Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Lain ladang lain belalang. Tampaknya peribahasa itu tepat untuk menggambarkan situasi kehidupan sosial di gang Terajana. Sungguh sebuah nama yang aneh, awalnya kukira gang Terajana itu dinamakan karena para penghuninya penyuka lagu dangdut, karena ada judul lagu begitu, tapi ternyata kata Terajana merupakan singkatan dari Teras Janda Muda, karena sebagian besar para penghuni di gang itu merupakan janda-janda yang ditinggalkan suaminya entah karena meninggal atau karena ditinggal nikah lagi.
“Suamiku minggat sama janda kota sebelah,” ucap Mbak Tini pernah kudengar cerita begitu pada pedagang sayur. “Heran aku tuh, padahal suamiku mukanya kaya kuda ayan, tapi kok bisa-bisanya selingkuh.”
Aku kadang hanya terkekeh dalam hati mendengarnya. Mau miris tapi agak susah kalau mendengar Mbak Tini ngomong. Suaranya itu loh kaya bajaj setahun nggak diservis.
Selain Mbak Tini, ada beberapa orang yang kukenal sebagai penghuni gang Terajana. Seperti Bu Rina yang jidatnya lebar kaya lapangan sepak bola, Mbak Ratna yang doyan ngerumpi, dan dengar-dengar kalau dia sudah ngerumpi ngomongin orang, betah bisa berlama-lama sampai lupa waktu. Pernah aku dengar dari penjual nasi rames yang biasa jadi langgananku, beliau cerita kalau dengar Bu Ratna ngegibah itu sampai ditinggal tidur karena bosannya.
Kembali ke peribahasa lain ladang lain belalang. Plis jangan bayangin jidat Bu Rina yang selebar ladang, atapun wajah Bu Ratna yang kalau kuperhatikan lebih teliti memang mirip belalang. Matanya yang besar seperti mau keluar, mirip banget sama mata belalang, ditambah hidungnya yang memang minimalis ke dalam, jadi tambah-tambah mirip belalang.
“Astaga, aku jadi ketularan ngomongin orang. Maafkan aku, Ya Allah.”
Oke kembali ke cerita peribahasa lain ladang lain belalang. Peribahasa itu kita umpamakan—atau bahasa metaforanya, gang Terajana ini diistilahkan sebagai ladang, orang-orang yang di dalamnya diumpamakan sebagai belalang. Tentu saja setiap ladang lain belalang. Misalnya saja nih, ladangnya Bu Ningsih yang bohay, dia kan penjual daging yang anehnya malah memakan daging jualannya sendiri.
Ataupun yang lebih ngenes lagi tuh si Topo—anaknya Bu Tini, duh preman yang selalu gagal memalak, tapi satu hal yang cukup kusuka sama si preman itu, dia itu cukup setia kawan. Pernah sekali aku melihat dia mencoba memalak Mas Tomas—tukang pakaian dalam yang sering lewat di gang Terajana, eh bukannya uang yang didapat, dengan tampang galaunya, Mas Tomas berhasil membuat Topo mau membantunya menjual pakaian dalam ke beberapa warga di gang situ.
Bahkan ibunya juga dipaksa membeli dagangan Mas Tomas karena mengatakan pernah melihat pakaian dalam ibunya yang sudah rusak di jemuran. Bener-bener deh, Topo itu anak pas lahiran ari-arinya dikubur apa dibuat campuran pakan lele, sih?
“Ini bagian buatmu,” ucap Mas Tomas setiap kali pemuda tanggung itu berhasil menjual dagangannya. “Kalau gini kan sama-sama untung, simbiosis mutumutulisme.”
“Simbiosis mutualisme, Mas,” ralat Topo otaknya lagi bener. “Besok kalau mau lewat sini ngabarin dulu, biar aku bantu jualin, aku sering lihat jemuran orang-orang sini dan banyak lihat pakaian yang sudah compang-camping.”
“Oke sip.”
Duh benar-benar simbiosis mutualisme tingkat Australia negeri wool tanpa katanya-katanya.
Oke, kembali ke cerita. Nah kalau itu kan tentang ladang mereka dengan belalangnya. Sekarang giliran aku memperkenalkan manusia ajaib lain di gang itu, biar gampang kusebut saja Charles namanya—seorang calon musisi papan penggilesan, eh maksudnya papan atas. Kalau kalian mendengar nama Charles, tentu saja bayangan kalian pasti sosok yang sempurna kan? Tinggi, putih, berotot, hidung mancung sempurna. Tapi kalian salah besar. Charles ngakunya hampir mirip sama John Meyer, itu loh penyanyi asal Amerika yang tampannya mengalahkan model iklan pembalut, eh maksudnya iklan obat kutil, duh tuh kan salah lagi, maksudnya iklan obat jerawat. Maklum, kadang aku tuh sebel banget sama Charles karena narsis dan bucin abis.
Nanti aku ceritakan alasan kenapa dia bisa bucin abis. Sebelumnya perkanalan dulu ya, namaku Jordan, tapi biasa dipanggil Odan. Usiaku dua puluh dua tahun dan bekerja di sebuah percetakan. Tidak perlu aku jelaskan masalah pekerjaan karena pasti membosankan bila diceritakan. Aku lebih suka menceritakan pengalaman hidup di gang Terajana. Sebuah gang dengan beberapa penghuninya yang bermacam-macam karakternya.
Mungkin salah satu cerita dari gang Terajana yang membuatku terenyuh adalah kisah burungnya Pak Juned—jangan ngeres dulu, ya, pikiran kalian. Maksudnya di sini adalah kisah penyebab perceraian antara Pak Juned dan Bu Rina. Kata Bang Abdul—rekan kerjaku yang berbadan gemuk dan kegemarannya ngemil mi ayam. Iya, kalian nggak salah dengar kok, bagi Bang Abdul mi ayam itu camilan, belum dinamakan makan kalau belum pakai nasi. Ciri khas orang Indonesia banget, kan. Aku juga gitu, sih.
Menurut cerita Bang Abdul—salah satu penghuni gang Terajana juga, kalau percerian Bu Rina dan Pak Juned hanya karena Bu Rina melepaskan burung peliharaan suaminya karena saking gedeknya sama si suami karena tiap hari mainan itu burung.
“Sebelum berangkat kerja pasti deh Pak Juned selalu mainin tuh burung,” ucap Bang Abdul semangat. “Pulang kerja juga pasti yang dimainin langsung burungnya, sampai-sampai Bu Rina tuh sebel banget sama si burung.”
“Lagian Pak Juned juga yang salah, Bang,” ucapku saat itu. “Punya istri bukannya diurusin malah ngurusin burung, ya nggak heran kenapa Bu Rina jadi sebel banget sama itu burung.”
“Kamu nggak tahu, sih, alasan kenapa Pak Juned tiap hari mainan burung,” kilah Bang Abdul tidak terima.
“Memangnya kenapa Pak Juned suka mainan burungnya?” tanyaku penasaran. “Tapi bentar deh, dari tadi kita bilangnya burungnya Pak Juned, kesannya jadi vulgar gitu, ya, siapa sih nama burungnya Pak Juned?”
Bang Abdul tertawa. “Namanya Roberto.”
“Buset, bagus bener nama burungnya.” Kataku membayangkan bagaimana rupa Roberto. “Jadi gimana ceritanya?”
“Begini,” Bang Abdul siap bercerita. Dia merapikan kerah seragam kerjanya di balik rompi cokelat ketat yang membuat perutnya seperti kuda nil bunting. “Alasan kenapa Pak Juned suka mainan burungnya, karena—“
“Roberto, Bang Dul,” ralatku.
“Jadi alasan kenapa Pak Juned suka mainan burungnya Roberto.”
Kupukul kepalanya pakai pensil.
“Oke-oke serius kali ini. Jadi alasan kenapa Pak Juned tiap hari mainin Roberto daripada ngurusin istrinya karena hanya burung itulah hiburan satu-satunya bagi Pak Juned. Kamu tahu sendiri Bu Rina itu cerewetnya ngalahin mesin disel. Belum lagi kalau di kantor Pak Juned itu stres sama bosnya yang juga cerewet banget, jadi cuma Roberto yang jadi hiburannya.”
Aku hanya terdiam dengerin ceritanya Bang Abdul.
“Karena mereka nggak punya anak, jadi Pak Juned itu sayang banget sama Roberto, pas tahu burungnya dilepasin sama istrinya, Pak Juned langsung kaya down gitu, jadi nggak semangat ngapa-ngapain dan memilih cerai sama istrinya.”
“Sampai segitunya?”
“Kita nggak tahu perasaan orang lain itu bagaimana, Odan. Bayangin saja kalau misal kamu punya hewan peliharaan yang sudah kamu rawat dari kecil dengan sepenuh cinta, lalu ada orang yang membuangnya, tentu sedih bukan? Memang kelihatannya bagi orang lain itu biasa saja, tapi bagi Pak Juned itu sangat membuatnya terluka.”
Kisah Pak Juned dan istrinya memang hanya salah satu dari kisah hidup di gang Terajana. Dan dalam kasus kali ini aku akan menceritakan pengalamanku membantu Charles mendapatkan cinta seorang gadis yang juga merupakan anak salah satu penghuni gang Terajana. Widya namanya.
Nah seperti hari-hari biasanya, setiap kali berangkat kerja aku selalu melihat Charles berkeliling kompleks perumahan—tidak terkecuali gang Terajana, mencoba menyenandungkan nada-nada yang katanya merdu banget. Padahal, sih, ya, suaranya lebih kaya kodok keselek landak, tapi ya mau bagaimana lagi, sudah dibilang kalau Charles itu narsis abis. Ya percuma saja aku ngasih tahu dia kalau suaranya itu mirip seperti khodamnya Lucinta Luna pas keluar.
Pernah nih sekali aku lihat Charles lagi nyanyi di depan penjual sayur si Julaika yang dandannya aduhai, saking mengkhayati pekerjaanya sebagai penjual sayur, pernah aku memergoki dia memakai anting dari terong, duh nggak banget kan? Semoga saja dia nggak mencoba memakai hiasan rambut dari bunga kol atau lebih parahnya dia memakai wig dari kacang panjang. Aku nggak mau ngebayangin itu, suer.
“Sudah nggak usah nyanyi, suaramu malah bikin pusing,” ucap Julaika mengacungkan terong ke arah Charles yang terus menyanyikan lagu dangdut berjudul Terajana. “Pergi sana.”
Aku hanya tertawa saat melihat Charles terus bernyanyi dan Julaika melemparinya dengan terong. Kadang Charles memang nenarsis itu. Untung saja dia nggak ngaku-ngaku kalau wajahnya mirip personal BTS, bisa diamuk jutaan fans fanatiknya kalau dia ngaku-ngaku mirip Jin BTS, karena aku pikir jin Iprit lebih cocok.
Astaga, mulut ini julid bener kalau sudah ngomongin orang.
***
Salah satu alasan aku suka tinggal di kompleks perumahan itu adalah dekat dengan warung makan yang makanannya enak-enak, murah dan boleh ngutang sih sebenarnya. Selain itu tentunya adalah adanya gang Terajana itu. Katanya dulu nama gang itu bukanlah Terajana, melainkan Pandega, tapi karena banyak janda-janda di sana, tercetuslah ide klub Terajana yang digagas sama Bu Ratna, dan sampai-sampai malah yang terkenal jadi gang Teras Janda Muda, karena biasa kalau ibu-ibu sudah berkumpul pasti bawaannya pengen ceritain orang saja.
Pernah nih suatu hari para janda-janda di sana berantem karena hanya masalah salah satu suami dari gang sebelah makan bakso di warungnya Bu Ningsih, sampai-sampai Bu Ningsih dikatain pelakor karena istri si suami ngelihat suaminya ngobrol sama Bu Ningsih. Nggak terima karena salah satu member Terajana dikatain pelakor, geng Terajana itu pun pergi ke gang sebelah dan melabrak istri si bapak tadi sampai katanya beliau kena mental. Badas abis sumpah klub Terajana itu.
Sumpah ya, kalau difilmkan mungkin Thanos dan Avengers bakal ketar-ketir melihat bar-barnya geng Terajana kalau sudah bersatu. Jangan sampai deh aku bikin gara-gara di sana. Takut pula aku pulang-pulang tangannya hilang satu.
Hari ini cerah bersahabat dengan matahari bersinar hangat-hangat kuku jempol. Sebagaimana gang pada umumnya. Suasana pasti ramai dengan suara-suara yang khas, anak kecil bermain bola, penjual keliling mulai dari cilok hingga batagor, bakul sayur nyentrik si Julaika, dan tidak ketinggalan si Topo yang masih mencoba menjual dagangan Mas Tomas karena ketagihan dapat royalti dari pakaian dalam yang berhasil dijualnya.
“Halo, Odan…” Nah itu suara Topo. “Sudah aku tunggu dari tadi juga.”
Perasaanku nggak enak, takut kalau dia nawarin dagangan Mas Tomas, bisa-bisa dicurigai anak-anak kos kalau aku membeli beha. Emangnya aku cowok apaan coba beli begituan. Sumpah bikin deg-degan kalau Topo manggil aku sejak dia jadi asisten Mas Tomas, suka maksa kalau nawarin dagangan soalnya. Pernah Charles ditawarin suruh beli kancut warna merah, dan tentu saja Charles menolak mentah-mentah. Kadang-kadang si Topo emang kaya kerasukan tuyul celana merah kalau sudah lagi promosi.
“Ngapaian nungguin aku?”
“Nggak apa-apa, cuma mau tanya si Charles di mana?”
“Nggak tahu, kenapa emangnya?”
“Aku mau nagih utang dia, enak saja katanya mau dibayar bulan tiga, aku tagih malah dia kabur mulu.”
“Seharian ini aku belum lihat dia, sih,” jawabku mencoba melihat keadaan sekeliling mencari keberadaan Charles. “Biasanya jam segini dia di gang Terajana, godain Bu Tini.”
“Itu ibuku dodol,” ucap Topo menoyor kepalaku.
Dari kejauhan terdengar suara gitar dan lagu Terajana yang biasa dinyanyiin Charles, dan benar saja, dia datang dengan penampilan yang membuatku langsung diare. Bayangkan dia mewarnai rambutnya jadi biru metalik, katanya rambut itu terinspirasi dari salah satu personal idol K-Pop, dan sumpah ya, bukanya menghina, tapi penampilan Charles lebih mirip idol salah operasi. Rambutnya lebih mirip rambut kambing diwarnai daripada idol K-Pop.
“Datang juga kamu,” ucap Topo melambaikan tangan ke arah Charles. “Sini kamu.”
Charles datang dengan gaya narsisnya yang kadang bikin aku mikir ini ibunya dulu ngidam apa pas lagi hamil. Gasing apa pensil Inul?
“Ada apaan nyariin aku?” tanya Charles memetik gitar yang dibawanya, kebiasaan dia yang aneh lainnya selalu mengakhiri ucapan dengan nada, biar kesan bintangnya dapet gitu katanya. “Kangen ya sama aku?”
“Kangen kepala kampretmu itu,” sembur Topo memainkan hidungnya yang pesek. “Aku mau nagih hutangmu, hutangmu udah banyak. Kamu janji katanya mau bayar sekarang, sudah bulan tiga nih.”
“Kapan aku janji begitu itu ya?” Charles kembali memetik senar gitar. “Kok aku lupa.”
“Sialan kamu.” Geram Topo lagi, kali ini disangar-sangarin. “Dua hari yang lalu janji mau bayar hutang, cepat sini bayar hutang atau aku gebukin, sekarang udah bulan tiga.”
“Parah kamu, Char, utang itu wajib dibayar loh,” ucapku mendukung Topo. “Ati-ati nanti kamu mati nggak ketemu bidadari karena masih ada utang di dunia.”
“Iya bener kata Odan, jangan sampai nanti di gang ini ada pengamen kena azab ketiban gitar karena nggak mau bayar utang.”
“Eh santai dong,” kali ini Charles kembali memetik senar gitar. “Aku nggak lupa itu kok, tapi kan emang belum waktunya bayar. Kan belum bulan tiga.”
“Sekarang udah bulan Maret, dodol,” geram Topo lagi. “Itu artinya sudah bulan tiga.”
“Tapi semalam aku lihat masih satu tuh bulan di langit, itu tandanya belum waktunya bayar hutang.”
“Sialan, mau nipu aku ya.” Topo menggelung lengan bajunya, sehingga menampakan tato yang nggak banget di lengan kirinya. Tato bergambar Patrick temannya Spongebob. “Kalau bukan teman, sudah kumakan kamu.”
“Parah kamu, Char,” aku terus mengompori Tomo. “Kata ibuku di kampung, kalau nggak bayar utang nanti tumbuh rambut di bokong.”
“Hehe santai dong, Bro,” kata Charles merangkul bahu Topo. “Pokoknya kamu tenang aja, nanti kalau aku udah terkenal, kamu bakal tak jadiin manajerku deh, gaji sepuluh lipat lebih banyak.”
“Yang benar?” mata Topo langsung melotot mirip baksonya Bu Ningsih. “Manajer itu yang kerjaanya ke mana-mana bawa kamera ya?”
Aku memutar bola mata mendengarnya. Kadang sifat oonnya Topo nggak masuk di akal.
“Bukan, Bro, manajer itu orang yang mengatur segala macam kontrak, pokoknya kamu tinggal tanda tangan dan atur semua keuangan, pokoknya kamu bakal kaya deh.”
Topo tersenyum mirip kuda sakit gigi mendengarnya. “Kalau kaya, nanti aku mau melamar Julaika deh, dia itu kalau lagi pakai wig dari kacang panjang cantik juga, mirip Lisa Blekping.”
Aku yang saat itu lagi minum jas-jus langsung keselek. Bisa-bisanya Topo berpikir seperti itu. Tapi kemudian aku sadar kalau cinta itu buta, dan sah-sah saja Topo menganggap kalau Julaika itu cantik kaya Lisa Blackpink, kan kadar cantik bagi tiap orang itu relatif ya?
Aku kadang sampai nggak habis pikir dengan orang yang tinggal di gang Terajana, mereka ada kurang-kurangnya. Tapi walau nggak bisa dipungkiri kalau mereka itu baik-baik dan setia kawan. Buktinya saja geng Terajana selalu kompak kalau ada salah satu penghuni yang mengalami kejadian kurang mengenakan.
Pernah nih kejadian saat Widya pulang sama temannya yang bernama Sri, mereka nangis katanya disuit-suitin sama berandalan di komplek lain, dan klub Terajana langsung menghajar para berandalan itu sampai masuk rumah sakit.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, aku kasihan sama lelaki cabul ketika dihajar geng Terajana.
***
Salah satu kejadian yang nggak akan pernah kulupakan bersama salah satu penghuni gang Terajana adalah saat membantu Charles supaya bisa dekat sama Widya. Maklum dia memang selama ini naksir berat sama gadis yang rambutnya selalu dipotong gaya pendek dengan poninya yang khas. Widya Kpopers akut dan gaya rambut poninya itu juga katanya karena terinspirasi dari salah satu idol Korea Selatan itu. Apa saja yang dipakai idol itu selalu Widya ikuti.
“Sebenarnya aku sudah lama naksir sama Widya, Dan,” ucap Charles wajahnya memelas. “Tapi sampai sekarang belum berani ngungkapin. Cinta dalam diam itu menyakitkan, ya.”
“Kenapa pula kamu belum berani ngungkapin perasaan sama Widya?”
“Yanto, kakaknya Widya itu suka usil banget kalau aku deketin adiknya,” ucap Charles sebel. “Temani aku ke warung baksonya, yuk, siapa tahu Widya ada di sana.”
“Males ah, nanti aku jadi obat nyamuk doang di sana.”
“Aku traktir bakso.”
“Siap kalau begitu. Cus berangkat.”
Benar saja saat kami ke warung bakso Bu Ningsih, ada Widya di sana lagi bantuin ibunya. Begitu juga sama Mas Yanto, dia ada di sana dan wajahnya langsung kusut kaya pakaian nggak pernah disetrika melihat kedatang kami.
“Halo, Kakak Ipar, Widyanya ada?” tanya Charles basa-basi. Katanya dia mau pura-pura nggak lihat Widya, biar kaya di agedan FTV pas Widya memanggil namanya. Sumpah si Charles halunya diambang mengkhawatirkan.
“Matamu ketutupan belek apa gimana, Char?” ucap Mas Yanto ketus. “Orang segede itu nggak lihat. Itu Widya lagi nganter pesanan ke meja di dalam. Ada apa memangnya?”
“Nggak ada apa-apa, sih,” jawab Charles meletakkan gitar yang dibawanya ke dinding. “Pesan bakso dua, yang satu pakai bihun saja, nggak suka mi kuning soalnya, keinget rambutnya Bu Ratna.”
“Bayar ya, nggak boleh ngutang.”
“Sejak kapan pula aku ngutang. Enak saja, aku bayar terus ya.”
Widya kemudian datang menghampiri kami dan tersenyum. Widya memang cantik, apalagi dengan poninya, itu membuat penampilannya lebih imut. Marmut saja kalah sepertinya.
“Eh Mas Charles mau makan di sini atau dibungkus?”
“Makan di sini aja, Wid, soalnya lebih enak kalau makan di sini sambil lihatin kamu.”
“Ah, Mas Charles bisa aja.”
Awalnya aku heran kalau ternyata Widya dan Mas Yanto itu kakak adik, soalnya wajah mereka sangat berbeda. Kalau wajah Widya seperti perpaduan antara Chelsea Olivia dan Raisa, sangat jauh berbeda dengan abangnya.
Bukan hanya aku yang sempat nggak nyangka kalau Yanto dan Widya itu kakak-adik, hampir semua orang juga tidak menyangka kalau mereka bersaudara, perbedaan antara mereka berdua sangat kontras. Kalau mereka berjalan bersama, kebanyakan malah mengira kalau Mas Yanto itu kakeknya Widya. Sungguh ironis hidupmu Mas Yanto.
Sudah lama Charles menyukai Widya memang. Charles pernah cerita kalau pertemuan pertamanya dengan Widya katanya mirip adegan di drama Korea. Ceritanya nih saat itu Charles sedang mengamen di warung bakso abangnya Widya, eh secara tiba-tiba Widya muncul dengan rambut tergerai indah.
“Pokoknya mirip kaya bintang iklan shampo gitu lah,” Charles semangat kalau cerita pandangan pertamanya dengan Widya. “Widya terus senyum ke arahku, sumpah deh, sejak saat itu selalu terbayang-bayang dengan Widya. Hampir setiap malam selalu melihat dia di mana-mana. Saat sedang makan, teringat dia, saat mau tidur, juga terbayang dia. Saat lihat kaca eh, dia juga tersenyum di balik kaca.”
Aku hanya terdiam. Bosan kalau Charles menceritakan kisah cinta dalam diamnya terhadap Widya.
“Mau makan teringat padamu… Mau tidur teringat padamu… Mau apa pun teringat padamu, Widyaaa.”
Mencintai dalam diam itu menyakitkan. Aku nggak bisa salahin Charles, sih, kenapa jadi salah tingkah setiap kali bertemu Widya. Aku juga dulu pernah mengalami hal semacam itu, mencintai dalam diam seorang gadis yang akhirnya sekarang nikah sama orang lain. Kalau diceritain aku suka malu sendiri.
“Ini baksonya, Mas,” ucap Widya meletakkan mangkuk bakso ke atas meja.
Wajah Charles memerah seperti kepiting sembelit.
“Makasih, Wid,” ucap Charles membenarkan kerah baju. “Hari ini kamu cantik sekali, Wid.”
Widya terkikik. “Ah, Mas Charles bisa saja, aku biasa saja kok.”
“Jangan dengerin pengangguran ini, Wid,” Mas Yanto meletakkan bakso pesananku. “Mana sini bayar hutang, sudah dua minggu nggak bayar juga, bisa rugi usahaku kalau dihutangin mulu.”
Charles langsung kicep. Aku tahu Charles sebel kalau Mas Yanto selalu bahas utangnya di depan gadis yang disukainya.
Bagi Charles Widya adalah jelmaan bidadari di dunia nyata, dia mempunyai bulu mata yang lebih lentik dari boneka India. Aku tahu selama ini Charles udah mencoba berbagai cara untuk menyatakan perasaannya, tapi sampai detik ini belum bisa mengungkapkan isi hati yang sebenarnya terhadap Widya. Selalu saja ada yang mencoba menghalang-halangi ketika dia akan menyatakan perasaan.
Pernah sekali aku lihat Charles mencoba untuk menyatakan cinta, begitu kata-kata romantis sudah di ujung mulut—tinggal keluar doang, eh si Mas Tomas malah nyetel lagunya Ratu yang judulnya lelaki buaya darat. Bahkan parahnya Julaika dan Bu Ratna sampai nyeletuk; “buset aku tertipu lagi.” Pas bagian reff.
“Mulutnya manis sekali..” Timpal Topo dan ibunya tidak mau kalah.
“Tapi hati bagai serigala.” Sambungku yang langsung ditimpuk pakai sendal sama Charles.
“Aku izin pergi dulu, Mah,” kata Widya mengembalikan ingatanku ke masa kini. Widya kemudian menghampiri Bu Ningsih yang lagi nyiapin pesanan pelanggan lain. “Tadi Mas Asep telepon, katanya mau ngajak nonton bioskop.”
Charles langsung keselek bakso mendengarnya. Dia buru-buru mau minum es jeruk yang diambil malah air kobokan karena saking terkejutnya mendengar ucapan Widya.
“Hati-hati di jalan, jangan lupa kalau pulang minta dibelikan martabak buat mama, ya.” Ucap Bu Ningsih.
Widya mengacungkan jempol, membuat Charles sepertinya patah hati mendengar Widya mau pergi sama cowok lain. Siapa lagi itu Asep?
“Eh, Kakak Ipar, Asep itu siapa, sih?”
“Cari tahu aja sendiri siapa dia,” jawab Mas Yanto kembali menggaruk kutilnya dengan garpu.
Charles terdiam mendengarnya. Dia kemudian berpaling ke arahku, dan perasaanku langsung nggak enak.
***
Maka sejak hari itu Charles mempunyai sebuah rencana untuk mencari tahu tentang siapa itu Asep. Dia tinggal di mana, anaknya siapa, bahkan bagaimana tampangnya. Charles sangat penasaran bagaimana ciri-ciri cowok yang bisa-bisanya ngajak Widya nonton film, dan Widya mau pula.
“Kamu, sih, kelamaan mendam perasaan sama dia,” gumam Topo saat Charles menceritakan kepadanya. “Kaya aku dong garcep nyatain cinta sama Julaika, walau ditolak, sih.”
Aku memandang kedua pemuda di hadapanku. Sepertinya kami bertiga kalau membentuk aliansi jadilah tiga jomlo ngenes.
“Bantuin aku dong, Bro,” ucap Charles memandang kami secara bergantian.
“Bantuin apaan?”
“Cari tahu siapa itu Asep.”
Awalnya aku hendak menolak ide Charles, tapi begitu melihat tatapan memelasnya, aku jadi nggak tega dan mau nggak mau menerima ajakan Charles untuk menyelidiki siapa itu Asep.
Maka sebagai langkah pertama untuk mencari tahu siapa itu Asep, Charles dengan semangat berencana untuk membentuk tim Detektif Cinta. Awalnya aku menolak karena itu konyol, tapi Topo malah semangat bener, dia bilang sebagai klub jomlo harus setia kawan, dan mau tidak mau aku harus mau membantu mereka. Karena di sisi lain penasaran juga sih siapa itu Asep.
Hari pertama Charles berusaha merekrut beberapa orang yang untuk menjadi anggota tim Detektif Cinta. Pertama, dia mencoba merekrut Mas Tomas, tapi dia mempunyai syarat jika mau bergabung grup Detektif Cinta.
“Apa syaratnya supaya mau jadi anggota Detektif Cinta?” tanya Charles.
“Harus beli ini daganganku dulu, ini ada celana dalam model terbaru, motif kupu-kupu kayanya cocok buatmu.”
Charles langsung mencoret nama Mas Tomas dari calon anggota Detektif Cinta.
“Pada nggak mau jadi anggota Detektif Cinta nih, Dan,” ucap Charles putus asa. “Masa aku harus rekrut anak gang sebelah, apa nggak makin diledek jomlo cap bulu ketek aku. Kamu coba tanyain sama teman kerjamu, siapa itu namanya yang gemuk.”
“Abdul?”
“Iya, si Abdul, kali aja dia mau gabung grup kita. Nggak seru kalau cuma kita yang nyelidiki siapa Asep.”
“Dia nggak bakalan mau, Char.”
Setelah mencoba merekrut beberapa pemuda di gang Terajana, akhirnya nggak ada yang mau, dan tertunya hanya kami bertiga yang akhirnya menjadi klub Detektif Cinta.
Hari Minggu yang bertepatan dengan hari Valentine, kami mulai menjalankan misi Detektif Cinta. Aku menghampiri Topo dan Charles di tempat mereka biasa mangkal.
“Gimana penampilanku, Dan?” tanya Topo yang saat itu memakai jaket kulit warna hitam, begitu juga kacamata yang dia pakai, warna hitam juga yang membuat penampilannya lebih terlihat seperti tukang urut salah kostum daripada detektif.
Kalau dibanding Topo, Charles terlihat lebih nyentrik dengan penampilannya yang lebih menyerupai anak punk lagi mabok ngelem. Dia memakai baju tabrak warna dan juga rambutnya diwarnai hijau. Tidak lupa dia memakai kacamata hitam yang demi apa pun itu terlihat seperti kami rombongan sirkus kesasar daripada klub detektif.
“Tadi aku lihat Widya pergi sama Sri naik motor,” ucap Tomo mengeluarkan kaca pembesar dari sakunya. “Katanya sih mau ketemuan sama orang, pasti dia mau ketemuan sama Asep.”
“Ketemuan di mana?”
“Katanya di gang sebelah, di daerah Pogung Lor.”
“Ayo kita samperin ke sana.”
Kami bertiga pun akhirnya berangkat dengan dua motor ke kompleks perumahan yang letaknya lumayan jauh, butuh setengah jam kalau naik motor.
Begitu sampai di kompleks perumahan itu, kami langsung bertanya pada seorang satpam yang memandang Charles dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku yakin satpam itu mengira mungkin saja ada pasien rumah sakit jiwa yang kabur.
“Bapak tahu di mana rumahnya Asep?” tanya Charles pada satpam itu. “Yang katanya sedang ada hubungan dengan Widya.”
“Asep yang giginya tonggos bukan?” Orang itu malah balik bertanya. “Kalau dia aku kenal, dia tukang kupas kelapa.”
“Tukang kupas kelapa?” Topo yang bertugas sebagai pengumpul data segera menulis di kertas yang dibawanya. “Seperti apa ciri-ciri fisiknya?”
“Dia tinggi, kulit sawo matang, rambutnya keriting, dan bibirnya tonggos seperti habis dicipok truk.” Jawab Pak Satpam tampak mengingat-ingat.
“Dia ngomongin kamu ya, Char?” bisik Topo membuat Charles ingin menarik bibirnya.
“Apa bapak tahu di mana rumah si Asep itu?” tanyaku lagi. Sementara Topo yang kusuruh menggambar sketsa wajahnya berdasar penjelasan orang ini. “Apa bapak bisa mengantarkan kami ke rumahnya?”
“Dia sudah nggak tinggal di sini?” jawab Pak Satpam itu lagi. “Dia sudah meninggal dua tahun yang lalu.”
Hening.
Aku langsung pengen goyang ngebor sambil kayang mendengarnya. Kenapa pula nggak bilang dari tadi kalau orangnya sudah lama meninggal.
Setelah seharian menanyakan tentang sosok Asep kepada hampir semua orang dan pedagang yang kami temui di kompleks ini—setidaknya ada sepuluh nama orang yang bernama Asep yang mereka sebut. Dimulai dari Asep yang katanya tukang salon, ada pula Asep yang tukang ayam, Asep Sambar Langit, Asep Sambar Gledek hingga Asep Gludug-Gludug, hingga membuatku membatin itu nama Asep apa penyanyi dangdut?
Setelah kami melakukan pencarian mengenai Asep yang dimaksud, namun nggak membuahkan hasil. Akhirnya kami kembali ke gang Terajana dengan perasaan kecewa. Sebenarnya hanya Charles yang benar-benar kecewa. Aku dan Topo hanya berusaha menyemangati sahabatku itu.
Dari sekian nama Asep yang disebut orang di perumahan itu, cuma ada dua nama Asep yang mendekati spesifik ciri pacar Widya. Yang pertama Asep Komaludin, yang menurut penjelasan salah satu penjual aksesoris bernama Puji, dia sering datang ke kiosnya untuk membeli aksesoris untuk pacarnya, dan dugaan Charles kalau pacar yang dimaksud itu pastilah Widya.
Sedangkan Asep yang kedua bernama Asep Oey, yang kata Bu Rina sangat mirip dengan Morgan Oey habis kesetrum listik 3600 volt. Masih menurut penjelasan Bu Rina, Asep Oey itu tinggal tidak jauh dari tempat ini. Hanya beda gang saja.
"Soalnya aku pernah lihat dia jalan sama Widya." Ucap Bu Rina.
Setelah mendapatkan dua nama Asep yang masuk dalam kategori “tersangka,” kami kembali membentuk klub detektif yang terlihat seperti sedang melancak sebuah kasus. Kami memutuskan ke rumah Asep Oey dulu.
“Sebaiknya kita melakukan penyamaran deh, Bro,” kata Topo begitu kami sampai di rumah yang kata Bu Rina adalah rumah Asep Oey. “Kalau ternyata Widya ada di sini kan bisa gawat.”
“Benar juga kamu, Po,” kata Charles setuju. “Oke kalian tunggu di sini, aku mau melakukan penyamaran.”
Aku dan Topo mengangguk mendengarnya, entah kenapa perasaanku tidak enak, pasti deh akan ada hal buruk dengan rencana ini.
Lima belas menit kemudian Charles belum datang juga. Aku sudah mulai kesal karena pengamen ceking itu lama sekali dandannya. Satu menit kemudian, ketika aku dan Topo memutuskan untuk melakukan penyelidikan ini sendirian, tiba-tiba aku mendengar sebuah suara yang menyebut nama kami.
“Odan, Topo, aku udah siap.” Kata suara yang kukenali milik Charles.
Aku berpaling ke arah suara itu dan hampir pingsan begitu melihat sosok yang ada di belakang. Charles memakai wig palsu entah punya siapa, dia juga memakai daster yang kuyakin milik Bu Rina. Sedangkan sebagai aksesoris tambahan, dia menambahkan entah apa di dadanya, dan aku sama sekali nggak mau ngebayangin jika yang ada di dadanya adalah kubis daganngya Julaika.
“Bagaimana penampilanku?” tanya Charles. “Kalian masih ngenalin aku?”
“Kaya habis kena azab,” ucap Topo terlihat ngeri.
Setelah menguatkan hati karena mempunyai rekan detektif dengan penampilan seperti ini, aku memantapkan untuk melangkah menuju rumah Asep Oey.
“Sebaiknya kamu yang nemuin Asep Oey deh, Dan,” usul Topo masuk akal. “Aku tunggu di sini untuk jaga-jaga, siapa tahu tiba-tiba Widya datang ke rumah ini.”
“Kenapa bukan kamu saja, Char?” Aku berpaling ke arah Charles.
“Jangan, takutnya nanti Asep Oey sawan kalau lihat beginian. Aku saja merinding lihat dia dandan kaya tante-tante tukang ngelem.”
Charles mengangguk dan membenarkan dadanya yang hampir melorot, dan aku semakin yakin kalau pasti ada kubis di balik dasternya itu. Percuma saja dia nyamar begini kalau ujung-ujungnya aku yang menemui Asep Oey.
Dengan langkah pelan aku berjalan menuju pintu rumah yang di bagian depannya dihiasi pot bunga anggrek. Aku kemudian mengetuk pintu, lalu tak berapa lama kemudian dari dalam rumah itu muncul seorang lelaki berusia sekitar dua puluh lima tahun keluar dari rumah itu.
“Maaf, apa benar ini rumah Asep Oey?”
“Iya benar ini rumahku,” jawab lelaki itu lagi. “Saya Asep Oey, kamu siapa?”
“Aku Odan,” jawabku memperkenalkan diri. “Aku temannya Widya. Kalau boleh tahu, kamu ada hubungan apa ya sama Widya?”
Asep Oey memandangku dengan tatapan menilai. “Aku tunangannya Widya, kami dulu teman sekelas. Tapi selama ini aku di Jakarta dan baru sekarang balik ke kota ini. Tiga bulan lagi mungkin kami akan menikah.”
“Oh begitu,” kataku mencoba tersenyum. “Kalau begitu aku pergi dulu, terima kasih atas waktunya.”
Asep Oey mengangguk dan menatapku dengan heran.
Hati Charles pasti akan rapuh begitu mendengar kalau Widya sudah bertuangan. Cinta dalam diam memang menyakitkan. Tapi apa pun itu aku harus memberitahukannya pada Charles, dia sahabatku dan aku harus menguatkannya. Cinta memang tidak harus dimiliki. Terkadang apa yang kita harapkan tidak selamanya sesuai dengan realita. Tapi aku yakin Charles pasti bisa menerima semua ini. Apalagi di gang Terajana yang cantik bukan hanya Widya, masih banyak gadis-gadis lain yang mungkin akan mau menerima cinta Charles.
Dan kisah cinta diam-diamnya Charles hanya sebagian kecil dari kisah di gang Terajana. Masih banyak kisah-kisah yang melingkupi komunitas Terajana alias Teras Janda Muda yang mungkin kelak akan aku ceritakan satu persatu kepada kalian.