Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Kita akan pergi ke suatu desa di ujung kota ini, Desa Air Bening namanya,” ucap ibunya dengan senyum yang menghiasi wajahnya.
“Desa?!” Aruna mencoba memastikan apa yang dia dengar, pasalnya itu bukan apa yang dia harapkan.
“Ya, itu benar. Desa itu tempat yang cukup bagus untuk menyegarkan pikiran selepas sekolah.”
“Kenapa ke desa? Kenapa bukan tempat yang lebih menarik untuk dikunjungi?” Aruna sedikit menaikkan intonasinya. Rasa kecewa atas apa yang didengar terlihat jelas di garis wajahnya.
“Memang apa salahnya desa itu? Itu tempat yang menarik,” ayah Aruna menanggapi.
“Desa itu bukan tempat yang cocok untukku, jadi ubahlah tujuan liburan kita, aku tak mau pergi ke tempat itu!” Aruna melipat tangan dan menyandarkan dirinya di sofa, tak lupa dengan gerakan mata yang memutar malas.
“Dari mana kamu tahu tempat itu cocok atau tidak? Kamu saja belum pernah pergi ke sana,” ibunya menanggapi dengan santai ucapan Aruna. Matanya menatap Aruna yang diam dan terlihat sebal.
Liburan kenaikkan kelas dimulai di hari esok. hal yang lumrah untuk setiap orang pergi berlibur di hari-hari yang lenggang ini.
Aruna dan keluarganya seperti tak pernah melewati hari libur dengan pergi liburan ke mana pun yang mereka mau. Tapi sayang, liburan ini tak sesuai dengan harapan Aruna. Menurutnya, desa bukanlah tempat yang cocok. Tempat seperti mall, restoran, dan hal-hal berbau modernlah yang cocok untuknya.
“Intinya aku tak mau pergi ke sana, aku ingin tempat yang lebih baik dari itu,” ucap Aruna dengan penekanan. Dia bangkit dari duduknya dan berlalu ke kamarnya. Orang tua Aruna hanya menggelengkan kepala melihat Aruna yang berjalan dengan hentakan di setiap langkahnya.
***
Hari esok di mana Aruna dan orang tuanya berada di mobil untuk perjalanan ke Desa Air Bening. Aruna dengan wajah sebalnya diam menyandarkan diri di belakang. Orang tuanya tetap mengambil Desa Air Bening sebagai tujuan, membuat Aruna kesal dan menganggap liburan ini tak akan menyenangkan. Orang tuanya memutar musik yang biasanya mereka dengar untuk di perjalanan untuk membuat Aruna sedikit lebih baik, tapi hal itu tak mempan untuk membuat Aruna menghilangkan kekesalannya.
Aruna meloncat turun sesampainya di suatu penginapan di Desa Air Bening. Dia melihat orang tuanya sedang berbicara dengan seorang wanita pemilik penginapan. Dan matanya berkeliling melihat sekitar dengan malas, ada apa dengan tempat ini? kenapa ini yang dipilih? Aruna berjalan mendekati orang tuanya yang masih berbincang.
“Silahkan masuk, tempat ini sudah disiapkan,” ucap sang pemilik kepada mereka dengan ramah. Aruna dan orang tuanya masuk setelah ibunya mengucap terima kasih kepada sang pemilik.
“Di luar banyak anak-anak yang sedang bermain. Cobalah bermain bersama mereka,” ucap ibu Aruna dengan pandangan melihat keluar jendela.
“Untuk apa aku bermain dengan mereka?” jawab Aruna dengan sinis disertai dengan decakkan.
“Untuk bersenang-senang,” ibu Aruna membalas dengan penekanan di setiap katanya. Dia berjalan mendekati Aruna, “Keluarlah dan bermain. Mohon untuk dipercepat,” ucapnya dengan dengan senyum di akhirnya.
Aruna yang melihat itu keluar dengan hentakkan kaki dan wajah yang tak ramah. Dia berjalan dengan pandangan tidak minat dengan sekitarnya. Dia melihat anak-anak desa yang sedang bermain, tanpa ada keinginan untuk mendekat.
Entah benar atau tidak, Aruna merasa bahwa seorang anak seumurannya yang sedang duduk dengan teman-temannya itu terus melihat kepadanya. Aruna balas menatapnya, dan dia melihat anak itu berdiri dan berjalan mendekat ke arahnya.
“Aku Bestari, maaf jika aku mengganggu, tapi aku lihat kau terus melihat ke arah kami. Apakah kamu mau bermain dengan kami?” ucap anak itu saat sudah dekat dengan Aruna.
Rambut hitam panjang, kulit yang sedikit pucat, dengan mata dan bibir yang tersenyum kearahnya. Aruna menatap anak itu dengan heran dan sedikit tatapan menghina, “Untuk apa aku melihat kalian, aku hanya melihat pemandangan. Dan untuk apa juga aku bermain dengan kalian, suatu hal yang tak pantas untukku.”
Aruna dengan wajah tak ramahnya berbalik kembali ke penginapan.
***
Aruna berjalan keluar mengikuti orang tuanya. Langkahnya seketika terhenti begitu sampai di taman kecil di samping kiri penginapan. Dia yang kemarin. Untuk apa dia ada di sini?! Batinnya saat melihat Bestari duduk di kursi panjang yang menghadap ke taman itu.
“Ternyata ada temanmu, pergilah ke sana,” ucap ayah Aruna dengan senyum yang menghiasi wajahnya.
“Siapa bilang dia temanku!” Aruna membalas dengan sewot.
“Bukankah kemarin kau mengobrol dengannya?”
“Kami sama sekali tidak mengobrol, dia sendiri yang tidak jelas menghampiriku!”
“Jadi kemarin itu kau bukan mengobrol dengannya, jika begitu, lakukan itu sekarang,” ucap ibu Aruna dengan alis yang sedikit dinaikkan.
“Tidak mau. Untuk apa aku mengobrol dengannya?”
“Dia temanmu di sini, jadi kau harus melakukannya,” ibu Aruna sedikit mendorong punggung Aruna untuk melangkah, Aruna menahan kakinya untuk tidak bergerak.
Bestari menoleh ketika mendengar keributan kecil di kanannya, dia tersenyum melihat Aruna dengan orang tuanya. Terlihat Aruna yang jalan mendekat dengan langkah malas dan wajah ditekuk, dan berhenti di samping kursi panjang yang diduduki Bestari.
“Untuk apa terus berdiri, duduklah, tempat ini masih punya banyak ruang untuk kau duduki,” ucap Bestari sambil menunjuk sampingnya dengan pandangan.
“Tidak mau!” balas Aruna agak keras yang membuatnya sedikit kaget dan menoleh ke belakang di mana ibunya melihat dengan pandangan heran. Aruna menghela napas kesal dan duduk dengan jarak yang cukup banyak dengan Bestari. Bestari sedikit tertawa melihatnya.
“Untuk apa kamu di sini?” tanya Aruna dengan nada yang jutek dan tangan yang terlipat di dadanya.
“Maukah kau pergi bermain denganku? Aku akan mengajakmu ke suatu tempat,” ucap Bestari sambil memandang Aruna.
Aruna menghela napas kesal, “Bukankah keamri aku sudah bilang aku tidak mau bermain denganmu. Untuk apa sekarang kau mengajakku?”
“Itu kan kemarin, kalau sekarang pasti akan berbeda”
“Kemarin, sekarang, atau kapanpun itu aku tak akan pernah ingin bermain denganmu atau teman-temanmu itu.
“Tante! Aku dan Aruna akan pergi bermain, apakah kami diizinkan?” Bestari berteriak tiba-tiba yang membuat Aruna terkejut.
“Kalian diizinkan!” balas ibu Aruna ikut berteriak.
Bestari tersenyum menatap Aruna. Aruna menatap Bestari dengan tatapan tak percaya.
***
Suara loncatan batu di atas air terdengar menghiasi sunyinya tempat ini. Bestari berdiri tepat di pinggir sungai dengan batu-batu kecil di tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya melempar batu-batu itu ke sungai, membuat batu itu melompat beberapa kali sebelum tenggelam tak terlihat.
Aruna berdiri melipat tangannya dengan jarak yang agak jauh dengan Bestari. Sedari awal saat Bestari membawanya ke suatu sungai yang tak terlalu jauh dari penginapan, wajahnya sudah masam berkali-kali lipat dari sebelumnya.
“Kau tidak ikut mencoba? Ini menyenangkan,” Bestari menoleh ke arah Aruna yang dihadiahi berputarnya bola mata Aruna.
“Permainan yang terlihat membosankan,” balas Aruna sinis. Bestari hanya tersenyum kecil mendengarnya, dan melanjutkan melempar batu-batu di tangannya.
Aruna terus menatap Bestari hingga permainan lempar batunya terhenti, lalu berjalan menuju rerunputan di mana terdapat randa tapak, kemudian memetiknya satu. “Aku ingin selalu bersama Daisy,”
Bestari meniup randa tapak di tangannya sehingga helai-helainya beterbangan di antaranya dan Aruna.
Aruna menyernyitkan kening, “Daisy?”
“Teman kecilku,” Bestari berjalan mendekati Aruna, “ayo pergi,” Bestari berjalan mendahului Aruna, Aruna merasa kesal dan bingung melihatnya, tetapi tetap dia ikuti Bestari dari belakang.
Mereka tiba di hadapan rumah kecil dengan tampilan yang patut dikasihani. Bestari masuk ke dalam rumah itu entah untuk apa. Aruna yang melihat itu bisa menyimpulkan kalau rumah ini milik Bestari. Lewat pintu yang terbuka, Aruna melihat boneka anak perempuan dengan kepang dua, di dalam rumah itu. Matanya tak bisa lepas dari boneka itu sebelum Bestari keluar dengan membawa dua kertas di tangannya.
Aruna melihat bestari yang melipat salah satu kertas itu membentuk pesawat, Bestari lalu berjalan menuju undakkan tanah dan menaikinya. Terlihat dia memejamkan matanya sebentar sebelum menerbangkan pesawat kertasnya ke arah yang tak terlihat oleh mata Aruna.
Bestari menoleh menatap Aruna yang memandangnya heran. Dia turun dari undakkan itu, berjalan mendekati Aruna, dan menyerahkan kertas yang lain kepada Aruna.
“Cobalah.”
“Untuk apa mencoba hal tidak jelas itu?!”
“Untuk berterima kasih karena satu keinginan kita tercapai.”
“Sungguh aneh. Kenapa orang aneh sepertimu ada di dunia ini. Tidak habis pikir, kenapa aku dari tadi terus mengikutimu yang terus melakukan hal-hal tidak jelas.” Aruna berbalik dan meninggalkan Bestari yang masih memandangnya dengan helaan napas berat.
Bestari berbalik masuk ke dalam rumahnya setelah Aruna menghilang dari pandangannya.
***
Sore hari yang ramai di salah satu tempat di Desa Air Bening. Sebuah pameran diadakan yang membuat orang-orang di desa ini berdatangan. Aruna duduk di salah satu kursi panjang, menunggu orang tuanya yang sedang membeli makanan.
“Ternyata kamu datang. Aku pikir kau hanya akan berdiam diri di penginapan karena pameran ini tak cocok denganmu,” ucap suara yang dikenali Aruna. Dia menoleh ke samping, dan melihat Bestari berdiri di sana.
“Kenapa selalu ada kamu di sekitarku,” ucap Aruna kesal.
“Kenapa juga aku tak ada di pameran ini? Hampir seluruh warga di desa ini datang. Karena kamu ada di sini, dan aku datang sendiri ke sini, apakah kau mau berkeliling denganku?”
“Tidak.”
“Hanya berkeliling di sekitar sini. Kau tidak akan kehilangan orang tuamu,”
“Tidak.”
“Kau pasti menyukainya. Percayalah padaku.”
“Tak akan pernah.”
“Kau akan menyesal jika menolak. Apa kau yakin tak mau?”
Aruna berdecak kesal mendengarnya. Dia berdiri dan menghadap Bestari yang memandangnya dengan tatapan menunggu.
“Perlu ku ucapkan berapa kali sampai kau paham. Aku tak pernah ada keinginan untuk bermain denganmu. Kau dan semua anak-anak di sini tak pantas untuk bermain denganku. Akupun menginjakkan kaki di sini tak mau, apa lagi melihat, bahkan bermain dengan kalian-kalian. Jadi jangan pernah lagi datang padaku atau mengajakku bermain. Menghilanglah dari hadapanku!” Aruna berseru dengan penuh penekanan. Dia berlalu mendekati orang tuanya, meninggalkan Bestari yang memandangnya dengan perasaan terkejut dan kecewa.
***
“Aruna,” Aruna menoleh mendengar ibunya memanggil namanya.
“Ada apa?” tanya Aruna setelah berjalan mendekat ke ibunya.
“Kita akan pergi ke tempat lain. Letaknya tak jauh dari desa ini. Jadi, bersiaplah sekarang.”
“Tempat apa itu?” Aruna bertanya was-was.
“Tak beda jauh dengan tempat ini. Kau pasti menyukainya.”
Aruna berdecak mendengarnya, “Apa yang aku suka dari tempat itu jika tak beda jauh dengan ini," Aruna berlalu malas mendengarnya.
Aruna membantu menaikkan tas-tas ke dalam mobil, saat semua sudah siap. Dia melihat ibunya yang sepertinya sedang mengucap kalimat-kalimat perpisahan kepada ibu pemilik penginapan, dan ayahnya yang sibuk merapikan tas-tas dan bawaan yang lain di bagasi.
Aruna memalingkan wajahnya ke depan. Menghela napas berat memikirkan liburan yang tak memuaskan dan sesuai harapan ini.
Aruna menoleh saat mendengar langkah kaki yang sedikit cepat mendekat; Bestari. Aruna kembali berdecak dan memasang tampang marah melihatnya.
“Untuk apa kau kemari?” tanya Aruna dengan penuh tekanan, menahan amarahnya.
“Kau mau pergi? Bukankah kau baru datang kemari beberapa hari yang lalu?” Bestari menampakkan wajah bingung, seolah mengabaikan intonasi dan raut wajah Aruna.
“Ya! Aku akan pergi dari sini. Untuk apa aku berlama-lama diam di tempat yang terdapat orang keras kepala yang selalu mendatangiku walau sudah ku usir!”
“Tapi kau baru sebentar di sini. tidakkah kau mau untuk singgah lebih lama?”
“Sudah ku katakan, untuk apa aku berada di tempat ini? Yah… walaupun tempat itu tak jauh berbeda dengan tempat ini, setidaknya aku bisa merasa lega karena tak ada orang sepertimu di sana. Aku sepertinya bisa bersenang-senang di sana, karena aku bisa menikmati hari-hariku tanpa melihat atau mendengar suaramu!” seru Aruna tepat di hadapan wajah Bestari yang beraut sedih dan kecewa.
Aruna seperti merasa puas dengan wajah sedih dan kecewa di hadapannya itu. Dia selalu kesal melihat Bestari yang terus tersenyum walau sudah di kasari.
Aruna berbalik dengan melemparkan senyum sinis untuk Bestari yang masih diam mematung melihatnya.
***
Sore hari yang sejuk menyambut Aruna dan orang tuanya. Aruna menarik napasnya, menghirup udara sore yang sejuk ini.
Mereka telah sampai di sebuah salah satu rumah di pedesaan. Rumah ini tampak megah untuk sebuah bangunan di desa. Tingkat dua, dengan cat putih bersih, dan sebuah taman yang cukup luas di depannya.
“Ayo masuk,” Aruna tampak sedikit bingung melihat rumah di hadapannya, dia tampak penasaran dengan pemilik rumah ini.
Aruna berjalan mengekori ibunya yang berjalan masuk, sedangkan ayahnya masih sibuk dengan barang bawaan di bagasi.
“Ini rumah kita kalau kau bingung,” Aruna menoleh terkejut kepada ibunya, pasalnya dia tak tahu-menahu tentang rumah ini. “Rumah ini sudah lama sekali ditinggalkan. dan saatnya kita menghidupkan rumah ini lagi.”
Aruna yang masih tidak percaya dengan fakta ini, secara perlahan menggerakkan langkahnya sembari pandangannya berputar melihat seisi rumah ini. Langkahnya terhenti begitu melihat tangga menuju ke lantai dua, memandang ke atas penasaran.
“Naiklah! Kamarmu ada di sana,” seru ibunya yang sedang mengangkut tas-tas dari bagasi ke dalam.
Dengan langkah kaki perlahan, Aruna menaiki tangga dengan pandangan yang tak henti menatap setiap penjuru ruangan. Entah kenapa, walaupun rumah ini tak Ia ketahui, tapi terasa familiar untuknya.
Terdapat dua kamar berhadapan di sana, samping kanan dan kiri, terdapat balkon di kamar sebelah kiri, tidak dengan yang satunya. Aruna secara otomatis berjalan menuju kamar di sebelah kiri. Kamar ini tak terlihat seperti yang terbengkalai selama beberapa tahun, kamar ini cukup bersih dan rapi untuk dihuni.
Masih penasaran dengan rumah ini, Aruna menggerakkan langkahnya dengan sedikit rasa senang di hatinya. Entah kenapa dia merasa hal-hal baik akan datang di tempat ini, liburan yang menyenangkan baru akan di mulai di hari dan tempat ini. Langkahnya bergerak dengan semangat, pandangannya tak lepas dari seluruh sudut ruangan, batinnya terus berucap hal-hal menyenangkan perkiraannya.
“Aruna! Ayo makan,” seruan ibunya menghentikannya menjelajahi rumah ini. Aruna sedikit berlari menghampiri ibu dan ayahnya yang sudah terduduk di meja makan.
***
Pagi hari yang menyejukkan, menyambut hari yang menyenangkan untuk Aruna. Aruna melipat tangannya di balkon, menikmati udara pagi yang sayang tuk terlewati. Aruna menolehkan wajahnya ke belakang –setelah puas menikmati udara pagi– melihat meja dengan laci-laci yang membuatnya penasaran sedari kemarin. Dia membuka satu per satu laci itu kemarin, tapi tak sempat Ia lihat dengan benar karena sudah tak sabar dengan sesuatu yang lain di rumah ini.
Langkahnya berjalan menuju meja itu. Ia buka salah satu laci paling atas. Hanya berisi kertas-kertas coretan yang kurang menarik untuknya. Tangannya terus bergerak membuka dan mengeluarkan sesuatu dari laci itu. Pergerakannya terhenti saat pandangannya melihat sebuah pigura di dalam kotak kardus di laci paling bawah. Sebuah foto yang nampak dua anak perempuan yang tersenyum ke kamera, tempat foto itu diambil cukup familiar untuknya. Aruna memandang lebih lekat foto itu, dan dibuat terkejut olehnya. Anak di dalam foto itu adalah dirinya. Dan yang satunya adalah...Bestari? Aruna mendekatkan pigura itu ke wajahnya, mencoba memastikan kedua anak di foto itu.
Benar. Itu adalah dirinya dan Bestari. Aruna tak percaya dengan apa yang dilihatnya, dia pun kembali mengeluarkan semua isi yang ada di kotak itu. terdapat foto lain yang memotret dirinya dan Bestari yang tampak duduk tersenyum di pinggir sungai. Aruna membalik foto itu dan terdapat tulisan "Daisy & Lili" tertera di pojok kiri bawah.
Semakin Aruna melihat kedua foto itu, semakin tak percaya dirinya dibuat. Aruna berlari membawa kotak itu menghampiri ibu dan ayahnya yang sedang duduk santai di sofa.
“Siapa di foto ini?!” Aruna menunjukkan foto dan pigura itu di hadapan orang tuanya. Mereka tampak terkejut melihatnya.
“Bagaimana kamu menemukan itu?” seru ibunya terkejut melihat Aruna yang menemukan foto dan pigura itu.
“Aku menemukannya di laci kamarku. Dan kenapa ada kertas-kertas coretan anak-anak dan foto ini di sana. Apakah tempat ini pernah dihuni orang lain yang memiliki anak kecil sebelumnya? Dan apa foto ini? Apakah ini aku dan...Bestari?!” tanya Aruna dengan intonasi yang sedikit dinaikkan. Ibu Aruna terlihat gelagapan, bingung menjawab apa. Terdengar helaan napas pasrah dari ayah Aruna. Dia memegang pundak ibu Aruna, menenangkan, “Sudahlah, itu tujuan kita pergi ke sini,” ayah Aruna berjalan mendekati Aruna, mengambil kedua foto itu dan berjongkok di hadapannya, “foto ini diambil delapan tahun yang lalu, di Desa Air Bening, saat kau dan Bestari berumur lima tahun,”
“Bagaimana bisa?!”
“Kau mengalami musibah tepat setelah kedua foto itu diambil, kau kehilangan ingatanmu, dan sampai sekarang kau tak ingat apapun tentang masa kecilmu, dan Bestari. Ibu dan ayah memutuskan pergi ke sini, karena kami pikir, di tempat ini ingatanmu bisa kembali,” ibunya kembali membuka suara, ikut berjongkok di samping ayahnya.
Aruna berdiri kaku, sulit untuk berkata atau bergerak kali ini. Dirinya masih belum menerima seluruh kenyataan yang terlalu mengejutkan untuk diketahui. Dia ingat selalu bertanya tentang dirinya saat kecil kepada orangtuanya, itu karena dia tak mengingat apapun yang terjadi sejak umurnya lima tahun. Orang tuanya berkata bahwa itu hal wajar jika kenangan masa kecil terlupakan, sampai dia tak pernah lagi menanyakan hal-hal masa kecil pada orang tuanya.
“Dulu saat kau terus bertanya tentang masa kecilmu, kami selalu khawatir. Apakah kau sadar atau tidak bahwa kau kehilangan ingatan masa kecilmu? Kami awalnya ingin mengembalikkan ingatanmu, tapi itu malah membuat sakit tubuhmu. dan dirimu terus saja menanyakan hal yang sama, kami coba jelaskan padamu sampai akhirnya kau berhenti bertanya, kami alihkan semua perhatianmu kepada hal-hal lain agar kau tidak terus menanyakan masa lalu yang akan membuatmu sakit untuk mengingat, kami biarkan dirimu sendiri yang melakukannya. Tapi sampai waktu yang lama kau tak mengingat apapun, jadi kami bawa kau kemari, mencoba untuk menggali ingatanmu yang terkubur.”
Percakapan ini cukup panjang dan serius. Percakapan ini masih berlanjut, kini Aruna duduk di sofa, menunduk mendengar setiap kata yang terucap dari mulut orang tuanya.
“Saat itu, kita berlibur ke Desa Air Bening. Kau tampak senang karena baru pertama kali mendengar tempat itu. Di penginapan yang sama kita tinggal, kau bertemu Bestari di sana bersama ibunya. Ibunya berkata bahwa dia memiliki suatu penyakit yang bersemayam di tubuhnya, kau mengajaknya bermain, kau bilang bermain bisa menghilangkan rasa sakit, kalian menjadi akrab saat itu.
“Setiap hari kau bermain, pagi sampai sore, kau selalu bersama Bestari. Kau tampak bahagia membicarakannya saat di meja makan. Dan berencana untuk bermain kembali esok harinya, kami pun bahagia mendengarnya.
“Saat kita akan pergi ke rumah ini, kau merengek tau mau, kau ingin terus bersama Bestari, maka kau bawa dia bersama kami. Di atas, tepatnya di balkon kamar yang kau tempati, kalian selalu menggambar atau mewarnai di kertas kosong yang tertumpuk di laci kamarmu, tak pernah berhenti. Kalian tampak senang melakukannya.” terdengar suara helaan napas berat dari ibunya. Ayahnya menepuk pundak ibunya menguatkan.
“Sampai suatu hari, Bestari sedikit merengek ingin pulang kembali ke ibunya. Kami memaklumi itu, karena pasti seorang anak merindukan ibunya, apalagi dia masih berusia lima tahun. Kita kembali ke Desa Air Bening mengantarnya pulang, tapi sayang, kita mengalami kecelakaan di perjalanan. Hanya luka kecil yang kami dapat, tidak denganmu, kau kehilangan ingatanmu bersama dengan Bestari. Beberapa kali Bestari dan ibunya datang menjengukmu, dia merasa bersalah karena berpikir hilangnya ingatanmu disebabkan olehnya. Kalau aku tidak merengek ingin pulang, pasti kita masih bisa terus bermain, itu yang dia ucap.
“Kau berpisah dengannya saat kau tak mengingat apapun. Bestari adalah hal yang tak kau ketahui. Tak ada satupun kenangan yang kau ingat dengan dirinya, kau melupakan semuanya,”
Tak tahan mendengarnya, Aruna berdiri, mengambil kedua foto itu, berlari mengunci diri di kamar. Tak Ia hiraukan panggilan Ibu dan ayahnya. Dipandangnya kedua foto itu, dan semua coretan-coretan di dalam laci. Dengan tiba-tiba, beberapa kenangan masa kecilnya bermunculan. Pertemuannya dengan Bestari, tawanya yang keluar bersama Bestari, permainan lempar batu yang mereka mainkan di sebuah sungai yang bening airnya, bagian-bagian randa tapak yang terbang ditiup mereka, dan pesawat kertas yang melayang setelah mereka terbangkan. Semua itu tergambar jelas dalam pikirannya.
Aruna mengusap cairan bening yang keluar dari matanya. Dia ingin kembali. Kembali bersama dengan Bestari. Kembali bersama teman favoritnya. Kembali mengukir kenangan indah yang tak pernah terlupa.
Aruna berlari setelah membukakan kunci pintu, dengan tergesa menghampiri ibu dan ayahnya yang masih terduduk di atas sofa, “Aku ingin bertemu dengannya lagi.”
Ibu dan ayahnya memandang satu sama lain, terkejut dengan seruan yang keluar dari mulut anaknya itu.Mereka bangkit dari duduknya, memandang wajah Aruna dengan terkejut dan bingung.
“Aku ingin bertemu lagi dengannya, Bestari, ayo kembali ke desa Air Bening. Ada yang harus ku lakukan di sana,” jelas Aruna dengan sedikit terengah.
***
Aruna terus saja merasa risau. Tak berhenti Ia ubah posisi duduknya untuk membuat nyaman. Tapi tetap saja, dia nampak sedikit tak nyaman dengan keadaan ini. Pikirannya nampak memburu. Dia ingin segera bertemu dengan Bestari, mengucap maaf atas apa yang telah diperbuatnya, dan kembali mengukir kenangan indah bersamanya. Tapi, dia sedikit takut bertemu teman kecilnya itu. Dia takut tak bisa kembali mengukir kenangan indah yang pernah mereka lakukan sewaktu kecil. Takut Bestari kecewa dengan semua yang telah dia perbuat, dan pergi menjauhinya.
Aruna segera turun dari mobil, begitu sampai di depan penginapan yang mereka tinggali, berlari kencang menuju rumah Bestari. Dia menghentikan langkahnya begitu tiba di depan rumah sederhana milik Bestari. Rumah ini tampak sedikit ramai, orang-orang keluar dari rumah itu, dan tampaknya mereka bukan keluarga Bestari, hanya warga-warga di desa ini.
Aruna melangkahkan kakinya memasuki rumah begitu orang-orang itu keluar, “Aruna?”, Aruna menoleh mendengar suara parau memanggil namanya. Seorang wanita berpakaian hitam dengan wajah sembab berjalan menghampirinya.
“Kamu Aruna?” tanya wanita itu; ibu Bestari.
“Benar, aku Aruna. Sudah lama tidak bertemu, Tante. Di mana Bestari?” ucap Aruna dengan sedikit tidak sabar. Dilihatnya wajah ibu Bestari yang tampak resah.
“Ada apa dengan Bestari? Apa dia tidak ada di sini?” Aruna melihat sekeliling rumah, tak ada tanda-tanda apapun bahwa ada Bestari di sini. Tapi, Aruna sedikit menyadari hal aneh dari sini, “Apakah Bestari sakit lagi?” ditanyanya dengan ragu.
Ibu Bestari menatap Aruna dengan sayu, dan perlahan mengangguk. “Penyakitnya itu tak pernah menghilang, selalu ada di tubuhnya, terasa ataupun tidak. Dan akhir-akhir ini, penyakit itu semakin tumbuh, memakan semua di tubuhnya. Dan dia pergi,” jelasnya dengan suara parau.
“Pergi? Apa maksudnya? Bukan pergi untuk selamanya kan?” tanya Aruna sedikit lesu, berharap yang dia tanyakan tidaklah benar. Tapi, anggukanlah yang Ia dapatkan. Aruna tampak tak bisa berkata apapun begitu melihatnya. Dia terlambat, apapun yang telah Ia lakukan, tak bisa diperbaiki. Tak ada lagi teman kecil favoritnya. Tidak ada lagi kenangan indah yang akan terukir bersamanya. Semua menghilang. Tidak bisa diubah.
Aruna berjalan keluar dengan tangis yang terus keluar. Berjalan dengan lamban, dan mendongak ketika menyadari ada yang berdiri di hadapannya. Ibu dan ayahnya tampak sudah menunggu dirinya, tersenyum penuh arti padanya. Tangisnya pecah melihatnya, sedikit berlari dan memeluk orang tuanya untuk menyalurkan tangis.
Orang tuanya membalas memeluk Aruna yang menangis kencang. Mengelus rambutnya menenangkan. Terlihat ibu Bestari keluar menghampiri mereka dengan kertas di tangannya.
“Bestari bilang ini untuk Aruna, dibacanya saat tak bisa lagi bertemu.”
Aruna berbalik mendengarnya, dengan masih tersedu, Ia ambil kertas itu dengan perlahan.
“Bukalah saat kau sudah tenang. Itu pesan terakhir Bestari untuk teman favoritnya,” Aruna mendongak menatap ibu Bestari yang tersenyum di akhir kalimatnya, Aruna dengan susah payang membalas senyum itu. Setelah ibu Aruna berpamitan, Aruna dan orang tuanya berbalik untuk berjalan pulang ke penginapan.
***
Hai Aruna. Apa kabar denganmu? sudah lama sekali kita tak bertemu. Tapi satu hal yang pasti, kau sudah tak bisa melihatku lagi saat membaca surat ini.
Asal kau tahu, aku sangat senang melihatmu setelah sekian lama. Teman favoritku yang aku selalu tunggu akhirnya kembali. Tapi sikapmu sedikit berbeda padaku, tapi tidak masalah, aku memakluminya. Orang-orang kota pasti tak suka berada di desa, begitu juga denganmu, itu tak mengapa.
Aku dengar kau masih tak mengingat diriku. itulah mengapa, aku selalu menghampirimu, tapi kau terlihat tak menyukaiku. Tapi aku terus berusaha untuk mendekatimu, agar kau kembali mengingatku, dan kita bisa bersama seperti dulu.
Aruna. Kau adalah teman terbaikku, walaupun aku kadang merasa kecewa dengan dirimu yang aku temui, tapi kau adalah teman pertama yang mau bermain denganku, anak-anak yang lain awalnya tak mau karena mendengar penyakitku. Sampai sekarang, aku tak pernah melupakan seseorang yang telah mengukir kenangan indah bersamaku.
Dan untuk yang terakhir. Maafkan aku. Maaf karena mengiyakan untuk ikut pergi bersama keluargamu. Maaf karena merengek ingin kembali karena kurasa rasa sakit yang ada di tubuhku kembali muncul, seharusnya aku bisa menahannya. Maaf karena aku kalian mengalami kecelakaan. Dan maaf juga karena aku, kau kehilangan ingatanmu. Aku menyesal. Sekali lagi, maaf.
***
Libur telah usai. Aruna kembali dengan aktivitasnya sebagai seorang murid. Semua sama dengan sebelumnya, tak ada yang berubah. Hanya kenangan-kenangannya dengan Bestari yang terus menghantuinya. Surat dari Bestari pun selalu Ia simpan dengan rapat, dan selalu dibukanya jika ingin.
Suasana menyenangkan kadang terasa sendu baginya. Bayangan teman kecilnya tak pernah sekalipun lepas darinya. Walau senyum terbit di wajah, tapi awan mendung terus menutup hatinya.
Semua masih sama. Hanya dirinya yang terus berusaha untuk menghentikan kesedihan atas perginya teman terfavorit. Lili.