Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ihsan menatap sudut kamarnya, sepi. Sesepi hatinya saat ini! Sudah lama sekali ia tidak berdiam diri seperti ini, setidaknya sekadar merenung tentang apa saja yang terjadi di hari kemarin atau apa yang akan ia lakukan esok hari.
Belakangan ini dia memang sibuk. Sebagai mahasiswa tingkat dua jurusan desain grafis, ia mengecap kehidupan yang lebih bebas untuk melakukan hal yang dia sukai, mengikuti lebih dari lima Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), hingga magang sebagai fotografer di sebuah koran ibu kota.
Capek memang, tapi aktifitas yang begitu padat ini begitu ia nikmati, hingga merasa tak perlu jatuh cinta kepada seorang perempuan apalagi berpacaran.
Entahlah, dia bahkan baru saja mengikuti organisasi keagamaan, dia ingin lebih baik, lebih dekat dengan Tuhan dan menghindari diri dari perbuatan dosa, berpacaran misalnya. Meskipun sepanjang sembilan belas tahun hidupnya dia tidak pernah benar-benar berpacaran dengan seorang perempuan, takut repot atau bahkan membuatnya melakukan hal-hal yang tidak seharusnya, dan sejauh ini Ihsan selalu berhasil.
***
Liburan yang panjang, Ihsan merasa mulai lega, akhirnya ia bisa bersantai beberapa hari di rumah sambil bercengkrama dengan Papa dan Mamanya. Papa sering pergi dinas ke luar kota, sementara Mama sibuk mengurusi bisnis katering miliknya yang semakin besar di tahun ke lima, dan dirinya juga jarang berada di rumah karena kegiatan di kampus. Semua tenggelam dalam kesibukan masing-masing hingga waktu liburan mempersatukan keluarga kecil itu kembali. seorang Ayah, Ibu dan anak tunggal. Mereka begitu akrab berbincang dengan gurau dan penuh kehangatan.
Hingga tiba -tiba terdengar keributan di sebelah rumah, Ihsan dan Papa segera keluar rumah. Ternyata ada tetangga baru. Ya rumah sebelah kanan Ihsan memang sudah lama di tinggal penghuninya. Entah sejak kapan. Dan beberapa pekerja terlihat sibuk memasukan beberapa barang. Tak ada seorang tetangga lain yang sekedar keluar rumah mereka untuk bertanya atau setidaknya mengucapkan selamat datang.
Penghuni komplek semewah ini memang tidak pernah memperhatikan tetangganya. Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing, tapi berbeda dengan Ihsan dan papanya.
Ayah Ihsan termasuk orang yang senang bersosialisasi, ya setidaknya Papa akan menyapa ketika bertemu tetangga, terlebih tetangga baru. Papa tidak ragu keluar rumah untuk menemui mereka, maklum dulu Papa adalah ketua RW, meski sudah tidak menjabat sifat ramahnya masih tersisa.
"Ihsan, sapa tetangga baru yuk," ajak Papa.
"Enggak ah Pa, males," ucap Ihsan yang baru saja membuka handphonenya untuk main game.
"Sebentar Nak, Ayo!" Bujuk Papa setengah memaksa, membuat Ihsan akhirnya ikut keluar juga.
Seorang pria paruh baya berkulit putih dan istrinya membukakan pintu ketika mereka tiba, ramah menyambut dan membuat Papa dan Ihsan masuk lalu mengobrol di ruang tamu.
Namanya Mr. Harry Carow dan Mrs. Anne Carow mereka
berasal dari Amerika serikat. Sudah hampir sepuluh tahun menetap di Indonesia dan sering berpindah-pindah untuk kepentingan bisnis perhotelan di beberapa kota.
Mr. Carow juga seorang investor di beberapa perusahaan besar di Indonesia. Ia sudah lama tinggal di Indonesia oleh karena itu ia sudah fasih berbahasa Indonesia. Hingga tak lama seorang gadis tiba-tiba muncul di antara mereka berempat. Ihsan tertegun, seorang gadis berambut pirang panjang sesikut. Mata birunya indah sekali, kulitnya putih, tinggi semampai dan bibir merahnya terlihat seksi, benar-benar begitu cantik.
Untuk beberapa saat Ihsan hanya bisa diam dalam takjub, gadis itu tersenyum manis ke arahnya, dan membuat dadanya berdesir.
"Cantik sekali," gumam Ihsan dalam hati.
“Oh iya, kenalkan ini puteri tunggal kami, namanya Samantha," ucap Mr. Carow tiba-tiba.
“Ayo Sammy bersalaman dengan mereka!” ucap Mr. Carow.
Samantha bersalaman sebentar dengan Papa dan menjulurkan tangannya ke arah Ihsan, ia menyambutnya dengan tenang, berusaha sewajar mungkin.
“Samantha Elise Carow," ucap gadis itu lembut.
"Ali Ihsan," jawabnya masih gugup.
“Panggil saja Sammy,” bisik Sammy sambil menyipitkan salah satu matanya, membuat jantung Ihsan berdegup kencang.
“Saya panggil kamu apa Ali?” lanjut Sammy.
“Ihsan," jawabnya.
Sammy melepaskan tangan Ihsan. Dan tersenyum sekali lagi, Ihsan membalasnya.
Papa dan Mr. Carow pun lanjut berbincang-bincang hangat, sebelum akhirnya Papa pamit untuk kembali ke rumah.
"Semoga betah ya, jangan ragu kabari kami jika butuh bantuan," tambah Papa sebelum berlalu.
Ihsan pun beranjak mengikuti Papa sambil ekor matanya melirik Sammy, dan ternyata gadis itupun sedang melihatnya.
***
Ihsan tergesa menyiapkan peralatan kuliahnya, ia hampir terlambat. Ia segera membuka gerbang dan menyalakan mobilnya, tak lama mobil itu pun melaju kencang dan sampai lebih cepat dari biasanya.
Tapi ternyata dosen belum datang, Ihsan lega. Ia masih menyesuaikan nafasnya yang naik turun tidak karuan di depan pintu kelas, hingga seseorang menepuk bahunya, ia menoleh.
"Sammy?” Ihsan hampir tidak percaya.
"Iya ini aku."
"Aku lagi lihat-lihat kampus, mungkin bulan depan aku daftar ke sini," ungkapnya.
Ihsan termenung sesaat, rasanya seperti bermimpi, kemarin sore ia kedatangan tetangga baru dengan seorang gadis cantik dan sekarang? Gadis cantik itu akan satu universitas dengannya, dan mereka pasti akan lebih sering bertemu.
"Halo Ihsan," ucap Sammy sambil mengibaskan tangan kanannya ke arah muka Ihsan yang terdiam tiba-tiba.
"Maaf," jawab Ihsan sekenanya.
Sammy tertawa renyah.
"Kamu itu lucu ya," ungkap Sammy.
”Aku?” Ihsan bingung.
”Iya kamu lucu sekali, sering terdiam kalau berbicara denganku," jawab Sammy sambil terus tertawa. Mereka pun tertawa bersama-sama.
***
Ihsan merebahkan tubuhnya di kasur, ia baru pulang selarut ini. Tapi ia masih sangat bersemangat, bagaimana tidak? Tentu saja karena Sammy! Pertemuan di kampus yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Berbicara banyak hal dan lebih dari itu Ihsan mengajak Sammy jalan-jalan ke sebuah mal dan mereka makan bersama. Ihsan tidak menyangka akan secepat ini dan sedekat ini dengan gadis itu.
Dan ia masih terus tersenyum mengingat kejadian manis tadi siang, heran mengapa semudah ini dia akrab dengan gadis itu.
Drrrt... Drrrttt... Tiba-tiba handphonenya bergetar.
Telepon dari Sammy.
"Ihsan?"
"Iya Sam?"
"Kamu bisa ke rumahku sekarang?"
"Hah? Sekarang? Bukannya baru tiga puluh menit lalu kita sampai rumah."
"Ada apa Sam?"
"Mommy Daddy ternyata tidak ada di rumah, temani aku ya," bujuk Sammy, membuat Ihsan terdiam sejenak.
"Sudah malam Sam!"
"Pleaseee!"
"Hmm, baiklah," jawab Ihsan akhirnya, jujur sebenarnya dia ragu, tapi ah!
Di rumah pun dia sendiri, Papa sudah berangkat ke luar kota tadi pagi, sementara Mama menginap di rumah Tante Siska karena akan ada pesta pernikahan.
Ihsan pun sendiri, dia senang bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama Sammy, tapi di lain sisi dia takut akan ada hal buruk terjadi. Laki-laki dan perempuan hanya berdua di dalam rumah?!
Ah! Ihsan khawatir, semenarik apapun Sammy, hal satu itu sebaiknya harus tetap dia hindari, meski pada akhirnya Ihsan keluar rumah juga dan menghampiri rumah tetangga barunya itu.
Sammy membukakan pintunya, menarik tangan Ihsan ke dalam.
"Sam kita mau apa?" Tanya Ihsan khawatir.
”Temani aku minum malam ini, aku sudah lama kesepian," jawab Gadis itu ringan.
"Tapi ..." Perasaan tak nyaman menjalari perasaannya.
"Sudahlah."
Sammy menuangkan sebuah minuman ke gelas Ihsan, tak berpikir banyak, Ihsan menerimanya dan bersulang.
Seteguk, dua teguk dan ya... Tiba-tiba Ihsan merasa kepalanya pusing dan panas di tenggorokannya. Ada yang berbeda dan Ihsan merasa ada sesuatu yang menarik kesadarannya entah kemana.
***
Ihsan membuka matanya perlahan, entah apa yang terjadi ia merasa tubuhnya lelah sekali. Ia melihat cahaya dari sebuah gorden.
Dan ia tahu bahwa hari sudah siang, ia mulai menatap sekelilingnya. Sebuah kamar besar dengan cat berwarna pink, sebuah piano, lampu besar, lemari mewah dan ada beberapa pakaian perempuan yang di gantungkan.
"Seperti kamar tidur perempuan," bisik hatinya galau.
Dia hanya sendiri, masih bingung, hingga pintu di buka dan Sammy tersenyum ke arahnya, gadis itu membawa nampan, ada sandwich dan susu segar.
***
Ihsan masih bimbang dalam kegusarannya, menyeruput kopi pahitnya sendirian di kafe setelah pergi dari rumah Sammy.
"Ini mimpi bukan sih? Kenapa bisa begini?"
Dia bingung harus minta maaf atau marah kepada Sammy. Dia melakukan sebuah hal di luar batas, gara-gara kecantikan gadis itu, gara-gara sebotol minuman, jadi terbawa hasrat sesaat.
Ihsan menyesal, perasan bersalah membuatnya terperosok kedalam kegelisahan yang tidak berujung.
Sammy memang lama tinggal di Indonesia tapi separuh hidupnya dihabiskan di Amerika. Di mana pergaulan bebas sudah menjadi hal yang biasa dan mungkin Sammy merasa baik-baik saja, sementara dia? Ihsan pemuda yang terlalu polos, hubungan semacam itu dia proyeksikan jika dia sudah menikah. Sammy, dalam dua hari sudah memporak-porandakan semuanya.
Drrrt.... Drttt... Drttt
Telepon dari Sammy, lemas Ihsan mengangkatnya.
"San, kamu marah?"
"Aku merasa bersalah, aku merasa berdosa."
"Aku pikir itu hal yang biasa."
"Tidak Sam!"
"Maaf, aku pikir kamu menyukaiku."
"Mungkin, tapi aku tidak berpikir akan sejauh ini, kita baru kenal dua hari, bagaimana mungkin semuanya bisa terjadi?"
"Aku bahkan bisa melakukannya dengan orang yang baru kukenal satu jam di bar."
"Sepertinya prinsip dan kebiasaan hidup kita berbeda Sam."
"Lalu?"
"Aku tidak mau hal serupa terjadi lagi, sebaiknya kita menjaga jarak."
"Begitu ya?"
"Iya."
"Aku minta maaf jika hal semalam membuatmu tidak nyaman."
Ihsan menghela nafasnya panjang....
"Selamat tinggal Ihsan," ucap Sammy lalu telepon terputus, dan seketika itu juga gadis itu memblokirnya. Kisah cinta yang amat singkat, hanya tiga hari.
***
Sebulan berlalu, Ihsan merasa hari- hari yang ia lalui begitu berat. Malas sekali harus pulang ke rumah, ia malas harus melihat rumah besar di sebelah rumahnya yang selalu mengingatkan pada Sammy.
Semenjak hari itupun ia tidak pernah bertemu dengan Sammy, Sammy menghilang begitu saja, tidak di kompleks perumahannya apalagi di kampus.
Perasaan Ihsan campur aduk, bingung, marah, kecewa tapi di lain sisi dia terus memikirkan gadis itu.
"Bagaimana kabarmu Sam?" Ihsan merasa bersalah.
***
Tiga bulan berlalu, pikirannya masih dihantui Sammy, dia yang menyuruh Sammy pergi tapi dia yang sekarang gelisah selalu terpikir gadis itu.
Tak tahu harus mencari kemana, Ihsan mendatangi sebelah rumahnya. Beberapa kali ia membunyikan bel, hingga seseorang membuka pintu, tapi bukan Sammy yang membukanya, melainkan ayahnya, Mr. Carow.
"Halo Ihsan, apa kabar?".
"Baik Om!"
"Silakan masuk."
"Tidak perlu Om, saya hanya mau bertanya, apa Sammy ada?"
"Sammy sudah tiga bulan pergi ke Australia. Entah kenapa tiba-tiba dia tidak jadi kuliah di Indonesia dan mengambil visa liburan ke sana,” jelasnya, Ihsan gusar.
"Oh..."
"Sammy tidak memberitahumu?"
”Tidak Om, kapan Sammy akan ke Indonesia lagi?”
"Entahlah, anak itu tidak bisa ditebak, kamu sudah punya kontak handphonenya?"
"Ada Om!"
"Nah coba kamu hubungi dia lewat telepon."
"Baik, terima kasih Om!" Jawab Ihsan lemas.
Ia pun pamit berlalu, dan saat mengecek kontak handphone Sammy, ternyata dia masih diblokir. Astaga!
***
Hari demi hari berlalu, menjadi bulan dan tahun, kesibukan membuat Ihsan kembali tenggelam dalam rutinitas, dan tetap pada keputusannya untuk menjomblo.
Mr. Carow dan istrinya pun baru pindah beberapa bulan yang lalu ke Thailand, tak meninggalkan cerita apapun untuknya juga tentang Sammy. Sebelumnya mereka lebih jarang terlihat bahkan terakhir kali Ihsan melemparkan senyum kepada istrinya, dia tidak menerima balasan.
"Adakah yang salah?" Ihsan tak mengerti.
***
Lembayung senja tergurat indah di kaki langit, Ihsan memandangnya dengan takjub. Beberapa kali ia memotret lewat kamera kesayangannya. Sambil sesekali duduk dan menikmati suasana sore dari bangku pojok di taman kompleks perumahannya.
Saat kembali ia mencari objek gambar, tiba-tiba matanya terpaku pada seorang perempuan yang sedang meminang bayi, menggunakan dress, rambut pirang panjangnya di biarkan tergerai indah. Ada senyum di pipinya yang kemerah–merahan.
Sammy, gadis yang sudah lama ia lupakan, gadis yang meninggalkan gusar di relung hatinya. Gadis yang menghancurkan pertahanannya. Gadis yang datang lalu pergi begitu saja, gadis yang ia sesali sekaligus ia rindukan.
Gadis itu menoleh, membuat Ihsan terpaku.
"Ihsan...." Gadis itu tiba-tiba sudah menghampirinya
"Sammy..."
"Apa kabar?"
"Baik.... Bagaimana denganmu?"
"Rumit," jawab Sammy sambil menenangkan bayinya yang hampir menangis.
Ihsan menatap bayi itu, lucu, wajah blasteran.
"Kamu sudah punya anak?" Tanya Ihsan.
Sammy mengangguk.
"Anak kamu," ucapnya, membuat Ihsan tersentak.
"Maksud kamu?"
"Kejadian malam itu membuatnya ada, semuanya memang jadi kacau karena aku hamil, aku tak jadi kuliah, memutuskan pergi ke negara lain dan menikmati hidup di sana, malas sekali harus ke sini dan bertemu dengan kamu."
"Maaf ya, aku tidak tau, aku tidak menyangka kalau semuanya akan jadi begini," tutur Ihsan, perasaanya campur aduk.
"Aku paham, aku datang ke Indonesia untuk menemui kamu, setidaknya kamu harus tau bahwa kamu punya anak, terlepas kamu mengakuinya atau tidak, hanya itu."
"Hanya itu?"
"Iya, aku tidak lama di sini, minggu depan aku ke Thailand menengok Mommy dan Daddy sebelum kembali ke Aussie."
"Mereka tau?"
"Iya, setelah anak ini lahir ku beri tahu siapa ayahnya."
"Mereka tidak marah?"
"Mereka hanya kecewa kenapa kita tidak baikkan, mereka yang menyuruhku menemuimu, aku berencana mengunjungi rumahmu, tapi ternyata kita sudah bertemu di sini."
"Maafkan aku, mungkin aku pecundang."
"Iya sudahlah, semua toh sudah terjadi."
Ihsan terdiam memikirkan apa yang harus dia lakukan, dia yakin Sammy tak mungkin bergurau.
"Andrew...." Tiba-tiba Sammy memanggil seseorang.
Pria berkulit putih itu mendekati mereka.
"Ihsan, ini Andrew tunanganku."
"Tunangan?"
"Iya, kami bertemu di Selandia Baru beberapa bulan lalu, dia menerima kondisiku yang sedang hamil, mendampingiku ketika melahirkan, dan dia selalu ada, tidak apa-apa kan jika anak ini kubawa, kubesarkan bersama Andrew? Aku hanya merasa bersalah saja jika tidak pernah memberitahumu."
"Baiklah...." Berat sekali rasanya hati Ihsan, dan saat melihat Sammy kembali dia tahu, jika dia sebenarnya mencintai gadis itu dan jika saja Sammy belum memiliki Andrew dia ingin bertanggung jawab, bertanya apakah Sammy mau menikah dengannya? Memaafkan kesalahan karena mengabaikannya? Tapi mungkin takdir mereka hanya sampai di sana, Sammy tidak akan menjadi miliknya.
***