Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Gelora Bung Karno, silakan!”
Empat kata membuyarkan lamunanku. Pintu Transjakarta terbuka. Petugas bertopi hitam meletakan kaki kanannya ke tepi halte, tepat di depan kedua kakiku, lalu mempersilakan penumpang keluar, sebelum aku dan penumpang lain masuk. Sudah pukul setengah 11 malam, masih ada 2 penumpang yang keluar lewat pintu belakang. Aku langsung masuk dari pintu depan.
Suasana angkutan umum yang sepi menjadi hiburanku selepas bekerja. Belum mampu beli mobil, terlalu takut belajar mengendarai motor, ongkos ojek atau taksi online terlalu mahal untuk pulang pergi, akhirnya Transjakarta jadi favoritku. Bukan favorit juga sih. Lebih tepatnya, karena tak ada pilihan lain.
Kadang aku sengaja berlama-lama di kantor agar bebas dari jam macet. Berdesakan di kendaraan umum selama beberapa jam buatku sama lelahnya dengan 8 jam bekerja di kantor. Tapi, hari ini aku terlalu lama berlama-lama. Beberapa detik setelah duduk di kursi, aku menyesali keputusanku untuk pulang malam ini, karena dalam beberapa jam lagi juga aku harus bersiap-siap untuk kembali ke kantor.
Apa aku ambil jatah cuti saja ya?
Sembari melamun, aku melirik ke luar jendela. Nah, inilah manfaat pulang di jam sepi. Aku bebas memilih mau duduk di mana. Mau barisan depan atau belakang, kursi pojok dekat jendela selalu jadi pilihanku. Menatap pemandangan kota yang walau monoton dan tak ada bedanya sekalipun mampu menghibur dan membantuku larut dalam lamunan. Dan karena bus sudah sepi, kursi di sebelahku juga kosong.
Malam ini aku terlalu mengantuk untuk melamun. Kupakai hoodie jaket untuk menutup kepala dan wajahku, berencana untuk memejamkan mata sesaat. Aku tak takut ketiduran karena halte tujuanku adalah halte terakhir, dan orang lain mau tak mau harus membangunkanku apabila aku terlelap.
Bus yang sepi terasa lebih dingin. Ditambah hujan mulai turun, semakin meningkatkan rasa kantukku.
Aku hampir tertidur, tapi kemudian merasa seseorang akhirnya menempati kursi kosong di sampingku. Heran, di antara begitu banyak kursi lain, kenapa ia memilih duduk di sini? Penasaran, aku melepas hoodieku dan melirik siapa yang sekarang duduk di sampingku. Aku terkejut dan mengusap mataku, apakah ini mimpi?
“Tt ... tumben naik bus?” Aku tergagap.
“Gak boleh?” Jawab pria yang sekarang duduk di sampingku.
Mataku segar seketika. “Ya ... boleh sih.” Jawabku. Aku masih heran dan sedikit tak percaya dengan apa yang kulihat.
“Kok jam segini baru pulang?” Tanyanya lagi. “Cewek pulang malem-malem bahaya tau.”
“Iya ... tadi lembur di kantor.” Jawabku seadanya. Aku berusaha mengingat wajah pria itu, membayangkan bagaimana rupanya ketika terakhir kali kami berjumpa. Hari ini ia tampak jauh lebih… sehat.
“Mana ada lembur jam sampe jam segini? Sekalian nginep aja di kantornya.”
Aku tak menjawab dan balas meliriknya. Hari ini sangat aneh, tumben ia tidak mengenakan topi untuk menutupi kepala botaknya. Dan hal yang lebih aneh lagi, tumben juga ia mau naik angkutan umum.
“Bentar deh, kok tumben mau naik bus? Motornya kemana?” aku bertanya balik.
“Ada kok. Emang kenapa sih dari tadi nanyanya gitu terus? Kamu juga bukannya tiap hari naik ini?” ia menyanggah pertanyaanku.
“Ya abisnya ga ada pilihan lain. Kalo dulu kan …” Aku tak langsung melanjutkan perkataanku.
“Kalo dulu, ada yang nganterin?” Sambungnya.
Aku tersenyum malu. “Iya.”
Kami diam lagi.
“Persiapan Bendungan Hilir! Bagi yang mau turun silakan diperiksa kembali barang bawaannya! Hati-hati melangkah! Bendungan Hilir!”
Peringatan dari petugas Transjakarta memecah keheningan di antara kami.
“Masih inget gak ... Pa? Waktu papa jemput aku dari Sudirman, terus kita naik motor lewat Bendungan Hilir?” Aku memulai percakapan lagi.
“Iya, waktu itu masih ada Sevel. Kamu nungguin di situ gara-gara ga bisa pulang naik bus.”
“Inget gak waktu itu kita lewat jalan kecil? Terus di lampu merah ada orang ngerokok, abunya netes ke pahaku, sampe jeansku bolong dikit. Terus kita teriakkin tuh orang. Pas orangnya ikutan ngomel, malah papa kejar. Eh, waktu kekejar dia malah pura-pura nelpon.”
“Masa? Ga inget kalo itu. Berarti gila juga ya itu orang.”
Aku mengangguk sambil tersenyum tipis.
“Papa ingetnya dulu waktu kamu masih kerja di Bintaro. Gile, kok dapet kerja bisa jauh banget sih. Udah serem banget pulang pergi lewat Tanah Kusir, kiri-kanan kuburan semua.”
“Cari kerja sekarang susah tau Pa. Lagian, papa mau-mau aja tuh anter jemput, padahal aku gak pernah minta. Kenapa sih Papa ngotot banget mau nganter jemput aku kemana-mana?”
“Nanti kalo kamu udah jadi orangtua juga ngerti.” Jawab Papa singkat.
Sepanjang perjalanan kami habiskan dengan mengobrol. Membicarakan tentang jalan yang kami lewati, mengingat kebanyakan waktu kami habiskan berdua di jalan, ketika Papa masih sering mengantar-jemputku kemana-mana. Lalu, membicarakan pekerjaanku, hingga cerita cintaku yang lebih banyak gagal daripada berhasilnya.
Aku tak ingat kalau kami pernah seakrab ini. Bisa jadi, percakapan hari ini adalah percakapan terlama selama aku berinteraksi dengan Papa. Waktu ia masih mengantarku kemana-mana, atau dalam interaksi yang lain, rasanya kami tidak pernah ngobrol sepanjang dan seseru itu.
Papa yang kuingat adalah Papa yang tidak banyak bicara, jadi kadang susah bagiku untuk mengerti apa isi hati Papa. Hingga dalam obrolan ini aku sadar, cara Papa untuk menunjukkan kasiih sayangnya berbeda dari apa yang kuharapkan. Kami seperti dua titik yang tak menemukan temunya. Seperti dua magnet yang kutubnya sama-sama utara. Saling tolak-menolak.
Lalu sekarang, semakin mengobrol, kok aku semakin merindukan Papa? Aneh, kenapa aku merindukan orang yang jelas-jelas sedang berada di sampingku?
Aku melirik ke jendela. Di luar masih hujan. Aku merasa perjalanan hari ini terasa lebih jauh, padahal jalanan tidak macet.
“Kamu bawa payung gak? Masih hujan tuh.”
Aku mengeluarkan payung hijau bercorak bunga-bunga dari dalam ranselku. “Bawa dong. Ini Papa juga kan yang beliin, katanya bantu temen yang jualan online?”
“Itu bunganya kalo kena air hujan masih bisa berubah warna gak?”
Aku memeriksa payungku. “Masih kayanya.”
Papa manggut-manggut saja, lalu diam. Aku juga diam. Aku semakin ragu. Apakah yang sekarang kurasakan ini nyata? Atau sekarang sebenarnya aku sedang tertidur di dalam bus, lalu bermimpi?
“Papa udah ga bisa anter-anter kamu lagi, loh.” Ujar Papa tiba-tiba. “Dulu takut kamu kenapa-napa, tapi sekarang udah bisa sendiri, hebat.” Lanjutnya.
“Hah? Apaan sih Pa?”
Rasanya baru kali ini aku mendengar Papa mengatakan hal seperti itu. Apa memang benar kalau ini semua hanya mimpi? Aku mencoba menyentuh tangan Papa. Dingin.
Kuangkat wajahku dan menatap Papa. Apa yang kulihat sekarang persis dengan yang terakhir kali kuingat tentang Papa. Tubuhnya yang semakin kurus, bibir pucat, dan kulit serta bagian putih matanya terlihat menguning. Aku menggenggam tangannya yang dingin, sambil mengusapnya perlahan.
Secercah ingatan masa lalu muncul, pada malam terakhir aku bersama Papa. Aku menggenggam tangan Papa sepanjang perjalanan kami pulang dari rumah sakit. Di tengah kondisinya yang semakin memburuk, Papa malah tidak mau berlama-lama di rumah sakit dan ngotot mau pulang. Mungkin firasatnya mengatakan kalau waktunya sudah tak lama lagi dan ingin menghabiskan saat terakhirnya di rumah, bersama kami.
Air mataku mengalir.
“Pa ...” Aku berusaha memanggil Papa sambil menggenggam dan mengusap tangannya. Ia tak menjawab.
Aku menangis semakin keras. Petugas Transjakarta yang berjaga di pintu menghampiriku.
“Kak … bangun kak ... Kak?”
Aku tersentak. Hoodie jaket terlepas dari wajahku. Tangan kananku terasa pegal, serasa tertimpa sesuatu dalam waktu yang cukup lama.
“Udah halte terakhir Kak, boleh silakan turun.” Ujar si petugas Transjakarta lagi.
Aku masih berusaha mengumpulkan kesadaranku. Bus sudah kosong. Tinggal aku seorang. Kursi di sebelahku juga sudah kosong.
“Papa ... papa saya mana ya Mas?”
Si petugas tampak heran. “Papanya yang mana Kak? Dari tadi kakak duduk sendiri, terus ketiduran sampai sini.” Jelasnya, membuatku bingung tak karuan.
Aku membuka mulutku, ingin bertanya hal yang lain, tapi tak jadi. Setelah berterima kasih dan meminta maaf, aku menjadi penumpang terakhir yang turun dari Transjakarta.
Benar, apa yang kulihat, percakapanku dengan Papa hanya mimpi. Tapi, semua terasa sangat nyata. Hampir 2 tahun kepergiannya, aku mulai jarang memimpikan Papa. Hari ini, ia datang kembali.
Rintik air hujan mulai berhenti. Rintik air mataku baru mulai terjatuh.
“Terima kasih, sampai jumpa.”
Suara mesin kartu menyapaku, setelah aku menempelkan kartu dan keluar meninggalkan halte. Empat kata itu juga yang mungkin belum sempat aku ucapkan selepas Papa pergi.