Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Hah? Menghilang? Betulkah?” Binna pun segera membuka whatsapp. Ia tertegun sesaat. Nomor tersebut sudah tidak dapat dihubungi. Beberapa kali dicoba menelepon, tertulis informasi,’Tidak dapat melakukan panggilan’. Untuk beberapa saat Binna terduduk lesu.
“Motormu kurang berapa cicilannya, Bin?” tanya mbak Eike. Ia tetangga baru di kompleks perumahan mereka. Orang baru dengan sikap sangat ramah dan dermawan, tentu semua tetangga menjadi terkesan. Sesekali beberapa ibu muda itu pun mulai mencoba-coba meminjam uang kepadanya.
“Perlu berapa Dik? Kalau dua ratus sampai lima ratus, ada, ”jawabnya sambil mengeluarkan uang lima ratus ribu rupiah kepada Sania, orang yang dititipi bayi oleh Aninda dan Marita, ketika kedua ibu muda tersebut bekerja di kantornya.
Mereka semakin senang meminjam uang kepada Eike. Ada yang segera melunasi tepat waktu. Namun, adapula yang molor tidak segera melunasi berbulan-bulan.
“Kalau tidak segera melunasi, aku tidak akan meminjami lagi,”gerutunya karena ada dua orang yang tidak segera membayar utang.
“Biarkan saja Mbak. Kalau tidak segera membayar utangnya, tentu ia tidak berani lagi meminjam uang,”tukas Salena yang pagi itu tersenyum riang karena mendapat pinjaman.
“Tapi suamiku marah kalau aku mengeluh tidak punya uang. Ia selalu mengatakan, aku boleh saja suka mentraktir tetangga kiri kanan, tapi jangan mudah meminjami uang, karena menagihnya tidak mudah. Kasusnya hukum perdata, bukan hukum pidana.”
“Suami Mbak Eike di mana?”
“Suamiku kini sedang bekerja di luar negeri.”
“Wah, gajinya tentu dolar.”
“Iya. Makanya, aku bisa meminjami Kalian uang, bisa nraktir juga kan?”
“Dikirimi uang berapa Mbak, tiap bulan?”
“Sekitar dua puluh lima juta sampai lima puluh jutaan.”
“Wah, banyak banget. Aku mana pernah pegang uang sebanyak itu,” Siana tertegun-tegun. Uang sejuta honor dari dititipi bayi, sekitar satu jutaan, itu pun sesekali dipinjam dulu seratus atau dua ratus ribu. Maka, ketika Eike mengatakan uang belanjanya per bulan berkisar lima puluh jutaan dari suaminya yang bekerja di luar negeri, ia tertegun-tegun membayangkan betapa kaya Eike.
Sesekali, Eike pun menghilang satu bulan, adakalanya dua bulan, katanya tengah menengok suaminya. Ia pun kembali ke kompleks perumahannya membawa oleh-oleh untuk semua tetangganya. Ada yang diberi t-shirt, ada yang diberi sepatu, jam tangan, bahkan tas wanita. Semua yang menerima hadiah darinya tentu senang.
“Kasihan lho, orang-orang itu Mbak,”kata Eike kepada Erma, tetangga sebelah rumahnya, ketika keduanya sedang duduk di bangku taman perumahan mereka. Beberapa anak kecil berseliweran menggunakan sepeda. Ada pula yang bermain layang-layang. Ketika tukang bakso lewat, Eike pun mentraktir ibu-ibu dan anak-anak kecil yang tengah berada di taman kompleks perumahan mereka senja itu.
“Mereka itu belum terpercaya utang ke bank, karena belum memiliki pekerjaan tetap. Jualan kue-kue pun masih nitip-nitip ke pedagang lainnya, sehingga belum memiliki izin usaha. Ada juga yang kena blacklist bank karena telat membayar cicilan. Kini, mereka ingin menata ekonomi, tapi darimana uang kalau bukan utang meskipun berbunga?” lanjutnya.
“Utang berbunga? Riba?,”sahut Erma, pekerja kantoran seperti Aninda dan Marita.
“Nggak ah. Nggak ikutan. Kalau memang ada uang berlebih, boleh saja memberi pinjaman. Upayakan meminjami secara ikhlas. Namanya juga cari pahala. Janganlah menggunakan bunga. Itu riba. Dosa besar sih seingatku dalam pelajaran agama di sekolah dulu. Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Jangan Mbak Eike. Kalau memang ikhlas, dipinjami saja. Bukankah uang Mbak Eike banyak? Suamimu memberi belanja dengan uang dolar kan? Aku kerja pagi pulang sore seolah hampir bongkok, tidak dapat segitunya. Mbak Eike di rumah saja sambil rebahan, uang belanja datang sendiri sedemikian besarnya.”
“Tapi, Mbak. Orangnya juga tidak mau kalau kita kena dosa akibat riba. Ia betul-betul perlu pinjaman uang sekitar sepuluh jutaan. Ia pun paham, siapa yang mau meminjami uang sepuluh juta tunai? Saudara pun belum tentu mau. Maka, kalau bank tidak bisa karena syaratnya kurang, si peminjam ada ide.”
“Apa idenya?”Salma pun ikut bertanya.
“Idenya, seperti kalau kita berjualan pakaian. Kita membeli ke toko seharga seratus ribu tunai. Ia mau membeli seharga seratus lima puluh ribu dicicil selama sepuluh bulan. Jadi per bulan ia mencicil lima belas ribu rupiah. Ide tersebut pun digunakan untuk membeli barang. Tapi, barang apa yang tidak banyak turun harga ketika dijual lagi? Tentunya perhiasan dari emas kan? Maka, ia minta aku membeli emas dengan dana sepuluh juta, kemudian kutulis sebagai mengkreditkan barang kepadanya selama sepuluh bulan seharga lima belas juta. Per bulan dicicil satu juta lima ratus ribu. Maukah gabung?”
“Kalau begitu, aku mau,”jawab Erma Mirnawati kemudian mentrasnfer uang Rp10.000.000 kepada Eike, tanpa perjanjian tertulis, toh mereka bertetangga.
Dua bulan cicilan lancar. Uang masuk ke rekening Erma tiga juta. Bulan ketiga Eike mengatakan ada yang ingin meminjam uang lagi. Bagaimana kalau cicilan bulan ketiga, tidak diberikan kepada Erma? Erma keberatan kalau diposisikan sebagai kreditur seorang diri. Maka, ia pun minta patungan dengan Eike, sehingga uang cicilan bulan ketiga tinggal Rp500.000. Satu juta akan dipinjamkan lagi ke orang lain oleh Eike menggunakan uang tunai miliknya. Akan halnya cicilan bulan keempat, Mirna atau Erma Mirnawati nama lengkapnya, menerima dua juta.
Begitu selalu yang dilakukan Eike dengan cara memutar-mutarkan uang sehingga catatan keuangan Mirna menjadi berlipat ganda, namun yang masuk per bulan hanyalah Rp500.000 sampai akhirnya modalnya kembali 10 juta. Namun, uang bagi hasil selalu dan selalu dipinjamkan ke orang lain, dan Erma pun tidak selalu menagih karena ia pun tidak lagi tertib mencatat ketika modalnya sudah kembali.
“Mbak, uang bagi hasilku ketika kuhitung, 20 jutaan ya? Sudah dua kali lipat dari modal awal. Modal sudah kembali tapi bagi hasilku belum masuk sama sekali.”
“Iya Mbak. Rekan saya tertipu. Tapi itu tanggungan saya. Bulan depan suami saya pulang, pasti akan saya kembalikan? 20 juta kan? Kecil itu bagi suamiku. Gajinya 50 juta.”
Akan tetapi, sudah lima bulan berlalu, Eike setiap ditagih jawabannya selalu sama. Sania, Salma, Rina bahkan mengaku diminta untuk utang HP ke toko. Per HP diberi uang Rp500.000 sebagai hadiah izin pinjam nama. Sedikitnya harus utang dua HP, sehingga akan diberi uang sejuta. Cicilan per bulan itu urusan Eike, mereka tidak akan ditagih penjualnya.
Cicilan bulan kesatu dan kedua lancar, bulan ketiga Eike menghilang. Ketiganya saling pandang. Binna diam-diam pun menjadi korban iming-iming uang sejuta agar mau menggunakan namanya ketika Eike utang dua buah HP.
“Jadi, Eike benar-benar menghilang? Kemarin ia bertanya, apakah motorku sudah lunas? Kujawab belum, kurang lima juta. Eike berjanji menutup utang lima juta tersebut, kemudian aku akan diberi uang tiga juta tapi BPKB akan dipinjam sebagai jaminan utang bank. Aku diminta tenang saja toh ia yang akan mencicil utang tersebut setiap bulan. ‘Binna tidak usah cemas. Motormu akan aman. Aku pasti akan rutin membayar cicilannya setiap bulan’ tapi kini menghilang,”cerita Binna sambil menangis.
“Hampir saja kuterima permintaan itu. Tapi, suamiku marah. Akhirnya kubatalkan. Tapi, aku tetap harus menanggung cicilan dua buah HP, per bulan tiga jutaan.”
Airmatanya pun berlinangan diiringi air mata Sania, Salma, dan Rina yang juga harus mencicil utang HP per bulan tiga jutaan, ketika Eike benar-benar menghilang.