah terlepas. Mereka berjalan di sepanjang pantai, mengumpulkan kerang, dan bercanda satu sama lain.

Saat matahari terbenam, Dimas mengajak Aruni untuk duduk di atas pasir. “Lihat betapa indahnya. Cinta seperti lautan—terkadang tenang, terkadang badai. Tapi, selalu ada keindahan di dalamnya.”

Aruni menatap Dimas, merasakan kehangatan dalam hatinya. “Aku berterima kasih padamu, Dimas. Kau telah membantuku menemukan kembali diriku.”

Dimas mengulurkan tangan, menggenggam tangan Aruni dengan lembut. “Aku hanya ingin melihatmu bahagia.”

Malam itu, di bawah bintang-bintang yang bersinar, Aruni merasakan cinta yang baru tumbuh dalam dirinya. Dia tahu bahwa Arief akan selalu menjadi bagian dari hidupnya, tetapi dia juga menyadari bahwa hidupnya tidak berakhir di sana. Dia berhak bahagia, dan Dimas adalah bagian dari kebahagiaannya yang baru.

Sejak saat itu, Aruni terus menciptakan karya seni yang tidak hanya menggambarkan kenangan, tetapi juga perjalanan baru dalam hidupnya. Dia belajar bahwa cinta adalah perjalanan yang indah, penuh warna, dan tidak pernah benar-benar berakhir. Setiap langkah yang diambilnya adalah penghormatan bagi Arief, sekaligus penegasan bahwa hidupnya masih penuh dengan harapan dan cinta yang baru.

Akhirnya, Aruni menyadari bahwa meskipun kehilangan adalah bagian dari hidup, ia tidak perlu tenggelam dalam kesedihan. Dia bisa mengingat Arief dengan cara yang indah, merayakan cinta yang pernah ada, dan membuka hatinya untuk mencintai lagi.

Dengan Dimas di sampingnya, Aruni tahu bahwa perjalanan hidupnya baru saja dimulai, dan ia siap menjalaninya dengan penuh semangat dan harapan. Dalam bayang kenangan, cinta akan selalu hidup, dan Aruni siap menulis bab baru dalam kisah hidupnya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Terjebak dalam Kenangan
shirley
Skrip Film
Ekspatriat
Margo Budy Santoso
Skrip Film
GADIS SANDAL JEPIT
Sri kartini Handayani
Novel
Bronze
ACCISMUS & PETRIKOR
Nareswari Tyaga Calya Dinhiari
Novel
Bronze
KATA {Karel Tiara}
A T A M I
Novel
Serpihan Hasrat
Tiwi Kasavela
Novel
Antara Surabaya dan Solo via Bus Ekonomi
Netty Virgiantini
Novel
Bronze
FROM THE WEDDING HALL
Yantie Wahazz
Novel
The Realm of Pleasure
Adri Adityo Wisnu
Novel
Istri Yang Disia-siakan
SUWANDY
Novel
Gold
Find a Way to My Heart
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
Destin
Rizka Ayu
Novel
SEMESTA RASA
Nerisyah putri cahyani
Novel
Bronze
Permata Hati
Awang Nurhakim
Novel
Gold
Rival
Bentang Pustaka
Rekomendasi
Cerpen
Terjebak dalam Kenangan
shirley
Cerpen
Basket
shirley
Cerpen
Kita yang Terlambat Menyadari
shirley
Cerpen
Harmoni yang Terpisah
shirley
Cerpen
Menunggu dalam Sunyi
shirley
Novel
Wait For Me, Zeyden
shirley
Cerpen
Sepotong Kenangan di Bawah Hujan
shirley