Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Tempat Paling Sunyi untuk Menunggu Mati
1
Suka
14
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Si Pecel hanya perlu berhenti, ketika ia merasa perlu berhenti. Seharusnya kematian Tape, teman penelusur gua yang hanyut oleh banjir di Gua Serpeng dua tahun lalu yang kemudian mencoreng nama tim dan organisasinya atas gagalnya misi sudah cukup menjadi kisi-kisi. Si Pecel hanya perlu berhenti.

Tapi apa yang sebaiknya dilakukan jika diberi kesempatan menghapus coreng moreng itu? Tampah, kawan baiknya menawari ekspedisi.

"Apakah kembali turun gua adalah satu-satunya cara?" Dalam rengkuh selimut, Vinda memunggungi Si Pecel, memilih menghitung celah tirai yang menyelinapkan garis-garis cahaya oranye di ruang remang itu. Si Pecel tahu kekasihnya pasti tak setuju. "Kau sudah berjanji."

"Aku tahu aku sudah berjanji, Vinda," ucapnya pelan di belakang tengkuk sang gadis. "Sponsornya tak main-main. Kalau berhasil menemukan sumber air, aku bisa kembali mempercantik nama organisasi, juga dapat menyelamatkan kehidupan banyak orang."

"Sok jagoan."

*

Tanpa ekspedisi, sepatu boots di sudut pintu hanya akan terkubur debu. Aroma apak membaur di udara terbuka begitu Si Pecel memakainya dan menyeretnya ke jembatan tua menyusul Tampah latihan. Si Pecel mungkin pernah mahir memainkan peralatan susur gua, tapi sebagaimana sepatu, ilmu hanya akan terkubur debu bila terlalu lama terbiarkan menganggur. "Kita akan mengaduk-aduk perut bumi lagi, Tampah."

"Kau mungkin pernah berjanji, tetapi seorang petualang sejati hidup matinya untuk bertualang, bukan?" Tampah merangkul Si Pecel saat tahu kawan baiknya itu akhirnya memutuskan bergabung dalam ekspedisi.

"Dia takut apa yang dialami mendiang Tape juga akan kualami."

"Kita semua pasti mati, Cel. Mengapa harus sembunyi, seolah-olah dengan tidak ke mana-mana membuat malaikat maut lupa bahwa kita ada dan hidup." Tampah mengulurkan harness pada Si Pecel. Dan segulung peralatan susur gua, single rope technique set namanya. Tampah tahu Si Pecel mengarungi dua tahun dengan kekosongan. Tanpa latihan.

"Dia akan marah padaku karena melanggar janji."

"Kau jelaskan padanya, dia akan mengerti." Tampah memeriksa simpul tali kernmantel di ujung jangkar. Aman. "Kita berangkat dua minggu lagi."

"Siapa sponsor kita?"

*

"Aku tahu dia pasti akan bergabung. Terima kasih."

Klik.

Hans tersenyum pada layar gawai yang baru saja dimatikan. Senja di balik jendela kantornya meremang, meregangkan pendar oranye yang beberapa menit lagi menggulita. Pada akhirnya, sang petang akan berpulang pada malam, begitu juga hatinya.

Lampu meja di dekat pigura yang membingkaikan seulas senyum perempuan ia matikan. Gontai, lampu-lampu menuju parkiran satu persatu ikut dimatikan. Remang memang, tapi bukankah gelap itu pasti? Maka, Hans membiasakan diri.

"Kau jadi ambil cuti bulan ini?" Pria lain, yang sama-sama menuju parkiran mengagetkannya dari belakang.

"Jadi," katanya ringan.

"Ke mana?"

"Menemukannya."

"Kau masih mencarinya?"

Karena menemukanmu adalah satu-satunya tujuanku.

*

Beda dengan eksplorasi gua sebelum-sebelumnya, Si Pecel biasanya sudah punya data tentang gua yang ditujunya. Kali ini murni ekspedisi.

"Gua ini masih perawan. Kita yang pertama." Tampah selalu senang menunjukkan antusiasmenya. Sejauh Si Pecel ingat, kawan baiknya itu tak sejera dirinya setelah kematian Tape. Padahal ia tahu, mereka sama-sama hampir mati.

"Itu sebabnya gua ini belum ada namanya, ya?"

"Benar. Mungkin kelak akan dinamai dengan nama tim kita. Basudeva. Bagus, kan? Atau terserah saja pada penduduk desa." Senyum itu terlampau lengkung.

"Tidak buruk. Tapi tidak perlu. Gua adalah milik penduduk desa, sekeren apa pun kita mengeksplorasinya."

"Misi kita menemukan air di kedalaman. Kalau memungkinkan, mapping," kata Tampah saat Si Pecel meminta kejelasan ekspedisi berbiaya mahal ini.

"Kalau cuma begitu, apa bedanya dengan ekspedisi organisasi? Kenapa harus dari perusahaan yang nggak ada hubungannya sama speleologi? Apa tadi namanya? Hipo--apa?"

Tampah menaikkan alis, menghela napas. Sambil mengepaskan peralatan single rope technique ke dalam satu kantung besar miliknya, ia berkata, "Ekspedisi dengan imbalan besar yang berpotensi menggaungkan kembali nama organisasi, kenapa tidak? Dengar-dengar, yang punya perusahaan punya keterikatan dengan desa itu, semacam ingin menyejahterakan, begitulah."

Si Pecel tahu, antusiasme Tampah pada sesuatu susah dibendung. Ia ingat bagaimana Tampah yang baru saja berkenalan dengan mesin kopi, esoknya dia akan berbusa-busa menceritakannya. Berhasil membuat orang lain tertarik sepertinya menjadi obsesinya dari dulu. Bagi Si Pecel, Tampah memang pantas jadi sales.

Dengar-dengar?

*

Letaknya memang jauh dari rumah penduduk, di perbukitan yang lebat oleh belukar, dengan pintu masuk yang--jika tidak diamati dengan teliti--tidak ada orang yang tahu kalau itu pintu masuk gua. Hanya kepekaan para penjelajah yang mampu menemukannya.

Si Pecel tak terbiasa memimpin tim dengan keterasingan. Kendati beberapa kali bertemu untuk latihan dan briefing persiapan, tanpa mengenalnya di alam bebas, Si Pecel tidak akan pernah tahu siapa kawan seperjalanannya itu. Ada tiga orang lagi selain dirinya dan Tampah: dua mahasiswa dan seorang lagi dari perusahaan itu. Mungkin saja ia bertanya mengapa harus melakukan ekspedisi ini, tapi selalu ia urungkan sejak kali pertama bertemu. Menurut Si Pecel orang itu tidak mudah diajak bicara.

Ornamen gua berkilauan, kepak sayap kelelawar mengiris kesunyian saat sorot senter memergoki sekumpulan hewan nokturnal itu bergelantungan di jalur jajahan para penelusur.

"Dih, aromanya."

Si Pecel yakin kawan-kawannya tahu betul aroma tahi kelelawar seperti apa. "Untuk apa mengeluh?"

Jim, yang merasa mengeluhkan itu tak berusaha memperpanjang masalah.

"Bukankah itu bagus, adanya kelelawar menandakan masih ada kehidupan di kedalaman ini. Kita tidak pernah tahu sedalam apa oksigen mampu mengisi perut bumi."

Jim, yang sebenarnya juga tahu tanda kehidupan memilih diam. Apa gunanya berdebat kalau sebetulnya satu pendapat? Belum lagi ia sudah tahu jam terbang Si Pecel lebih tinggi daripada dirinya. Ia merasa masih hijau. Dan baginya, ekspedisi ini merupakan tonggak awal untuk mengukir prestasinya. Lagipula, mahasiswa mana yang menolak tawaran ekspedisi gua berbiaya puluhan juta?

Oh, di mana idealismemu, Sayang?

*

"Kita harus gunakan single rope technique," kata Si Pecel usai melempar kerikil dan mendengar gema untuk mengukur kedalaman ruang gua. Di dalam gua yang memiliki ruang vertikal memang membutuhkan peralatan rumit. Selain itu harus punya keterampilan khusus untuk melintasi tali dan menyelamatkan diri sendiri. Tentu saja, ia jadi yang pertama menjajal instalasi tali bikinan timnya. Bagi Si Pecel, bukankah menjadi satu kebahagiaan tersendiri ketika senter yang ia bawa menjadi yang pertama mengungkap keindahan perut bumi?

Benarkah yang pertama?

Saat descending, atau teknik menuruni gua dengan lintasan tali, senter Si Pecel menemukan tapak tipis sepatu boots bernoda tanah.

Benarkah ia jadi yang pertama?

"Kau yakin tidak ada penelusur yang lebih dulu mengeksplorasi gua ini?" tanya Si Pecel lirih pada Tampah ketika seluruh anggota timnya mendarat lepas dari tali.

Di dalam gua yang sunyi, selirih apa pun bisikan, bisa terdengar seperti gesekan angin pada dedaunan. Si Pecel melirik orang perusahaan itu meliriknya.

"Belum ada datanya, 'kan? Kita tetap jadi yang pertama. Lihat saja." Ah, Tampah selalu percaya diri tanpa melihat situasi.

Si orang perusahaan menggulung instalasi SRT di tubuhnya, mencegahnya agar tidak gemerincing.

"Kau cukup mahir dengan peralatan tadi," kata Si Pecel akhirnya. Menghadapi orang pendiam, ia bingung mengusung topik untuk dibicarakan. Bagi Si Pecel, orang perusahaan itu lebih pendiam di antara yang paling diam. "Kuduga kau anggota komunitas juga. Betul?"

Dia tersenyum wagu. Seolah-olah sedang tertangkap basah melakukan tindakan tercela. Tapi akhirnya ia bersuara, "Dulu."

"Sekarang?"

"Sibuk jadi budak korporat."

Sial, dia bisa melucu dengan lugu. Mimik mukanya bahkan tak berubah. Bagaimana Si Pecel akan mengorek informasi agar terdengar basa-basi.

*

"Ini kemenangan kita," Tampah, yang selalu sumringah, tak bisa memelankan suaranya saat menemukan apa yang dicari dalam misi kali ini.

Air.

Manusia-manusia kotor itu hanya menyisakan kolor melekat di badannya saat bergumul dengan air bawah tanah. Kecuali orang perusahaan itu. Ia memilih menepi. Sendiri. "Jangan terlalu lama di air. Kita tidak tahu kapan hujan di luar dan kapan banjir datang," pesannya.

Sekali ini, dia kelihatan begitu genting. Tapi ada benarnya. Ingatan Si Pecel memutar ulang kejadian tragis Tape, bukannya mereka yang lalai, bukan kesalahan teknis sebagaimana dituduhkan orang-orang, tapi kehendak alam siapa yang bisa mengira. Mendadak ia menepi, tetapi dalam remang bara api matanya menangkap benda berkilau dari dasar sungai bawah tanah dangkal itu.

Carabiner.

Benar, ia mengenali bentuk itu. Salah satu cincin pengait yang sering ia gunakan dalam kegiatan susur gua. Dia tak mungkin meninggalkan apa pun kecuali jejak, jadi ia menyelam.

Si Pecel memakai kembali coverall merahnya. Tidak mengenakan bagian atasnya, melainkan mengikatkan bagian lengannya di pinggang. Mengecek peralatannya, barangkali ada yang terjatuh. Tidak ada.

Lantas ia mengaba pada seluruh anggota timnya, meminta mereka mengecek ulang peralatannya. Masih sama jumlahnya, kata mereka.

"Bagaimana kalau ternyata kita bukan yang pertama di sini?"

Tom, anggota yang lain, yang sama2 menggulung sebagian coverall-nya di pinggang angkat bicara, "Kalaupun kita bukan yang pertama, setidaknya kita yang pertama kali mendokumentasikannya."

Tapi bagi Si Pecel yang menganggap pengakuan publik itu sakral, ia mungkin tak ingin membuat kontroversi dengan mengaku-aku jadi yang pertama. Tetapi ia hampir setuju dengan Tom.

"Setelah makan, kita naik," putus Si Pecel.

Mata si orang perusahaan menajam. "Kita lanjutkan." Dahi Si Pecel mengerut. Bukan karena ransumnya yang keras--atau bisa jadi iya--tetapi ada nada pertentangan dengan yang baru saja bicara.

"Misi kita sudah selesai, Hans." Si Pecel mengingatkan.

"Menemukan air bukan satu-satunya misi kita, kau ingat?" Hans, si orang perusahan berbalik mengingatkan.

Menjadi pemimpin kalah dengan yang punya modal, tentu Si Pecel tak menyukai ini.

"Kita lanjutkan mapping sampai ransum kita habis, kalau boleh usul?" Di antara keduanya, mata Tampah bermain pingpong.

Diam yang sunyi. Tapi kemudian Si Pecel memutuskan, "Kita lanjutkan sampai ransum masih cukup untuk mengisi perut saat pulang."

Tim itu menyusur lebih dalam ke perut bumi. "Sedikit lagi tali kita habis," Si Pecel memperingatkan.

Hans memilih bisu. Sebisu sunyi kedalaman bumi. Seolah tahu apa yang dikhawatirkan Si Pecel, tak lama ia menjejak bebatuan, sebelum talinya habis. Ia mendarat di ceruk sempit, ceruk dengan ceruk lain yang lebih sempit. Sementara sisa tali masih menjuntai ke bawah, ke kedalaman tak berujung. Untuk menampung lima manusia setidaknya harus merangkak atau berjalan tiarap. Si Pecel bahkan merasa sesak napas. Khawatir kadar oksigen turun, ia kembali mengaba yang lain.

"Hai, kawan. Sebaiknya tunda descending," teriaknya, "oksigen menipis."

"Kita semua descending." Hans bersikukuh.

Si Pecel merasa posisi dirinya sebagai pemimpin tim dilecehkan. Kini ia merasa Hans seperti sedang menampakkan kekuasaan uang padanya.

"Dengarkan aku. Aku mau pasang ascending set," teriaknya memperingatkan Hans yang ternyata sudah lebih dulu menuruni tali.

Sial.

"Kau cuma takut mati!" Bentak Hans saat sudah mendarat di bebatuan yang sama dengan Si Pecel. Ia melempar sebotol oksigen di kaki pemimpin tim itu. Berkelontang. Tak ada kelelawar yang terkejut lagi di kedalaman ini.

"Kau pikir mati bisa dibercandai, heh?"

"Woi! Kita turun atau kalian naik?" Tampah berusaha menengahi di ujung tali.

"Kau pikir kau satu-satunya yang pernah kehilangan?"

Hening.

Dan sesak.

Si Pecel memejamkan mata, menarik napas panjang untuk mencerna segala kemungkinan.

"Kuduga kau pernah ke sini sebelumnya?" Si Pecel memelankan suara, menghemat daya dan udara.

Gigi Hans seperti mengunyah amarah dengan mata memerah. Bukan karena marah, tetapi menahan air mata tumpah. "Aku tidak pernah ke sini sebelumnya. Tunanganku yang ke sini."

"Kapan itu?"

"Satu tahun yang lalu. Saat perusahaan menugaskannya eksplorasi gua."

"Orang-orang desa tak tahu kalau--"

"Memang. Termasuk sekarang. Cuma perusahaan dan orang tertentu yang tahu."

Seketika Si Pecel ingat perizinan dan segala perintilan diurus semua oleh perusahaan, ia tinggal berangkat dan menjadi pemimpin yang taat. Apa maksud semua ini?

"Apa yang perusahaanmu inginkan sebenarnya?"

"Perusahaan menugasi tunanganku, bukan aku. Aku hanya mencarinya, di tiap kedalaman."

Si Pecel mengobok kantung coverall-nya, menemukan carabiner dan menunjukkannya pada Hans. "Aku tidak tahu ini milik siapa, tapi yang pasti ada orang sebelum kita yang jadi pertama kali."

Hans menggenggam carabiner itu. Memeluk erat-erat. Meringkuk dalam ceruk. Tangisnya tumpah, sejadi-jadinya. Dan sesak.

"Sekarang kita naik," bujuk Si Pecel.

Hans menghentikan sedu itu. Menatap Si Pecel nanar, kemudian berkata, "Naiklah, aku tidak. Aku sudah menemukan dia di sini."

"Bagaimana kamu yakin dia di sini?"

"Bukan urusanmu."

“Petualang sejati tidak meninggalkan teman.” Biarpun rencana Hans dari awal busuk, tapi Si Pecel adalah pemimpin yang bertanggung jawab membawa timnya pulang.

"Hei, cepatlah! Sepertinya hujan di luar. Air meninggi!" teriak Tampah.

Sekonyong-konyong Hans melepas peralatan susur gua yang melekat di coverall-nya. Tangannya merentang, mengulur peralatan itu, bersiap melepaskannya di kedalaman. "Pergi sekarang!" perintahnya garang pada Si Pecel.

Kalau saja tempatnya cukup lapang, Si Pecel ingin sekali mengajaknya adu jotos.

Dengan mimik muka kaku dan wagu khas Hans, peralatan SRT itu benar-benar ia jatuhkan. Di kedalaman. Sunyi, seolah tanpa ujung. Saat itu juga Si Pecel memikirkan kemungkinan buruk didesak menyusul kesunyian.

 Tetapi air sudah telanjur meninggi di atas, menjadi air terjun di jalur lintasan tali, sementara kelelawar tak mungkin tinggal di kedalaman ini.

*

Sekalipun marah, Vinda sejatinya hanya tak ingin kehilangan. Sebenarnya ia tak ingin mengekang, tapi bukankah lebih adil kalau Si Pecel juga belajar dari pengalaman?

Mendung menggantung, kantong-kantong air akan segera tumpah di kota itu. Vinda tak bisa berhenti memikirkan sang kekasih. Dia ingin mencari kabarnya, sementara ia tahu kawan baik Si Pecel juga ikut ekspedisi. Dia mungkin menyetir ke desa yang ia sendiri tidak tahu letaknya, sebelum kegelisahan menuntunnya mampir di perusahaan berplang besar tetapi susah dibaca, Hipo--blablabla.

Beberapa orang ditanya perihal ekspedisi itu menggelengkan kepala. Kalau itu penting, mengapa tak ada yang tahu?

Seorang pria menemuinya di parkiran. "Cari siapa?"

"Kenal Hans?"

"Dia cuti."

"Cuti untuk Ekspedisi Basudeva?"

Pria itu malah mengernyitkan dahi. "Ekspedisi itu sudah setahun lalu."

"Hans mengajak pacarku untuk ikut ekspedisi itu."

"Tidak mungkin. Tunangannya sudah mati di ekspedisi itu."

Mimik muka Vinda berubah tegang. "Di mana tepatnya gua itu?"

Pria itu mengantongi kedua tangan di sakunya, tersenyum degil, "Tidak ada yang tahu."

***

Erna Widi

Yogyakarta, Oktober 2021

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Asam Manis Nana Bila (Asma Nabil)
Mira Alhusen
Novel
Bronze
Kukembalikan ibu kepada anak kesayangannya
kristiana
Cerpen
Bronze
Rendra dan Tulisannya
Donny Setiawan
Cerpen
SIGNAL [4u]
Echana
Cerpen
Tempat Paling Sunyi untuk Menunggu Mati
Erna Widiarsi
Novel
Di Balik Romantisnya Suamiku
fransisca Lukito
Flash
Dreamcore Room
Lail Arahma
Novel
HELLOVE
aya widjaja
Novel
Bronze
Pengakuan Psikopat
Verawati Halim
Novel
Culun tapi cantik
Belaamelristika
Novel
Bronze
I Love My Army Wife 3
Author WN
Novel
InSTAN
Hasan Ali
Flash
Bronze
Cinta Pergilah, Hari Sudah Malam
IGN Indra
Cerpen
Bronze
TEMAN KATANYA, CINTA RASANYA
Rain dandelion
Cerpen
Bronze
Istri Untuk Kakakku
Rimkuynn
Rekomendasi
Cerpen
Tempat Paling Sunyi untuk Menunggu Mati
Erna Widiarsi
Novel
Triangulasi
Erna Widiarsi