Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Tempat Kerja Papa
1
Suka
18
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Dari atap sekolah, Aku menyaksikan burung gereja berterbangan dari lubang genting tempat Papa bekerja . Kemudian bertengger pada ranting-ranting pohon beringin yang sangat besar di dekat sana. Mereka bercericit. Saling mematuk. Buang kotoran. Dan, melanjutkan terbangnya mencari makanan atau mencari atap baru sebagai sarang. Membuat rumah. Koloni baru.

Ah, Rumah. Aku membayangkan kehangatan suasana rumah tuan burung gereja itu. Sang induk yang silih bergantian merawat anak burung. Membawakannya makan. Menghangatkan Badan. Hingga, si anak tumbuh menjadi burung gereja dewasa. Mencari pasangan. Membuat sarang. Tanpa sadar, mereka sudah menjadi satu koloni besar. Hidup menumpang dan saling berjejalan di dalam loteng tempat Papa ku bekerja.

Suasana hatiku mendadak berubah. Sedih. Miris. Iba. Aku menjadi teringat akan pekerjaan Papa. Ya, Papa sangat suka mengusir, menggusur dan meratakan tempat-tempat yang berjejalan, apalagi, tempat tersebut milik pemerintah. Ah, maksudku orang-orang yang tinggal sebelumnya itu menumpang di tanah milik pemerintah. Sungguh malang.

"Apakah nasib burung-burung gereja itu akan di usir Papa," batinku.

Angin berembus saat aku hendak membuka baju. Membuat baju berwana putih itu berkelebat seperti tanda menyerah dalam perang. Bisa jadi. Mungkin aku menyerah kepada tempat kerja papa yang setiap kali aku melihatnya ia menatap balik dari jendela-jendela tua yang menganga.

Aku kembali kepada niatku datang ke atap sekolah. Aku mengeluarkan kanvas dari tas sekolah, cat akrilik juga palet dan kuas. Mendirikan easel yang ku bawa dari ruang kesenian. Memasang kanvas pada bahu segitiga dan berkaki tiga itu. Kemudian Aku menuangkan cat berwana merah, kuning, hitam, biru, dan putih pada palet secara terpisah. Ah, Aku juga menambahkan sedikit minyak agar cat itu tidak terlalu kental. Mencampur biru dan putih. Mengguratkannya di kanvas.

Aku selesai dengan warna dasar. Menunggunya beberapa saat, sampai mengering. Kini kanvas itu terisi dengan tiga warna. Hitam, biru muda dan tua. Hitam mengisi bagian paling bawah.

Kembali ku pandangi tempat kerja Papa. Menghela napas. Warna genting yang pudar dan berlumut. Bangunan ini sudah termakan usia. Tetapi, pilar-pilar di pendopo bagian depan bangunan tetap saja terlihat kokoh.

Begitu juga temboknya yang berwarna pucat. Meskipun berbentuk seperti itu, jika kau bekerja di sana, kesohoran bangunan itu sudah cukup untuk menyelimuti namamu dengan kehormatan. Apalagi menjadi seperti Papaku.

Aku tidak sedang berbangga diri, justru sebaliknya. Bangunan itu. Tempat kerja Papaku itu. Telah menyelimutiku juga dengan sebuah kehormatan palsu. Dan, bahkan lebih.

Bangunan itu telah merebut aku sebagai seorang individu. Mengambil wajahku dan menggantikannya dengan wajah Papa. Ia mungkin menyimpan wajahku di sebuah ruang bawah tanah. Terpenjara. Menggigil. Dan, menangis.

Aku membenci bangunan itu lebih dari apa pun. Andai saja bangunan itu tidak ada, mungkin Papa akan menjadi orang yang biasa-biasa saja. Tetapi, Aku lebih suka seperti itu.

Aku suka jika Papa memiliki banyak waktu untuk ku. Dan, Mama, tidak akan melarangku berbuat ini-itu karena alasan malu dan kehormatan.

"Ingat, kita ini orang yang terhormat!"

Begitulah kata Mama. Kata “kita” yang ia tegaskan dengan jelas menggambarkan bahwa wajah Mama pun telah berubah menjadi wajah Papa. Tetapi bedanya, Mama malah berbangga diri dan mempertahankan kehormatan itu.

Aku ingin sekali membuang wajah Papaku ini dari wajahku. Atau lebih tepatnya, Aku ingin membuang semua atribut dan kehormatan palsu yang diberikan tempat kerja Papa. Andai saja Papa hanya seorang petani yang gigih bekerja demi menghidupi keluarganya, karena kegigihannya itu wajah Papa menempel di wajahku, dan wajahku terkubur dalam di lumpur sawah, Aku akan lebih membanggakan wajah Papa yang itu.

Aku sungguh sangat tidak senang, jika aku berbuat salah di sekolah tetapi guru-guruku tidak memberikan suatu hukuman apapun kepadaku. Aku yakin, itu semua karena wajah Papa dan segala kehormatannya terpampang di sini. Di wajahku. Aku sendiri sadar, kehormatan itu akan memudar seiring Papa tidak lagi menjabat di sana.

Kehormatan Papa dan segala kebanggaannya akan diambil kembali oleh bangunan itu, kemudian diserahkan kepada pengganti Papa. Wajah Papa akan terpajang di dinding. Berjejer dengan para pendahulunya. Kemudian usang dan dan pucat. Menjadi serupa dengan warna dinding yang begitu suram.

Aku kembali berjalan ke arah kanvas. Meraba dasar permukaannya. Kering. Mengambil kuas berukuran sedang dan kecil. Menggoreskan warna. Tanganku mengalir membuat guratan kecil yang panjang dengan dominan putih dan kuning. Aku juga memasukan warna hijau campuran dari biru dan kuning sebagai gradasi. Latar awan telah terbentuk. 

Kemudian aku melukis benda langit lainnya. Bulan sabit dan beberapa bintang. Memberikan goresan-goresan kecil serupa tadi. Bedanya, di awan goresan itu ada di dalamnya. Sedangkan pada bintang dan bulan, goresan itu ada di luar. Memberikan kesan yang berpendar. Aku biarkan lukisan ini seperti tadi. Sampai lukisan itu kering.

Angin kembali berembus dari arah belakang. Akhir-akhir ini, aku merasakan perubahan musim yang ditandai dengan banyaknya angin. Atap sekolah yang luas dan terbuka memberikan ruang leluasa kepada angin. Ku tinggalkan lukisan itu dan kembali memandangi tempat kerja Papa. Bibirku menyunggingkan senyum. Tidak. Aku tidak bahagia karena sedang melihat tempat kerja Papa. Aku teringat suatu kejadian yang menimpa tempat itu.

Suatu waktu, pernah terjadi aksi demonstrasi di tempat kerja Papa. Para pendemo menuntut penggusuran bangunan yang dilakukan Papa. Kata mereka tidak manusiawi. Terlebih, lahan itu hanya akan Papa gunakan sebagai taman kota.

Namun, Papa berdalih bahwa taman kota sangat penting, karena taman kota adalah wajah kota itu sendiri. Semakin bagus tamannya, semakin bagus citranya.

Detail cerita itu dan argumentasi Papa, Aku membacanya di koran. Meski aku melihat peristiwa itu langsung. Aku hanya melihatnya dari kejauhan. Dari atap sekolahku. Sekolahku berada tepat di pinggir tempat kerja Papa. Hanya terpisah ruas jalan kecil. Dan, bangunan itu, tempat kerja Papa berada di tengah-tengah lahan yang dikelilingi pagar.

Orang-orang berkerumun di sana seperti laron yang mengerumuni cahaya dengan kemarahan. Namun sayang, mereka tidak bisa masuk begitu saja ke tempat kerja Papa. Mereka terhalang pagar yang menjulang. Di depan pagar terdapat puluhan polisi yang menghadang.

Jarak antara pagar itu, dan bangunan tempat Papa bekerja sangatlah jauh. Bangunan itu memaksa orang di dalamnya untuk menjadi tuli, angkuh sekaligus acuh. Papa tidak keluar meski orang-orang sudah meneriakinya. Sampai orang-orang itu melempari batu ke dalam sana. Aku jadi teringat guru agama pernah bercerita tentang Nabi yang melempari setan dengan batu. Asap hitam membumbung ke langit dari bakaran ban.

Papa tak banyak cerita soal kejadian itu. Baik kepadaku, atau juga Mama. Ah, mungkin hanya kepadaku. Aku sangat yakin, Papa hanya menganggapku sebagai anak kecil yang tak tahu apa-apa dan tak boleh tahu apa-apa. Papa menyuruh Bibi untuk membuang setiap koran yang memberitakan dirinya. Aku membaca koran-koran itu dari tong sampah. Dan, aku mengetahui inti permasalahannya.

Anehnya, guru-guruku tetap memperlakukan ku dengan sangat istimewa. Jelas-jelas Papa telah berbuat salah. Papa berlaku jahat kepada orang yang lemah, yang tak mempunyai kekuasaan dan kekuatan. Namun, guru-guruku ini, yang mengajarkan moralitas kepadaku dan murid-murid lain, seakan meludahkan kata dan ajaran itu ke tanah. Kemudian menginjaknya dengan sekuat tenaga sehingga kata dan ajaran itu terkubur dan hilang entah kemana.

Aku menjadi semakin yakin, apapun kejahatan dan ketidakadilan yang Papa perbuat, selama Papa masih bekerja di bangunan itu, kehormatan palsu ini akan tetap menyelimuti dan melindungi nama Papa dan Aku.

Aku kembali pada lukisanku yang hampir jadi. Kini lukisan itu tinggal menyisakan bagian hitam yang masih kosong. Aku berencana melukis pohon dan tempat kerja Papa di sana. Melukis tempat kerja Papa dalam keadaan terbakar.

*

Waktu telah sore dan lukisan ku telah kering sempurna. Aku seharian ini tidak masuk pelajaran. Setelah selesai melukis. Aku hanya berbaring di atap. Kemudian tertidur sampai waktu pulang tiba.

Aku yakin guru-guruku tidak akan marah. Karena itu sudah hal yang biasa bagi mereka. Aku tinggal menunggu Mama dan Pak Sopir menjemput.

Tak berselang lama mereka pun datang. Mama duduk di kursi belakang. Di samping kiri dan kanannya telah penuh dengan belanjaan mewah. Melihat itu, aku duduk di depan. Mama bertanya aku belajar apa tadi di sekolah.

"Melukis, Ma," kataku singkat.

"Melukis apa, boleh Mama lihat?" pintanya.

Aku pun membuka tas dan menyodorkan kanvas itu ke Mama. Mama melihatnya dengan seksama.

"Bagus," katanya sambil berdecak. "Tapi, kok, ini seperti gedung yang terbakar, Lukisan apa ini, Nak?" tanyanya sambil mengomtari karyaku.

"Tempat Kerja Papa," jawabku seadanya sambil melirik ke arah Mama.

Mendengar itu air wajah Mama berubah. Ia pandangi lagi lukisanku kemudian ke arahku.

Plaaaakk.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Tempat Kerja Papa
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Hanya Sebatas Kerikil Kecil
Rein Senja
Cerpen
Taman Kanak-Kanak
Achmad Afifuddin
Cerpen
Bronze
Guru Anganmu Luas, Loyalitasmu Tanpa Batas
Sistiani Wahyuningdiyah
Cerpen
Suara Butala
bloomingssy
Cerpen
Bronze
"Puss. . . Meong. . . "
Izzatunnisa Galih
Cerpen
Bronze
LOVE FROM BROKEN ROLLER COASTER
NUR C
Cerpen
Off The Record
Nazila
Cerpen
Bronze
Sungguhan Teman?
Glorizna Riza
Cerpen
Bronze
Nada y Pues Nada
Eki Saputra
Cerpen
Bronze
ROTI ISI MATAHARI
Rian Widagdo
Cerpen
Tetangga Depan Rumah
ken fauzy
Cerpen
Bronze
Persetan
Yuli Harahap
Cerpen
Bronze
D 1 AM
Andriyana
Cerpen
Kompas
Hai Ra
Rekomendasi
Cerpen
Tempat Kerja Papa
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Aku dan Hantu Fyodor Dostoevsky
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Makhluk Tanah
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Balada Tiga Hyang
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Pasar Bisa Diciptakan
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Pemangsa Paling Kejam
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Tugas Akhir
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Balada Cinta Gila
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Buku-Buku di Penjara
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Aku Bersimpuh di Hadapan Kopi yang Tengah Ku Seduh
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Oh, Nani, Mastrubasi
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Luka di Lutut Alberto & Kisah Monogusha Taro yang Ganjil
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Sabda Pasar
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Serupa Daun-daun
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Di Penghujung Hari
Galang Gelar Taqwa