Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Komedi
Teori Titisan Guru Killer
51
Suka
657
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Selalu ada guru yang ditakuti di setiap sekolah. Istilah populernya: guru killer. Ia biasanya tegas, raja tega, suaranya menggelegar, wajahnya gahar, dan hobinya menghukum siswa. Mohammad Ashari, seorang guru Bahasa Inggris, memiliki teori menarik soal ini.

Guru killer, menurutnya, merupakan talenta bawaan. Sejak awal, para guru killer ini memang berbakat disegani dan ditakuti. Akan tetapi, bakat spesial tersebut tidak menurun dari orang tua mereka, melainkan dengan cara menitis dari orang lain.

Ya, guru killer adalah titisan dari guru killer sebelumnya!

Contohnya, di SMP Wufi, pernah ada guru Fisika bernama Roro. Sekali berdeham, Bu Roro sanggup membuat murid-muridnya berkeringat dingin. Roro kemudian mengundurkan diri dan pindah mengajar ke SMA Wufi sekitar empat tahun silam.

Siswa-siswi pun bernapas lega. Namun, tidak selega itu. Pertama, karena jika mereka melanjutkan sekolah ke SMA Wufi, sama saja, jelas mereka akan bertemu lagi dengan Bu Roro.

Kedua, tak lama kemudian, datanglah Pak Udin di SMP Wufi. Guru Matematika ini karakternya sama dengan Roro. Ketika Pak Udin mengajar di kelas, jangan harap ada murid yang gaduh, bersenda gurau, apalagi tidur. Mereka pasti melek dan tegang. Udin adalah guru baru, tetapi langsung menyandang gelar killer.

Inilah yang Ashari maksudkan sebagai titisan. Pak Udin adalah titisan dari Bu Roro!

Sebagaimana Bu Roro, Pak Udin juga kemudian mengundurkan diri. Ia hendak melanjutkan kuliah S-2 di Bandung, delapan bulan silam.

Sepeninggal Pak Udin, guru Matematika yang tersisa tinggal Fatchur, Isti, dan Rebo. Di antara ketiganya, Rebolah yang paling muda dan cupu. Murid-murid kurang menaruh hormat kepadanya.

Suatu hari, terjadilah keajaiban itu. Rebo yang awalnya dekat dengan siswa-siswi lantaran mudah dikerjai, tiba-tiba menjelma menjadi guru yang paling ditakuti. Tahu-tahu, Ashari mendengar desas-desus, bahwa para murid sudah tidak mau dekat-dekat Rebo lagi. Mereka ketakutan.

Sulit dipercaya. Rebo adalah guru muda, belum menjadi pegawai tetap. Pengajar yang paling ramah dan biasa digoda murid-muridnya itu kini menjadi guru killer? Itu terjadi tidak lama setelah kepergian guru killer sebelumnya, Udin.

“Fenomena apa ini namanya kalau bukan penitisan?” batin Ashari.

Sekarang, Rebo jadi jarang tertawa, pelit tersenyum, mudah tersinggung, dan selalu gagal menangkap lelucon-lelucon yang semestinya anak SD pun paham. Rebo cuma bekerja dan bekerja. Karena itulah, helai demi helai rambutnya menguban hanya dalam beberapa bulan, meski usianya jauh lebih muda dari Ashari.

Rebo bahkan sering bersitegang dengan guru-guru lainnya. Pernah, ia berselisih dengan Bu Retno, guru Bahasa Daerah, untuk masalah gelas minum yang sepele. Mbak Siti, penjaga kantin sekolah, juga pernah dibentaknya, hanya gara-gara terlambat mengantarkan kopi pesanannya.

Tidak hanya berubah menjadi guru killer, lama-lama Rebo pun menjadi sosok yang angkuh.

Sepertinya, penitisan kali ini tidak berjalan mulus, karena jatuh bukan ke sosok yang tepat. Dilihat dari sisi mana pun, Rebo tidak ada potongan sebagai guru killer.

Namun, ia terlanjur menerima penitisan itu. Ia memang disegani murid, ditakuti siswa, tetapi ia juga sukses membuat jengkel rekan-rekan kerjanya. Ini sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh guru-guru killer pendahulunya.

Pernah pula, Rebo menumpahkan kopi panas ke kemeja batik Ashari. Walaupun cuma sedikit, tetapi panasnya percikan-percikan air hitam-kekuningan itu membuatnya terkejut. Ia tahu, Rebo tidak sengaja. Namun, setidaknya Rebo mengucapkan sepatah kata maaf untuk basa-basi, bukan?

Bukan!

Rebo hanya melangkah santai mengambil tisu di meja Retno, lalu mengelap cangkirnya yang jadi berlepotan. Sudah. Begitu saja. Ia seolah tidak menganggap Ashari ada di ruangan itu.

Entah apa yang terjadi pada Rebo. Atau, jangan-jangan, ini bukan penitisan? Ini kesurupan?

Yang jelas, sejauh pengamatan Ashari, perubahan sikap Rebo terjadi setelah libur Lebaran kemarin. Sejak halalbihalal, ia berubah menjadi guru yang killer. Super killer!

Killer” artinya pembunuh. Akan tetapi, jangan diartikan secara harfiah. Itu hanya istilah seperti “kambing hitam”, “gulung tikar”, atau lainnya. Toh dalam kenyataannya, se-killer-killer-nya seorang guru, ia tetap sayang murid-muridnya dan bisa bercanda.

Namun, kasus Rebo memang agak lain. Ia benar-benar tidak bisa diajak berkomunikasi. Sifat killer-nya pun bukan hanya memuramkan hati siswa-siswa, melainkan juga guru-guru.

Para pengajar SMP Wufi yang terganggu mulai berkasak-kusuk. Agendanya, membuat Rebo diberhentikan!

“Buat apa diberhentikan?” Retno tidak setuju. “Orang yang suka meminjam gelas dan mengambil tisu tanpa izin seperti itu mending dimutilasi sekalian!”

Waduh!

Bayangkan, Retno yang biasanya kalem berubah sadis begitu. Rebo barangkali memang sudah keterlaluan.

Merasa sekolahnya mulai tidak kondusif, Kepala Sekolah berinisiatif mempertemukan para guru dengan Rebo. Waktu itu, Ashari tidak ikut lantaran harus mengantar seorang siswanya mengikuti lomba Debat Bahasa Inggris di Surabaya.

Sekembalinya ke Desa Wufi, Ashari merasakan kejanggalan. Satu per satu rekan kerjanya, termasuk Retno, mulai melunak dan tidak lagi membenci Rebo. Ashari jadi tidak habis pikir, “Tadinya mereka semangat berantem, kok, sekarang melempem?”

“Sudahlah, biarkan Rebo,” saran Retno bijak. “Kita kembali fokus mengajar saja, Pak Ashari.”

Kening Ashari berkerut. Terutama setelah tahu, kolega-koleganya sesama guru jadi murah senyum kepada Rebo. Anehnya, mereka tidak ada yang mau buka suara mengenai isi pertemuan mereka dengan Rebo di ruang Kepala Sekolah.

“Ini pasti sihir. Atau gendam!” duga Ashari. Semua keanehan ini membuatnya kian mewaspadai Rebo. Bukan hanya titisan guru killer, rupanya ia juga menguasai ilmu hitam untuk menjinakkan kolega-koleganya!

Tidak tahan lagi, Ashari pun memberanikan diri menghadap Kepala Sekolah sendirian. Sayangnya, Pak Kepala Sekolah rupanya juga telah terkena guna-guna Rebo. Bayangkan, ia malah menyuruh Ashari bersikap dewasa dan tidak memperturutkan emosi.

“Kok, jadi seperti saya yang bermasalah, Pak?” protes Ashari. “Rebolah yang membuat sekolah kita tidak tenteram!”

Mereka pun berdebat. Biasanya, Ashari tidak pernah mendebat atasannya di sekolah itu. Namun, ini memang bukan situasi biasa. Ini kondisi luar biasa!

Kepala sekolah itu akhirnya angkat tangan. “Ya sudah, sampean bicara sendiri sama Rebo sana.”

Apa? Bertemu langsung dengan Rebo? Empat mata? Ashari tentu menolak usul itu. Ia enggan terkena sihirnya dan bernasib seperti teman-temannya.

Sekali lagi, mereka berdebat.

Buntu, tidak kunjung terlihat titik temu, Ashari pun ancang-ancang memaparkan argumen pamungkasnya: Teori Titisan Guru Killer! Dengan teori ini, semua akan terkuak dengan telak.

Akan tetapi, sang Kepala Sekolah keburu berdiri dan menyeret kursinya untuk duduk lebih dekat dengan Ashari. Spontan, Ashari terdiam, merasa ada yang gelagat yang tidak biasa.

“Beberapa bulan silam,” Pak Kepala Sekolah mulai bercerita, setengah berbisik, seolah tidak ingin ada yang ikut mendengar. “Tepatnya sebelum Lebaran, Rebo pernah curhat tentang statusnya yang masih guru kontrak, padahal di sini ia sudah mengajar hampir satu semester. Ia sampai memohon-mohon. Saya menenangkannya dengan mengatakan bahwa keputusan diterima-tidaknya seorang guru di sini bukan ada di tangan saya, tapi di pihak Yayasan.”

Ashari memiringkan kepala. “Bukannya masih wajar, ya, kalau dalam satu semester seorang guru belum direkrut jadi pegawai tetap.”

“Nah,” sambut Pak Kepala Sekolah, “gara-gara statusnya yang tidak kunjung jelas itulah, lamarannya ke sang kekasih ditolak. Padahal, waktu itu orang tuanya sudah bertemu orang tua calonnya dalam seremoni yang resmi. Sebenarnya, pinangan Rebo tidak ditolak. Hanya ditunda, sampai status pekerjaannya menjadi jelas.”

“Kalau begitu, apa susahnya menunggu beberapa bulan lagi? Atau, menikah ya tinggal menikah! Saya dulu saja melamar Sinta juga pas pekerjaan masih serabutan, kok!”

“Tidak semua orang seberani itu,” Kepala Sekolah terkekeh. “Tidak semua orang siap membangun rumah tangga dengan gaji pas-pasan seperti sampean waktu itu, hahaha.”

Ashari tertohok. Awalnya, ia tersinggung. Namun, berikutnya, ia tertawa mengenang kenekatannya sendiri di masa muda.

Siang itu, ia keluar dari ruang Kepala Sekolah dengan perasaan lega. Bukan saja karena segenap pertanyaannya tentang Rebo yang kerap uring-uringan dan menjadi killer terjawab tuntas, tetapi juga karena ia belum sempat menyampaikan teori konyolnya kepada Pak Kepala Sekolah.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Komedi
Cerpen
Teori Titisan Guru Killer
Braindito
Cerpen
TETANGGA BIKIN KESAL
Shea
Cerpen
Semua Juga Tahu
Kinanthi (Nanik W)
Komik
Bronze
Setan Ngomik : Aconk x Kunti
Putra Sanjaya
Cerpen
Bronze
Ada Apa di Balik Itu?
Kinanthi (Nanik W)
Flash
Nyai Roro Kidul-Chan - Legend of South Sea
Donquixote
Flash
Kisah Tengik
Rains Peter Aro
Cerpen
DENDAM ARJUNA
Darryllah Itoe
Cerpen
Gadai Emas Bonus Cerita
Malichatus Sa'diyah
Komik
Sang Dewi
faith
Komik
BEBEH DAN BEBIH (Lika-liku laki bini)
Andy widiatma
Komik
This Classroom!
mrizkysaputraa
Cerpen
ANAK EMAK
Endah Wahyuningtyas
Cerpen
Segelas Matcha di Siang Hari
Rizki Mubarok
Cerpen
Kisah Maling yang Tolol
Muhammad Ilfan Zulfani
Rekomendasi
Cerpen
Teori Titisan Guru Killer
Braindito
Cerpen
Mendadak Vin Diesel
Braindito
Flash
Istana Buah
Braindito
Cerpen
Orang Tua Yang Tiap Idulfitri Selalu Minta Maaf ke Anaknya
Braindito
Cerpen
Sejak Study Tour Itu
Braindito
Flash
Tutorial Melawan Begal
Braindito