Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tentang Burung dan Pohon Kersen
Oleh: Suryawan W.P
Kalau saja tak ada kelap-kelip bara dari rokok yang kauisap, mungkin keberadaan kita tak akan terdeteksi. Aku sendiri heran, bagaimana bisa kita betah duduk berlama-lama di bawah pohon dengan penerangan seadanya ini. Berebut oksigen dengan daunnya-daunnya yang rimbun. Berkali-kali harus kuhalau dan kutepuk nyamuk-nyamuk yang berterbangan dengan dengingnya yang menyebalkan di sekitar telingaku. Tak apalah. Mungkin untuk yang terakhir kali.
Untuk menghayati malam, katamu. Kau selalu seperti itu. Kalimat-kalimat yang keluar dari mulutmu sering kali tak terduga, yang membuatku harus terdiam beberapa detik untuk memikirkannya. Dan seperti biasa aku selalu gagal mencernanya. Seperti juga aku selalu gagal menolak ajakanmu untuk menghayati malam. Aku lupa kapan kita memulainya. Seingatku sejak usia kita belum mencapai sebelas, kita sudah sering melakukan ritual menghayati malam seperti ini. Sejak kau mulai memanggilku dengan nama burung itu.
Tadinya memang tak terbiasa, bahkan aku keberatan karenanya, namun kini aku malah sering merindukannya. Aku rindu bagaimana caramu memanggilku dengan nama itu.
“Pipit. Nama yang cantik. Seperti burung.” katamu.
Sampai sekarang aku masih tidak mengerti di mana letak cantiknya burung pemakan biji-bijian yang sering menjadi musuh petani itu. Lidahmu yang cadel yang membuatmu tak bisa mengucapkan namaku dengan benar. Mungkin karena kau merasa tak nyaman sehingga kau memilih memanggilku dengan panggilan yang menurutmu lebih mudah. Entahlah, aku tak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi cadel. Sejak masih kanak-kanak, aku sudah mahir mengucapkan kalimat “ono laler mencok ning lor rel sepur”1)..Sedangkan kamu sampai duduk di bangku sekolah dasar masih sering diolok-olok karenanya. Aku masih ingat waktu itu guru bahasa Indonesia sering memintamu maju ke depan kelas untuk membacakan penggalan novel. Teman-teman selalu menertawakan caramu melafalkan huruf “R”. Dan sampai hari ini pun kamu masih belum bisa mengucapkan kata Fitri, namaku, dengan lancar.
Ada yang menyebutnya pohon talog. Ada juga yang menyebutnya pohon ceri. Kau menyebutnya dengan cara yang berbeda, pohon kenangan. Rasanya memang tepat kalau kau menamai pohon kersen di taman samping rumahmu dengan nama “pohon kenangan”. Begitu banyak hal yang sudah kualami bersama pohon kersen ini. Mungkin bukan hanya kenanganku saja, bisa jadi pohon ini juga menyimpan kenangan banyak orang. Pada pohon kersen yang setinggi atap rumahmu ini ada kenangan ayahmu yang selalu rajin memangkas dahannya agar tidak melanggar kabel listrik dan telepon, ibumu yang tiap pagi menyapu halaman untuk membersihkan rontokan daun layu dan buah-buah kersen yang jatuh membusuk, kakakmu dan bocah-bocah lain yang kerap melompat-lompat untuk meraih ujung cabang pohon kersen kemudian memetik buahnya yang telah memerah. Pada pohon kersen ini, mungkin ada juga kenangan burung-burung liar. Sering kulihat kutilang, cucak hijau, pleci, dan beberapa burung lain yang hinggap kemudian memakan buahnya. Namun satu yang pasti, pada pohon kersen ini ada kenangan burung pipit kecil.
Aku tidaklah seperti kutilang, cucak rowo, atau pleci dengan nyanyiannya yang riuh. Aku adalah burung pipit kecil yang lupa caranya berkicau. Sebut saja aku pengecut. Aku lebih sering duduk di bangku taman di bawah pohon kersen ini daripada harus melihat ibuku menangis. Aku lebih sering melarikan diri ke bawah pohon kersen ini daripada menjadi samsak pelampiasan kekesalan ayahku setelah bertengkar dengan ibu. Aku lebih sering bersembunyi di bawah pohon kersen ini daripada menjadi sasaran lemparan asbak karena rokok yang tak tersedia atau kopi yang belum siap di meja. Ibuku yang sering menjadi sasaran lemparan asbak. Dia juga yang selalu menjadi samsak.
Hampir di tiap pertengkaran mereka, kuhabiskan waktuku di bawah pohon kersen ini. Sampai malam menjelang, aku masih duduk di sini menatap langit kelam. Suatu hari kudapati dirimu sudah ada di salah satu sisi bangku taman. Malam semakin gelap. Kita sama-sama bertahan. Tak peduli dengan angin malam yang semakin sepoi. Masing-masing diam. Sibuk dengan pikiran di kepala masing-masing. Hari terus berganti. Kamu selalu ada tiap kali aku mendatangi pohon kersen ini. Lama-lama aku terbiasa menikmati keheningan malam bersamamu.
Aku selalu nyaman saat bersamamu, seperti burung kecil yang berlindung dari terpaan angin di sela-sela dedaunan yang rimbun. Kamu layaknya pohon besar yang tenang. Melindungi di kala malam, teduh di saat siang. Keheninganmu membuatku tidak perlu mencemaskan ceritaku menarik atau tidak agar kau tetap tinggal. Aku juga tidak perlu memusingkan tentang rangkaian kata yang indah. Begitu juga aku tidak perlu memikirkan tentang rima dan pilihan kata. Di sampingmu aku hanya ingin diam.
Itu semua adalah cerita yang telah lewat. Sudah bertahun-tahun yang lalu ayah meninggalkan rumah. Tak ada lagi pertengkaran. Tak ada lagi asbak rokok yang melayang. Dan tak ada lagi luka memar. Semestinya ibu bahagia. Namun perkiraanku salah. Ibu masih sering menangis sendiri. Begitu juga aku, masih sering mengunjungi pohon kersen ini.
Malam kelulusan SMP menjadi hari terakhir kuhayati malam bersamamu. Orang tuamu mengirimkan kau pada pamanmu untuk melanjutkan SMA di ibukota. Kupikir tiga tahun kemudian kau akan kembali. Dengan sabar aku menunggumu di bawah pohon kersen ini. Ternyata aku salah. Kau melanjutkan kuliahmu di sana. Tiga tahun berhasil kulewati, pasti empat tahun juga akan bisa kuatasi. Tapi ternyata lagi-lagi aku salah. Setelah lulus kuliah kau pun bekerja di sana. Pada keheningan malam di bawah pohon kersen ini aku merindukanmu.
Setelah hampir sepuluh tahun, kamu kembali. Kamu memutuskan keluar dari perusahaan yang menghidupimu demi mewujudkan impianmu menjadi penulis. Pilihanmu tidak salah. Novel pertamamu memiliki angka penjualan yang bagus di pasaran. Sekarang kau sedang mempersiapkan novel keduamu. Di bawah pohon kersen ini kau memberi ruang pada tokoh-tokoh di kepalamu. Kini giliranmu yang memintaku untuk menemanimu. Tentu saja aku tak menolaknya. Ini semacam nostalgia bagiku. Hampir sepuluh tahun aku merindukan saat-saat seperti ini.
Penulis itu tak jauh bedanya dengan pelukis, begitu ibuku terus mengingatkan. Semua akan ada masanya. Akan ada kedaluwarsanya. Bisa jadi sekarang masih dipuja-puja, tapi siapa yang akan tahu di tahun-tahun berikutnya. Tak ada yang bisa menjamin. Dan ayahku adalah seorang pelukis.
“Kudengar kamu sedang dekat dengan salah seorang editor di penerbitmu. Siapa namanya?”
Entahlah. Lidahku terasa kelu saat mengucapkan pertanyaan itu. Ada sakit yang tiba-tiba mencubit di ulu hati. Sakitnya sama seperti ketika kau menanyakan kabar laki-laki itu.
“Edwin apa kabar?”
“Baik. Dia menitipkan salam untukmu.”
Ini seperti pembelaan diri. Pertanyaanku terlempar karena pertanyaanmu sebelumnya. Namun kemudian aku merasa bersalah karenanya. Aku takut kalau usaha mempertahankan diri ini justru melukaimu. Aku tak bermaksud untuk itu.
Hening. Sepertinya pertanyaanku telah berhasil melumpuhkanmu. Kita masing-masing diam. Hanya angin malam yang tiba-tiba berembus semakin sepoi. Cardigan tipisku tak mampu untuk menahan dinginnya udara. Seandainya ada sebuah api unggun, jaket tebal, atau pelukan, mungkin akan cukup untuk menghangatkan. Sial. Kenapa dalam keadaan seperti ini justru kata “pelukan” terlintas di pikiranku? Entah apa yang sedang terlintas di pikiranmu. Kamu sibuk membuat kelap-kelip bara rokokmu tetap menyala.
“Namanya Dara.” Akhirnya kamu yang membuka percakapan. Memecah keheningan.
“Dara. Nama yang cantik. Seperti burung.”
Pastilah perempuan bernama Dara itu begitu istimewa. Sejak kembalinya kamu ke kota ini, aku adalah saksi dari perjalanan hidupmu. Aku yang selalu membaca draft-draft novelmu. Aku yang rajin mengumpulkan cerpen-cerpenmu yang dimuat di surat kabar. Aku juga yang menemanimu memberi ruang pada tokoh-tokoh di kepalamu. Aku pun tahu perempuan-perempuan yang berusaha mendekatimu.
“Kamu seperti pohon kersen ini. Rimbun. Banyak buahnya.”
“Maksudnya?”
“Banyak burung-burung yang datang tapi aku tak pernah tahu burung macam apa yang kau izinkan untuk membangun sarang di dahanmu.”
Kamu tertawa. Aku masih menerka-nerka bagian mana dari kalimatku yang salah ucap. Kuingat-ingat lagi. Siapa tahu ada yang salah makna.
“Sekarang kamu pandai bermetafora. Mau jadi penulis juga?”
Aku tak menjawab. Hanya tersenyum. Getir. Kamu memang seperti pohon kersen yang rimbun dan banyak buahnya. Tak heran jika kemudian perempuan-perempuan itu datang padamu dan berlomba menaklukkan hatimu. Namun selama ini yang kutahu kamu selalu sendiri. Semua tidak berhasil mengisi ruang di hatimu. Aku selalu bertanya-tanya perempuan seperti apa yang masuk kriteriamu. Dan sekarang aku sudah menemukan jawabannya.
“Ternyata burung itu bernama Dara. Dia yang akan membangun sarang di dahanmu.”
“Sebenarnya aku ingin burung yang lain. Sayangnya burung pipit kecil itu lebih memilih hidup dalam sangkar daripada membangun sarang di dahanku.”
Jawaban yang kudengar terasa menyesakkan. Begitu juga sesak yang tiba-tiba kurasa di jari manisku. Seminggu yang lalu seseorang melingkarkan cincin pertunangan di jariku. Laki-laki itu bernama Edwin. Dia adalah pilihan ibuku. Edwin yang pegawai negeri sipil. Edwin yang bukan pelukis. Bukan penulis.
Yogyakarta, 8 November 2014
Cerpen ini pernah dimuat di majalah Femina edisi Januari 2016