Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Awan di langit tampak terburu-buru untuk bertemu. Mereka sibuk sekali berputar-putar di sana membuat gelap, sedangkan di bawahnya, para pedagang asongan yang menguasai trotoar sibuk mengamankan perkakasnya. Adu cepat dengan kilat, guntur, dan angin sepoi-sepoi yang semrawut. Bapak penjual bakso kaki lima di hadapan Syila sama-sama tak mau kalah, ia bergegas mengemasi barang-barangnya, lalu menggosok-gosok kedua tangannya di paha.
“Kak maaf, ini mau hujan, jadi saya harus cepat pergi.”
Pernyataan Bapak itu membuat Syila bergegas melahap bola-bola bakso di mangkuknya. Masih sisa satu di sana, tapi mulutnya overcapacity. Ia menyerahkan mangkuk sekaligus tergesa-gesa mencari uang di saku celana. Meskipun dengan pipi menggembung di kanan dan kiri ia tetap berusaha mengucap terima kasih setelah memberikan uangnya.
Sekarang giliran Syila yang adu cepat dengan situasi di atas dan sekelilingnya. Ia lari-lari kecil mencari tempat berteduh dengan mulut mengunyah. ‘Ini akan jadi kali terakhirku makan di pinggir jalan’ pikirnya yang sama persis seperti minggu lalu.
Syila adalah pekerja kontrak di perusahaan fesyen dan aksesoris. Ia kerja di bagian marketing sebenarnya, namun tuntutan kantor mengharuskannya ke store entah untuk mengecek stok barang, jadi pengganti host live streaming, dan lain-lain yang akan sangat melelahkan jika dijelaskan satu per satu. Pemberi kerja memangkas cost karyawan, karyawannya tidak bisa apa-apa karena jaman sekarang susah sekali dapat pekerjaan, jadilah problem ini dianggap lumrah oleh banyak manusia sebab lingkaran setannya terus berjalan.
Keresahan ini sebenarnya sudah lama ada di benak Syila, atau di hati lebih tepatnya. Panggilan jiwanya itu sering ia tuangkan lewat tulisan editorial yang dikirim ke beberapa perusahaan berita. Hanya saja keinginannya untuk pindah kerja masih terganjal jumlah nominal yang di tabungan.
‘Akh, aku mau resign!’ gerutunya rutin selama dua tahun.
Teman-teman kantornya tidak bereaksi. Mereka sangat memaklumi kebiasaan Syila yang satu ini. Barangkali mungkin beberapa orang di sana malah merasa terwakili.
‘Mending kita ngopi aja, Syil.’ ajakan Ci Fani selalu sama hangatnya, namun sayang, Syila sedang di situasi dompet yang tidak baik.
‘Nggak dulu, deh, Ci.’
Syila menolak kopi dan menyetujui permintaan diri sendiri untuk makan bakso. Di saat yang bersamaan, Ci Fani malah masuk rumah sakit karena asam lambung lagi. Syukur, rumah sakitnya ada di depan bakso tadi, atau lebih tepatnya gerobak bakso tadi yang ada di seberang jalan rumah sakit. Syukurnya lagi sebelum ke rumah sakit ia berhasil mengamankan bubur sumsum untuk Ci Fani.
Perjalanan menuju kamar Ci Fani mengharuskan Syila melewati lima lantai. Tapi untungnya rumah sakit tidak begitu ramai, sehingga lift yang dinaiki tak harus membuatnya sesak orang seperti di kantornya. Belum sampai di lantai lima, masih lantai dua, pintu lift terbuka dan seorang laki-laki berpakaian ala punk masuk dengan gaya sok jagoan meskipun pelipisnya bocor dan berdarah.
Syila berusaha keras tidak mengamatinya, tapi otaknya yang judgemental banyak bicara, entah dari kapan pemikiran buruk Syila tentang anak punk begitu negatif. Syila pikir, mereka adalah orang-orang yang tidak memperhatikan cara mereka berpakaian. Padahal well dressing menurutnya adalah basic manner.
Berpenampilan bagus mengartikan bahwa kita menghargai orang yang kita temui, sedangkan orang seperti laki-laki di sampingnya ini berarti orang yang tidak menghargai siapapun yang ia temui, dan lebih memilih mengikuti selera berpakaian mereka yang buruk. Logikanya begini, kalau kamu ingin dihargai orang lain, maka hargai juga orang lain terlebih dulu. Jadi bertemu dengan laki-laki ini adalah hal yang menyebalkan baginya. Meskipun sebenarnya laki-laki ini tidak melakukan apa-apa.
Tapi justru karena laki-laki itu diam saja dan tidak bereaksi sedikitpun saat dinding lift memantulkan bayangannya, Syila tidak bisa menahan nalurinya untuk bicara. “Pelipismu berdarah, kamu tahu?” tanyanya.
Dari pertanyaan Syila ini barulah laki-laki itu terkejut dan bergantian memegangi kedua pelipisnya. Lalu ia menyadari ada pantulan cermin di hadapannya yang bisa membantu memastikan. Setelahnya mereka saling bertatapan bingung. Syila lebih bingung memikirkan kenapa laki-laki ini bingung. Padahal sebelumnya, ia berasumsi laki-laki ini ke rumah sakit untuk mengobati lukanya. Apa asumsinya salah? Jadi ia ke rumah sakit bukan untuk dirinya sendiri? Kebingungannya ini tidak mendapatkan jawaban karena pintu lift sudah terbuka.
Setelah keluar dari lift, Syila buru-buru bertemu Ci Fani. Lalu memberikan bubur sumsum dengan wajah herannya.
“Kamu kenapa, Syil?” tanya Ci Fani yang menyadari ekspresinya.
“Ada orang aneh.” Jawabnya sembari menarik sofa dan membetulkan posisi duduknya.
“Siapa?” tanya Ci Fani.
“Kamu.” Syila jujur. Ia tipikal orang yang selalu blak-blakan kepada siapapun. “Kamu tahu kamu punya riwayat asam lambung, tapi masih aja makan seblak, udah gitu minum kopi tiga kali sehari. Akal sehatmu jalan nggak sih?” tanya Syila.
Ci Fani menutup kedua telinganya dengan sengaja.
“Yang wajib tiga kali sehari itu makan bergizi, bukan minum kopi.”
“Yang wajib itu sholat.” Kata Ci Fani masih berusaha membantah.
“Kamu aja nggak pernah sholat.” Kata Syila.
“Ya, kan, aku Kristen!” kata Ci Fani.
Tidak berselang lama, seorang perawat datang untuk mengecek keadaan Ci Fani. Perawat itu ramah sekali dengan menanyakan berbagai hal mengenai kondisi sampai perasaannya. Ini namanya komunikasi terapeutik, komunikasi yang dilakukan dalam tujuan terapi atau perawatan. Hal ini juga mengindikasikan kalau Ci Fani adalah pasien umum, bukan pasien BPJS kesehatan.
Setelah perawat itu keluar, Syila membantu Ci Fani menyiapkan bubur sumsumnya. “Emang beda, ya, pasien VIP? Coba kalau kamu member BPJS Kesehatan.” Kata Syila.
“Yang korupsi 300T juga member BPJS kesehatan, Syil.” Kata Ci Fani.
Syila tertawa. “Kamu juga ngikutin beritanya, Ci?” tanya Syila.
Ci Fani menautkan alisnya. “Iya, lah! Siapa coba yang nggak marah sama orang sejahat itu?” tanya Ci Fani.
“Asik!” seru Syila.
“Aku juga baca tulisan kamu tentang berita itu, makanya aku tahu. Hehe.” Kata Ci Fani.
“Aku tahu tulisanku emang sebagus itu dan se-powerfull itu.” Kata Syila yang disusul tawa gurihnya.
Selang tiga detik, Ci Fani berkata, “O iya! Ini kamar VVIP, ya, bukan VIP… V.V.I.P.”
Syila diam, tapi ekspresi muak di wajahnya tidak bisa ia tahan. Sedangkan Ci Fani senang sekali melihat ekspresi itu, ia tertawa terbahak-bahak. ‘Humornya Cina konglomerat emang beda cuy!’ kalimat seruan itu biasanya akan keluar jika Ci Fani mulai membuat lelucon tentang kekayaannya. Tapi kali ini Syila diam saja, selain karena menyadari kontras keadaan mereka, ia merasa saat ini bukan waktu yang tepat untuk kalimat itu keluar.
“Ini aku diam aja karena kamu masih pasien, ya!”
Pernyataan Syila itu berhasil membuat Ci Fani kembali tertawa, bahkan lebih keras dari sebelumnya.
Ci Fani adalah salah satu orang yang selalu mendukung Syila untuk menulis dan mengembangkan karirnya di bidang yang ia minati. Namun ia juga memahami kondisi ekonomi keluarga Syila yang masih sangat bergantung ke Syila. Keadaan ini menyebabkan Syila tidak bisa menuruti impiannya karena kesandung kepentingan keluarga untuk mencari nafkah.
Ci Fani juga orang yang menjadi saksi usaha Kaivan, pacar Syila, saat meyakinkan Syila untuk jadian. Bisa dikatakan Ci Fani ini orang kunci yang mengubah perspektif Syila tentang laki-laki dan hubungan romansa. Kaivan ini pacar pertama Syila sepanjang sejarah, selama ini Syila hanya menjalani hubungan tanpa status karena ia tidak mau dikendalikan oleh peraturan romansa yang menurutnya tidak masuk akal.
Beruntungnya, Kaivan ini manusia penyabar yang bisa menjelaskan dengan jelas tentang kemauannya. Ia pintar bernegosiasi, bisa merasionalisasikan perasaannya, mampu memahami sikap Syila yang berbeda dari perempuan pada umumnya, dan yang paling utama adalah sangat menyayangi Syila. Mungkin ini juga dikarenakan usianya lebih dewasa dan terpaut cukup jauh dari Syila, makanya ia bisa lebih banyak memaklumi Syila yang seringkali sibuk mencerna banyak hal di kepalanya saat berdiskusi berdua.
Syila merasa hubungan romansa ia sebelum dengan Kaivan adalah masa penjajakan yang diwarnai penjajahan atas kemerdekaan individu. Mereka hanya menuntut Syila untuk menurut dan taat. Padahal mereka tidak bisa memberikan alasan kenapa Syila harus melakukan apa yang mereka mau. Orang tua Syila yang khawatir dengan anak mereka, takut kalau Syila nggak laku hingga sering menjodohkan Syila dengan laki-laki yang tidak ia kenal. Hal ini Syila ceritakan ke Ci Fani karena tindakan orang tuanya ia rasa tidak masuk akal.
‘Ortuku nggak jelas, Ci. Masa iya, weekend kemarin, aku lagi tidur tiba-tiba dibangunin, disuruh keluar karena ada cowok ke rumah, terus kita kenalan katanya mau bahas hubungan. Hubungan apa? Kamu siapa?’
Mendengar cerita Syila dengan gesture dan mimik muka yang lucu membuat Ci Fani tertawa, makanya ia sangat suka mendengarkan Syila menceritakan kejadian-kejadian absurd di kehidupannya, hitung-hitung hiburan. Sedangkan Syila sering kesal dengan respon Ci Fani yang seolah tidak memahami amarahnya.
Syila tidak bisa bercerita ke orang lain karena, pikirnya, sudah terlanjur. Walaupun ia menceritakannya ke orang lain, maka ia harus bercerita dari awal dan itu akan memakan banyak waktu. Ia tidak bisa menahan kekesalannya atas banyak hal yang tidak jelas di hidupnya, lantas ketambahan kekesalan yang lain karena harus bersabar membuat lawan bicaranya memahami konteks ceritanya. Makanya ia sangat setia ke Ci Fani, dan untungnya Ci Fani pun begitu.
‘Bayangin, Ci, nyawa belum kumpul tapi udah disuruh mikirin masa depan sama orang yang aku nggak kenal. Damn! Mending aku mandi!’
Ci Fani tertawa. Renyah sekali. ‘Terus cowok itu gimana? Beneran kamu tinggal mandi?’ tanya Ci Fani merespon cerita Syila.
‘Iya, lah! Aku suruh aja dia ngobrol sama Abi.’
Ci Fani tertawa lagi. ‘Tapi look cowoknya gimana? Ganteng?’ tanya Ci Fani.
‘Nggak sempat menilai, Ci, aku udah kesel duluan. Lagi pula kalaupun ganteng, malas juga, first impressionnya aja seburuk itu.’
Kali ini Ci Fani tidak tertawa, ia paham dengan amarah Syila. Biasanya setelah bercerita ia memberikan pendapatnya ke Syila. Seringnya mengenai perbedaan pola pikir antara laki-laki dan perempuan. Meskipun awalnya Syila tidak acuh dengan penjabaran Ci Fani yang mengotak-ngotakkan pemikiran berdasarkan jenis kelamin seperti kebanyakan orang, akhirnya Syila mengerti juga.
Ia mulai memahami kalau di usia dewasa kebutuhan untuk ditemani semakin menguat, mungkin juga karena ia menyadari bahwa kehidupannya semakin berat untuk dijalani sendiri. Mungkin saja orang tuanya hanya tidak mau kalau anak gadisnya menua sendirian. Sebagai anak tentu Syila tidak bisa mengerti kekhawatiran orang tuanya se-presisi mungkin, tapi berkat pandangan dari Ci Fani, ia menjadi banyak belajar dan berpikir ulang.
Cara berpikir Syila banyak berubah saat bertemu Ci Fani, ia jadi lebih lembut dan tidak mudah menyimpulkan. Makanya saat ia bertemu Kaivan, ia dalam keadaan bisa mulai menerima kehadiran laki-laki di kehidupannya. Timing yang bagus, dan orang yang tepat menurutnya. Hubungannya dengan Kaivan pun sudah mulai menuju ke jenjang yang serius, tiga bulan lagi.
Gerutuan Syila tentang keluar dari kerjaannya itu ternyata bukan isapan jempol belaka, ia kali ini benar-benar serius karena pekerjaan freelance-nya menuntut Syila mengobservasi anak punk, laporan itu nantinya akan berguna guna memenuhi persyaratan perusahaan berita yang ingin ia lamar, ditambah lagi persiapan pernikahannya dengan Kaivan. Lengkap sudah alasan Syila keluar.
Ada kenalan dari tongkrongan club buku yang memberitahu Syila tentang tempat seringnya mereka berkerumun. Satu tempat seperti basecamp pendakian di dekat kolong tol. Di pikiran Syila tentu tempat itu seburuk ruang kumuh bau pesing yang digunakan untuk seks bebas gratisan. Pikiran ini berlandaskan banyaknya sampah dan bau tidak sedap selama perjalanan ke sana. Tapi saat Ozak, kenalan Syila, menunjukkan ruangan itu, justru indera pengelihatannya menangkap tempat itu seperti laboratorium kesenian.
“Ini mereka yang bikin?” tanya Syila setelah mengamati banyaknya lukisan, patung-patung dari tanah liat dan kayu, bahkan teralis besi yang tampak siap dijual berjejer seperti sedang dipamerkan.
“Iya.” Ozak membiarkan Syila menjelajahi ruangan itu dengan wajah herannya yang tidak tertahankan. “Yang menginisiasi ini namanya Ken. Ken Melviano, dia sarjana seni yang aware sama talenta anak-anak punk. Kata dia, anak punk itu cuma butuh diberi ruang berekspresi supaya energi mereka nggak disalurkan ke hal-hal yang merugikan orang lain.”
“Oh, anak seni!” seru Syila setelah menemukan salah satu jawabannya. “Jurusan apa dia dulu?”
“Nggak tahu, Ken nggak pernah bilang.” Jawab Ozak. “Penjelasan tadi juga yang bikin Ken, aku cuma diminta menyampaikan itu kalau Kennya nggak ada. Sebagai SOP.”
Syila tertawa. ‘Tempat seperti ini ada SOP-nya?’ Pikir Syila. “Terus kamu bisa kenal Ken darimana?” tanyanya.
“Temanku dari kecil dia.” Kata Ozak.
Sampailah Syila pada jawaban-jawaban baru berikutnya. Tak selang lama, Ozak berpamitan untuk menjaga toko, membiarkan Syila berdua saja dengan tempat itu, sekaligus menunggu orang yang bernama Ken datang untuk memberikan penjelasan lebih lanjut.
Syila banyak memotret dan mencatat mengenai hal-hal yang janggal, yang ia pertanyakan, ataupun yang menarik untuk diajukan ke Ken nanti. Apa yang ia lakukan tentu sudah seizin Ozak, selaras dengan titah Ken Ken itu.
Di kesibukan Syila mencerna semua ini, ada suara pecahan kaca dari balik dinding yang lembab dan berlumut, di sana ada dua orang, laki-laki dan perempuan, di wajah perempuan itu penuh lebam. Berkali-kali perempuan itu jatuh dan bangun lagi untuk memberikan pukulan, tapi satu kali dorongan membuatnya terjerembab. Lagi dan lagi. Syila tidak bisa diam saja dengan apa yang ia lihat.
“Hei! Kamu diam di situ!” teriak Syila menunjuk Si Laki-laki. Si Perempuan tergesa-gesa bergerak untuk bersembunyi di belakang Syila.
“Kamu jangan ikut campur, ya!” teriak Si Laki-laki.
“Tolong aku, Kak!” rengek Si Perempuan memegangi kakinya.
Laki-laki itu berusaha meraih Si Perempuan, sedangkan Syila berupaya keras menampik tangannya. “Udah aku bilang, jangan ikut campur! Kamu nggak tahu apa-apa!” teriak Si Laki-laki itu lagi.
Sekali lagi laki-laki itu menarik Si Perempuan dengan kasar, Syila lantas melemparkan pukulan ke pipi kirinya. Si Laki-laki itu terperanjat, ia yang tadinya menggenggam tangan Si Perempuan beralih mencekik Syila. “Aku sudah peringatkan kamu buat nggak ikut campur.” Kata Si Laki-laki sambil menyudutkan Syila ke tembok.
“Davin!” teriak seorang laki-laki lain berhasil melemaskan tangan orang yang disebutnya.
“Selamat kamu kali ini.” Katanya sambil menarik kasar tangan perempuan tadi dan pergi dari tempat itu.
Syila tidak menggubris apa yang terjadi karena ia sibuk batuk dan mengatur ulang nafasnya yang hampir putus. Laki-laki bertubuh kekar dengan jaket hitam dan kaos putih di dalamnya, menatap Syila dari ambang pintu dan menanyakan keadaannya. Laki-laki yang pernah ia temui di lift rumah sakit berbulan-bulan lalu, tentu saja hal itu tidak mengejutkan bagi Syila. Tentu saja bukan hal yang aneh jika mereka berkelompok karena satu jenis. Tentu saja, tentu saja.
“Nyaris mati.” Jawab Syila ketus sembari memegangi lehernya. “Kenapa kamu biarin mereka pergi?” tanyanya.
“Mereka adik kakak.” Jawab laki-laki itu. Datar.
Mendengar pernyataan itu, Syila tidak tahu harus menjawab apa. Mungkin benar kata Davin, ia tidak tahu apa-apa.
Setelah mendapatkan penjelasan tentang laki-laki yang kemudian ia kenal sebagai Ken Melviano ini, mereka meluruskan kesalahpahaman tadi, sampai membicarakan mengenai laboratorium kesenian yang Syila kagumi.
Adik kakak yang berkelahi tadi bernama Davin dan Rania. Rania hamil di luar nikah dan dianiaya oleh pacarnya. Namun ia tidak bisa melawan. Cinta alasannya. Ia meluapkan kekesalannya pada Davin, adiknya sendiri. Ia juga sering melakukan percobaan bunuh diri dan itulah yang membuat Davin jengkel. Kalau ia sudah melukai Davin, harusnya itu sudah cukup tanpa harus melukai dirinya sendiri. Begitu menurut Davin.
Berhari-hari berlalu.
Menemui Ken di laboratorium kesenian -Syila sekarang lebih suka menyebutnya demikian, menjadi rutinitas harian baginya. Berdialog dengan Ken diwarnai bau tanah basah, aroma besi panas, atau bahkan debu kayu entah kenapa terasa hidup dan menyenangkan dibandingkan kesehariannya yang dulu sebagai budak korporat.
Lab ini juga selalu ramai. Bahkan beberapa dari mereka sudah mengenal Syila dengan baik. Hanya saja hubungannya dengan Davin tidak kunjung membaik mengingat pertemuan pertama mereka yang begitu dipenuhi dengan persangkaan negatif.
Ken bilang di dunia ini, ada banyak kejadian irasional yang sukar dicerna akal. Butuh pemikiran yang cukup emosional untuk memahami setiap kejadiannya. Tapi sekalipun kita bisa memahaminya, keterbatasan kemampuan menghambat kita untuk mengatasi itu semua. Satu-satunya jalan agar bisa hidup berdampingan dengan hal semacam itu adalah penerimaan total. Mengakui bahwa hal-hal irasional tadi adalah bagian dari takdir kehidupan.
Pemikiran ini ia bawa untuk mencerna permasalahan anak-anak punk yang dianggap sebagai anak asuhnya. Ada yang pergi dari rumah karena keterbatasan ekonomi, ada yang pergi untuk bersembunyi dari orang tua yang melakukan KDRT, ada pula yang ke sini karena kadung terisolasi dari masyarakat, dan alasan-alasan lain yang menggetarkan naluri kemanusiaan.
Syila sempat menanyakan perbedaan tempat ini dengan panti asuhan. Namun Ken menjelaskan kalau panti asuhan bukan tempat yang ideal untuk mereka bisa mencari nafkah. Menurutnya anak-anak di sini bukan orang yang bisa dipaksa untuk bermuka memelas guna meminta kasihan para donatur. Mereka lebih suka menantang realita.
Amarah mereka cukup besar sehingga tidak bisa dikendalikan orang lain, kecuali oleh mereka yang bisa memberikan makna kehidupan. Hal mahal bagi mereka bukan barang, bukan uang, bukan jabatan, melainkan kesetiaan dan kepercayaan. Setidaknya begitulah yang Ken amati selama tujuh tahun bersama mereka di tempat ini.
Kata Ken, anak-anak yang sudah keluar dari tempat ini, mereka rutin mengirim uang. Awalnya Ken menolak, tapi lagi-lagi uang itu datang tidak bernama dan tidak beralamat. Jadi ia tidak tahu kemana uang itu harus dikembalikan. Akhirnya Ken menyerah untuk mengembalikannya, dan membangunkan mereka usaha beberapa toko yang dikelola Ozak. Tentu dibantu dengan tambahan modal dari Ozak, hasil jerih payahnya menjadi TKI di Jepang.
Setidaknya, Syila bisa menyimpulkan kalau kondisi perekonomian Ken dan Ozak cukup stabil untuk menghidupi dua puluh dua orang yang terdata dan puluhan anak lagi yang tidak tercatat karena mereka berdua tidak menertibkan administrasi. Hal ini juga dikarenakan terkadang ada orang yang kesini untuk beristirahat dua hari lalu pergi lagi. Ada juga yang hanya meminta makan kemudian menghilang saat kenyang. Intinya, bermacam-macam.
Karya-karya mereka yang dipajang di tempat ini, meskipun berantakan, sangat bisa untuk dikomersilkan. Ozak yang punya ide bisnis pun menjual karya-karya mereka ke media sosial. Apalagi dengan title Ken yang sarjana seni dan relasinya yang luas, memudahkan mereka menjual benda-benda ini meskipun seringkali pembelinya, ia rasa, menjadikan ini sebagai money laundry belaka. Tapi Ken tidak peduli, sebagai penyedia barang, selama ada demandnya ia akan terus memproduksi. Jadilah anak-anak itu punya ruang berekspresi yang bisa menyambung kehidupan mereka sendiri.
Kadang kala ada orang yang melahirkan di sini. Sejauh hitungan Ken sudah ada sembilan kasus seperti ini, empat bayi meninggal, sisanya diserahkan ke panti asuhan. Alasannya sederhana, tidak ada yang bisa mengurus bayi di sini, semua orang mengurusi hidupnya sendiri. Bukannya moral tidak berkembang di sini, hanya saja setiap orang memiliki definisi akan moral itu sendiri.
Ada satu tebakan Syila yang benar. Seks bebas tidak dimaknai sebagai larangan. Kata Ken ia tidak bisa melarang burung orang lain untuk berdiri, karena ia saja tidak bisa mengatur miliknya sendiri. Tapi satu hal yang ia tegaskan, pertanggungjawaban. Dari sini Syila tahu, Ken lebih memilih untuk berdialog dengan mereka dibandingkan membuat aturan.
Ken tidak membuat aturan, tapi ia menggiring orang-orang di sini untuk berpikir tentang aturan. Ia tidak hanya merawat, namun menanamkan paham. Ada kasih sayang yang tidak bisa dijelaskan di tempat ini. Kasih sayang yang berbeda dari pemahaman Syila, pun berbeda dari pemahaman manusia lain di kota-kota.
Pernah ada satu orang yang terbukti mencuri. Ken membuat orang itu menyerahkan diri ke polisi. Bukan sebagai pencuri, tapi sebagai penemu dompet. Kemudian Ken merehabilitasinya. Masih anak-anak, katanya. Masih ada kesempatan untuk ia menjadi pribadi baru, tugas kita sebagai orang yang ada di sekitarnya adalah meyakini hal itu. Supaya kodrat manusia yang dinamis bisa berjalan. Siapapun bisa berubah menjadi lebih baik.
Sudah satu bulan secara intens Syila dan Ken saling mengenal, akhirnya Syila berani menanyakan hal yang menjadi kebingungan pertamanya. Tepatnya saat Ken di rumah sakit. Ketika pertama kalinya mereka bertemu di lift.
“Kamu waktu itu ke rumah sakit, ada urusan apa?” tanya Syila.
“Ngejahit luka. Tujuh jahitan.” Kata Ken.
“Bohong, kamu baru tahu kamu luka setelah aku tanyain, kan?”
“Enggak.” Katanya.
“Huh?” Seperti biasa, Syila tidak bisa menyembunyikan ekspresinya.
Pernikahan Syila sebentar lagi. Berkat bantuan Ken dan orang-orang di laboratorium kesenian, Syila bisa menulis berita yang bagus dan mendapatkan pekerjaan baru di perusahaan yang -dari lama, ia mau. Berita eksklusif itu disambut banyak selamat oleh rekan-rekan lamanya. Ci Fani bahkan dengan sadar mengirim rangkaian bunga ke rumah hanya untuk memberikan selamat atas usahanya.
Pernikahan Syila sebentar lagi. Tinggal hitungan hari. Ci Fani sudah memperingatkan Syila untuk bersiap-siap menerima karangan bunga sebagai ucapan selamatnya. ‘Selamat karena sudah terbebas dari perjodohan absurd Umi Abi.’ Lucunya selama pacaran dengan Kaivan, orang tua Syila tidak pernah memperdulikan hubungan itu. Lingkungan konservatifnya membuat hubungan mereka berdua tidak diakui, makanya meskipun sudah berpacaran, Syila masih dibayang-bayangi dengan laki-laki random yang meminta kenalan.
Awalnya Kaivan banyak protes, tapi karena penjelasan rasional dari Syila, ia bisa berkompromi dengan itu semua. Bahkan pernah dengan sengaja Kaivan mengirim makanan sebagai camilan saat ada laki-laki asing yang datang ke rumah.
‘Silakan dimakan sambil berbincang, dari pacar kesayangan. Kaivan.’ Begitu tulisan yang ada di notes makanan yang diterima Umi, yang kemudian disajikan di atas meja tamu tanpa Umi menyadari ada tulisan itu.
Seperti kata Ken, jika kejadian irasional terus menerus terjadi di kehidupan kita, satu-satunya cara yang bisa kita lakukan adalah menerimanya. Selain Ci Fani, Ken banyak mengubah Syila. Mengubah pandangan Syila terhadap dunia. Meskipun ia tidak tahu apakah bisa bertemu Ken lagi suatu saat nanti. Meskipun ia tidak tahu apakah Ken masih akan mengingatnya sebagai simbol keindahan.
‘Terus kenapa waktu itu kamu kebingungan?’ tanya Syila memastikan prasangkanya.
‘Namanya terpesona.’ Kata Ken.
‘Terpesona akan apa?’ tanya Syila serius bingungnya.
‘Akan kamu.’ Kata Ken. Datar.
Detik itu Syila tidak punya informasi apapun di kepala untuk meresponnya. Banyak kosa kata yang berterbangan di kepala Syila namun ia tidak mampu merangkainya. Is this love confession? Otak Syila mencerna.
‘Aku nggak merasa melakukan hal yang ‘wah’ gitu waktu itu.’ Pernyataan ini berhasil menjebol pertahanannya.
‘Itu menurutmu.’ Kata Ken. ‘Aku kaget. Ada orang yang berani menanyakan kondisi orang lain padahal mereka baru pertama kali ketemu. Padahal kamu bisa saja berpikir kalau itu bukan urusanmu.’
‘Aku nggak tahu namamu siapa waktu itu. Kita nggak saling kenal. Makanya aku berusaha mengingat wajah kamu. Aku ingin mengingat simbol keindahan.’ Kata Ken yang tidak melepaskan pandangannya dari Syila. ‘Cantik.’ Katanya lagi.
Syila melempar pandangannya kemana-mana, asalkan tidak ke Ken. ‘Terus ini aku harus gimana, ya?’ pikirnya mencari cara untuk mengalihkan pembicaraan.
‘Aku tertarik.’ Kata Ken lagi. Kalimat itu berhasil mengikat tatapan mereka. Tentu dengan keheranan Syila. Kemudian Ken tertawa.
Syila ikut tertawa. ‘Kamu bercanda, ya?’ tanyanya di sela tawa mereka.
‘Enggak.’ Jawab Ken kembali datar.
Dari jawaban itu tentu tawa Syila berhenti. ‘Tapi kamu ketawa barusan.’ Kata Syila.
‘Itu karena kamu lucu.’ Kata Ken. Ken menyadari kebingungan Syila. Ken sudah merasa mengenal Syila, menurutnya perempuan ini tidak bisa basa-basi. Pantas saja ia tidak bisa mencerna kalimat-kalimat melankolis yang barusan ia sampaikan. Tapi kali ini Ken ingin Syila berusaha sedikit keras memahami caranya.
‘Ngobrol sama kamu itu seperti obat buat aku. Aku nggak bisa menemukan ini di manapun. Mungkin karena kamu langka, atau kamu terlarang. Tapi apapun itu, aku paham kalau perasaan ini irrasional. Tentu saja sesuatu itu tidak bisa kamu cari jawabannya di kepala.’ Kata Ken.
‘Terapeutik?’ tanya Syila. Dari pernyataan Ken, Syila menganggap bahwa mungkin Ken melihat Syila seperti teman bicara yang menyenangkan untuk mengurai isi kepalanya, tentu saja ini sama dengan anggapan ia terhadap Ken.
Ken tertawa lagi. Kencang sekali kali ini. Kemudian ia mengangguk. ‘Iya, terapeutik.’
Syila mengangguk. ‘Okay, aku paham. Aku juga begitu, kok! Aku menyadari kalau ngobrol sama orang lain bisa jadi penyembuhan, sama kaya aku ke Ci Fani, orang yang pernah aku ceritain ke kamu.’
Tentu ini bukan jawaban yang diinginkan Ken. Tanpa basa-basi lagi Ken berkata, ‘Aku suka kamu, Syila. Dari awal kita ketemu sampai sekarang, sampai kapanpun. Itu intinya.’
Syila diam. Cukup lama.
‘Apa yang kamu pikirkan?’ tanya Ken memastikan.
‘Aku sudah dilamar. Dua bulan lagi akan menikah.’ Jawab Syila.
Kalimat itu seperti pisau karat untuk Ken. Tidak cepat menembus jantung, tapi pelan-pelan, syarat akan penyiksaan. Ternyata Syila adalah obat terlarang. Selama ini ia tidak memastikan status Syila karena terlalu terobsesi untuk menikmati waktu bersamanya. Ken tidak menyesali itu. Menurutnya waktu yang ia habiskan dengan Syila adalah satu hal mahal yang pernah mampir di kehidupannya. Sesuatu yang mungkin tidak akan terulang lagi karena sebentar lagi ia milik orang sepenuhnya.
Rasa kesal di hatinya tidak bisa dihindari. Kepalanya sibuk meramu sketsa laki-laki beruntung seperti apa yang bisa mendapatkan obat ajaib ini dengan legal. Kenapa bukan ia laki-laki beruntung itu? Setelah begitu lama Syila mengganggu pikiran Ken, kenapa harus akhir seperti ini yang terjadi?
‘Selamat kalau begitu.’ Kata Ken sebelum meninggalkan Syila sendirian di tempat -yang sekarang ia sebut laboratorium kesenian, meniru Syila. Padahal dulu ia menyebutnya markas besar angkara. Mungkin panggilan lama itu harus kembali lagi. Meskipun kontradiktif dengan perasaannya.
Bunyi mesin motornya menggema di ruangan. Lantas perlahan mengecil dan menghilang. Ada yang hilang di perasaan Syila. Tapi lagi-lagi Syila tidak mengerti maksudnya. Sebelum pergi Ken berpesan untuk menulis laporannya dengan senang. Supaya artikel yang keluar nanti murni hasil olah rasanya pribadi. Tentu Syila menurut, itu tips yang membantu, dan hal yang membuatnya senang saat menulisnya adalah dengan memikirkan Ken.
Di hari pernikahannya. Setelah pesta perayaan selesai, Ci Fani memenuhi janjinya untuk mengirim karangan bunga. Tapi kalimatnya berbeda dari yang ia rencanakan sebelumnya. Di antara bunga itu tertulis, ‘Selamat sudah bisa banyak menerima.’
“Menerima apa, ya, Syila?” tanya Kaivan saat membacanya.
“Menerima nafkah dari kamu, dong!” kata Syila diiringi tawa mereka berdua.
Mata Syila yang sibuk mengamati guestbook tertuju pada satu pesan anonim, isinya.
‘Terima kasih telah menjelma keindahan irrasional yang harus aku terima.
Selalu senang mengenal kamu. Semoga sisa hidupmu tinggal senang.”