Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Tentara Yang Sendirian
1
Suka
14
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di dalam lorong gua panjang tersebut hanya terdapat Ahmad seorang, raut wajahnya menampakkan rasa putus asa yang dalam. Wajar saja, karena ia baru ditinggal mati oleh teman-teman seperjuangannya, ditambah sang komandan yang baru saja ditangkap oleh kubu musuh, dan entah apa yang dilakukan sang musuh kepada komandannya, entah diinterogasi atau dibunuh. Ia sendiri berjalan sempoyongan dan sesekali tubuhnya terbentur dinding batu yang keras. Matanya berkunang-kunang, wajahnya begitu pucat bagai mayat hidup, bibirnya sangat kering, dan banyak luka ditubuhnya. Sungguh sial, tapi ia bersyukur tidak disiksa.

“A-air t-tolong aku …” rintihnya sebelum terjatuh. Matanya terpejam dan dunianya makin gelap hingga ia tak bisa melihat apapun, ia pingsan.

Namun, sedetik kemudian ia terbatuk dan bangkit di sebuah padang rumput antah berantah. Kepalanya menengok ke kanan dan kiri dengan penuh keheranan. Tempat apa ini? Namun, sedetik kemudian air matanya mulai mengalir deras. Ia ingat sekali di mana dirinya berada. Kedua kakinya melangkah setengah gemetaran, oh Tuhan! Benarkah orang mati akan diperlihatkan kenangan yang paling indah dalam hidupnya?

Aku sudah mati?

“Hei anak payah!!” Ahmad pun menoleh dan melihat anak kecil berbadan dekil.

“Anak payah kau dengar tidak? Hei!” Anak itu melempar bola kearah Ahmad.

 “Aduh! Hei jangan lempar dong! Sakit tahu!” Ahmad memegangi tangannya yang lecet karena lukanya terkena bola.

“Anto, jangan mengusili adikmu! Ayo minta maaf!” suara lembut itu, suara ibunya!

“Ibu, aku kan hanya main-main saja bu.”

Ahmad mengerjapkan matanya seolah tidak percaya, ia ingat ini di mana. Ternyata anak kecil itu kakaknya?

“Mas Anto?” sapa Ahmad dengan yakin.

Bocah itu menoleh sambil tersenyum, “Maaf ya, aku tadi cuma main-main kok.”

Ahmad terdiam lagi, ini benar kakaknya atau cuma ilusi? Bahkan ia melihat wajah sang ibu di sana. Namun, sebelum menggapai mereka tangannya seperti berhenti.

“Ahmad bangunlah, kau harus tetap semangat” Ibunya tersenyum sambil mengelus kepalanya.

“Bu? Ini benar ibu kan?” Ahmad mulai menitikkan air mata.

Ibunya tersenyum lalu perlahan-lahan bayangannya mulai pudar, lalu hilang.

Sedetik kemudian bayangan anak kecil dekil itu juga ikut pudar, “payah, jaga dirimu baik-baik”

Pria berbadan tegap berpakaian tantara itu, Ahmad, benar-benar bingung sekarang. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ia sudah mati karena melihat mereka yang sudah pergi duluan? Jangan-jangan memang betulan ia sudah mati. Air matanya mengalir, lalu dengan cepat ia menyekanya dengan tangan. Kakinya kemudian bangkit dan mencoba berjalan sambil menenteng senapannya.

“Ahmad, kuberitahu kalau kau berlari terus ke arah kanan kau akan aman sedang.”

Kali ini ia benar-benar terdiam ketika mendengar jenis suara yang paling tak ingin dia dengar dari belakang badannya. Suara bapaknya. Badan Ahmad mulai bergidik ngeri mengingat memori buruk bersama orang tersebut.

“Maafkan Bapak selama ini.”

Perlahan kepalanya memutar ke belakang dan melihat punggung besar yang berbalut jaket militer. Namun, rambut di kepalanya tidak lagi hitam dan badan itu tidak lagi tegap. Sepenuhnya Ahmad berbalik ke belakang dan menghadap punggung itu lagi.

“Apa aku sudah mati, Pak?” tanya Ahmad dengan menahan ludahnya.

“Belum.”

Selama beberapa detik mereka berdiri dan tak saling melihat muka. Ahmad, dalam hatinya belum pernah melihat wajah bapaknya yang lebih tua karena ia tak pernah kembali ke rumah sejak perang berkecamuk.

“Bangunlah nak, tidak ada kata putus asa dalam kamus kita nak.” Katanya sambil perlahan sosoknya mulai memudar.

“Bapak!” Ahmad mengejar sosok yang memudar, tapi seberapa jauh ia berlari kakinya seolah melambat dan tak pernah sampai sama sekali.

Ahmad merintih menahan dirinya. Ia mulai merasa bahwa ia benar-benar sudah mati. Lantas siapa lagi yang akan ditemuinya di sini? Ahmad tidak tahu.

Mendadak padang rumput tersebut tersebut menghilang dan berganti gurun pasir yang amat panas. Masih dalam rasa takjub, Ahmad terus berjalan tanpa menghiraukan kakinya yang panas seakan mau meleleh. Setiap ada air atau kolam, ia sama sekali tak mau mendekatinya, ia tahu itu hanya fatamorgana saja.

“Hei Ahmad kau tak mau minum ini?” Ahmad hanya menoleh saja lalu pergi, ia mengira itu hanya fatamorgana dan ilusinya saja, hingga sebuah kaleng sarden mengenai kepalanya, “Eh?” Ahmad pun menoleh.

“Kau kira aku fatamorgana? Eh?” Sosok yang menawarinya air menatapnya dengan muka sedikit kesal.

“Afan? Bukankah kamu sudah mati kena ranjau?” Tanya Ahmad tak percaya.

Yang ditanyai semakin kesal. “Kau mengira aku fatamorgana dan sekarang kau bilang aku sudah mati? Teman macam apa kau ini?” Afan menyembur Ahmad tepat di wajahnya.

“Lho kok? Jangan gitu dong maaf-maaf, oh ya yang lain mana?”

“Ada oasis, jadi semua ngumpul disana, ayo ikut.”

Semua teman-temannya berada di sana, minum air, membasuh muka, atau sekedar berteduh. Bahkan sang komandan pun ada disana.

“Ahmad!” Sang komandan pun memanggilnya.

“Siap pak, ada apa anda memanggil saya?” Tanya Ahmad sesampainya di tempat sang komandan.

“Tolong jaga catatan rahasia yang ada padamu, sampai musuh menetahuinya” kata sang komandan kepadanya.

“Siap pak!” seru Ahmad sambil berpose hormat.

“Semuanya apa kalian siap?” teriak sang komandan.

“Siap!” dan seketika itu pula tubuh Ahmad diangkat oleh teman-temannya.

“Hei! Apa-apaan ini?” Ahmad mencoba mengelak, ketika tahu bahwa dirinya akan dijatukan ke danau.

“Maaf tapi kau harus bangun, misimu belum kelar.” Kata sang komandan sambil melambaikan tangan.

Badan Ahmad langsung menyentuh dinginnya air. Sebelum sempat mengatakan apapun, tiba-tiba dirinya merasakan sensasi aneh. Tubuhnya serasa mati rasa, lalu semuanya menjadi gelap.Dan dalam sekejap rasa itu seakan lenyap, lalu Ahmad tersadar. “Aduh sakit.”

Rupanya ia masih didalam gua gelap yang tadi.

“Jadi itu semua hanya mimpi?” Ahmad betul-betul kebingungan.

Samar-samar terdengar suara dari tempat lain. “Ada prajurit musuh yang lolos! Cepat cari dia! Dia membawa dokumen rahasia!”

Ahmad terkejut, prajurit yang membawa dokumen rahasia? Itu pasti dirinya!

“Hei! Dia nampaknya ada di gua ini! Ayo kita kejar!” Terdengar suara derapan langkah kaki yang berlari mendekat.

Disaat Ahmad sedang bergelut dengan pikirannya sendiri, seorang prajurit musuh menemukannya dirinya dari kejauhan dalam cahaya senter. Ahmad mulai memanjat dalam kegelapan dan entah kenapa ia mulai merangkak ke kanan. Namun, tangannya tidak merasakan apa pun ketika meraba. Dengan yakin Ahman makin ke kanan dan tanpa sadar dirinya mulai kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh!

Teriakan Ahmad memenuhi gua sampai kelelawar beterbangan, kemudian diakhiri dengan bunyi berdebum keras. Tidak ada lagi yang dapat melihat dirinya di dalam sana. Prajurit musuh terdiam ketika menyadari sosok yang mereka kejar telah jatuh di titik terdalam gua yang disebut Lembah Neraka. Tempat di mana orang tak akan kembali lagi.

TAMAT

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Selamat Tinggal, Dunia.
Rika Kurnia
Flash
Pendakian
bibliosmia
Cerpen
Di Ujung Pelangi
hyu
Novel
Gold
The Grand Sophy
Noura Publishing
Skrip Film
Cuk (A Story of Virginity)
Astri Apriyani
Flash
Bisikan
zee astri
Flash
Tembok Mengelupas
myht
Cerpen
Tentara Yang Sendirian
Noer Eka
Novel
Bronze
Literatur Bernyawa
Rainzanov
Novel
(GIRL)FRIEND
Rahma Yulia Putri
Cerpen
Perihal Pot dan Tanaman
Ayumi Hara
Cerpen
Bronze
Praecognitif Somnium
awod
Novel
Remember The Day That I Had You As Mine?
Ayu Andini Sekarmelati
Novel
FIGURAN
crystal
Novel
Heart Reset
nisafaza
Rekomendasi
Cerpen
Tentara Yang Sendirian
Noer Eka
Cerpen
LARI!
Noer Eka
Cerpen
Telepon Iseng!
Noer Eka
Cerpen
Insomnia
Noer Eka
Flash
Truth or Dare
Noer Eka
Cerpen
Dalam Tidur
Noer Eka
Flash
Two Killers
Noer Eka
Cerpen
Kisah Pembunuh Berantai
Noer Eka
Cerpen
Menunggu Hukuman Mati
Noer Eka
Cerpen
Tragedi Berak
Noer Eka
Novel
Catatan Sebelum Mati
Noer Eka
Novel
KALA SENJA
Noer Eka