Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Thriller
TENTANG GRAVITASI YANG HILANG DI DESA KAMI
0
Suka
4,378
Dibaca

TIBA-TIBA gravitasi di desa kami menghilang. Semua yang berada di wilayah kami seperti terjerabut dari tanah, meluncur ke langit. Pohon-pohon kelapa sawit Pak Masri meluncur ke langit. Kerbau Pak Ngadikun meluncur ke langit. Sepeda motor bebek barunya Ngatmi juga meluncur ke langit. Pun rumah tiga lantai milik Pak RT, juga meluncur ke langit. Semuanya meluncur ke langit seperti roket. Termasuk manusia-manusianya. Ada yang masih tidur, ikut meluncur bersama bantal dan kasurnya. Ada yang sedang menonton TV, ikut meluncur dengan TV separabolanya. Bahkan ada yang telanjang karena sedang mandi, pun ikut meluncur bersama sabun dan samponya. Semua-semuanya terhempas ke udara, dan terus meluncur seperti terhisap oleh langit.

Berita mengenai akan hilangnya gravitasi di desa kami sebenarnya sudah kami dengar sejak beberapa minggu yang lalu dari Badan Kebencanaan Pusat. Sebuah mobil berlogo lembaga kebencanaan bergambar gunung tersebut keliling kampung sambil mengumumkan berita akan hilangnya gravitasi di desa kami dalam waktu dekat. Kami yang mendengar pengumuman itu hanya tertawa, atau kebanyakan malah tidak acuh. Kami menganggap berita itu hanya omong kosong. Melihat kami tampak tidak mempedulikan mereka, dua pria dari lembaga terkemuka itu pun memilih untuk menemui Pak Lurah langsung.

“Yo ndak mungkin to, Mas, kalo gravitasi bisa ngilang. Kayak apa aja,” kelekar Pak Lurah Bejo menanggapi permohonan dari Badan Kebencanaan Pusat untuk mengungsikan penduduknya ke tempat yang lebih aman.

“Beneran Pak Lurah, data kami secara akurat sudah mencatat fenomena itu! Fenomena ini memang sangat jarang sekali terjadi. Mungkin beberapa milenium sekali,” salah satu petugas menjelaskan dengan sabar, sambil menunjukkan beberapa peristiwa serupa yang pernah terjadi beribu-ribu tahun lalu.

“Sebaiknya Pak Lurah segera mengungsikan warga secepat mungkin,” petugas yang lainnya menimpali dengan agak gregetan.

Lagi-lagi Pak Lurah hanya tersenyum dan dengan ramah mencoba bersabar menanggadapi dua orang yang dianggapnya sudah gila itu.

“Begini, Mas, kalau kalian ingin sumbangan, mbok bilang saja. Tinggal ketik proposal, nanti bakal saya lihat dan pertimbangkan baik-baik. Jangan membuat isu yang bisa bikin warga panik,” kata Pak Lurah, membuat dua pemuda yang diutus lembaganya untuk memberi peringatan itu menjadi berang.

“Pak, kami ke mari bukan ditugaskan untuk ngemis, tapi untuk memberi peringatan kepada warga Bapak,” kata Lilik, petugas yang berwajah baby face, mencoba tetap sabar.

“Tapi kalau Bapak dan warga Bapak tidak percaya ya sudah, yang penting kami sebagai lembaga kredibel dalam bidang kebencanaan sudah memberi peringatkan kepada warga Bapak. Selamat siang,” petugas yang berwajah lebih sangar memutuskan untuk mengakhiri perdebatan yang sia-sia siang itu kemudian pamit dan menuju mobil mereka. Temannya menyusul dengan tak kalah berang setelah didengarnya Pak Lurah membalas pamit mereka sambil terbahak-bahak.

“Tai kucing lah, aku nggak peduli walaupun desa ini nyangkut di matahari!”

Petugas itu pun memutuskan untuk kembali ke kantor wilayah mereka untuk memberikan laporan, betapa bebalnya kami.

Beberapa hari semenjak omong kosong dari Lembaga Kebencanaan nomor wahid di negeri ini diumumkan, kami mulai melupakannya. Tidak ada lagi yang membicarakannya di warung makan sambil ketawa-ketiwi, tidak ada lagi yang menyinggunya di sela-sela kegiatan membajak sawah, dan tidak pula dibicarakan oleh Ngatmi dan teman-temannya. Semuanya sudah melupakannya. Sampai sebuah gempa mengguncang desa kami pada beberapa hari sebelum kejadian hilangnya gravitasi itu, dan beberapa dari kami mulai menyangkut pautkannya dengan peringatan dari Badan Bencana sebelumnya.

Waktu itu bedug subuh belum juga selesai bertalu, namun suara gaungnya langsung digantikan oleh gerungan gempa yang berhasil membangunkan kami seketika dari tidur lelap kami. Kami yang sedianya masih dibuai mimpi segera saja terbirit mencari pintu keluar. Ada yang terjerembab jatuh oleh sarungnya. Ada yang teriak-teriak mengira akan kiamat sambil memohon ampun atas dosa-dosa yang telah dipebuatnya. Ada juga yang hanya diam di atas dipannya, mengira semuanya masih mimpi. Untungnya gempa tidak sempat memakan korban jiwa. Hanya kerbau Pak Ngadikun yang mati satu karena ketiban pohon kelapa sawitnya Pak Masri yang sudah rapuh.

Siang harinya petugas dari Badan Kebencanaan Nasional kembali datang untuk memperingatkan kami, sekali lagi, agar kami segera mengungsi ke tempat yang sudah mereka rekomendasikan. Sebagian dari kami mulai menimbang-nimbang, namun lebih banyak yang masih tidak acuh.

“Tolong Bapak-bapak, Ibu-ibu, ini demi keselamatan kalian semua. Gravitasi akan hilang di desa ini besok pagi!”

Dan begitulah, sampai esok paginya pun belum ada dari kami yang mengungsi. Kebetulan hari itu hari minggu yang sangat terik, jadi tidak ada satupun dari kami yang keluar dari desa. Tapi sampai pukul sepuluh siang, gravitasi masih ada di desa kami. Benda-benda masih berada pada posisinya, tidak begeser barang satu millimeter pun. Petugas dari Badan Kebencanaan pun, yang menunggu dengan waspada di dalam mobilnya yang di parkir di sudut desa, jadi turut ragu dengan berita yang mereka bawa sendiri. Beberapa dari kami yang kebetulan bertemu mereka hanya bisa mengulum senyum, meskipun ada juga yang tidak segan menertawakan. Lilik dan temannya pun akhirnya memutuskan untuk pulang dengan membawa sejuta tanya karena sampai sore hari gravitasi belum juga hilang dari desa kami.

“Mungkin alat kita rusak,” kata Lilik.

“Bisa jadi,” temannya menimpali sekenanya.

Tiga hari kemudian, yakni hari ini, barulah tanda-tanda gravitasi akan hilang di desa kami mulai terlihat. Awalnya hanya barang-barang ringan saja yang melayang ke atas. Dedaunan dan sampah yang berserakan di pinggir jalan melayang-layang, natural saja, seperti tertiup angin. Baru ketika barang-barang yang sedikit lebih berat seperti bantal-bantal, guci-guci, dan barang-barang pecah belah ikut melayang menyentuh atap, kami mulai tercengang.

Di desa kami cukup sering ada kejadian aneh, misalnya salah satu pohon kelapa sawit Pak Masri yang berbuah pisang, kambing Pak RT yang punya kaki enam, atau yang baru-baru ini terjadi, kerbau Pak Ngadikun yang melahirkan anak kerbau berkepala tiga. Tapi belum pernah ada kejadian aneh seperti hari ini; benda-benda melayang sendiri seperti tak berbobot.

Entah kenapa kami malah merasa senang melihat kejadian itu. Bahkan ada yang usul untuk mendaftarkan desa kami ke MURI, sebagai desa paling banyak mengalami keanehan. Kami berseru-seru takjub demi melihat kejadian unik seperti itu. Banyak juga yang mengabadikannya ke dalam foto dan video. Kapan lagi kami bisa melihat kejadian di film-film secara langsung dan nyata seperti ini? Sekarang kursi, meja, dan televisi juga ikut mengudara. Perkakas yang memiliki berat yang serupa juga mulai melayang satu-satu. Ada kompor, kipas angin, mesin cuci, kulkas, lemari, semuanya melayang. Dan puncak dari kehebohan kami adala msemakin menjadi manakala tubuh kami sendiri perlahan ikut melayang.

“Hore, aku terbang!”

“Ma, aku sekalang benelan bisa jadi supelmen!” pamer salah satu anak 5 tahun kepada Mamanya.

“Iya Nak,” Mamanya yang turut melayang di sebelahnya menimpali tak kalah antusias.

Kami keluar rumah dengan melayang-layang, benar-benar seperti Superman. Senyum kegembiraan tergambar jelas di wajah kami. Kami mengepakkan sayap sperti burung alap-alap. Kami menguak-uak mirip gagak. Kemudian warga desa sekitar kami yang mengetahui hal itu turut berduyun-duyun memenuhi desa kami demi bisa mewujudkan impian paling liar mereka: terbang bagai layang-layang!

Perlahan-lahan keceriaan kami berubah menjadi sebuah kengeriaan saat kami sadar bahwa kami tidak bisa mengendalikan diri kami. Kami tidak bisa mendarat! Kami meluncur semakin tinggi bersama dengan pepohonan dan benda-benda yang paling tidak masuk akal untuk berada di udara seperti rumah dan becak. Kami terus meluncur ke awan-awan.

 Hari itu kuda terbang benar-benar nyata adanya. Penumpang pesawat yang kebetulan melintas di atas teritorial desa kami hari ini telah membuktikannya. Mereka hanya bisa melongo saat melihat kuda-kuda Pak Sosro berderap di luar jendela pesawat mereka. Buaya peliharaan Bu Kirah juga turut berenang di antara awan-awan, mengejar pasukan kuda terbang.

Burung-burung camar yang terbang dalam formasi nan anggun terpaksa harus berpencar karena gerobak bakso Pak Joko mau lewat. Disusul kemudian sepeda motor barunya Ngatmi dan Kijang Inovanya Pak Lurah. Siang itu konsistensi langit dikacaukan oleh berbagai piranti dari desa kami.

Mungkin saat itu di bawah sana Badan Kebencanaan Pusat sedang menuju ke desa kami. Tapi semuanya sudah terlambat, karena sebentar lagi kami akan hangus terbakar di lapisan atmosfer, bersama dengan ribuan asteroid yang sedang berusaha menerobos bumi. Berita baiknya, sekarang kami benar-benar percaya bahwa bumi itu bulat!

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Thriller
Novel
Bronze
Budak Cacing
Omius
Cerpen
TENTANG GRAVITASI YANG HILANG DI DESA KAMI
Rian Widagdo
Novel
Bronze
Ritual Pemanggil
Andriani Keumala
Novel
Orion & Maharani: Cinta Terakhir Sang Bangsawan
Wiselovehope
Skrip Film
Cookies & Coffee
mahes.varaa
Flash
BULAN
Rena Miya
Novel
KEAPARAT
Ibal Pradana
Novel
Gold
Fantasteen: Kutukan Naskah Drama
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Alice
Laurenzo Jordan Santana
Novel
Anak-anak Tanpa Cinta
Lilis Alfina Suryaningsih
Novel
Bronze
Mencari Kucing Dio
Nur Afriyanti
Novel
VACATION
Ando Ajo
Novel
Aksioma
Maria Veronica S
Novel
Lepet
Ayu Fitri Septina
Novel
LOVE IS KILLING ME
Risa Nova Rheincya
Rekomendasi
Cerpen
TENTANG GRAVITASI YANG HILANG DI DESA KAMI
Rian Widagdo
Cerpen
TANGAN-TANGAN KECIL
Rian Widagdo
Cerpen
JEJAK LANGKAH
Rian Widagdo
Cerpen
ASAP
Rian Widagdo
Cerpen
BOM
Rian Widagdo
Cerpen
1 2 3
Rian Widagdo
Novel
Bronze
End in lovE
Rian Widagdo
Cerpen
JANGAN REBUT SENJA TERAKHIRKU
Rian Widagdo
Cerpen
Bronze
SOBO DAN LENDIR AJAIBNYA
Rian Widagdo
Cerpen
Bronze
ORANG-ORANG YANG KELUAR DARI BOTOL
Rian Widagdo
Cerpen
AKU MELIHAT NAGA MENARI KEMUDIAN MATI
Rian Widagdo
Cerpen
MUSIM PANAS YANG PANJANG
Rian Widagdo
Cerpen
BONEKA KAYU
Rian Widagdo
Cerpen
BU BENI MINTA MATI
Rian Widagdo
Novel
Bronze
MR. LAWANA
Rian Widagdo