Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Komedi
Teori Titisan Guru Killer
17
Suka
60
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Selalu ada guru yang ditakuti di setiap sekolah. Istilah populernya: guru killer. Ia biasanya tegas, raja tega, suaranya menggelegar, wajahnya gahar, dan hobinya menghukum siswa. Mohammad Ashari, seorang guru bahasa Inggris, memiliki teori menarik soal ini.

Guru killer, menurutnya, merupakan bakat bawaan. Sejak awal, para guru killer ini memang berbakat disegani dan ditakuti. Namun, bakat spesial ini tidak menurun dari orang tuanya, melainkan dengan cara menitis dari orang lain.

Ya, guru killer adalah titisan dari guru killer sebelumnya!

Contohnya, di SMP Wufi, pernah ada guru Fisika bernama Roro. Sekali berdeham, Bu Roro sanggup membuat murid-muridnya berkeringat dingin. Roro kemudian mengundurkan diri dan pindah mengajar ke SMA Wufi sekitar empat tahun silam. Siswa-siswi pun bernapas lega.

Tidak lama, datanglah Udin. Guru Matematika ini karakternya sama dengan Roro. Ketika Pak Udin mengajar di kelas, jangan harap ada murid yang gaduh, bersenda gurau, apalagi tidur. Mereka pasti melek dan tegang. Udin adalah guru baru, tetapi langsung menyandang gelar killer.

Inilah yang Ashari maksudkan sebagai titisan. Pak Udin adalah titisan dari Bu Roro!

Sebagaimana Bu Roro, Pak Udin juga kemudian mengundurkan diri. Ia hendak melanjutkan kuliah S-2 di Bandung, delapan bulan silam.

Sepeninggal Pak Udin, guru Matematika yang tersisa tinggal Fatchur, Isti, dan Rebo. Di antara ketiganya, Rebolah yang paling muda dan cupu. Murid-murid kurang menaruh hormat kepadanya.

Namun, suatu hari, terjadilah keajaiban itu. Rebo yang awalnya dekat dengan siswa-siswi (karena mudah dikerjai), tiba-tiba menjelma menjadi guru yang paling ditakuti. Tahu-tahu, Ashari mendengar desas-desus, bahwa para murid sudah tidak mau dekat-dekat Rebo lagi. Mereka ketakutan.

Sulit dipercaya. Rebo adalah guru muda. Belum menjadi pegawai tetap. Guru yang paling ramah dan biasa digoda murid-muridnya. Sekarang menjadi guru killer? Itu terjadi tidak lama setelah kepergian guru killer sebelumnya, Udin.

“Fenomena apa ini namanya kalau bukan penitisan?” batin Ashari.

Sekarang, Rebo jadi jarang tertawa, pelit tersenyum, mudah tersinggung, dan selalu gagal menangkap lelucon-lelucon yang semestinya anak SD pun paham.

Rebo cuma bekerja dan bekerja. Karena itulah, helai demi helai rambutnya menguban hanya dalam beberapa bulan, meski usianya jauh lebih muda dari Ashari. Rebo bahkan sering bersitegang dengan guru-guru lainnya.

Pernah, ia berselisih dengan Bu Retno, guru Bahasa Daerah, untuk masalah gelas minum yang sepele. Mbak Siti, penjaga kantin sekolah, juga pernah dibentaknya, hanya gara-gara terlambat mengantarkan kopi pesanannya.

Tidak hanya berubah menjadi guru killer, lama-lama Rebo pun menjadi sosok yang angkuh.

Sepertinya, penitisan kali ini tidak berjalan mulus, karena jatuh bukan ke sosok yang tepat. Dilihat dari sisi mana pun, Rebo tidak berbakat dan berpotongan sebagai guru killer.

Namun, ia terlanjur menerima penitisan itu. Ia memang disegani murid, ditakuti siswa, tetapi ia juga sukses membuat jengkel rekan-rekan kerjanya. Ini sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh guru-guru killer pendahulunya.

Pernah, Rebo menumpahkan kopi panas ke kemeja batik Ashari. Walaupun cuma sedikit, tetapi panasnya percikan-percikan air hitam-kekuningan itu membuatnya terkejut. Ia tahu, Rebo tidak sengaja. Namun, setidaknya Rebo mengucapkan sepatah kata maaf untuk basa-basi, bukan?

Bukan!

Rebo hanya melangkah santai mengambil tisu di meja Retno, lalu mengelap cangkirnya yang jadi berlepotan. Sudah. Begitu saja. Ia seolah tidak menganggap Ashari ada di ruangan itu.

Entah apa yang terjadi pada Rebo. Atau, jangan-jangan, ini bukan penitisan? Ini kesurupan?

Yang jelas, sejauh pengamatan Ashari, perubahan sikap Rebo terjadi setelah libur Lebaran kemarin. Sejak halalbihalal, ia berubah menjadi guru yang killer. Super killer!

Killer” artinya pembunuh. Namun, jangan diartikan secara harfiah. Itu hanya istilah seperti “kambing hitam”, “gulung tikar”, atau lainnya. Toh dalam kenyataannya, se-killer-killer-nya seorang guru, ia tetap sayang murid-muridnya dan bisa bercanda.

Namun, kasus Rebo memang berbeda. Ia benar-benar tidak bisa diajak berkomunikasi. Sifat killer-nya pun bukan hanya ke siswa-siswa, tetapi juga ke guru-guru.

Para guru yang terganggu mulai berkasak-kusuk. Agendanya, membuat Rebo diberhentikan dari SMP Wufi!

“Buat apa diberhentikan?” Retno tidak setuju. “Orang yang suka meminjam gelas dan mengambil tisu tanpa izin seperti itu mending dimutilasi sekalian!”

Waduh!

Bayangkan, Retno yang biasanya kalem berubah sadis begitu. Rebo mungkin memang sudah keterlaluan.

Mereka pun kompak menghadap Kepala Sekolah. Merasa sekolahnya mulai tidak kondusif, Pak Kepala Sekolah berinisiatif mempertemukan mereka dengan Rebo. Waktu itu, Ashari tidak ikut lantaran harus mengantar siswanya mengikuti lomba Debat Bahasa Inggris di Surabaya.

Sekembalinya ke Desa Wufi, Ashari merasakan kejanggalan. Satu per satu rekan kerjanya, termasuk Retno, mulai melunak dan tidak lagi membenci Rebo. Ashari jadi tidak habis pikir, “Tadinya berapi-api, kok, mereka sekarang melempem?”

“Sudahlah, biarkan Rebo,” saran Retno bijak. “Kita kembali fokus mengajar murid-murid saja, Pak Ashari.”

Kening Ashari berkerut. Terutama setelah tahu, kolega-koleganya sesama guru jadi murah senyum kepada Rebo. Anehnya, mereka tidak ada yang mau buka suara mengenai isi pertemuan mereka dengan Rebo di ruang Kepala Sekolah.

“Ini pasti sihir. Atau gendam!” duga Ashari. Semua keanehan ini membuatnya kian mewaspadai Rebo. Bukan hanya titisan guru killer, rupanya ia juga menguasai ilmu hitam untuk menjinakkan kolega-koleganya!

Tidak tahan lagi, Ashari pun memberanikan diri menghadap Kepala Sekolah sendirian. Sayangnya, Pak Kepala Sekolah rupanya juga telah terkena guna-guna Rebo. Bayangkan, ia malah menyuruh Ashari bersikap dewasa dan tidak memperturutkan emosi.

“Kok, jadi seperti saya yang bermasalah, Pak?” protes Ashari. “Rebolah yang membuat sekolah kita tidak tenteram!”

Mereka pun berdebat. Biasanya, Ashari tidak pernah mendebat atasannya di sekolah itu. Namun, ini memang bukan situasi biasa. Ini genting!

Kepala sekolah itu akhirnya angkat tangan. “Ya sudah, sampean bicara sendiri sama Rebo sana.”

Apa? Bertemu langsung dengan Rebo? Empat mata? Ashari tentu menolak usul itu. Ia enggan terkena sihirnya dan bernasib seperti teman-temannya.

Sekali lagi, mereka berdebat.

Buntu, tidak kunjung terlihat titik temu, Ashari pun ancang-ancang memaparkan argumen pamungkasnya: Teori Titisan Guru Killer! Dengan teori ini, semua akan terkuak dengan telak.

Namun, sang Kepala Sekolah keburu berdiri dari menyeret kursinya untuk duduk lebih dekat dengan Ashari. Spontan, Ashari terdiam, merasa ada yang gelagat yang tidak biasa.

“Beberapa bulan silam,” Pak Kepala Sekolah mulai bercerita, setengah berbisik, seolah tidak ingin ada yang ikut mendengar. “Tepatnya sebelum Lebaran, Rebo pernah curhat tentang statusnya yang masih guru kontrak, padahal di sini ia sudah mengajar hampir satu semester. Ia sampai memohon-mohon. Saya menenangkannya dengan mengatakan bahwa keputusan diterima-tidaknya seorang guru di sini bukan ada di tangan saya, tapi pihak Yayasan.”

Ashari memiringkan kepala. “Bukannya masih wajar, ya, kalau dalam satu semester seorang guru belum direkrut jadi pegawai tetap.”

“Nah,” sambut Pak Kepala Sekolah, “gara-gara statusnya yang tidak kunjung jelas itulah, lamarannya ke sang kekasih ditolak. Padahal, waktu itu orang tuanya sudah bertemu orang tua calonnya dalam seremoni yang resmi. Sebenarnya pinangan Rebo tidak ditolak. Hanya ditunda, sampai status pekerjaannya menjadi jelas.”

“Kalau begitu, apa susahnya menunggu beberapa bulan lagi? Atau, menikah ya tinggal menikah! Saya dulu saja melamar Sinta juga pas pekerjaan masih serabutan, kok!”

“Tidak semua orang seberani itu,” Kepala sekolah terkekeh. “Tidak semua orang siap membangun rumah tangga dengan gaji pas-pasan seperti sampean waktu itu, hahaha.”

Ashari tertohok. Awalnya, ia tersinggung. Namun, berikutnya, ia tertawa mengenang kenekatannya sendiri di masa muda.

Siang itu, ia lega. Bukan saja karena semua pertanyaan-pertanyaan di kepalanya tentang Rebo yang kerap uring-uringan dan menjadi killer terjawab sudah, tetapi juga karena ia belum sempat menyampaikan teori konyolnya kepada Pak Kepala Sekolah.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Komedi
Cerpen
Teori Titisan Guru Killer
Braindito
Flash
Hanya Sampah
Bima Kagumi
Cerpen
LITTLE UNA
I | N
Cerpen
Hedonisme Bos Cendol
Doddy Rakhmat
Cerpen
Bronze
Jangan Tertawa, Pamanku Memang Begini
Muttaqin
Komik
Ubi Depresi
nanda putri diasshifatul karimah
Cerpen
Bronze
Liburan Villa Mewah
Mulyana
Cerpen
Tetangga Kos Receh
Ilfinda Zaka Ochtafarela
Flash
Wesheweshewes
Rainzanov
Cerpen
BOS BESAR MALUNYA KECIL
Rizki Ramadhana
Flash
Kesabaran Sang Sosialita
Freya
Cerpen
Bronze
Adu Teka-Teki di Kafe
kevin andrew
Cerpen
Bronze
Agen konyol
Noboti
Cerpen
Bronze
Mata Belo Menyergap di Lampu Merah
Saifoel Hakim
Cerpen
Bronze
Si Gembul Sahabatku
Pena Sastra
Rekomendasi
Cerpen
Teori Titisan Guru Killer
Braindito
Cerpen
Sejak Study Tour Itu
Braindito
Cerpen
Orang Tua Yang Tiap Idulfitri Selalu Minta Maaf ke Anaknya
Braindito
Flash
Tutorial Melawan Begal
Braindito
Cerpen
Mendadak Vin Diesel
Braindito
Flash
Istana Buah
Braindito